• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

IMAMAH, APA JUGA INI?

IMAMAH, APA JUGA INI?

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Tidak bisa dipungkiri bahwa imamah merupakan bagian dari ajaran Islam, meskipun Nabi Muhammad SAW tidak memberikan contoh yang kongkrit tentang imamah tersebut. Pada masa kenabian, maka imamah itu melekat dengan posisi Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah, sehingga tidak dapat dipisahkan antara aspek kenabian dan pemerintahan. Hal ini tentu sesuai dengan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah SAW yang berkait kelindan dengan aspek ibadah dan keyakinan, sementara itu juga terdapat aspek muamalah yang merupakan relasi antar umat yang memerlukan aspek pemerintahan. Di dalam semua relasi tersebut dipandu oleh Nash atau teks suci Alqur’an dan juga apa yang dilakukan oleh Nabi atau sunnah-sunnah yang terdapat di dalam kehidupan Rasulullah.

Ada dua kata yang terkadang membuat kita bingung, yaitu imam dan imamah. Keduanya sama-sama bermakna kepemimpinan.  Baik  imam maupun imamah memiliki makna yang sama yaitu menunjuk kepada tindakan untuk menjadi pemimpin. Hanya saja, imam itu bermakna generic atau umum. Bisa digunakan untuk mengaitkan dengan kata apa yang yang memiliki konotasi kepemimpinan. Misalnya imam shalat jamaah, imam kegiatan kebersamaan apa saja, bisa peristiwa religious atau non religious. Di dalam tradisi NU, misalnya bisa imam tahlilan, imam yasinan, imam fida’an, dan lain-lain. Semuanya terkait dengan relasi antar manusia yang membutuhkan tokoh untuk menjadi pemimpin.

Sedangkan imamah itu istilah yang  khusus berkait kelindan dengan pemerintahan. Yaitu pemimpin yang menggerakkan roda pemerintahan di dalam suatu negara. System apapun yang dipilih, maka di situ ada system imamah. Pada zaman Nabi Muhammad SAW, maka Nabi Muhammad SAW adalah pemimpin agama dan negara sekaligus. Tidak dipisahkan sebab yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW berdasar atau dipandu oleh wahyu Allah SWT. System penyatuan antara peran kenabian atau prophetic mission dengan peran pemerintahan atau state mission itu dijadikan satu melalui peran atau misi para imam, yang di dunia Syiah dikenal sebagai imam dua belas. Meskipun secara historis kemudian peran itu lebih menonjol pada peran keagamaan atau religious mission sebab kaum Syiah tidak lagi menjadi penguasa pemerintahan, kecuali di Iran dengan berbagai modifikasinya.

Islam tidak memiliki system pemerintahan yang digunakan langsung oleh Nabi Muhammad SAW. Islam mengajarkan prinsipnya dan bukan bentuknya. Islam mengajarkan agar segala sesuatunya dimusyawarahkan. Di dalam Islam disebutkan: “wa syawirhum fil amri” (Ali Imron: 159) atau artinya: “dan bermusyawarahlah dengan mereka  dalam urusan itu” atau “wa amruhum syura bainahum” (Asy Syura: 38)  yang artinya: “sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka”. Prinsip dasar di dalam Islam dalam kehidupan adalah musyawarah termasuk dalam urusan pemerintahan. Pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW, maka system musyawarah itulah yang digunakan. Para sahabat dalam jumlah yang disepakati dan orang yang ditunjuk kemudian memilih Sayyidina Abu Bakar Ash Shiddiq sebagai khalifah atau pemimpin. Berturut-turut kemudian Sayyidina Umar Bin Khattab, Sayyidina  Usman bin Affan dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Pemerintahan ini juga terdapat bercak darah, misalnya Sayyidina Umar bin Khattab, Sayyidina Usman bin Affan dibunuh, lalu Sayyidina Ali juga terbunuh. Pasca wafatnya Sayyidina Ali, maka kemudian terjadi kekacauan. Dan akhirnya naiklah Muawiyah sebagai khalifah yang dibantu oleh kroninya, dan akhirnya menghasislkan system imamah atau kekhalifahan yang bercorak mamlakah atau kerajaan atau monarkhi. System ini berakhir dan akhirnya naik Dinasti Abbasiyah yang menggantikannya sampai kekhalifahan Turki Ustmani dan Kekhalifahan Fathimiyah di Mesir, dan akhirnya jatuh kekuasaan Turki Usmani digantikan oleh system secular di bawah Kemal Pasha Attaturk.

Imamah itu terkait dengan system pemerintahan. Jadi tidak terkait secara langsung apakah harus berbasis atau berdasar Islam atau tidak. Dan semuanya tergantung dari penafsiran. Sama dengan ajaran Islam lainnya, maka semuanya adalah tafsir. Yang tidak tafsir hanyalah teks Alqur’an dan Sunnah Nabi yang qath’iyud dalalah atau yang kepastiannya sudah jelas. Sedangkan tentang imamah merupakan wilayah yang tergantung pada pendiri negara dan bangsa serta penafsiran ulamanya. Itulah sebabnya di negara-negara Timur Tengah yang mengklaim sebagai negara Islam ternyata juga bentuk negaranya bermacam-macam. Misalnya Mesir dengan bentuk negara republic atau jumhuriyah, Iran berbentuk Republik atau Islamic Republic of Iran, Irak dan Syria berbentuk republic, sementara itu Arab Saudi berbentuk kerajaan atau mamlakah, demikian juga UEA dan lain-lainnya. Jadi sangat tergantung pada bagaimana para pendiri bangsanya menentukan bentuk negaranya. Masing-masing system tersebut juga tidak menjamin ketenteraman dan kedamaian negaranya, misalnya Mesir yang berulang kali presidennya terbunuh, demikian juga Iraq dan lain-lain, terkecuali Raja Arab Saudi yang rakyatnya memang lebih memilih hidup sejahtera dengan system yang ada dibandingkan dengan system demokrasi yang tidak menjanjikan kesejahteraan.

Melihat hal ini, maka sebaiknya tidak harus ada  pemaksaan bahwa system imamah tersebut harus berbentuk khilafah, sebagaimana gagasan kaum Islamis seperti Hizbut Tahrir  (HT) atau Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Bahkan menurut saya keinginan untuk menciptakan khilafah trans-nasional merupakan pemikiran yang utopis atau tidak berpijak pada kenyataan empiris.  di dunia ini  sudah terjadi pembagian dan batas kewilayahan negara bangsa yang masing-masing memiliki otoritas atas negara dan pemerintahannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..