ISLAM, FILSAFAT JAWA DAN WALISONGO
ISLAM, FILSAFAT JAWA DAN WALISONGO
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Ada yang menarik di dalam perbincangan pengajian Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya. 17/10/2023. Seperti biasanya pengajian dilakukan bada Shubuh dalam durasi waktu 90 menit. Jam 5.30 harus selesai sebab yang mengikuti acara adalah individu yang masih aktif di dalam dunia kerja, baik sebagai ASN maupun pekerja bisnis. Jika pada hari lainnya diselenggarakan acara tahsinan, maka khusus pada hari Selasa dilakukan kegiatan pengajian khusus, dan saya dipercaya untuk memantik diskusi dari peserta pengajian. Sungguh pengajian yang sangat interaktif.
Saya membawakan tema tentang “jihad” sebagaimana penafsiran yang dilakukan oleh Abu Bakar Jabir Al Jaziri di dalam kitabnya “Minhajul Muslimin” atau “Jalan menempuh kehidupan Muslim”.
Tibalah saatnya membicarakan tentang jihad dalam bentuk memerangi terhadap kaum musyrikin dan kaum fasiq. Di dalam kitab ini sebagaimana tulisan ulama Timur Tengah, maka pendekatannya tentu saja tekstual. Dibahas apa saja jenisnya kemudian didasarkan pada teks Islam, baik dari Alqur’an maupun Al hadits. Maka saya jelaskan terkait dengan konteks “memerangi” itu seperti apa terhadap sebuah negara yang aman dan damai padahal di dalamnya terdapat juga berbagai varian keberagamaan masyarakatnya. Ada yang Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu dan bahkan para penganut aliran kepercayaan/kebatinan. Saya jelaskan tentang bagaimana para walisongo di masa lalu memperkenalkan Islam ke tlatah Jawa tidak pertama-tama lalu perang, akan tetapi dilakukannya secara gradual. Dari dakwah individual ke organisasional ke negara.
Pak Mulyanta menyatakan di dalam bahasannya bahwa di dalam tradisi Jawa terdapat ungkapan yang menarik untuk dijadikan sebagai perbandingan antara jihad dengan perang dan jihad tidak melalui perang. Ungkapan tersebut adalah: “nglurug tanpo bolo, menang tanpa ngasorake dan mulat sariro angroso wani”. Ungkapan Jawa ini menggambarkan tentang berperang sendirian tanpa bala bantuan, artinya berperang tetapi dengan menggunakan strategi tanpa kekerasan. Karenanya yang dikalahkan juga tidak merasa kalah. Dan jika kemudian terpaksa harus melakukannya dalam bentuk perang, maka yang terpenting adalah melihat kemampuan diri dan kawan-kawannya. Jika sudah siap dengan segala sesuatunya, maka hal itu baru bisa dilakukan. Nglurug tanpo bolo artinya perang tanpa melibatkan orang lain, kawan atau bala tentara. Menang tanpa ngasorake berarti memenangkan pertarungan dengan musuh yang musuhnya tidak merasa dikalahkan. Mulat sariro angroso wani artinya melihat kemampuan diri dan baru melakukan suatu tindakan.
Ungkapan ini yang digunakan para walisongo di dalam Islamisasi di Jawa. Para waliyullah itu tidak datang untuk menaklukkan. Tidak datang dengan wadyabala yang berkekuatan hebat. Tidak datang dengan senjata dan strategi perang. Tidak datang dengan membawa kesengsaraan untuk orang yang didatangi. Tetapi yang dilakukan adalah dengan datang secara individual. Para pedagang Arab dan kaum tasawuf datang di pesisir Jawa dengan sendirinya. Jika pun datang dengan kelompok, maka mereka datang dengan rasa damai. Mereka itu datang dan pergi.
Wilayah Nusantara adalah jalur sutra yang menghubungkan Timur Tengah, Malabar atau Gujarat India, Nusantara, China dan sebaliknya. Mereka itu datang di Nusantara dalam beberapa pekan, bahkan ada di antaranya yang menikah dengan penduduk asli. Merekalah yang membuka pintu masuknya Islam di Nusantara dan menjadikan masyarakat Nusantara sebagai sasaran dakwahnya. Aktivitas dakwah tersebut dilakukan dengan cara membangun keharmonisan, kerukunan dan perdamaian.
Setelah dirasakan bahwa masyarakat telah menjadi bagian dari ajaran agamanya, dan dirasakan perlu pengorganisasian, maka kemudian hadirlah organisasi yang kemudian disebut sebagai “walisongo”. Organisasi ini juga memiliki pimpinan atau yang dianggap patron, misalnya Kanjeng Sunan Ampel. Lalu dilanjutkan dengan Sunan Giri, lalu Sunan Bonang, lalu Sunan Drajad, Sunan Kalijaga dan seterusnya. Lewat organisasi inilah maka dakwah menjadi lebih efektif dan masing-masing memiliki penugasan atas wilayah yang menjadi medan dakwahnya. Misalnya Sunan Giri memiliki medan dakwah sampai ke Ternate, Sunan Bonang sampai ke Mataram, Sunan Bonang sampai di Bawean dan sebagainya. Melalui organisasi ini, maka di Tuban pada awal abad ke 17 sudah terdapat para waliyullah yang berdakwah di pedesaan Tuban.
Jika kemudian pada tahap berikutnya melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Majapahit tentu hal itu dilakukan setelah secara fisikal dan mental memiliki kemampuan untuk melawan. Di dalam peperangan antara Majapahit melawan Demak, maka Raden Fatah yang dibantu oleh para waliyullah akhirnya memenangkan pertarungan. Hal ini tentu terkait dengan kerajaan Majapahit yang sudah mengalami kemunduran sehingga dapat dikalahkan oleh Demak dengan support dari para waliyullah. Akhirnya, kejayaan Majapahit berakhir pada tahun 1478. Kerto ilang sirnaning bumi.
Jadi, prinsip kehidupan orang Jawa tersebut ternyata telah diaplikasikan oleh para waliyullah yang dengan kearifannya dapat mengislamkan masyarakat Nusantara sehingga masyarakat Nusantara akhirnya bisa menjadi Islam. Kolaborasi antara tradisi Islam dan Tradisi local akhirnya membentuk Tradisi Islam local.
Wallahu a’lam bi al shawab.