• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

ISLAM DAN  PEREMPUAN DI INDONESIA

ISLAM DAN  PEREMPUAN DI INDONESIA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Tema ngaji ba’da shubuh pada hari Selasa, 18/07/2023 memang terasa agak berat, sebab membicarakan tentang ajaran Islam yang dianggap menjustifikasi perempuan sebagai kelompok yang dianggap tidak sejajar dengan lelaki dalam banyak hal. Di antaranya adalah perempuan harus bekerja di ruang domestic dan lelaki bekerja pada ruang  public. Ketidaksejajaran tersebut dinyatakan di dalam teks Alqur’an dan juga hadits Nabi Muhammad SAW. Bahkan ada beberapa hadits yang dinyatakan sebagai hadits misogini atau hadits yang merendahkan posisi perempuan di dalam relasinya dengan kaum lelaki. Kelompok Ngaji Bahagia yang terdiri dari bapak-bapak jamaah masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency terbiasa menyelenggarakan ngaji bareng dengan pola dialog terkait dengan materi yang dibahas.

Di dalam Islam memang didapati teks yang oleh para ahli gender dipahami sebagai teks yang memberikan peluang ketidaksamaan atau inequality antara lelaki dan perempuan. Di antaranya adalah ayat tentang paham kepemimpinan. Di dalam teks, Surat An Nisa’, 34  terdapat ayat yang menyatakan: “ar rijalu qawwamuna ‘alan nisa’, bima fadhdhalallahu ba’dhuhu ba’dhan”. Yang artnya bahwa “Kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena  Allah telah melebihkan  sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (perempuan)”. Secara tektual, ayat ini memberikan gambaran tentang lelaki yang memiliki kemampuan memimpin atas perempuan. Lelaki memiliki kelebihan dibandingkan dengan perempuan. Teks ini yang dijadikan sebagai dasar atas penolakan atas kehadiran pemimpin perempuan. Di Indonesia masalah pemimpin perempuan sering menjadi masalah. Namun demikian, di Indonesia hanya ada di dalam wacana saja penolakan tersebut, sebab pada akhirnya kepemimpinan perempuan pun diakui.

Di Indonesia memang terjadi ragam pemahaman tentang kepemimpinan perempuan. Ada sebagian yang membolehkan dan ada yang melarang. Berbeda misalnya dengan Afghanistan yang memberikan pengekangan atas perempuan sedemikian kuat. Bahkan perempuan berpendidikan saja dilarang. Negeri ini benar-benar melakukan pemberangusan hak-hak perempuan di dalam kehidupan. Bahkan di Arab Saudi juga hanya memberikan peran perempuan di ruang domestik. Misalnya di masa lalu perempuan tidak boleh menyetir mobil sendiri, tidak boleh pergi keluar rumah sendiri, tidak boleh nonton konser music, tidak boleh nonton olahraga dan lainnya. Baru akhir-akhir ini perempuan boleh beraktivitas di ruang public, misalnya mengemudi mobil, menontoh sepakbola, menonton konser music dan sebagainya. Hal ini baru diubah sewaktu Pangeran Muhammad bin Salman (MBS) menjadi putra mahkota kerajaan Saudi Arabia.

Untunglah masyarakat Indonesia memiliki sejarah panjang kesetaraan gender. Di masa Sejarah Nusantara Kuno, maka dikenal nama Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga, lalu Ratu Tribuana Tunggadewi  dari Kerajaan Majapahit (1328-1351), lalu di masa Islam sangat dikenal Ratu Safiatuddin dari Kesultanan Aceh (1641-1675). Jika di negara lain, terjadi gender inequality maka di Indonesia tidak dikenal hal tersebut.

Di era modern, banyak sekali para pemimpin perempuan baik pada level nasional maupun local. Meskipun terdapat perbedaan pendapat bahkan pertentangan, akan tetapi kenyataannya kehadiran perempuan dalam ruang public tidaklah menjadi masalah. No problem. Bu Mega pernah menjadi presiden dan sekarang ketua Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P), Bu Khofifah pernah menjadi Menteri di era Gus Dur, dan sekarang menjadi Gubernur Jawa Timur. Sebuah provinsi dengan ulama-ulama yang terkenal dan pesantren terbanyak. Bu Atut juga menjadi Gubernur Banten dan banyak sekali yang menjadi bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota dan banyak sekali perempuan yang menjadi anggota DPR/DPRD dan direktur perrusahaan maupun pejabat pemerintah.

Masyarakat Indonesia memahami bahwa teks Alqur’an tersebut tidak dijadikan sebagai halangan untuk berkarir dalam dunia public. Di dalam realitas soaial, di mana  tidak terdapat perempuan yang  memenuhi standart pemimpin dan tidak ada perempuan yang akseptabel untuk menjadi pemimpin, maka lelaki yang memiliki hak, tetapi kala ada perempuan yang memenuhi standart yang lebih tinggi untuk menjadi pemimpin, berkarir atau bekerja di ruang public, maka perempuan juga memiliki hak untuk maju bersama dalam posisi yang sama atau bahkan lebih tinggi.

Gerakan emansipasi sering dikaitkan dengan Kartini, seorang putri bangsawan  dari Jepara. Beliau memang memiliki kesadaran bahwa perempuan Indonesia harus memperoleh pendidikan yang lebih baik dan hal tersebut diungkapkannya dalam surat menyurat dengan Ny. Abendanon, seorang perempuan Belanda. Dari surat menyurat tersebut akhirnya dibukukan dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Lalu juga ada nama Dewi Sartika dari Jawa Barat, lalu Cut Nya’ Din dan Martha Christina Tiahahu, para perempuan  yang melakukan gerakan anti penjajah bahkan terlibat di dalam peperangan.

Namun demikian, sesungguhnya para perempuan di Indonesia bukanlah  orang yang  sama sekali tidak memiliki hak dan kewajiban yang melekat padanya, bahkan dalam pilihan melakukan tindakan berperang. Dengan demikian, di Indonesia tidak terdapat secara nyata tentang gender oppression dan  gender inequality. Sejauh-jauhnya adalah adanya sebagian masyarakat yang berpikir mengenai gender differention.

Masyarakat Indonesia sungguh berbeda dengan masyarakat di beberapa negara Timur Tengah, Afghanistan dan juga Pakistan yang tidak atau kurang memberikan hak kepada perempuan sebagai kodratnya yang harus diaktualisasikan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..