JIHAD: DIKSI APA INI?
JIHAD: DIKSI APA INI?
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Pengajian pada Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) pagi itu menarik, 18/10/23, sebab membicarakan tentang jihad yang selama ini menjadi kata yang debatable dalam konteks keumatan, kebangsaan dan kenegaraan. Bahkan kata jihad tersebut nyaris tidak digunakan pada era Presiden Soeharto, dikarena ada tudingan makar dari satu kelompok yang dilabel sebagai “Komando Jihad”. Akibatnya diksi jihad termasuk konsep yang maunya dihilangkan dari khazanah Bahasa Indonesia. Termasuk khutbah pun juga jarang yang mengungkap tentang jihad.
Kata Jihad menjadi mengedepan lagi seirama dengan era keterbukaan dan demokratisasi, sehingga kata jihad bisa kembali menjadi khazanah Bahasa Arab yang diindonesiakan. Bahkan kata jihad sudah menjadi bagian dari Bahasa Indonesia, sehingga kalau di dalam tulisan ilmiah tidak lagi harus dicetak miring. Artinya jihad sudah menjadi bahasa serapan yang diakui di dalam khazanah kamus Bahasa.
Saya membahas tentang Jihad berdasarkan Kitab Minhajul Muslim (diterbitkan oleh Universitas Muhammadiyah Malang, 2014) yang ditulis oleh Abu Bakar Jabir Al Jazairi. Seorang ulama Timur Tengah atau Aljazair, yang pembahasannya relative tekstual. Artinya yang dijelaskan merupakan terjemahan atas teks di dalam Alqur’an atau Alhadits. Sebagaimana ulama Timur Tengah lainnya, maka di dalam tulisan ini juga diperkuat dengan dalil yang menjadi dasar atas pemahamannya mengenai apa yang dibicarakan. Tidak ada pembahasan yang mendasar tentang apa yang dibahasnya.
Abu Bakar Jabir Al Jazairi menyatakan bahwa hukum jihad adalah wajib kifayah, artinya jika sudah ada orang yang melakukannya maka tidak wajib bagi lainnya. Maka ada sebagian yang pergi berjihad dan sebagian yang mencari ilmu pengetahuan. Namun jihad menjadi wajib jika orang sudah ditunjuk oleh pemimpin untuk melakukan jihad.
Saya memberikan komentar bahwa di dalam konteks ini, maka orang berjihad dengan melakukan bom bunuh diri menjadi wajib. Semua orang yang terpapar virus radikalisme merasa wajib berjihad di dalam kerangka untuk membela keyakinannya meskipun dengan menghilangkan nyawanya sendiri dan juga nyawa orang lain. Sama halnya dengan keyakinan kaum Salafi, bahwa membidh’ahkan dan mengkafirkan orang lain adalah amar ma’ruf nahi mungkar. Kapan dan di mana saja jika melihat yang tidak sesuai dengan pemahaman agamanya harus dilawan, karena perintah tersebut diyakini sebagai kewajiban.
Menurut Al Jazairi, bahwa jihad memiliki beberapa jenis, yaitu: pertama, jihad memerangi orang kafir yang menyerang terhadap orang islam. Sabda Rasulullah yang dijadikan sebagai dasarnya adalah: “jahidul musyrikina bi amwalikum wa anfusikum” yang artinya: “perangilah orang-orang musyrik dengan harta, jiwa dan lidahmu”. Kedua, jihad memerangi orang fasik, yaitu orang yang mendustakan ajaran agama, dan harus dilakukan jihad tersebut dengan tangan, dengan lidahnya atau dengan berdoa. Dalilnya adalah Sabda Rasulullah: “man ra’a minkum munkaran fal yughayyirhu biyadihi, fain lam yastathi’ fa bilisanihi fain lam yastathi’ fa biqalbihi”. Yang artinya: “barang siapa yang melihat kemungkaran maka hendaklah merubah dengan tangannya, dan jika tidak bisa maka dengan lesannya, dan jika tidak bisa maka hendaknya dengan berdoa”. Ketiga, memerangi setan, yaitu dengan menjauhkan diri dari hal-hal yang syubhat dan menjauhkan dari kecenderungan syahwat. Dalinya adalah ayat Alqur’an: “innasyaithona lakum ‘aduwwun fattakhidzuhu ‘aduwwun”, yang artinya: “sesungguhnya setan adalah musuh kalian, maka anggaplah sebagai musuh”. Keempat, jihad memerangi hawa nafsu, yaitu jihad terhadap nafsu amarah dan nafsu lawwamah untuk menuju kepada nafsu muthmainnah.
Menurut Al Jazairi, maka jihad lebih dekat pengertiannya dengan perang atau memerangi. Misalnya perang terhadap orang kafir atau orang musyrik dan orang fasiq. Semua dianggapnya perang. Dan sebagaimana ulama Timur Tengah lainnya, maka tidaklah dibahas di dalam Bab Jihad ini dengan penjelasan yang lebih mendalam misalnya tentang bagaimana relasi antara suatu masyarakat atau negara yang di dalamnya terdapat berbagai keyakinan keagamaan. Inilah sesungguhnya problem mendasar di dalam makna jihad, yang tidak sekedar memerangi dan memerangi, akan tetapi juga bagaimana memberi makna bahwa jihad tersebut untuk kedamaian atau peacefull jihad.
Jika jihad hanya dimaknai sebagai perang atau memerangi, maka di dunia ini tidak ada kedamaian. Isi dunia hanya perang dan perang. Jadi yang juga diperlukan adalah jihad untuk memerangi hawa nafsu untuk berperang. Berperang hanya bisa dilakukan sebagaimana yang terjadi di Palestina, yang memang jihad harus dimaknai sebagai perang. Inilah yang barangkali bisa dimaknai sebagai harakah ijtihadiyah atau gerakan jihad. Memang tidak ada lain artinya kecuali seperti itu. Namun demikian, bagi sebuah wilayah atau negara yang damai dan tenteram, masyarakatnya meskipun berbeda keyakinan dan agama tetapi mengembangkan hidup yang rukun, maka jihad tidak harus dimaknai sebagai perang. Jihad dapat dimaknai sebagai upaya membangun kebersamaan dalam kehidupan tetapi bukan kebersamaan dalam keyakinan.
Sebagai contoh adalah Indonesia. Negeri ini aman dan damai, antar pemeluk agama menjaga kerukunan dan keharmonisan di dalam kehidupan. Yang Islam aman datang ke masjid untuk ibadah. Yang Nasrani datang ke gereja untuk ibadah dengan aman. Yang Hindu dan Buddha juga pergi ke tempat ibadahnya dengan aman. Maka yang seperti ini tidak mengharuskan makna jihad sebagai perang, akan tetapi jihad berarti menjaga kerukunan sebagai sesama umat manusia. Tidak dikembangkan ukhuwah ashabiyah sebagaimana pemaknaan bahwa yang Muslim saja karena berbeda paham keagamaannya harus diperangi, apalagi yang berbeda agamanya. Bagi kelompok ini, kebenaran itu mutlak bagi kelompoknya dan tidak ada kebenaran bagi kelompok lainnya.
Oleh karena itu, kala kita membaca atas kitab-kitab karya ulama yang mengembangkan makna jihad hanya perang, maka kita tentu harus bersikap membangun kearifan di dalam kerangka untuk memahami bahwa dunia ini memang diciptakan oleh Tuhan dengan berbagai suku bangsa, dan bahkan keyakinan. Makanya kita harus mengembangkan tidak hanya ukhuwah Islamiyah tetapi juga ukhuwah basyariyah.
Wallahu a’lam bi al shawab.