• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

JAGA KESEHATAN: KLINIK ADI HAYATI SELENGGARAKAN SENAM KESEHATAN

JAGA KESEHATAN: KLINIK ADI HAYATI SELENGGARAKAN SENAM KESEHATAN

Saya sungguh merasa senang sebab pada hari Ahad, 05/11/2023 dilakukan senam kesehatan oleh Klinik Adi Hayati Ruko Ketintang Surabaya, yang diikuti oleh masyarakat sekitar. Ada kira-kira 60 orang yang terlibat di dalam acara senam Kesehatan. Kebanyakan memang ibu-ibu. Ada beberapa lelaki yang terlibat di dalam senam kesehatan dimaksud. Sesuai rencana, maka senam  ini akan dilakukan dua kali dalam sebulan dan dilanjutkan  dengan penyuluhan kesahatan dan pemeriksaan gratis untuk tensi dan gula darah. Klinik ini dikelola oleh dr. Dhuhrotul Rizqiyah yang sudah selama 10  tahun lebih beroperasi.

Setelah selesai senam kemudian dilakukan acara penyuluhan kesehatan, yang dilakukan oleh dokter Dicky dari  Klinik Pratama dimaksud. Saya ternyata dilibatkan untuk memberikan ceramah dan sekaligus berdoa setelah acara penyuluhan selesai. Memanfaatkan waktu yang tersedia, maka saya memberikan ceramah tentang korelasi antara kesehatan fisik dan kesehatan jiwa atau kesehatan rohani. Keduanya memiliki keterkaitan erat antara satu dengan lainnya. Tidak dapat dipisahkan. Artinya pada fisik yang sehat maka akan terdapat jiwa yang sehat.

Nabi Muhammad SAW bersabda di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim, dua orang yang sangat dipercaya di dalam periwayatan hadits, bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “qalbun salim fi jismin salim”, yang artinya: “hati atau jiwa yang sehat terletak pada tubuh atau badan yang sehat.” Nabi Muhammad SAW begitu memperhatikan atas kesehatan fisik dan jiwa umatnya. Memperhatikan atas hadits Nabi Muhammad SAW tersebut, maka dapat dipahami bagaimana pandangan Nabi Muhammad SAW atas kesehatan badan umatnya. Pada badan yang sehat, maka akan terdapat jiwa yang sehat. Hal ini tentu dapat dipahami sebab Nabi Muhammad dan para sahabatnya pada waktu itu tidak hanya melakukan dakwah bil kalam atau dakwah melalui lesan, akan tetapi juga berdakwah bil yad atau dengan kekuatan atau melalui peperangan. Ada puluhan kali Nabi bersama sahabatnya melakukan peperangan.

Perang ini tidak dimaksudkan untuk menghancurkan umat lain, akan tetapi mengembalikan mereka ke dalam jalan yang benar. Seluruh peperangan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW disebabkan oleh pengingkaran musuh atas perjanjian yang sudah disepakati atau umat Islam diserang oleh musuhnya. Di dalam peperangan Nabi Muhammad SAW juga melarang untuk membunuh orang tua, kaum perempuan, anak-anak, merusak tempat ibadah dan juga melarang untuk merusak tumbuh-tumbuhan khususnya perkebunan kurma.

Agar badan menjadi sehat, maka dianjurkan untuk berolahraga, misalnya latihan panahan, berkuda, lari dan lainnya. Hal ini juga dipahami sebab pada masa itu, perang dilakukan secara berkelompok, ada yang berjalan kaki dan ada pasukan berkuda. Selain juga ada pasukan panah. Maka kesehatan fisik tentu sangat diperlukan untuk kepentingan peperangan dimaksud. Tetapi sesungguhnya bukan hanya untuk perang saja orang harus sehat, namun juga untuk kehidupan. Orang yang sehat badannya, maka akan dapat melakukan apa saja di dalam kehidupannya. Jika tubuh kita sehat, maka juga akan dapat beribadah dengan baik dan benar.

Manusia butuh sehat. Dengan kesehatan yang baik, maka kita akan dapat menunaikan kehidupan dengan baik. Kita bisa bekerja dengan baik, kita dapat melaksanakan tugas-tugas keseharian dengan baik, kita juga dapat rekreasi dengan baik, dan yang terpenting juga dapat melakukan ibadah dengan sempurna. Itulah makna kesehatan fisik itu. Kita semua harus berusaha untuk dapat hidup dengan sehat fisik agar kita dapat  menikmati sehat secara rohani.

Untuk sehat itu kita butuh olahraga. Apa saja yang penting olahraga. Misalnya lari, jalan kaki, bermain olah raga seperti badminton, sepak bola, bola voli, basket dan juga yang penting bergerak. Orang dianjurkan untuk jalan kaki seribu langkah. Jalan kaki seribu langkah sangat baik bagi penderita diabet dan darah tinggi. Melalui jalan, khususnya jalan pagi, maka peredaran darah akan menjadi lancar, sehingga metabolism tubuh akan menjadi baik dan lancar. Kita juga bisa melakukan senam seperti yang kita lakukan hari ini. Saya berusaha setiap hari jalan kaki. Jika tidak bisa pagi hari, maka saya lakukan sore hari. Sambil menjemput Vika dan Arfa atau Echa, maka saya usahakan untuk jalan kaki di Lembaga Pendidikan Al Muslim. Saya berkeliling di halaman sekolah, meskipun sore hari. Yang penting berkeringat.

Coba kita perhatikan, orang yang paling sering senam, bahkan bisa jadi setiap hari adalah Mbak Dinda. Coba perhatikan tubuhnya yang tampak sehat dan gerakannya lincah. Rasanya berbeda dengan saya. saya tidak rutin senam dan hanya jalan kaki, sehingga tampaknya saya kurang berotot. Bandingkan juga dengan ibu-ibu dan bapak-bapak. Maka secara lahiriyah, maka pelatih kit aitu tampak lebih sehat dibandingkan dengan kita.

Senam adalah olah raga yang murah meriah. Tidak membutuhkan banyak biaya dan peralatan. Tinggal kita hadir dan bergerak sesuai dengan irama. Apalagi jika dangdutan, maka badan akan bergerak mengikuti irama lagu yang didendangkan. Oleh karena itu, marilah kita lestarikan berolah raga agar tubuh kita menjadi sehat.

Setelah ceramah ini, saya akan berdoa. Jika saya membaca doa: Allahummarzuqna rizqan halalan thayyiban, Allahummarzuqna sihhatan wa ‘afiyatan, Allahummarzuqna ilman nafi’an, Allahummarzuqna imanan shadiqon, maka hadiran agar menyatakan Amin, maka lakukan dengan sepenuh hati. Jangan hanya di mulut tetapi diucapkan dengan lesan dan dihayati dengan hati. Semoga do akita diterima oleh Allah SWT. Amin.

Wallahu a’lam bi al shwab.

 

 

 

JADILAH KHOIRUN NAS

JADILAH KHOIRUN NAS

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Rasanya sulit dihitung seberapa banyak saya mengungkapkan tentang hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, yang penggalannya adalah “Khoirun Nas Anfa’uhum lin nas”, yang artinya: “sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia.” Jadi ukuran sebaik-baik manusia menurut Sabda Nabi Muhammad SAW adalah yang memberi manfaat terbaik bagi manusia lainnya.

Ada beberapa event yang saya harus mengungkapkan pernyataan Nabi Muhammad SAW tersebut. Misalnya pada acara wisuda sarjana atau pada acara yang memang ungkapan Nabi ini relevan untuk dijelaskan. Semenjak saya menjadi Sekretaris Kopertais Wilayah IV yang meliputi Jawa Timur, Bali, NTB dan NTT dan kemudian berlanjut menjadi Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum dan kemudian Rektor, maka ungkapan Nabi Muhammad SAW ini menjadi bagian dari yang saya sampaikan kepada para pejabat di PTAIS atau pada pimpinan dan pejabat di lingkungan IAIN atau PTAIN. Pernyataan Nabi Muhammad SAW ini menjadi kata motivasi agar kita semua melanjutkan berjuang untuk menjadi yang terbaik.

Bahkan kemarin, 29/10/2023,  dalam acara Orasi Ilmiah di STIT Raden Wijaya yang bertepatan dengan Wisuda ke 31 yang dihadiri oleh Ketua STIT, Wakil Ketua STIT, BPPT NU kota Mojokerto, Pimpinan Cabang NU Kota Mojokerto, Walikota yang diwakili oleh Kepala Dinas Kota Mojokerto, pejabat Kopertais Wil. IV, para dosen,  undangan dari PTS dan wisudawan atau wisudawati juga saya sampaikan hal ini. Bagi saya, ungkapan Nabi Muhammad SAW ini memiliki daya magnit untuk menggerakkan agar seseorang bekerja lebih baik dan semakin bermanfaat untuk orang lain, komunitas lain atau masyarakat lebih luas.

Hadits Nabi Muhammad SAW ini sebenarnya adalah potongan, sebab sebelumnya terdapat matan hadits yang juga penting untuk dituliskan dan dipahami. Sabda Nabi sebagaimana diungkpkan oleh Jabir dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang arti dalam Bahasa Indonesianya  adalah:  “Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seseorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia”.

Jika mengamati atas hadits ini, maka ada tiga hal pesan yang perlu dipahami, yaitu: pertama, orang yang beriman itu selayaknya bersikap ramah. Artinya, keimanan kita kepada Allah SWT harus menuntun kita untuk berbuat ramah, yaitu berbuat kasih sayang kepada kehidupan. tidak hanya ramah atau memberikan kasih sayang kepada diri sendiri, tetapi juga kepada umat manusia dan bahkan kepada alam. Kasih sayang  kepada umat manusia tidak hanya di dalam satu agama, satu etnis, satu golongan tetapi kasih sayang kepada semuanya. Janganlah agama menghalangi kita berbuat baik kepada orang yang berbeda agama. Janganlah orang berbeda etnis lalu tidak menyayangi etnis lainnya dan janganlah karena berbeda golongan, status social dan bahkan perbedaan politik lalu membuat kita tidak bertegur sapa. Tuhan memang menjadikan kita ini bermacam-macam suku, kebangsaan dan agama dalam variasinya, tetapi yang paling beruntung adalah orang yang paling taqwa di antara kita semua.

Kedua, jika kita tidak berkasih sayang dengan sesama manusia atau bahkan tidak menyayangi makhluk Tuhan lainnya, maka iman itu tidak ada artinya. Iman yang benar adalah iman yang di dalamnya mengandung hablum minallah atau mengabdi kepada Allah SWT, lalu menyayangi manusia dan juga alam semesta. Iman yang di dalamnya ada kebencian kepada orang atau umat lain, bahkan juga merusak tumbuh-tumbuhan dan eko system kehidupan, maka iman tersebut tidak berguna. Islam sangat mengajarkan agar sesama manusia saling mengasihi, Islam itu rahmatan lil alamin. Rahmat bagi seluruh alam. Islam mengajarkan ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan sesama umat Islam, mengajarkan ukhuwah basyariyah atau ukhuwah sesama umat manusia, dan ukhuwah wathoniyah atau persaudaraan sesama bangsa. Nabi Muhammad SAW telah memberikan contoh bagaimana Beliau menyayangi umat agama lain sedemikian mendalamnya.

Ketiga, jadilah yang terbaik dalam kebaikan yang bermanfaat bagi orang lain. Mungkin di antara kita bisa menjadi yang terbaik apalagi di era kompetitif seperti sekarang.  Banyak orang yang berebut menjadi yang terbaik. Ada banyak orang yang memenangkan kompetisi dalam berbagai level. Tetapi yang paling baik di antara mereka yang memenangkan kompetisi tersebut adalah mereka yang paling bermanfaat bagi lainnya. Misalnya, seseorang menjadi yang terbaik dalam belajar,  maka yang memenangkan untuk menjadi yang terbaik tersebut belum tentu sungguh-sungguh menjadi yang terbaik,  jika kemenangannya tersebut hanya untuk dirinya saja. Kemenangan tersebut baru bermakna jika kemenangannya tersebut bermanfaat secara social.

Melalui ungkapan Nabi Muhammad SAW tersebut berarti bahwa manusia dapat berkompetisi untuk menjadi yang terbaik dengan indicator menjadi manusia yang paling bermanfaat. Bisa saja terdapat ruang lingkup tentang kemanfaatan tersebut, misalnya menjadi yang terbaik di dalam keluarga, di dalam komunitas atau masyarakat, bahkan menjadi yang terbaik di dalam berbangsa dan bernegara.

Jika kita menjadi aktivis organisasi social keagamaan, maka kita dapat menjadi yang terbaik melalui kemanfaatan kehadiran kita di dalam organisasi dimaksud. Jika menjadi birokrat, maka seharusnya menjadi yang terbaik di dalam birokrasi pemerintahan. Menjadi birokrat yang kebijakannya dapat bermanfaat bagi masyarakat. Jika menjadi guru atau dosen, maka kita dapat menjadi yang terbaik dalam relasi kita dengan siswa atau mahasiswa dengan menjadi partner yang terbaik dalam transformasi ilmu pengetahuan agar siswa atau mahasiswa menjadi orang yang kompeten,  kompetitif dan berakhlakul karimah.

Kita didorong oleh Nabi Muhammad SAW untuk menjadi manusia yang terbaik dan bermanfaat bagi orang lain, sebab hanya dengan menjadi seperti ini, maka dunia yang diharapkan menjadi rumah terbaik bagi umat manusia akan bisa direalisasikan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

 

JIHAD: DIKSI APA INI?

JIHAD: DIKSI APA INI?

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Pengajian pada Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) pagi itu menarik, 18/10/23, sebab membicarakan tentang jihad yang selama ini menjadi kata yang debatable dalam konteks keumatan, kebangsaan dan kenegaraan. Bahkan kata jihad tersebut nyaris tidak digunakan pada era Presiden Soeharto, dikarena ada tudingan makar dari satu kelompok yang dilabel sebagai “Komando Jihad”. Akibatnya diksi jihad termasuk konsep yang maunya dihilangkan dari khazanah Bahasa Indonesia. Termasuk khutbah pun juga jarang yang mengungkap tentang jihad.

Kata Jihad menjadi mengedepan lagi seirama dengan era keterbukaan dan demokratisasi, sehingga kata jihad bisa kembali menjadi khazanah Bahasa Arab yang diindonesiakan. Bahkan kata jihad sudah menjadi bagian dari Bahasa Indonesia, sehingga kalau di dalam tulisan ilmiah tidak lagi harus dicetak miring. Artinya jihad sudah menjadi bahasa serapan yang diakui di dalam khazanah kamus Bahasa.

Saya membahas tentang Jihad berdasarkan Kitab Minhajul Muslim (diterbitkan oleh Universitas Muhammadiyah Malang, 2014) yang ditulis oleh Abu Bakar Jabir Al Jazairi. Seorang ulama Timur Tengah atau Aljazair, yang pembahasannya relative tekstual. Artinya yang dijelaskan merupakan terjemahan atas teks di dalam Alqur’an atau Alhadits. Sebagaimana ulama Timur Tengah lainnya, maka di dalam tulisan ini juga diperkuat dengan dalil yang menjadi dasar atas pemahamannya mengenai apa yang dibicarakan. Tidak ada pembahasan yang mendasar tentang apa yang dibahasnya.

Abu Bakar Jabir Al Jazairi menyatakan bahwa hukum jihad adalah wajib kifayah, artinya jika sudah ada orang yang melakukannya maka tidak wajib bagi lainnya. Maka ada sebagian yang pergi berjihad dan sebagian yang mencari ilmu pengetahuan. Namun jihad menjadi wajib jika orang sudah ditunjuk oleh pemimpin untuk melakukan jihad.

Saya memberikan komentar bahwa di dalam konteks ini, maka orang berjihad dengan melakukan bom bunuh diri menjadi wajib. Semua orang yang terpapar virus radikalisme merasa wajib berjihad di dalam kerangka untuk membela keyakinannya meskipun dengan menghilangkan nyawanya sendiri dan juga nyawa orang lain. Sama halnya dengan keyakinan kaum Salafi, bahwa membidh’ahkan dan mengkafirkan orang lain adalah amar ma’ruf nahi mungkar. Kapan dan di mana saja jika melihat yang tidak sesuai dengan pemahaman agamanya harus dilawan, karena perintah tersebut diyakini sebagai kewajiban.

Menurut Al Jazairi, bahwa jihad memiliki beberapa jenis, yaitu: pertama, jihad memerangi orang kafir yang menyerang terhadap orang islam. Sabda Rasulullah  yang dijadikan sebagai dasarnya adalah: “jahidul musyrikina bi amwalikum wa anfusikum” yang artinya: “perangilah orang-orang musyrik dengan harta, jiwa dan lidahmu”. Kedua, jihad memerangi orang fasik, yaitu orang yang mendustakan ajaran agama, dan harus dilakukan jihad tersebut dengan tangan, dengan lidahnya atau dengan berdoa. Dalilnya adalah Sabda Rasulullah: “man ra’a minkum munkaran fal yughayyirhu biyadihi, fain lam yastathi’ fa bilisanihi fain lam yastathi’ fa biqalbihi”. Yang artinya: “barang siapa yang melihat kemungkaran maka hendaklah merubah dengan tangannya, dan jika tidak bisa maka dengan lesannya, dan jika tidak bisa maka hendaknya dengan berdoa”. Ketiga, memerangi setan, yaitu dengan  menjauhkan diri dari hal-hal yang syubhat dan menjauhkan dari kecenderungan syahwat. Dalinya adalah ayat Alqur’an: “innasyaithona  lakum ‘aduwwun fattakhidzuhu ‘aduwwun”, yang artinya: “sesungguhnya setan adalah musuh kalian, maka anggaplah sebagai musuh”. Keempat, jihad memerangi hawa nafsu, yaitu jihad terhadap nafsu amarah dan nafsu lawwamah untuk menuju kepada nafsu muthmainnah.

Menurut Al Jazairi, maka jihad lebih dekat pengertiannya dengan perang atau memerangi. Misalnya perang terhadap orang kafir atau orang musyrik dan orang fasiq. Semua dianggapnya perang. Dan sebagaimana ulama Timur Tengah lainnya, maka tidaklah dibahas di dalam Bab Jihad ini dengan penjelasan yang lebih mendalam misalnya tentang bagaimana relasi antara suatu masyarakat atau negara yang di dalamnya terdapat berbagai keyakinan keagamaan. Inilah sesungguhnya problem mendasar di dalam makna jihad, yang tidak sekedar memerangi dan memerangi, akan tetapi juga bagaimana memberi makna bahwa jihad tersebut untuk kedamaian atau peacefull jihad.

Jika jihad hanya dimaknai sebagai perang atau memerangi, maka di dunia ini tidak ada kedamaian. Isi dunia hanya perang dan perang. Jadi yang juga diperlukan adalah jihad untuk memerangi hawa nafsu untuk berperang. Berperang hanya bisa dilakukan sebagaimana yang terjadi di Palestina, yang memang jihad harus dimaknai sebagai perang. Inilah yang barangkali bisa dimaknai sebagai harakah ijtihadiyah atau gerakan jihad. Memang tidak ada lain artinya kecuali seperti itu. Namun demikian, bagi sebuah wilayah atau negara yang damai dan tenteram, masyarakatnya meskipun berbeda keyakinan dan agama tetapi mengembangkan hidup yang rukun, maka jihad tidak harus dimaknai sebagai perang. Jihad dapat dimaknai sebagai upaya membangun kebersamaan dalam kehidupan tetapi bukan kebersamaan dalam keyakinan.

Sebagai contoh adalah Indonesia. Negeri ini aman dan damai, antar pemeluk agama menjaga kerukunan dan keharmonisan di dalam kehidupan. Yang Islam aman datang ke masjid untuk ibadah. Yang Nasrani datang ke gereja untuk ibadah dengan aman. Yang Hindu dan Buddha juga pergi ke tempat ibadahnya dengan aman. Maka yang seperti ini tidak mengharuskan makna jihad sebagai perang, akan tetapi jihad berarti menjaga kerukunan sebagai sesama umat manusia. Tidak dikembangkan ukhuwah ashabiyah sebagaimana  pemaknaan bahwa yang Muslim saja karena berbeda paham keagamaannya harus diperangi, apalagi yang berbeda agamanya. Bagi kelompok ini, kebenaran itu mutlak bagi kelompoknya dan tidak ada kebenaran bagi kelompok lainnya.

Oleh karena itu, kala kita membaca atas kitab-kitab karya ulama yang mengembangkan makna jihad hanya perang, maka kita tentu harus bersikap membangun kearifan di dalam kerangka untuk memahami bahwa dunia ini memang diciptakan oleh Tuhan dengan berbagai suku bangsa, dan bahkan keyakinan. Makanya kita harus mengembangkan tidak hanya ukhuwah Islamiyah tetapi juga ukhuwah basyariyah.

Wallahu a’lam bi al shawab.

ISLAM, FILSAFAT JAWA DAN WALISONGO

ISLAM, FILSAFAT JAWA DAN WALISONGO

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Ada yang menarik di dalam perbincangan pengajian Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya. 17/10/2023. Seperti biasanya pengajian dilakukan bada Shubuh dalam durasi waktu 90 menit. Jam 5.30 harus selesai sebab yang mengikuti acara adalah individu yang masih aktif di dalam dunia kerja, baik sebagai ASN maupun pekerja bisnis. Jika pada hari lainnya diselenggarakan acara tahsinan, maka khusus pada hari Selasa dilakukan kegiatan pengajian khusus, dan saya dipercaya untuk memantik diskusi dari peserta pengajian. Sungguh pengajian yang sangat interaktif.

Saya membawakan tema tentang “jihad” sebagaimana penafsiran yang dilakukan oleh Abu Bakar Jabir Al Jaziri di dalam kitabnya “Minhajul Muslimin” atau “Jalan menempuh kehidupan Muslim”.

Tibalah saatnya membicarakan tentang jihad dalam bentuk memerangi terhadap kaum  musyrikin dan kaum fasiq. Di dalam kitab ini sebagaimana tulisan ulama Timur Tengah, maka pendekatannya tentu saja tekstual. Dibahas apa saja jenisnya kemudian didasarkan pada teks Islam, baik dari Alqur’an maupun Al hadits. Maka saya jelaskan terkait dengan konteks “memerangi” itu seperti apa terhadap sebuah negara yang aman dan damai padahal di dalamnya terdapat juga berbagai varian keberagamaan masyarakatnya. Ada yang Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu dan bahkan para penganut aliran kepercayaan/kebatinan. Saya jelaskan tentang bagaimana para walisongo di masa lalu memperkenalkan Islam ke tlatah Jawa tidak pertama-tama lalu perang, akan tetapi dilakukannya secara gradual. Dari dakwah individual ke organisasional ke negara.

Pak Mulyanta menyatakan di dalam bahasannya bahwa di dalam tradisi Jawa terdapat ungkapan yang menarik untuk dijadikan sebagai perbandingan antara jihad dengan perang dan jihad tidak melalui perang. Ungkapan tersebut adalah: “nglurug tanpo bolo, menang tanpa ngasorake dan mulat sariro angroso wani”.  Ungkapan Jawa ini  menggambarkan tentang berperang sendirian tanpa bala bantuan, artinya berperang tetapi dengan menggunakan strategi tanpa kekerasan. Karenanya yang dikalahkan juga tidak merasa kalah. Dan jika kemudian terpaksa harus melakukannya dalam bentuk perang, maka yang terpenting adalah melihat kemampuan diri dan kawan-kawannya. Jika sudah siap dengan segala sesuatunya, maka hal itu baru bisa dilakukan. Nglurug tanpo bolo artinya perang tanpa melibatkan orang lain, kawan atau bala tentara. Menang tanpa ngasorake berarti memenangkan pertarungan dengan musuh yang musuhnya tidak merasa  dikalahkan. Mulat sariro angroso wani artinya melihat kemampuan diri dan baru melakukan suatu tindakan.

Ungkapan ini yang digunakan para walisongo  di dalam Islamisasi di Jawa. Para waliyullah itu tidak datang untuk  menaklukkan. Tidak datang dengan wadyabala yang berkekuatan hebat. Tidak datang dengan senjata dan strategi perang. Tidak datang dengan membawa kesengsaraan untuk orang yang didatangi. Tetapi yang dilakukan adalah dengan datang secara individual. Para pedagang Arab dan kaum tasawuf datang di pesisir Jawa dengan sendirinya. Jika pun datang dengan kelompok, maka mereka datang dengan rasa damai. Mereka itu datang dan pergi.

Wilayah Nusantara adalah jalur sutra yang menghubungkan Timur Tengah, Malabar atau Gujarat India, Nusantara, China dan sebaliknya. Mereka itu datang di Nusantara dalam beberapa pekan, bahkan ada di antaranya yang menikah dengan penduduk asli. Merekalah yang membuka pintu masuknya Islam di Nusantara dan menjadikan masyarakat Nusantara sebagai sasaran dakwahnya. Aktivitas dakwah tersebut dilakukan dengan cara membangun keharmonisan, kerukunan dan perdamaian.

Setelah dirasakan bahwa masyarakat telah menjadi bagian dari ajaran agamanya, dan dirasakan perlu pengorganisasian, maka kemudian hadirlah organisasi yang kemudian disebut sebagai “walisongo”. Organisasi ini juga memiliki pimpinan atau yang dianggap patron, misalnya Kanjeng Sunan Ampel. Lalu dilanjutkan dengan Sunan Giri, lalu Sunan Bonang, lalu Sunan Drajad, Sunan Kalijaga  dan seterusnya. Lewat organisasi inilah maka dakwah menjadi lebih efektif dan masing-masing memiliki penugasan atas wilayah yang menjadi medan dakwahnya. Misalnya Sunan Giri memiliki medan dakwah sampai ke Ternate, Sunan Bonang sampai ke Mataram, Sunan Bonang sampai di Bawean dan sebagainya. Melalui organisasi ini, maka di Tuban pada awal abad ke 17 sudah terdapat para waliyullah yang berdakwah di pedesaan Tuban.

Jika kemudian pada tahap berikutnya melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Majapahit tentu hal itu dilakukan setelah secara fisikal dan mental memiliki kemampuan untuk melawan. Di dalam peperangan antara Majapahit melawan Demak, maka Raden Fatah yang dibantu oleh para waliyullah akhirnya memenangkan pertarungan. Hal ini tentu terkait dengan kerajaan Majapahit yang sudah mengalami kemunduran sehingga dapat dikalahkan oleh Demak dengan support dari para waliyullah. Akhirnya, kejayaan  Majapahit berakhir pada tahun 1478. Kerto ilang sirnaning bumi.

Jadi, prinsip kehidupan orang Jawa tersebut ternyata telah diaplikasikan oleh para waliyullah yang dengan kearifannya dapat mengislamkan masyarakat Nusantara sehingga masyarakat Nusantara akhirnya bisa menjadi Islam. Kolaborasi antara tradisi Islam dan Tradisi local akhirnya membentuk Tradisi Islam local.

Wallahu a’lam bi al shawab.

BURUNG ABABIL VS TENTARA ABRAHAH: KEKUASAAN ALLAH VS KEKUATAN MANUSIA

BURUNG ABABIL VS TENTARA ABRAHAH: KEKUASAAN ALLAH VS KEKUATAN MANUSIA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Kisah tentang Burung Ababil versus Tentara Abrahah dinashkan di dalam Alqur’an, Surat Al Fil yang menggambarkan bagaimana kisah tentara Abrahah yang akan menghancurkan Ka’bah. Jumlah mereka sangat banyak dengan senjata yang modern pada zamannya. Tentara Abrahah tentu saja dibekali dengan perlengkapan yang cukup, baik dari peralatan perang sampai bahan makanan. Selain itu juga pasukan gajah yang sangat terlatih di dalam medan pertempuran. Mereka sangat yakin bahwa di dalam serangan ini dipastikan pasukan Abrahah akan dapat menghancurkan Ka’bah yang merupakan symbol dari agama Hanif yang dinisbahkan kepada Nabi Ibrahim As.

Begitu mendengar akan terjadinya serangan Raja Abrahah, maka pimpinan Quraisy menjadi panik. Mereka sudah mendengar akan kedigdayaan tentara gajah yang akan menyerang lambang kesucian kaum Quraisy, Ka’bah.  Mereka akan melawan tetapi sudah membayangkan kekalahannya. Maklumlah Raja Abrahah dari Yaman itu sangat terkenal di dunia Timur Tengah sebagai pemilik tentara gajah yang sangat digdaya. Artinya, kaum Quraisy dan seluruh suku yang terlibat di dalamnya sebenarnya sudah tidak mau untuk berperang melawan tentara Gajah tersebut. Di dalam penyerangan atas Ka’bah ini, Abrahah dibantu oleh Raja Najasyi dengan mengirimkan gajah-gajah terbaiknya. Ada delapan atau 12 gajah yang diperbantukan untuk menghancurkan ka’bah.

Tantara Gajah sudah mendekati Mekkah. Mereka sudah sampai di perbatasan Mina dan Muzdalifah. Jaraknya sudah sangat dekat dengan Ka’bah. Kepanikan melanda seluruh penduduk Mekkah karena membayangkan apa yang akan dialaminya di dalam peperangan melawan tentara gajah yang sudah diketahui kehebatannya dalam berperang.  Namun yang terjadi di luar nalar mereka, sebab tantara Gajah lalu pada tewas diserang oleh segerombolan burung.

Kehancuran tentara Gajah tersebut diceritakan berada di suatu lembah yang dinamakan Wadi Muhassir yang terletak di perbatasan antara Muzdalifah dan Mina. Pada suatu ketika, Nabi Muhammad SAW berhaji ke Mekkah, maka kala Beliau sampai di sini, maka seluruh peserta haji diminta untuk mempercepat langkahnya, sebab tanah itu menjadi saksi bisu akan kehancuran Abrahah dan tentaranya karena serangan burung Ababil yang di parohnya terdapat batu-batu kecil dari neraka sehingga batu-batu yang dijatuhkan oleh burung tersebut membuat tentara Abrahah harus mati secara meyakinkan.

Niat untuk menghancurkan ka’bah sebenarnya dipicu oleh keinginan Abrahah untuk menjadikan gereja yang didirikannya agar menjadi tempat ibadah bagi penganut agama-agama. Abrahah membuat gereja yang besar dan megah. Namun demikian, masyarakat masih lebih cenderung untuk mendatangi Ka’bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS. Merasa upayanya sia-sia, maka Abrahah lalu melakukan tipu daya untuk menghancurkan Ka’bah. Dengan kehancuran Ka’bah, maka orang akan pergi ke Yaman mengunjungi Gereja Abrahah.

Sebagaimana yang kita baca, bahwa di saat Abdul Muthalib kakek Nabi Muhammad SAW bertemu dengan Abrahah, maka Abdul Muthalib meminta kembali untanya yang dirampok oleh tentara Abrahah, akan tetapi ditolak oleh Abrahah, sebab yang akan diminta adalah Ka’bah, maka Abdul Muthalib menyatakan: “saya minta unta itu karena unta itu adalah milikku, sedangkan ka’bah adalah milik Allah. Biar Allah yang akan memertahankan ka’bah miliknya itu”. Tatkala Abrahah dan bala tentaranya sampai di Wadi Muhassir, maka tiba-tiba gajah dan tentaranya menjadi lemas. Mereka terkena batu-batu kecil yang dilemparkan oleh burung-burung yang membawa kerikil kecil dari batu panas dari neraka. Burung itulah yang kemudian dikenal sebagai Burung Ababil.

Hal ini sebagaimana diceritakan di dalam Surat Al Fil, ayat 1-5. Ayat tersebut adalah: “Alam tara kaifa fa’ala rabbuka bi ashhabil fil. Alam yaj’al kaidahum fi tadhlil.  Wa arsala ‘alaihim thairan ababil. Tarmihim bihijarathim min sijjil. Fa ja’alahum ka ashfim ma’kul”. Yang artinya: “Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara gajah. Bukankah mereka telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka’bah) itu sia-sia. Dan dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong. Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar. Lalu menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).

Ayat ini merupakan bukti historis tentang kejadian di masa lalu yang bisa dibuktikan kebenarannya, yaitu peristiwa penyerangan Raja Abrahah dengan tentara gajahnya. Sejauh ini saya  belum mendapatkan bukti artefaknya, misalnya tulang belulang gajah-gajah yang mati di Lembah Muhassis. Tetapi bisa saja sudah ada penelitian yang membuktikannya, namun saya tidak mengetahuinya. Jika dihitung dengan tahun, maka serangan tersebut dilakukan pada tahun di mana Rasulullah Muhammad SAW dilahirkan. Yaitu pada tahun 571 M. Nabi Muhammad SAW memang dilahirkan pada Hari Senin, 12 Rabiul Awal Tahun Gajah atau di dalam kalender Masihiyah tahun 571.

Tulisan ini lahir dari acara tahsinan Alqur’an yang sudah mendekati selesai. Sudah sampai pada surat Al Fil (15/10/23). Mungkin dalam pekan-pekan depan akan selesai. Saya bersyukur bahwa program tahsinan di Masjid Al Ihsan ini terus berlangsung dan semoga menjadi bukti atas keterlibatan kita semua dalam melestarikan bacaan Alqur’an yang benar, dan sekaligus juga memperoleh pahala dan keridlaan Allah SWT.

Wallahu a’lam bi al shawab.