• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

FUNGSI KESABARAN: HIDUPLAH DENGAN SABAR

FUNGSI KESABARAN: HIDUPLAH DENGAN SABAR

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Saya akan mengulas khutbah yang  disampaikan oleh  Dr. KH. Cholil Umam di Masjid Al Ihsan, Jum’at 17 November 2023. Saya harus mengapresiasi khutbah tersebut karena sarat dengan petuah untuk melakukan kebaikan, terutama dalam kaitannya dengan bagaimana kita berupaya untuk membangun kesabaran.

Sabar merupakan sikap dan tindakan yang menunjukkan kapasitas diri kita di dalam menghadapi kehidupan yang kompleks. Bisa dalam kaitannya dengan diri sendiri, keluarga, orang lain dan kamunitas atau masyarakat. Sesungguhnya Islam sangat mengharapkan agar umat Islam menjadi orang yang sabar. Yakni orang yang mampu memahami bahwa kehidupan memang tidak hanya yang nikmat saja tetapi juga ada kalanya yang tidak enak. Ada kalanya kita dapat  menikmati kehidupan dan ada kalanya kita tidak bisa menikmati kehidupan. oleh karena dengan resep kesabaran, maka yang enak tetap menjadi enak dan yang kurang enak harus disadari bahwa kehidupan selalu mengandung dua sisi, yaitu senang atau susah, sedih atau gembira, sabar atau marah, nikmat atau tidak nikmat.

Dua sisi kehidupan ini memang ditakdirkan oleh Allah untuk kehidupan manusia. Tidak ada satu manusiapun di dunia ini yang tidak mengalami dua sisi kehidupan tersebut. Baik itu orang kaya maupun miskin, baik orang berkecukupan atau berkekurangan. Sekaya apapun manusia itu, maka dia pasti akan mengalami dua hal tersebut. Pada suatu ketika dipastikan akan mengalaminya. Orang kaya akan mengalami masalah, orang miskin juga mengalami masalah dan orang sehat juga bisa mengalami sakit. Apapun sakitnya, misalnya hanya sekedar batuk atau flu. Jadi, hakikat kemanusiaan selalu berada di dalam dua sisi kehidupan yang pasti akan dialaminya.

Sebagaimana biasanya,  saya akan menuliskan khutbah tersebut di dalam dua  aspek mendasar, yaitu: Pertama, manusia sesungguhnya diberikan oleh Allah potensi untuk bersabar. Dengan kekuatan hati nuraninya, maka manusia bisa melakukan kesabaran. Manusia tidak hanya memiliki nafsu  amarah atau nafsu yang bersifat hewani atau nafsu yang hanya mementingkan diri sendiri atau ingin menguasai segalanya berbasis pada kekuatan akalnya, akan tetapi manusia juga diberikan kekuatan atau potensi untuk nafsu muthmainnah atau nafsu yang tenang, tidak tergesa-gesa, nafsu yang sadar mana yang baik dan mana yang benar, dan mana yang salah dan tidak bermanfaat. Berbekal pada nafsu amarah maka manusia bisa menjadi pemarah, berbekal pada nafsu mutmainnah maka manusia menjadi pengendali diri dari kemarahan. Manusia akan menjadi sabar atau mengekang nafsunya agar tidak jatuh kepada kemarahan tetapi tetap berada di dalam keramahan.

Kedua, sabar merupakan sifat yang sangat disukai oleh Allah SWT. Di dalam konteks ini, Alqur’an menjelaskan bahwa sabar itu adalah keindahan dan Allah sangat menyukai kesabaran. Suatu cerita tentang bagaimana kesabaran itu menjadi kata kunci kehidupan adalah tentang kesabaran Nabi Ayub AS. Nabi Ayub menderita sakit sehingga banyak dilecehkan dan dibulli oleh umatnya, dinyatakannya bahwa Allah tidak lagi mencintainya, Allah sudah menutup pintu keridhaannya dan bahkan Allah sudah menutup kenabiannya. Maka, Nabi Ayub selalu berada di dalam kesabaran dan terus berdoa memohon yang terbaik dari-Nya. Maka Allah kemudian memberikan kesembuhan dan Allah menyatakan: “fashabrun jamil”, yang artinya bersabarlah karena kesabaran itu keindahan” (Surat Yusuf, ayat 18). Ada beberapa fungsi kesabaran, yaitu:

1) sabar merupakan perhiasan dunia yang paling indah. Orang yang bersabar berarti sedang berada di dalam perhiasan dunia yang indah dimaksud. Dengan kesabaran maka hal-hal yang rumit akan bisa diselesaikan. Bayangkan jika orang marah, maka semuanya menjadi salah dan yang benar adalah dirinya sendiri. Muncul sikap egois dan tidak perduli akan orang lain. Itulah sebabnya Allah menganjurkan agar kita melebihkan kesabaran. Jika kita marah hendaknya berwudlu. Air wudlu yang mengenai badan kita akan menjadi menyejuk jiwa.

2) Kesabaran merupakan kunci surga. Memang kunci surga adalah kalimat tauhid. Namun kalimat tauhid itu nyaris tidak ada manfaatnya jika orang sering marah kepada orang lain, bahkan tanpa sebab atas kemarahannya tersebut. Allah menyatakan di dalam Surat An Nahl, ayat 96, yanga artinya: “Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.

Bisa jadi bahwa kemarahan itu disebabkan oleh pekerjaan yang kurang tepat, namun alangkah indahnya jika tidak dikemas di dalam kemarahan. Kemaslah atau bungkuslah kemarahan dengan ungkapan yang menyejukkan. Pasti bisa. Janganlah pernah marah kepada orang lain di kerumunan. Jika memang harus dimarahi ungkapkan hanya berdua saja. Tetapi kala akan berakhir mintalah maaf. Maka perikaku kita akan dikenangnya. (baca Nur Syam dalam Friendly Leadership, 2018).

3) Allah membersamai orang yang sabar. Allah itu sangat menyukai orang yang sabar dan akan bersamanya di dalam mengarungi kehidupan. Allah secara khusus menyatakan: “innallah ma’ash shabirin” yang artinya: “Allah bersama orang-orang yang sabar” (Surat Al Baqarah,  ayat 153). Bukankah sebuah kebahagiaan jika kita dapat  dibersamai oleh Allah. Saya kira tidak ada kebahagiaan yang melebihi hidup bersama Allah SWT. Oleh karena itu, orang yang bersabar dipastikan akan memperoleh ridlonya Allah. Dan akibat dari ridlonya Allah adalah ganjaran surga yang akan didapatkannya.

Semoga kita dapat melakukannya dengan sepenuh kesadaran. Saya kira kita akan dapat melakukannya dengan belajar secara terus menerus dan mengingat akan besarnya pahala yang dijanjikan oleh Allah SWT.

Wallahu a’lam bi al shawab.

JADILAH SEBAIK UMAT DENGAN BELAJAR ALQUR’AN

JADILAH SEBAIK UMAT DENGAN BELAJAR ALQUR’AN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Sayyidina Usman RA, sebagai khalifah ketiga dalam khulafaur rasyidun, menyatakan berdasarkan Sabda Nabi Muhammad SAW bahwa Rasulullah pernah menyatakan : “khairukum man ta’allamal qur’ana wa ‘allamahu”, yang artinya bahwa sebaik-baik di antara kamu sekalian adalah yang belajar Alqur’an dan mengajarkannya”. Hadits ini merupakan motivasi yang sangat hebat dari Nabi Muhammad SAW agar umat Islam belajar Alqur’an.

Melalui sabda Nabi Muhammad SAW sebagaimana  yang diungkapkan oleh Sayyidina Utsman tersebut, maka umat Islam sungguh-sungguh sangat banyak yang belajar Alqur’an. Ada di antaranya yang belajar membaca Alqur’an melalui tahsinan Alqur’an, dan ada yang belajar khusus hafalan ALqur’an dan ada juga yang belajar tafsir Alqur’an, tarjamah Alqur’an dan ada juga yang secara khusus belajar mengenai tilawatil Qur’an.

Seandainya tidak sedari awal, artinya pada zaman Nabi Muhammad SAW telah terdapat orang-orang yang secara khusus menghafal Alqur’an maka keaslian Alqur’an tentu tidak bisa dijamin. Melalui para hafidz dan hafidzah Alqur’an itulah maka keaslian Alqur’an sebagaimana awal tidak  mengalami masalah. Berkat banyaknya sahabat yang hafal Alqur’an, maka keaslian alqur’an menjadi terjaga.

Lalu juga muncul inovasi pada zaman Sayyidina Utsman. Inovasi itu muncul sebab banyak sahabat Nabi yang hafidz Alqur’an gugur di medan pertempuran, maka kemudian diupayakan agar Alqur’an dapat dituliskan sebagai upaya untuk menjaga otentisitas Alqur’an. Alqur’an perlu dikodifikasi, sebab selama kehidupan Rasulullah Muhammad SAW, wahyu Allah SWT tersebut dituliskan di pelepah kurma, di batang-batang pohon kurma yang sudah kering, sehingga tercecer di antara pada sahabat. Mengingat hal tersebut, maka Sayyidina Utsman memerintahkan agar Alqur’an ditulis ulang dan dikumpulkan sesuai dengan urutan dan sistematika turunnya atau kandungan  Alqur’an.

Berkat inovasi yang dilakukan oleh Khalifah Utsman ibn Affan ini, maka kita dapat  menikmati teks Kitab Alqur’an sebagaimana yang bisa dibaca setiap hari. Alqur’an yang bisa dibaca hari ini merupakan warisan tak ternilai harganya karena dapat memastikan keaslian Alqur’an yang terus terjaga. Rasionalitas penulisan Alqur’an pada masa Sayyidina Utsman terbukti sebagai upaya untuk menjaga otentisitas Alqur’an. Dan yang juga paling hebat bahwa Alqur’an itu hanya ada dalam satu Bahasa, yaitu Bahasa aslinya atau Bahasa Arab. Alqur’an yang dikenal sekarang disebut sebagai mushaf Utsmani.

Tidak ada satu ahli di dalam ilmu pengetahuan yang menyangsikan tentang otentisitas Alqur’an. Sebuah Kitab Suci yang terjaga semenjak diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW sampai hari akhir. Hal ini sebagaimana Firman Allah SWT: “inna nahnu nazzalnadz dzikra wa inna lahu lahafidzun”, yang artinya: “sesungguhnya kami (Allah) yang menurunkan Alqur’an dan kami (Allah) yang akan menjaganya”. Alqur’an terjaga berkat upaya kreatif sahabat Nabi Muhammad untuk menjaganya. Oleh karena itu, jika Alqur’an terjaga dari keasliannya, maka semuanya karena kepastian Tuhan yang akan menjaganya.

Akhir-akhir ini kita melihat betapa gairah untuk belajar Alqur’an sangat tinggi. Banyak lembaga tahfidz yang berkembang. Bahkan di televisi juga dijumpai acara yang sangat menarik, misalnya yang diinisiasi oleh Syekh Ali Jaber dengan program sejuta hafidz sungguh merupakan acara yang ekselen untuk mengembangkan pembelajaran Alqur’an. Di masjid, di lembaga pendidikan dan juga di masyarakat sedang semarak menggeliat program pembelajaran Alqur’an. Semua ini menjadi bukti bahwa masyarakat sedang on fire untuk mempelajari Alqur’an. Sungguh kita sedang melihat fenomena kecintaan masyarakat terhadap Kitab Suci Alqur’an dimaksud.

Tidak hanya yang berusia muda atau anak-anak yang belajar membaca Alqur’an akan tetapi juga orang tua. Ada di antaranya yang memang berupaya agar  dapat membaca Alqur’an dan ada juga yang berkeinginan memperbaiki bacaan Alqur’annya atau disebut sebagai tahsinan Alqur’an. Fenomena ini menggambarkan akan kesadaran baru di kalangan masyarakat Islam untuk semakin menjadi muslim yang kaffah di dalam membaca Alqur’an.

Upaya yang dilakukan oleh masyarakat sebenarnya diinspirasikan oleh Sabda Nabi Muhammad SAW bahwa jika umat Islam ingin menjadi yang terbaik adalah dengan mempelajari Alqur’an, apalagi jika mengajarkannya. Seandainya dibuat prosentasinya, maka yang paling utama atau 100 persen kebaikannya adalah yang belajar Alqur’an dan mengajarkannya, sedangkan jika hanya belajar Alqur’an saja maka kira-kira prosentasenya sebesar 50 persen. Masih beruntunglah jika kita mendapatkan angka sebesar 50 persen dari umat terbaik dari Nabi Muhammad SAW.

Pagi hari ini, Sabtu, 18 November 2023, saya harus menghadiri acara Wisuda Alqur’an yang dipagelarkan oleh Lembaga Pendidikan Islam Al Muslim Sidoarjo. Wisuda ini meliputi hafalan Alqur’an, kefasihan membaca Alquran dan tarjamah Alqur’an. Wisuda ini diikuti oleh anak-anak SD, SMP dan SMA Al Muslim. Ada dua cucu saya yang ikut di dalam wisuda ini, yaitu Yuvika Farnaz Adzkiyah (kelas 3C) yang telah menyelesaikan program membaca Alqur’an secara tartilan 30 juz dan Nisrina Arfa Al Abashi (3B) yang mengikuti wisda tahfidz.

Saya tentu bersyukur atas kenikmatan Allah SWT atas kehadiran cucu saya yang hari ini diwisuda di dalam Alqur’an. Tentu harapan yang paling mendalam adalah agar mereka konsisten dalam mempelajari Alqur’an sebagai kitab Suci yang mengandung keutamaan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

FIDA’AN: APA INI YA?

FIDA’AN: APA INI YA?

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Seperti biasanya, jika saya pulang ke rumah Tuban, tepatnya di Dusun Semampir, Desa Sembungrejo, Kecamatan Merakurak, Kabupaten Tuban dipastikan memberikan ceramah agama, khususnya kepada jamaah Mushalla Raudlatul Jannah pada shalat Maghrib atau shalat  Shubuh. Jika saya datang sebelum maghrib, maka saya mesti akan memberikan ceramah pada bada shalat Maghrib dan jika saya datangnya agak malam atau bada Maghrib, maka dapat memberikan ceramah agama bada shalat Shubuh, Senin,  13/11/2023.

Saya memberikan ceramah agama dengan tema Fida’an, sebab tradisi ini sudah menyejarah di kalangan umat Islam khususnya warga NU. Fidaan sudah menjadi tradisi yang menyejarah di dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari upaya untuk memberikan kebahagiaan bagi ahli kubur yang sudah meninggal. Bisa saja orang tua, keluarga bahkan sahabat atau umat Islam sebagai saudara sesama umat Islam.

Fida berasal dari Bahasa Arab yang artinya adalah tebusan. Fida dilakukan setelah kematian seseorang dan keluarganya untuk melakukan kegiatan tahlilan atau yasinan atau membaca surat-surat di dalam Alqur’an khususnya surat Al Ikhlas. Jika membaca surat Al Ikhlas bisa sebanyak 1000 kali, atau membaca tahlil sebanyak 1000 kali. Bisa dilakukan secara berjamaah atau dilakukan secara sendiri-sendiri. Jika secara Bahasa, fida’ berarti tebusan, maka secara istilah, fida berarti merupakan upaya yang dilakukan secara individu untuk membebaskan diri dari dosa atau kekhilafan yang pernah dilakukannya. Jadi sebagai bentuk penebusan atas kesalahan yang dilakukannya sendiri. Sementara itu juga bisa bermakna sebagai upaya untuk membebaskan atas keluarga atau sahabat dari siksaan alam kubur, misalnya orang tua, kerabat atau sesama sahabat yang sudah wafat. Itulah sebabnya di dalam tradisi NU terdapat acara tahlilan atau Yasinan atau bacaan surat lain di dalam Alqur’an yang ditujukan untuk orang yang sudah meninggal. Jika dilakukan dalam jumlah banyak jamaah, maka bacaan tahlil bisa dilakukan sebanyak 70.000 kali atau bacaan al Ikhlas sebanyak 100.000 kali. Inilah yang disebut sebagai fidaan kubro.

Tardisi fidaan memiliki dua sudat pandangan. Ada yang mengharamkannya misalnya kelompok Salafi Wahabi dan organisasi yang bersepakat dengan kaum Salafi Wahabi, yang didasaarkan oleh realitas bahwa Nabi Muhammad SAW tidak melakukannya. Sedangkan kelompok lain berpandangan bahwa membaca tahlil atau membaca Surat Al Ikhlas, baik dilakukan sendiri maupun berjamaah adalah kebolehan. Membaca kalimat thayyibah tentu bisa dilakukan kapan dan dimanapun. Yang problematic adalah membaca tahlil atau surat Al ikhlas bagi mayat atau orang yang sudah meninggal. Apalagi dilakukan dalam durasi waktu sebagaimana yang terjadi di Jawa ba’da meninggalnya orang lain, apalagi terikat kekerabatan.

Di dalam salah satu sabdanya, Nabi Muhammad SAW menyatakan: “Tiada seorang mayit di dalam kuburnya kecuali dalam keadaan seperti orang tenggelam yang banyak meminta tolong. Dia menanti doa dari ayah dan saudara atau seorang teman yang ditemaninya, apabila dia telah menemukan doa tersebut, maka doa itu menjadi yang lebih dicintai dari pada dunia dan seisinya, dan apabila orang yang hidup akan memberikan hadiah kepada orang yang sudah meninggal dunia adalah  dengan doa dan istighfar.” (Ihya’ Ulumiddin, Juz IV, hlm. 476 diunduh dari Kemenag Kabupaten Tangerang, 13/11/23).

Orang yang sudah meninggal memang sudah tidak memiliki apa-apa, kecuali tiga hal yaitu: shadaqah Jariyah, atau ilmu yang bermanfaat atau anak sholeh yang dapat mendoakan kepadanya. Oleh karena itu, maka fungsi anak terhadap orang tuanya sangat penting. Dialah yang akan dapat menyenangkan dan membahagiakan atas orang tuanya. Makanya harapan orang tua kepada anaknya adalah agar anaknya dapat mengirimkan doa kepadanya. Kiriman doa yang difasilitasi oleh Nabi Muhammad saw selaku washilah terbesar di dalam dunia. Nabi Muhammad SAW adalah washilah terbaik di dalam doa kepada Allah SWT. Itulah sebabnya kala orang NU berdoa maka selalu dilakukan washilahnya kepada  Nabi Muhammad SAW.

Berbahagialah bagi orang tua atau kerabat yang sudah wafat dan memiliki keluarga yang dapat berkirim doa kepadanya. Bisa berkirim bacaan surat Yasin, Surat Al Ikhlas, atau bacaan Lailaha illallah. Bagi mereka mendapatkan hadiah yang berupa bacaan Alqur’an atau kalimat thayyibah sungguh sangat menyenangkan. Maka tugas para orang tua adalah mengajari anaknya untuk menjadi anak shaleh yang kelak insyaallah akan membahagiakannya.

Oleh karena itu, sudah selayaknya jika bagi yang meyakini tentang bacaan fidaan sebagai salah satu instrument mengamalkan kalam mulia untuk keluarganya yang sudah meninggal dan bagi yang tidak melakukannya karena keyakinannya tidak jangan melakukan tindakan yang melecehkannya. Semua dilakukan atas nama tafsir agama yang dilakukan oleh para ulama, dan semua itu berada di dalam Kawasan tafsir agama.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

 

 

SUMPAH PEMUDA: APA YANG PERLU DIPELAJARI?

SUMPAH PEMUDA: APA YANG PERLU DIPELAJARI?

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Saya harus mengapresiasi khutbah Jum’at yang disampaikan oleh Mohammad Firdaus, SHI., al Hafidz,  di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency. Khutbah tersebut dilaksanakan pada Hari Jum’at bertepatan dengan tanggal 10 November 2023 atau peringatan Hari Pahlawan. Khutbah yang singkat tetapi sangat mengena. Pesannya sederhana tetapi sangat mudah untuk dicerna dan dipahami.

Di dalam pandangan Ust. Firdaus, al Hafidz, bahwa hari jumat ini bersamaan dengan peringatan Hari Pahlawan 10 November 2023. Sudah selayaknya jika kita merasa bersyukur kepada Allah SWT karena berkat perjuangan para pahlawan bangsa tersebut sehingga kita bisa menikmati kemerdekaan. Sungguh berkat usaha para pahlawan tersebut bangsa Indonesia sekarang merasakan kemerdekaan sebab sebelumnya bangsa Indonesia dijajah oleh Belanda selama 350 tahun. Berkat usaha tanpa lelah para pahlawan tersebut maka negara Indonesia menjadi merdeka semenjak tanggal 17 Agustus 1945.

Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka, bangsa yang bisa mengatur dirinya sendiri, bangsa yang bisa melakukan pembangunan bangsanya dan bangsa yang tidak tergantung kepada bangsa lain. Bisa dibayangkan selama tiga setengah abad bangsa ini tidak lelah berjuang untuk menemukan kemerdekaan, dan akhirnya melalui upaya secara kebersamaan, maka bangsa ini bisa merasakan udara bebas sebagai bangsa yang merdeka.

Untuk mengenang jasa para pahlawan yang berjuang secara keras dengan hasil gemilang, terutama di dalam peperangan di Surabaya yang sangat fenomenal, maka bangsa Indonesia bisa merasakan kemerdekaan seperti sekarang. Ada tiga keteladanan yang bisa diambil hikmahnya dari para pahlawan kita, yaitu:

Pertama, keteguhan. Para pahlawan itu orang yang memiliki keteguhan tekad dan kemauan keras untuk berjuang. Mereka berjuang melawan pasukan Belanda dengan hanya bersenjata bambu runcing melawan pasukan sekutu yang bersenjata lengkap. Sungguh suatu tekad bulat saja yang bisa menggerakkan para pahlawan untuk melakukannya. Kira-kira semboyannya adalah isy kariman aw mut syahidan. Hidup dalam kemuliaan atau mati syahid. Mereka benar-benar  menyerahkan jiwa dan raganya untuk berjuang di dalam Allah, sebab merebut kemerdekaan adalah bagian dari jihad fi sabilillah. Perang memang menjadi kewajiban di dalam melawan para penjajah. Mereka serahkan jiwa dan raganya untuk berjuang di dalam mencapai kemerdekaan. Maka pada tanggal 10 November 1945 itu para pahlawan bangsa meneriakkan Allahu Akbar untuk hidup mulia atau mati syahid. Ada pahlawan yang dikenal namanya di dalam sejarah dan ada nama-nama pahlawan yang tidak dikenal di dalam sejarah. Namun demikian, perjuangannya itu dapat menjadi teladan bagi kita semua akan keteguhan sikap dan tindakan di dalam mencapai tujuan. Kemerdekaan telah dicapai dan sekarang kita berjuang untuk mengisi kemerdekaan.

Kedua, keberanian. Di dalam perjuangan kemerdekaan itu ada banyak kaum santri yang terlibat di dalamnya. Berkat Resolusi Jihad yang didengungkan oleh KH. Hasyim Asy’ari, maka para santri bergerak serentak untuk membela kemerdekan yang baru diperolehnya. Tanggal 22 Oktober 1945 menjadi tonggak bagi keberanian untuk mati syahid dalam membela kemerdekaannya dan puncaknya adalah tanggal 10 November 1945 di Surabaya terjadi pertempuran hebat melawan kaum sekutu. Belanda dengan sekutunya berkeinginan menjajah kembali Indonesia, sehingga Belanda mengerahkan pasukannya dengan senjata lengkap. Belanda merasa pasti akan menang karena hanya melawan pasukan yang tidak terlatih dan hanya bersenjata bambu runcing. Tetapi akhirnya Belanda pun runtuh mentalnya menghadap keberanian orang-orang pribumi yang nekad berjuang untuk kemerdekaan bangsanya. Setelah Jenderal Mallaby mati karena tertusuk bambu runcing, maka Belanda tidak melanjutkan upayanya untuk menguasai Surabaya. Keberanian tiada taranya  dari para pejuang itu membuat Belanda harus mengakui kehebatan tentara bersenjata bambu runcing. Ada hikmah yang bisa diambil dari peristiwa ini, yaitu sebagai bangsa yang sudah merdeka maka kita harus berani untuk berjuang meraih tujuan kemerdekaan yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera, yang adil dan Makmur bagi segenap warga bangsa.

Ketiga, kesabaran. Sungguh merupakan suatu hal yang patut dicontoh oleh masyarakat Indonesia sekarang dari para pahlawan bangsa adalah kesabaran yang dipertontonkan oleh para pahlawan tersebut. Beratus-ratus tahun mereka berjuang melawan Belanda, berjuta-juta rakyat Indonesia wafat sebagai Kesuma Bangsa. Perang demi perang telah dipagelarkan. Tetapi satu kata yang dimiliki oleh para pahlawan adalah kesabaran. Tidak ada kata putus asa. Tidak ada kata berhenti. Tidak ada kata selesai. Semuanya akan berlangsung sampai tuntas memperoleh kemerdekaan. Dan masa itu akhirnya datang juga dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Tetapi perjuangan belum berhenti sebab Belanda dan sekutunya masih terus bermimpi ingin menguasai Indonesia sebagai tanah jajahannya. Dengan semangat keteguhan, keberanian dan kesabaran, maka Indonesia sungguh sudah merdeka.

Inilah yang harus diingat oleh para generasi sekarang. Kita telah mewarisi kemerdekaan ini melalui tumpahnya darah yang penghabisan. Kita harus bersyukur kepada Allah atas semua usaha yang dilakukan oleh para pendiri bangsa. Mari kita bayangkan dengan saudara-saudara kita yang masih berjuang hingga hari ini, bangsa Palestina, yang masih terus berperang untuk memperoleh kemerdekaannya. Marilah kita bersyukur kepada Allah SWT atas karunia terbesar bangsa. Jangan kotori negeri ini dengan tindakan yang salah, misalnya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Mari kita isi kemerdekaan bangsa dengan semangat meneladani para pahlawan bangsa dengan keteguhan, keberanian dan kesabaran untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan. Mari kita doakan bangsa Palestina mendapatkan pertolongan Allah lewat doa-doa yang kita lantunkan agar segera memperoleh kemerdekaan. Amin.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

KHILAFAH, APA LAGI INI?

KHILAFAH, APA LAGI INI?

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Kata khilafah berasal dari Bahasa Arab yang berasal dari fi’il atau kata kerja kha-la-fa, yang artinya menggantikan atau mewakili. Di dalam Alqur’an dijelaskan di dalam Surat Al Baqarah, yang bunyinya: “waidz qala rabbuka lil malaikati inni ja’ilum fil ardhi khalifah”.  Yang artinya dan (ingatlah) Ketika Tuhanmu berfirman  kepada para Malaikat, Aku hendak  akan menjadikan khalifah di dunia” (Al Baqarah, 30). Khalifah di sini dikaitkan dengan pengganti atau manusia sebagai wakil di dunia. Ayat ini yang kemudian dijadikan sebagai bukti bahwa Allah memang menjadikan manusia sebagai pengganti atau wakil di dunia, sekaligus menegaskan bahwa manusia dijadikan sebagai wakil Tuhan di bumi dan sekaligus sebagai penguasa atas namanya.

Kata kerja khalafa adalah kata kerja masa lalu, lalu kata kerja yakhlifu yang berarti sekarang atau fiil mudhari’ artinya pekerjaan yang sedang dikerjakan. Kata khilafah adalah kata benda atau isim, sedangkan kata ganti orang adalah khalifah atau orang yang mengganti atau mewakili. Jadi kalau kita menyatakan kata khilafah berarti kata benda yang berarti perwakilan atau penggantian. Kata khilafah berkonotasi sebagai perwakilan Tuhan di bumi. Jika kita akan mendirikan khilafah berarti akan mendirikan perwakilan Tuhan di bumi.

Khilafah secara terminologis dapat dinyatakan dalam dua makna, yaitu upaya atau gerakan untuk mendirikan khilafah Islamiyah yang memiliki rujukan pada teks suci Alqur’an atau Alhadits sesuai dengan tafsir para ulamanya yang dianggap benar. Jadi ketika kita membahas khilafah berarti membahas tentang upaya yang dilakukan oleh individu atau sejumlah individu untuk mendirikan negara Islam sesuai dengan tafsir yang sesuai dengan teks yang sharih atau jelas.  Upaya ini di dalam konteks studi keislaman disebut sebagai kaum Islamis atau yang berpaham Islam politik. Yaitu sekelompok orang yang berusaha untuk menjadikan Islam sebagai ideologi negara dan menjadikan suatu masyarakat berada di dalam negara Islam.

Berikutnya, khilafah berarti daulah atau system pemerintahan. Jika kita bicara khilafah berarti berbicara tentang system pemerintahan. Yaitu system pemerintahan Islam yang bertujuan untuk menyatukan seluruh dunia dalam satu system pemerintahan. Di dalam konteks kajian keislaman disebut sebagai Islam trans-nasional atau Islam lintas negara. Tidak ada sekat-sekat negara, sebab seluruh negara di dunia harus berada di dalam satu system pemerintahan Islam yang bersifat universal. Pandangan seperti ini yang diyakini kebenarannya oleh Hizbut Tahrir (HT) yang merupakan derivasi dari Gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir dan berkembang di Libanon oleh Taqiyudin Nabhani. Di Indonesia menjadi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang menyebar di banyak kampus di Indonesia. Mereka pernah menyelenggarakan Konferensi Internasional Khilafah di Gelora Bung Karno pada zaman Presiden SBY tahun 2014. Hizbut Tahrir di Libanon dihentikan oleh pemerintah karena melakukan tindakan melawan pemerintah yang absah. Demikian pula HTI di Indonesia juga dibatalkan perizinannya karena juga akan mendirikan khilafah. Organisasi tersebut pantas untuk diberhentikan karena sesuai dengan induk semangnya, Ikhwanul Muslimin, maka perilakunya selalu melakukan tindakan yang berlawanan dengan pemerintah yang sah. Ikhwanul Muslimin di Mesir juga dilarang.

Khilafah sebagai system pemerintahan sesungguhnya pernah terjadi pada masa Khalifah al Rasyidun. Yaitu pada masa Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Utsman dan Sayyidina Ali. Mereka merupakan khalifah yang dipilih secara musyawarah oleh para sahabat Nabi yang disepakati oleh kaum muslimin pada waktu itu. Terpilihnya para khalifah tersebut berbasis atas kesepakatan pada sahabat Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan kajian tentang khilafah di dalam  Islam, bahwa Nabi Muhammad SAW tidak memberikan petunjuk siapa yang akan menggantinya. Itulah sebabnya yang dijadikan pedoman adalah Sabda Nabi Muhammad SAW yang menyatakan: wa amruhum syuro bainahum, yang artinya: “dan terhadap masalah-masalahmu hendaknya dimusyawarahkan”.

Pasca wafatnya Sayyidina Ali, maka umat Islam bersilang senketa tentang pengganti Khalifah. Semula adalah Sayyidina Hasan, akan tetapi kemudian berhasil direbut oleh Muawiyah dan kemudian Muawiyahlah yang memenangkan pertarungan, Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husin harus berpindah tempat. Sayyidina Husin ke Kufah. Bahkan beliau meninggal dengan kepala terpenggal dan kepalanya tersebut dimakamkan di Mesir, yang hingga kini masih diziarahi oleh para pengagumnya, baik kaum Syiah maupun Kaum Sunni.

Pada masa Muawiyah atau kekhalifahan di bawah Dinasti Umawiyah dan terus ke dinasti Abbasiyah, maka system pemerintahan menjadi system monarkhi atau kerajaan, dan kepala pemerintahan berdasarkan atas keturunan. System ini terus berlangsung di Turki atau yang disebut sebagai Kerajaan Turki Ustmani dan juga di Mesir melalui Kerajaan Fathimiyah.

Jika memamahami hal ini, maka sesungguhnya tidak ada yang baku di dalam penyelenggaraan negara atau system kekhalifahan. Bahkan hingga kini juga tidak dikenal satu system pemerintahan Islam yang baku. Misalnya Mesir sebagai negara Islam akan tetapi system pemerintahannya menggunakan system republic atau jumhuriyah. Sementara Arab Saudi menggunakan system kerajaan atau system mamlakah. Sementara Iran menggunakan system republic  dan sebelumnya menggunakan system kerajaan. Sesungguhnya tidak didapatkan satu system yang baku tentang pemerintahan Islam. Semuanya berdasarkan atas tafsir dan kepentingan para penguasa, dan juga  dukungan dari ulama dan rakyatnya.

Jadi khilafah Islamiyah yang ingin diterapkan di Indonesia juga merupakan tafsir atas ayat atau hadits Nabi Muhammad SAW tentang Imamah. Mengenai system dan bentuknya juga sangat tergantung kepada siapa yang menafsirkannya. Bisa terdapat penafsiran sebagaimana Hasan Al Banna atau Al Maududi yang menafasirkan bahwa harus menjadi negara Islam, di mana relasi antara Islam dan negara atau pemerintahan itu menyatu, dan ada Imam Mawardi yang beranggapan atau menafsirkan bahwa agama dan negara itu saling membutuhkan, agama menjadi basis etical dalam pemerintahan dan negara menjadi lahan bagi mengembangan agama dan mengatur relasi antar pemeluk agama atau ada penafsiran Thaha Husein bahwa agama dan negara harus dipisahkan, agama untuk mengurusi agama, dan negara untuk mengurusi rakyatnya.

Seandainya diberlakukan system khilafah di Indonesia juga terkena masalah tersebut. System pemerintahannya bercorak seperti apa, pemahaman teologisnya mengikuti siapa, fiqihnya mengikuti siapa dan kebijakan pemerintahnya berdasarkan tafsirnya siapa dan juga rumusan undang-undangnya mengikuti pahamnya siapa. Jika system khilafahnya mengikuti salafi wahabi tentu dipastikan bahwa semuanya harus berdasar atas tafsirnya kaum Wahabi dan yang lain dianggap tidak ada atau dinihilkan. Tentu akibatnya akan terjadi disharmoni social dan bahkan konflik social.

Semua di antara kita tentu tidak ingin negeri ini tercabik-cabik oleh keinginan sekelompok orang yang berkeinginan melakukan perubahan atas NKRI sebagai bentuk negara, mengganti Pancasila dengan ideologi lainnya, dan juga mengganti secara total atas UUD 1945. Lagi pula juga menjadi hanya ilusi jika ingin menerapkan khilafah menjadi satu-satunya system pemerintahan di dunia. Saya kira harus realistis atas kenyataan social politik di Indonesia yang sudah mewarisi pikiran-pikiran besar dari para founding fathers negeri ini.

Wallahu a’lam bi al shawab.