• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KHILAFAH, APA LAGI INI?

KHILAFAH, APA LAGI INI?

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Kata khilafah berasal dari Bahasa Arab yang berasal dari fi’il atau kata kerja kha-la-fa, yang artinya menggantikan atau mewakili. Di dalam Alqur’an dijelaskan di dalam Surat Al Baqarah, yang bunyinya: “waidz qala rabbuka lil malaikati inni ja’ilum fil ardhi khalifah”.  Yang artinya dan (ingatlah) Ketika Tuhanmu berfirman  kepada para Malaikat, Aku hendak  akan menjadikan khalifah di dunia” (Al Baqarah, 30). Khalifah di sini dikaitkan dengan pengganti atau manusia sebagai wakil di dunia. Ayat ini yang kemudian dijadikan sebagai bukti bahwa Allah memang menjadikan manusia sebagai pengganti atau wakil di dunia, sekaligus menegaskan bahwa manusia dijadikan sebagai wakil Tuhan di bumi dan sekaligus sebagai penguasa atas namanya.

Kata kerja khalafa adalah kata kerja masa lalu, lalu kata kerja yakhlifu yang berarti sekarang atau fiil mudhari’ artinya pekerjaan yang sedang dikerjakan. Kata khilafah adalah kata benda atau isim, sedangkan kata ganti orang adalah khalifah atau orang yang mengganti atau mewakili. Jadi kalau kita menyatakan kata khilafah berarti kata benda yang berarti perwakilan atau penggantian. Kata khilafah berkonotasi sebagai perwakilan Tuhan di bumi. Jika kita akan mendirikan khilafah berarti akan mendirikan perwakilan Tuhan di bumi.

Khilafah secara terminologis dapat dinyatakan dalam dua makna, yaitu upaya atau gerakan untuk mendirikan khilafah Islamiyah yang memiliki rujukan pada teks suci Alqur’an atau Alhadits sesuai dengan tafsir para ulamanya yang dianggap benar. Jadi ketika kita membahas khilafah berarti membahas tentang upaya yang dilakukan oleh individu atau sejumlah individu untuk mendirikan negara Islam sesuai dengan tafsir yang sesuai dengan teks yang sharih atau jelas.  Upaya ini di dalam konteks studi keislaman disebut sebagai kaum Islamis atau yang berpaham Islam politik. Yaitu sekelompok orang yang berusaha untuk menjadikan Islam sebagai ideologi negara dan menjadikan suatu masyarakat berada di dalam negara Islam.

Berikutnya, khilafah berarti daulah atau system pemerintahan. Jika kita bicara khilafah berarti berbicara tentang system pemerintahan. Yaitu system pemerintahan Islam yang bertujuan untuk menyatukan seluruh dunia dalam satu system pemerintahan. Di dalam konteks kajian keislaman disebut sebagai Islam trans-nasional atau Islam lintas negara. Tidak ada sekat-sekat negara, sebab seluruh negara di dunia harus berada di dalam satu system pemerintahan Islam yang bersifat universal. Pandangan seperti ini yang diyakini kebenarannya oleh Hizbut Tahrir (HT) yang merupakan derivasi dari Gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir dan berkembang di Libanon oleh Taqiyudin Nabhani. Di Indonesia menjadi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang menyebar di banyak kampus di Indonesia. Mereka pernah menyelenggarakan Konferensi Internasional Khilafah di Gelora Bung Karno pada zaman Presiden SBY tahun 2014. Hizbut Tahrir di Libanon dihentikan oleh pemerintah karena melakukan tindakan melawan pemerintah yang absah. Demikian pula HTI di Indonesia juga dibatalkan perizinannya karena juga akan mendirikan khilafah. Organisasi tersebut pantas untuk diberhentikan karena sesuai dengan induk semangnya, Ikhwanul Muslimin, maka perilakunya selalu melakukan tindakan yang berlawanan dengan pemerintah yang sah. Ikhwanul Muslimin di Mesir juga dilarang.

Khilafah sebagai system pemerintahan sesungguhnya pernah terjadi pada masa Khalifah al Rasyidun. Yaitu pada masa Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Utsman dan Sayyidina Ali. Mereka merupakan khalifah yang dipilih secara musyawarah oleh para sahabat Nabi yang disepakati oleh kaum muslimin pada waktu itu. Terpilihnya para khalifah tersebut berbasis atas kesepakatan pada sahabat Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan kajian tentang khilafah di dalam  Islam, bahwa Nabi Muhammad SAW tidak memberikan petunjuk siapa yang akan menggantinya. Itulah sebabnya yang dijadikan pedoman adalah Sabda Nabi Muhammad SAW yang menyatakan: wa amruhum syuro bainahum, yang artinya: “dan terhadap masalah-masalahmu hendaknya dimusyawarahkan”.

Pasca wafatnya Sayyidina Ali, maka umat Islam bersilang senketa tentang pengganti Khalifah. Semula adalah Sayyidina Hasan, akan tetapi kemudian berhasil direbut oleh Muawiyah dan kemudian Muawiyahlah yang memenangkan pertarungan, Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husin harus berpindah tempat. Sayyidina Husin ke Kufah. Bahkan beliau meninggal dengan kepala terpenggal dan kepalanya tersebut dimakamkan di Mesir, yang hingga kini masih diziarahi oleh para pengagumnya, baik kaum Syiah maupun Kaum Sunni.

Pada masa Muawiyah atau kekhalifahan di bawah Dinasti Umawiyah dan terus ke dinasti Abbasiyah, maka system pemerintahan menjadi system monarkhi atau kerajaan, dan kepala pemerintahan berdasarkan atas keturunan. System ini terus berlangsung di Turki atau yang disebut sebagai Kerajaan Turki Ustmani dan juga di Mesir melalui Kerajaan Fathimiyah.

Jika memamahami hal ini, maka sesungguhnya tidak ada yang baku di dalam penyelenggaraan negara atau system kekhalifahan. Bahkan hingga kini juga tidak dikenal satu system pemerintahan Islam yang baku. Misalnya Mesir sebagai negara Islam akan tetapi system pemerintahannya menggunakan system republic atau jumhuriyah. Sementara Arab Saudi menggunakan system kerajaan atau system mamlakah. Sementara Iran menggunakan system republic  dan sebelumnya menggunakan system kerajaan. Sesungguhnya tidak didapatkan satu system yang baku tentang pemerintahan Islam. Semuanya berdasarkan atas tafsir dan kepentingan para penguasa, dan juga  dukungan dari ulama dan rakyatnya.

Jadi khilafah Islamiyah yang ingin diterapkan di Indonesia juga merupakan tafsir atas ayat atau hadits Nabi Muhammad SAW tentang Imamah. Mengenai system dan bentuknya juga sangat tergantung kepada siapa yang menafsirkannya. Bisa terdapat penafsiran sebagaimana Hasan Al Banna atau Al Maududi yang menafasirkan bahwa harus menjadi negara Islam, di mana relasi antara Islam dan negara atau pemerintahan itu menyatu, dan ada Imam Mawardi yang beranggapan atau menafsirkan bahwa agama dan negara itu saling membutuhkan, agama menjadi basis etical dalam pemerintahan dan negara menjadi lahan bagi mengembangan agama dan mengatur relasi antar pemeluk agama atau ada penafsiran Thaha Husein bahwa agama dan negara harus dipisahkan, agama untuk mengurusi agama, dan negara untuk mengurusi rakyatnya.

Seandainya diberlakukan system khilafah di Indonesia juga terkena masalah tersebut. System pemerintahannya bercorak seperti apa, pemahaman teologisnya mengikuti siapa, fiqihnya mengikuti siapa dan kebijakan pemerintahnya berdasarkan tafsirnya siapa dan juga rumusan undang-undangnya mengikuti pahamnya siapa. Jika system khilafahnya mengikuti salafi wahabi tentu dipastikan bahwa semuanya harus berdasar atas tafsirnya kaum Wahabi dan yang lain dianggap tidak ada atau dinihilkan. Tentu akibatnya akan terjadi disharmoni social dan bahkan konflik social.

Semua di antara kita tentu tidak ingin negeri ini tercabik-cabik oleh keinginan sekelompok orang yang berkeinginan melakukan perubahan atas NKRI sebagai bentuk negara, mengganti Pancasila dengan ideologi lainnya, dan juga mengganti secara total atas UUD 1945. Lagi pula juga menjadi hanya ilusi jika ingin menerapkan khilafah menjadi satu-satunya system pemerintahan di dunia. Saya kira harus realistis atas kenyataan social politik di Indonesia yang sudah mewarisi pikiran-pikiran besar dari para founding fathers negeri ini.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..