• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

DARI MARAH MENJADI  CINTA

DARI MARAH MENJADI  CINTA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) di Masjid Al Ihsan sungguh menarik perbincangannya. Selasa, 12/12/2023, dan sebagai narasumbernya adalah Ustadz Sahid, Motivator Masjid Al Akbar Surabaya yang memiliki sejumlah pengalaman di dalam melakukan motivasi untuk berbagai kalangan, baik pada kalangan Aparat Sipil Negara (ASN), Karyawan Perusahaan atau kalangan masyarakat umum. Tema yang dibicarakan adalah “Dari Marah Menjadi  Cinta”.  Pengajian ini diikuti oleh jamaah Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency dan juga Masjid Ar Raudhah Perumahan Sakura.

Saya ingin mengulas pembicaraan Ustadz Sahid dalam tiga hal, yaitu: pertama, marah itu manusiawi. Manusia memang memiliki sifat atau naluri marah. Tidak ada satupun manusia di dunia kecuali Nabi atau Rasul yang memang dibimbing oleh wahyu Allah, maka manusia biasa seperti kita dipastikan memiliki sifat atau naluri marah. Sebagai naluri, maka manusia kapan dan di mana saja bisa marah jika terdapat stimulan untuk melakukan amarah tersebut.

Di dunia ini ada banyak stimulan, bisa dari dalam keluarga, dari lingkungan bahkan dari masyarakat. Dan kebanyakan manusia tidak mampu melawan tekanan lingkungan untuk tidak marah. Apalagi juga terdapat tekanan hidup yang semakin keras. Bisa karena factor politik, ekonomi dan social. Semuanya bahkan saling menyumbang masalah yang tidak mudah untuk dipecahkan atau dicari solusinya. Kehidupan memang kompleks dan mengandung banyak sekali problem yang setiap saat harus dihadapi. Oleh karena itu, orang yang bisa menyelesaikan masalah baik kecil atau besar adalah orang yang bahagia. Jadi hidup adalah rangkaian masalah yang harus terus menerus direspon untuk diselesaikan.

Kedua, marah tidak bisa  sama sekali dihilangkan tetapi agar dikelola dengan baik. Jangan marah dijadikan sebagai senjata untuk eksis di dalam kehidupan. Bahkan berpikir dengan marah akan menjadikannya ditakuti. Orang yang suka marah akan dilabel negative oleh lingkungannya sebagai pemarah. Sebuah istilah atau ungkapan yang tidak menyenangkan dan bahkan memalukan.

Untuk memenej marah menurut Ustadz Sahid, maka diperlukan SABAR yaitu sebuah akronim dari S berarti sadar. Kita sadar bahwa kita sedang dalam keadaan marah. Kita sadar bahwa ada factor eksternal yang membuat kita marah. Jika kita sadar tentang hal ini, maka kita sudah berada di dalam tahapan dapat memahami tentang diri kita sendiri, tentang keadaan emosi kita, dan memahami ada motif yang menyebabkan kita marah. Secara teoretik, maka setiap pemahaman dan tindakan yang kita lakukan pasti didasari oleh factor lingkungan atau disebut sebagai because motives. Hanya sedikit  ceritanya orang marah yang disebabkan oleh dirinya sendiri, tetapi kebanyakan orang marah karena factor orang lain atau lingkungan.

A adalah akronim dari abaikan. Kita harus mengabaikan factor lingkungan agar tidak mempengaruhi pemikiran, sikap dan tindakan. Kita tidak boleh larut atas pengaruh luar. Manusia diberi kekuatan untuk berpikir rasional karena manusia diberi rational intelligent, emosional intelligent dan social intelligent. Oleh karena itu harus dioptimalkan agar dengan tiga inteligensi tersebut kita dapat mengabaikan atas factor lingkungan yang membuat kita marah. Hendaknya kita mengoptimalkan pemikiran yang positif bedasarkan atas tiga kecerdasan tersebut agar kita dapat  memikiki kemampuan untuk mengabaikan pengaruh negative lingkungan. Jadi bisa digunakan argumentasi “emang gue pikirin” atau joke Gus Dur “gitu aja kok repot”.

B adalah bergerak. Jika kita berdiri duduklah, jika duduk berdiri jalan-jalan sambil merenungkan apa yang sedang terjadi. Mengubah posisi diri kala marah akan dapat menjadi sarana untuk menyadarkan diri tentang apa yang sedang terjadi. Dengan bergerak maka posisi saraf  kita juga akan bergerak yang seharusnya menuju ke titik terbaik. Di sini olahraga merupakan momentum terbaik untuk menjadi sehat dan sekaligus juga mensyukuri nikmatnya Allah SWT. Di dalam konteks kemarahan, memang Nabi Muhammad SAW memberikan tips kepada kita, jika berdiri maka hendaknya duduk, jika perlu juga hendaknya melakukan wudhu. Air dapat menetralisir pengaruh api kemarahan.

A adalah ambil wudhu. Air dan api adalah dua unsur di dalam diri seseorang. Ada unsur air dan ada unsur api. Jika ada unsur api maka siramlah dengan air. Api akan padam jika kena air. Kemarahan itu dipicu oleh sifat api yang membakar. Berdasarkan teks suci dinyatakan bahwa kemarahan itu datang dari setan dan karena setan itu terbuat dari api, maka hendaknya disiram dengan air. Api kemarahan akan menjadi padam. Anjuran Nabi Muhammad SAW agar melakukan wudhu kala marah kiranya memperoleh pembenaran di dalam realitas kehidupan yang nyata.

R adalah recalling atau memanggil kembali kenangan masa lalu. Jika ada yang baik maka jadikan sebagai dasar pijak untuk melakukan rekonstruksi atas pikiran kita agar tidak hanya memikirkan aspek negatifnya tetapi juga positifnya. Kita semua yakin bahwa ada aspek positif dan ada aspek negative. Maka marilah kita timbang keduanya. Meskipun lebih banyak keburukannya tetapi tetap harus diyakini bahwa ada kebaikannya. Yang baik itulah yang kita jadikan sebagai pedoman untuk bersabar menghadapinya.

Ketiga, berdasarkan tipologi kemarahan, maka ada empat tipe orang, yaitu orang yang gampang marah dan lama sekali hilangnya, ada yang sulit marah tetapi jika marah lama hilangnya, ada orang suka marah tetapi cepat hilangnya dan ada orang yang tidak marah dan kalau marah cepat hilangnya. Mari kita petakan diri kita masuk yang mana. Tentu tipe keempat adalah tipe yang terbaik.

Orang yang sabar itu memiliki beberapa indicator. Yaitu: orang yang suka mengeluarkan hartanya di saat sedang berada di dalam kesempitan dan keluasan rezeki. Orang yang bisa menahan marah dan mengelola marah, dan orang yang suka memaafkan orang lain. Di Dalam Alqur’an Surat Ali Imran,  ayat 134, Allah menyatakan: “alladzina yunfiquna fis sarrai wa dharrai wal kadziminal ghaidha wal ‘afina ‘anin nas. Ulaika humul muflihun”. Yang artinya adalah: “orang-orang yang menafkahkan  (hartanya)  baik di waktu lapang atau sempit, dan rang-orang yang  menahan amarahnya dan mamafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”.

Sesungguhnya kita tidak bisa langsung mengubah marah menjadi cinta. Tentu ada jedanya, tetapi yang jelas bahwa kita harus  berusaha untuk menanej kemarahan. Tentu caranya adalah dengan recalling dimaksud. Upaya kita tidak hanya menilai kejelekannya tetapi juga kebaikannya. Hanya dengan cara tersebut  kita akan bisa untuk mereduksi kemarahan menjadi kecintaan. Bismilah.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

JAGA AMALAN TERBAIK: SHALAT, BAKTI ORANG TUA DAN JIHAD

JAGA AMALAN TERBAIK: SHALAT, BAKTI ORANG TUA DAN JIHAD

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Hidup itu bukan hanya di dunia ini. Berdasarkan teks agama Islam, bahwa manusia akan mengalami proses hidup berkali-kali. Artinya tidak hanya kehidupan di dunia tetapi ada alam lain yang manusia akan mengalami kehidupan. Menurut ahli tasawuf, bahwa manusia akan mengalami sekurang-kurangnya empat kehidupan, yaitu kehidupan di alam roh, kehidupan di alam dunia, kehidupan di alam barzakh dan kehidupan di alam akherat.

Kehidupan di alam roh tentu diberitakan di dalam Islam telah terjadi dalam 50.000 tahun sebelum diciptakannya alam semesta. Saat itulah roh manusia sudah hidup bahkan terjadi dialog antara Tuhan dan manusia sebagaimana tercantum di dalam Alqur’an,  Allah berfirman: “adakah aku ini Tuhanmu, maka serentak roh menyatakan, ya aku menyaksikannya” (Alqur’an Surat Al A’raf, 172). Artinya bahwa roh itu sesuatu yang hidup. Sesuatu yang bisa menyaksikan keberadaan Allah. Kita tidak bisa membicarakan apakah roh itu benda atau bukan, roh itu melihat atau tidak terhadap Allah, dan pertanyaan teologis lain, namun kita tidak perlu masuk ke dalam area tersebut. Biarlah para ahli filsafat atau ahli ilmu kalam yang membicarakannya.

Roh tersebut kemudian lahir ke dunia atau alam dunia melalui perantaraan orang tua. Allah menciptakan manusia melalui perantaraan manusia lelaki dan perempuan. Dua orang inilah yang diberikan kekuatan untuk melahirkan, mengelola kehidupan dari anak-anak hingga dewasa.  Kemudian di  dalam perjalanan usianya di dunia, manusia dapat melakukan banyak aktivitas kehidupan. Jika di alam roh, maka roh yang hidup. Di dalam alam dunia, roh membutuhkan fisik untuk hidup. Jasad bisa hidup karena roh dan roh juga bisa hidup di dunia karena jasad. Ada kenyataan saling membutuhkan di antara keduanya.

Jika antara roh dan tubuh berpisah, maka terjadilah kematian dan kemudian roh melanjutkan kehidupannya yang ketiga, yaitu hidup di dalam barzakh. Roh itu hidup dalam waktu dan ruang yang sudah ditentukan. Menurut para ahli tasawuf, bahwa roh itu sudah ditunjukkan bagaimana kelak kehidupannya. Ada yang sudah merasakan aura kebahagiaan dan ada juga yang merasakan aura kesusahan. Itulah sebabnya Nabi Muhammad SAW menganjurkan kepada umatnya agar berdoa kepada Tuhan agar keluarganya yang sudah meninggal dan rohnya berada di dalam barzakh dapat merasakan kesenangan. Semua amalan terputus kecuali shadaqah jariyah dan doa anak shaleh saja yang masih bisa diterima pahalanya.

Menurut ahli tasawuf, bahwa kehidupan di dunia merupakan kehidupan untuk melaksanakan perjanjian dengan Allah. Manusia diberikan kewajiban untuk beribadah kepadanya dan melakukan amalan-amalan shaleh lainnya. Alam dunia disebut sebagai alam ngelakoni janji. Alam barzakh disebut sebagai alam ngaweruhi  janji dan alam akherat sebagai  alam nerimo hasile janji. Itulah sebabnya, bahwa kala roh di alam barzakh, maka roh sudah tahu tentang bagaimana akhir kehidupannya.

Sebagai alam ngelakoni janji atau melaksanakan perjanjian, maka Allah menurunkan Nabi dan rasul pada semua masyarakat di dunia. Ada sebanyak 25 rasul dan 124 ribu nabi yang diturunkan Allah untuk membimbing manusia. Tentu ada yang memperoleh petunjuk dan ada yang tidak memperoleh petunjuk. Petunjuknya sama, akan tetapi resepsi atau penerimaannya bisa saja berbeda. Oleh karena itu, mari kita jaga petunjuk atau hidayah Allah  agar kita dapat memperoleh kebahagiaan fid dini wad dunya wal akhirah.

Ketiga,  Islam sangat menekankan betapa penting peribadatan kepada Allah SWT. Manusia memang diciptakan oleh Allah agar mengabdi kepada Allah SWT. Salah satu di antara bentuk ibadah yang sangat penting di dalam Islam adalah shalat. Memang shalat merupakan rukun Islam yang kedua setelah syahadat. Shalat adalah medium manusia untuk “bertemu” dengan Allah SWT. Dan begitu pentingnya shalat, maka Nabi Muhammad SAW dipanggil langsung untuk menghadap Allah sewaktu peristiwa Mi’raj Nabi Muhammad SAW.

Ada sebuah hadits yang sangat penting untuk diamalkan, yaitu: Rasulullah bersabda: “Ayyul amali ahabbu illallah? Qala ash shalatu ‘ala waqtiha. Qultu tsumma ayyun? Qala birrul walidain.  Tsumma  qultu ayyun? Qala tusmma  al jihadu fi sabilillah”. Yang artinya: “amal apakah yang palin dicintai Allah?, Beliau menjawab shalat pada waktunya. Lalu  aku (Ibnu Mas’ud)  bertanya lalu apa? Beliau menjawab berbakti kepada kedua orang tua. Lalu  aku  bertanya lalu apa lagi? Beliau menjawab berjihad di jalan Allah”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits ini memberikan gambaran bahwa ada tiga amalan yang sangat penting di dalam kehidupan, yaitu melakukan ibadah shalat, berbakti kepada kedua orang tua dan melakkan jihad di jalan Allah. Para jamaah shalat shubuh ini tentu sudah melakukan shalat, bahkan shalat berjamaah, meskipun ada yang tepat waktu ada yang terkadang harus melakukan shalat jama’, mungkin ada yang di awal waktu dan ada yang di akhir waktu, tetapi yang jelas bahwa kita sudah memenuhi standart “minimal” dalam melakukan shalat.

Lalu kita juga sudah “membahagiakan” orang tua dengan cara kita masing-masing. Termasuk sudah mendoakannya baik di kala masih hidup maupun di kala sudah wafat. Bagi yang masih hidup tentu kita menyenangkan hatinya dengan menjadi  orang yang shalih atau shalihah yang kelak akan mendoakannya dan juga berbuat baik kepada orang tua, dan jika sudah wafat maka tugas kita adalah mendoakannya, membacakan Qur’an kepadanya, membaca tahlil kepadanya, atau membaca kalimat-kalimat thayibah lainnya. Semua akan menjadi penyambung amalan ibadah di kala orang tua kita sudah wafat.

Dan yang tidak kalah penting adalah jihad atau berjuang di jalan Allah. Jihad tentu tidak hanya dimaknai sebagai perang, apalagi di negeri yang damai. Jihad bisa dimaknai sebagai upaya untuk melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh. Bekerja yang sungguh-sungguh untuk memenuhi kewajiban keluarga, bekerja sungguh-sungguh untuk mencapai prestasi yang baik yang semua itu tidak hanya untuk tujuan duniawi tetapi juga untuk mengabdi kepada Allah SWT adalah ibadah. Semua hal yang dilakukan dengan keinginan menemukan keridlaan Allah SWT  tentu  bisa menjadi lahan ibadah.

Wallahu a’lam bi al shawab

 

KAFIR: MAKNA SOSIOLOGIS

KAFIR: MAKNA SOSIOLOGIS

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Komunitas Ngaji Bahagia (NSC) menyelenggarakan ngaji luring pada hari Selasa atau disebut ngaji selasanan dengan jumlah jamaah yang relative banyak, sebab biasanya memang hanya diikuti oleh Jamaah Masjid Al Ihsan, akan tetapi pada Selasa, 05/11/2023 diikuti oleh Jamaah Masjid Raudlatul Jannah Perumahan Sakura Regency. Tidak seperti biasanya, maka wedang sereh dan soto ayam pun ikut dihadirkan. Saya yang memandu acara pengajian bada Subuh tersebut dan saya membicarakan tentang konsep Kafir di dalam Islam. Sebagaimana biasanya, maka tema ngaji saya sampaikan dalam tiga hal, yaitu:

Pertama, memahami kata kafir. Kafir berasal dari Bahasa Arab ka-fa-ra, yakfuru, kufron atau,  kafir atau kata ganti orang artinya mengingkari atau menutupi. Bisa juga berasal dari kata kaffara, yukaffiru, takfiran yang artinya mengkafirkan. Kata kafara yang pertama berarti mengingkari atau menutupi kebenaran,   atau mengingkari kebenaran Allah, sedangkan yang kedua berarti  mengkafirkan kepada orang lain. Makanya, secara sosiologis ada dua makna yaitu makna umum dan  makna khusus. Makna umum merupakan ungkapan yang menggambarkan seluruh penolakan atau pengingkaran atas apa saja, misalnya mengingkari nikmat Tuhan atau disebut juga sebagai kufrun ni’mah. Sedangkan pemahaman secara khusus adalah terkait dengan dunia keyakinan tentang keberadaan Tuhan. Orang atheis artinya orang yang tidak percaya mengenai keberadaan Tuhan. A tidak dan theis tuhan. Tidak bertuhan. Di dalam serapan Bahasa Indoesia, kata kafir memiliki dua arti itu, yaitu menolak keberadaan Tuhan dan mengingkari nikmat Tuhan. Secara istilah kafir adalah orang yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan dan tidak meyakini bahwa Tuhan adalah Dzat yang menguasai seluruh dunia, makro kosmos dan mikro kosmos, dan segala hal yang dikaitkan dengan Tuhan. Jika tidak percaya kepada keberadaan Tuhan, maka konsekuensinya adalah tidak mempercayai seluruh syariat atau ajaran agama yang dikaitkan dengan Tuhan.

Kedua, secara semantic, kata kafir dikaitkan dengan kata-kata di dalam Alqur’an yang intinya adalah ketidaknyamanan, kesulitan, kesengsaraan dan hukuman. Suatu contoh di dalam Surat Al Waqi’ah, ayat 42-44, dinyatakan: “fi samumiw wa hamim, wa dzillim miyyahmun, la baridi wa la karim”, artinya: “(mereka)  dalam siksaan angin yang sangat panas.dan air yang mendidih, dan naungan asap yang hitam,  tidak sejuk dan tidak menyenangkan”.  Kata kafir  diasosiasikan dengan Ashab al syimal. Kelompok kiri yang dilawankan dengan kata ashab al yamin atau golongan kanan. Selain itu juga dikaitkan dengan kata Naru Jahanam atau neraka jahanam, syarrul bariyyah atau kehidupan yang jelek, atau juga dikaitkan dengan kata dosa dan masih banyak lagi.

Seseorang dapat dilabel kafir karena mengingkari atas persaksiannya kepada Allah SWT. Ketika di alam roh, maka semua manusia ditanya oleh  Allah SWT: alastu birabbukum, qalu bala syahidna”. Allah berfirman: “adakah aku ini Tuhanmu, maka serentak roh menyatakan, ya aku menyaksikannya” (Alqur’an Surat Al A’raf, 172). Jadi kala manusia dilahirkan ke dunia melalui perantaraan orang tua atau Bapak dan Ibu, maka Allah menagih janji manusia akan keyakinan dan kepatuhan kepada Allah SWT. Karena manusia memiliki sifat lupa, maka Allah menurunkan Nabi dan Rasul untuk mengingatkan kembali akan janjinya tersebut. Di antara manusia, ada yang sadar dan mengikuti anjuran Rasulullah dan ada yang mengingkarinya. Yang mengikuti anjuran Rasul disebut sebagai mukmin dan yang mengingkarinya disebut sebagai kafir. Ingkar dalam arti khusus yaitu mengingkari akan keberadaan atau eksistensi Allah sebagai Tuhan. Tentu berbeda artinya dengan mengingkari nikmat Allah atau tidak bersyukur. Orang yang beriman bisa saja tidak mensyukuri nikmat Allah SWT.

Ketiga, macam-macam kafir. Ada empat jenis kafir yang dikenal dalam literatur ilmu keislaman, yaitu kafir harbi ialah kafir yang bisa diperangi karena mereka memerangi terhadap umat Islam. Misalnya kaum Israel adalah contoh kafir harbi. Untuk mereka itu maka berlaku prinsip harakah ijtihadiyah atau prinsip gerakan memerangi terhadapnya. Mereka melakukan penyerangan terhadap umat Islam, maka umat Islampun harus melawan. Pada zaman Belanda, setelah Kemerdekaan 19/8/1945, maka KH. Hasyim Asy’ari mengumunkan perlunya jihad melawan Belanda dan sekutunya, yang disebut sebagai Resolusi Jihad. Artinya harus melakukan jihad terhadap Belanda dan sekutunya. Nabi Muhammad SAW juga melakukan peperangan terhadap kaum kafir karena mereka menyerang terhadap umat Islam. Dalam konteks ini, maka jihad berarti perang.

Kemudian, kafir dzimmi atau kafir yang memperoleh perlindungan. Mereka memang orang yang beragama lain, akan tetapi mereka mematuhi terhadap pemerintah yang sah. Misalnya membayar zakat. Di masa Nabi Muhammad SAW mereka dikenai untuk membayar jizyah dengan ketentuan yang disepakati. Di Indonesia sekarang ini bisa dikategorikan sebagai orang kafir yang disebut sebagai kafir dzimmi. Orang yang tidak mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah, tetapi berada di dalam negara yang damai.   Orang  kafir tersebut mematuhi regulasi, maka mereka harus memperoleh perlindungan.

Kafir musta’man  adalah orang kafir yang mendapatkan suaka di dalam wilayah negara. Mereka meminta suaka pada negara lain dan diberikannya. Dan yang terakhir adalah kafir mu’ahad atau terikat perjanjian dengan pemerintah atau pemimpin negara. Nabi Muhammad SAW pernah melakukan perjanjian dengan berbagai suku di Arab Saudi, untuk hidup berdampingan. Mereka akan saling berada di dalam kedamaian dan saling mempercayai dan tidak akan melakukan pencederaan atas perjanjian tersebut.

Kita tentu harus bersyukur sebab bisa hidup di Negara Republik Indonesia, meskipun bukan negara agama, akan tetapi menjadikan agama sebagai pattern for behaviour negara dan juga masyarakatnya. Kita hidup dalam kedamaian meskipun berbeda suku bangsa, etnis, golongan social dan agama. Sungguh kita merasakan betapa Indonesia merupakan negara idaman bagi manusia di dunia, sebab negeri ini aman dan damai, dan insyaallah juga akan menjadi negara yang rakyatnya merasakan kemakmuran.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

BEKERJA SEBAGAI IBADAH

BEKERJA SEBAGAI IBADAH

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) memperoleh tamu-tamu istimewa di dalam pengajian Selasanan, 28/11/2023, sebab pengajian ini diikuti oleh Jamaah Masjid Ar Raudhah Perumahan Sakura. Biasanya hanya jamaah Masjid Al Ihsan dan beberapa orang dari Perumahan Sakura. Tentu saja pengajian menjadi lebih semarak, sebab selain warga Perumahan Lotus Regency juga ada warga Perumahan Sakura yang mengikuti pengajian ini.

Seperti biasanya, saya didapuk untuk mengantarkan pembahasan pengajian, dan tema kali ini tentang “Bekerja Sebagai Ibadah”. Tema ini saya pilih sebagai kelanjutan pengajian di Masjid Raudhah Perumahan Sakura pada Sabtu sebelumnya, 25/11/2023. Saya sebutkan kalau tema ini untuk pendalaman tentang materi pengajian di Masjid Ar Raudhah dimaksud. Di dalam pembahasannya, saya bagi menjadi tiga bahasan, yaitu:

Pertama, bersyukur. Sudah sepantasnya kita bersyukur kepada Allah dengan sebenar-benarnya syukur. Syukur tidak hanya dengan pernyataan, tetapi juga dengan hati dan perbuatan. Bersyukurlah dengan ketiganya agar Allah memberikan ganjaran yang lebih banyak dan lebih baik. Jangan hanya banyak tetapi banyak dan baik. Banyak dan bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat.

Kedua, bekerja yang baik. Bekerja adalah upaya atau usaha yang kita lakukan untuk memperoleh imbalan yang berupa uang atau barang untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan lainnya yang dianggap sebagai kebutuhan penting. Sedangkan ibadah adalah pengabdian kita di dalam kehidupan kepada Tuhan yang berimplikasi terhadap kehidupan individu, keluarga dan juga masyarakat. Jadi ibadah bukan hanya untuk Tuhan atau menyembah Tuhan untuk Tuhan tetapi persembahan tersebut berimplikasi terhadap diri individu yang melakukannya, keluarga dan juga masyarakat. Ada yang disebut ibadah untuk kesalehan individu dan ibadah untuk kesalehan social.

Ada sebuah hadits Nabi Muhammad SAW yang baik sekali untuk menjadi bahan perenungan bagi kita yang berbunyi: “man aradad dunya fa’alaihi bil ilmi, waman aradal akhirati fa alaihi  bil ‘ilmi, waman aradahuma fa’alaihi bil ‘ilmi”, yang artinya kurang lebih: “barang siapa menghendaki kehidupan dunia, maka bagainya dengan  berilmu, dan barang siapa menghendaki kehidupan akhirat maka baginya juga dengan ilmu dan barang siapa menghendaki keduanya, maka baginya juga dengan ilmu”.

Untuk kehidupan di dunia, khususnya bekerja, maka orang harus memiliki ilmu untuk bekerja. Orang menyatakan harus professional, artinya bekerja dengan ilmu dan keterampilan. Ada ilmunya dan ada keterampilannya. Tentu berbeda antara orang yang berilmu dengan tidak berilmu dalam bekerja. Orang yang berilmu dalam kapasitas pekerjaannya, maka akan muncul inovasi dan perubahan di dalam cara bekerja. Tentu akan lebih efektif dan efisien. Orang berilmu akan bekerja dengan otaknya, sedangkan orang tidak berilmu akan bekerja dengan kekuatan fisiknya. Yang lebih dihargai dalam dunia pekerjaan adalah pekerjaan yang dilakukan dengan kekuatan akalnya, selain fisiknya.

Untuk kehidupan akherat maka juga harus dengan ilmu. Yang dibutuhkan adalah ilmu keislaman, ilmu agama. Tetapi tidak cukup hanya memiliki ilmu tetapi juga diamalkannya. Ilmu amaliah. Bukan ilmu untuk ilmu tetapi ilmu untuk diamalkan. Islam mengajarkan bahwa orang yang berilmu pengetahuan itu tinggi derajadnya. Islam mengajarkan bahwa ilmu bukan bebas nilai atau value free, akan tetapi ilmu itu momot nilai atau value laden. Inilah inti dari Sabda Nabi Muhammad SAW: al ilmu bila ‘amalin ka sajaratin bila tsamarin”. Yang artinya: “ilmu yang tidak diamalkan itu laksana pohon yang tidak berbuah”.

Bekerja termasuk bagian dari mengamalkan ilmu pengetahuan. Orang yang bekerja sebagai Aparat Sipil Negara atau pegawai swasta, pengusaha dan bekerja di sector lainya hakikatnya adalah orang yang telah mengamalkan ilmu pengetahuan. Meskipun berbeda ilmu yang dipelajari di bangku pendidikan dengan praktek kerjanya, tetapi saya yakin bahwa tentu ada pengaruh pendidikannya tersebut dengan pekerjaannya. Jika pekerjaannya itu dilakukan dalam rangka untuk memperoleh kebaikan, maka pekerjaan yang dilakukan itu bisa dinyatakan sebagai ibadah.

Ketiga, makna bekerja. Bekerja akan bermakna ibadah jika memang diniatkan untuk ibadah. Tidak hanya bekerja dengan membaca basmalah, tetapi memang bekerja dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah SWT. Diniatkan ibadah kita kepada Allah SWT. Bagi saya bekerja itu hanya instrument saja. Sarana untuk mendapatkan rejekinya Allah, dan dengan rejeki tersebut kita bisa menghidupi keluarga. Dengan bekerja, maka kita akan bisa menyekolahkan anak-anak kita, dan cucu-cucu kita. Dengan bekerja maka kita akan bisa menyenangkan keluarga. Kesejahteraan dan kebahagiaan itu salah satunya dipicu oleh ketercukupan ekonomi. Dan indikatornya adalah jika kita bisa bekerja dengan sempurna.

Oleh karena itu mari kita niatkan bekerja sebagai lahan untuk beribadah kepada Allah. Jadikan bekerja tidak hanya sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan keluarga tetapi untuk mencari ridhonya Allah. Ada final goalnya, bahwa ibadah merupakan cara untuk memperoleh keridlaan Allah SWT. Lalu ibadah juga memiliki final hope yaitu harapan untuk menjadi lahan menemukan harapan ridlanya Allah, dan yang terakhir jadikan bekerja sebagai lahan untuk menemukan persahabatan dalam ridla Allah SWT. Kita harus memiliki friendship. Insyaallah dengan berpikir dan bertindak seperti ini, maka pekerjaan  kita akan bernilai ibadah kepada Allah SWT.

Wallahu a’lam bi al shawab.

IMAMAH, APA JUGA INI?

IMAMAH, APA JUGA INI?

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Tidak bisa dipungkiri bahwa imamah merupakan bagian dari ajaran Islam, meskipun Nabi Muhammad SAW tidak memberikan contoh yang kongkrit tentang imamah tersebut. Pada masa kenabian, maka imamah itu melekat dengan posisi Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah, sehingga tidak dapat dipisahkan antara aspek kenabian dan pemerintahan. Hal ini tentu sesuai dengan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah SAW yang berkait kelindan dengan aspek ibadah dan keyakinan, sementara itu juga terdapat aspek muamalah yang merupakan relasi antar umat yang memerlukan aspek pemerintahan. Di dalam semua relasi tersebut dipandu oleh Nash atau teks suci Alqur’an dan juga apa yang dilakukan oleh Nabi atau sunnah-sunnah yang terdapat di dalam kehidupan Rasulullah.

Ada dua kata yang terkadang membuat kita bingung, yaitu imam dan imamah. Keduanya sama-sama bermakna kepemimpinan.  Baik  imam maupun imamah memiliki makna yang sama yaitu menunjuk kepada tindakan untuk menjadi pemimpin. Hanya saja, imam itu bermakna generic atau umum. Bisa digunakan untuk mengaitkan dengan kata apa yang yang memiliki konotasi kepemimpinan. Misalnya imam shalat jamaah, imam kegiatan kebersamaan apa saja, bisa peristiwa religious atau non religious. Di dalam tradisi NU, misalnya bisa imam tahlilan, imam yasinan, imam fida’an, dan lain-lain. Semuanya terkait dengan relasi antar manusia yang membutuhkan tokoh untuk menjadi pemimpin.

Sedangkan imamah itu istilah yang  khusus berkait kelindan dengan pemerintahan. Yaitu pemimpin yang menggerakkan roda pemerintahan di dalam suatu negara. System apapun yang dipilih, maka di situ ada system imamah. Pada zaman Nabi Muhammad SAW, maka Nabi Muhammad SAW adalah pemimpin agama dan negara sekaligus. Tidak dipisahkan sebab yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW berdasar atau dipandu oleh wahyu Allah SWT. System penyatuan antara peran kenabian atau prophetic mission dengan peran pemerintahan atau state mission itu dijadikan satu melalui peran atau misi para imam, yang di dunia Syiah dikenal sebagai imam dua belas. Meskipun secara historis kemudian peran itu lebih menonjol pada peran keagamaan atau religious mission sebab kaum Syiah tidak lagi menjadi penguasa pemerintahan, kecuali di Iran dengan berbagai modifikasinya.

Islam tidak memiliki system pemerintahan yang digunakan langsung oleh Nabi Muhammad SAW. Islam mengajarkan prinsipnya dan bukan bentuknya. Islam mengajarkan agar segala sesuatunya dimusyawarahkan. Di dalam Islam disebutkan: “wa syawirhum fil amri” (Ali Imron: 159) atau artinya: “dan bermusyawarahlah dengan mereka  dalam urusan itu” atau “wa amruhum syura bainahum” (Asy Syura: 38)  yang artinya: “sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka”. Prinsip dasar di dalam Islam dalam kehidupan adalah musyawarah termasuk dalam urusan pemerintahan. Pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW, maka system musyawarah itulah yang digunakan. Para sahabat dalam jumlah yang disepakati dan orang yang ditunjuk kemudian memilih Sayyidina Abu Bakar Ash Shiddiq sebagai khalifah atau pemimpin. Berturut-turut kemudian Sayyidina Umar Bin Khattab, Sayyidina  Usman bin Affan dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Pemerintahan ini juga terdapat bercak darah, misalnya Sayyidina Umar bin Khattab, Sayyidina Usman bin Affan dibunuh, lalu Sayyidina Ali juga terbunuh. Pasca wafatnya Sayyidina Ali, maka kemudian terjadi kekacauan. Dan akhirnya naiklah Muawiyah sebagai khalifah yang dibantu oleh kroninya, dan akhirnya menghasislkan system imamah atau kekhalifahan yang bercorak mamlakah atau kerajaan atau monarkhi. System ini berakhir dan akhirnya naik Dinasti Abbasiyah yang menggantikannya sampai kekhalifahan Turki Ustmani dan Kekhalifahan Fathimiyah di Mesir, dan akhirnya jatuh kekuasaan Turki Usmani digantikan oleh system secular di bawah Kemal Pasha Attaturk.

Imamah itu terkait dengan system pemerintahan. Jadi tidak terkait secara langsung apakah harus berbasis atau berdasar Islam atau tidak. Dan semuanya tergantung dari penafsiran. Sama dengan ajaran Islam lainnya, maka semuanya adalah tafsir. Yang tidak tafsir hanyalah teks Alqur’an dan Sunnah Nabi yang qath’iyud dalalah atau yang kepastiannya sudah jelas. Sedangkan tentang imamah merupakan wilayah yang tergantung pada pendiri negara dan bangsa serta penafsiran ulamanya. Itulah sebabnya di negara-negara Timur Tengah yang mengklaim sebagai negara Islam ternyata juga bentuk negaranya bermacam-macam. Misalnya Mesir dengan bentuk negara republic atau jumhuriyah, Iran berbentuk Republik atau Islamic Republic of Iran, Irak dan Syria berbentuk republic, sementara itu Arab Saudi berbentuk kerajaan atau mamlakah, demikian juga UEA dan lain-lainnya. Jadi sangat tergantung pada bagaimana para pendiri bangsanya menentukan bentuk negaranya. Masing-masing system tersebut juga tidak menjamin ketenteraman dan kedamaian negaranya, misalnya Mesir yang berulang kali presidennya terbunuh, demikian juga Iraq dan lain-lain, terkecuali Raja Arab Saudi yang rakyatnya memang lebih memilih hidup sejahtera dengan system yang ada dibandingkan dengan system demokrasi yang tidak menjanjikan kesejahteraan.

Melihat hal ini, maka sebaiknya tidak harus ada  pemaksaan bahwa system imamah tersebut harus berbentuk khilafah, sebagaimana gagasan kaum Islamis seperti Hizbut Tahrir  (HT) atau Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Bahkan menurut saya keinginan untuk menciptakan khilafah trans-nasional merupakan pemikiran yang utopis atau tidak berpijak pada kenyataan empiris.  di dunia ini  sudah terjadi pembagian dan batas kewilayahan negara bangsa yang masing-masing memiliki otoritas atas negara dan pemerintahannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.