KAFIR: MAKNA SOSIOLOGIS
KAFIR: MAKNA SOSIOLOGIS
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Komunitas Ngaji Bahagia (NSC) menyelenggarakan ngaji luring pada hari Selasa atau disebut ngaji selasanan dengan jumlah jamaah yang relative banyak, sebab biasanya memang hanya diikuti oleh Jamaah Masjid Al Ihsan, akan tetapi pada Selasa, 05/11/2023 diikuti oleh Jamaah Masjid Raudlatul Jannah Perumahan Sakura Regency. Tidak seperti biasanya, maka wedang sereh dan soto ayam pun ikut dihadirkan. Saya yang memandu acara pengajian bada Subuh tersebut dan saya membicarakan tentang konsep Kafir di dalam Islam. Sebagaimana biasanya, maka tema ngaji saya sampaikan dalam tiga hal, yaitu:
Pertama, memahami kata kafir. Kafir berasal dari Bahasa Arab ka-fa-ra, yakfuru, kufron atau, kafir atau kata ganti orang artinya mengingkari atau menutupi. Bisa juga berasal dari kata kaffara, yukaffiru, takfiran yang artinya mengkafirkan. Kata kafara yang pertama berarti mengingkari atau menutupi kebenaran, atau mengingkari kebenaran Allah, sedangkan yang kedua berarti mengkafirkan kepada orang lain. Makanya, secara sosiologis ada dua makna yaitu makna umum dan makna khusus. Makna umum merupakan ungkapan yang menggambarkan seluruh penolakan atau pengingkaran atas apa saja, misalnya mengingkari nikmat Tuhan atau disebut juga sebagai kufrun ni’mah. Sedangkan pemahaman secara khusus adalah terkait dengan dunia keyakinan tentang keberadaan Tuhan. Orang atheis artinya orang yang tidak percaya mengenai keberadaan Tuhan. A tidak dan theis tuhan. Tidak bertuhan. Di dalam serapan Bahasa Indoesia, kata kafir memiliki dua arti itu, yaitu menolak keberadaan Tuhan dan mengingkari nikmat Tuhan. Secara istilah kafir adalah orang yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan dan tidak meyakini bahwa Tuhan adalah Dzat yang menguasai seluruh dunia, makro kosmos dan mikro kosmos, dan segala hal yang dikaitkan dengan Tuhan. Jika tidak percaya kepada keberadaan Tuhan, maka konsekuensinya adalah tidak mempercayai seluruh syariat atau ajaran agama yang dikaitkan dengan Tuhan.
Kedua, secara semantic, kata kafir dikaitkan dengan kata-kata di dalam Alqur’an yang intinya adalah ketidaknyamanan, kesulitan, kesengsaraan dan hukuman. Suatu contoh di dalam Surat Al Waqi’ah, ayat 42-44, dinyatakan: “fi samumiw wa hamim, wa dzillim miyyahmun, la baridi wa la karim”, artinya: “(mereka) dalam siksaan angin yang sangat panas.dan air yang mendidih, dan naungan asap yang hitam, tidak sejuk dan tidak menyenangkan”. Kata kafir diasosiasikan dengan Ashab al syimal. Kelompok kiri yang dilawankan dengan kata ashab al yamin atau golongan kanan. Selain itu juga dikaitkan dengan kata Naru Jahanam atau neraka jahanam, syarrul bariyyah atau kehidupan yang jelek, atau juga dikaitkan dengan kata dosa dan masih banyak lagi.
Seseorang dapat dilabel kafir karena mengingkari atas persaksiannya kepada Allah SWT. Ketika di alam roh, maka semua manusia ditanya oleh Allah SWT: alastu birabbukum, qalu bala syahidna”. Allah berfirman: “adakah aku ini Tuhanmu, maka serentak roh menyatakan, ya aku menyaksikannya” (Alqur’an Surat Al A’raf, 172). Jadi kala manusia dilahirkan ke dunia melalui perantaraan orang tua atau Bapak dan Ibu, maka Allah menagih janji manusia akan keyakinan dan kepatuhan kepada Allah SWT. Karena manusia memiliki sifat lupa, maka Allah menurunkan Nabi dan Rasul untuk mengingatkan kembali akan janjinya tersebut. Di antara manusia, ada yang sadar dan mengikuti anjuran Rasulullah dan ada yang mengingkarinya. Yang mengikuti anjuran Rasul disebut sebagai mukmin dan yang mengingkarinya disebut sebagai kafir. Ingkar dalam arti khusus yaitu mengingkari akan keberadaan atau eksistensi Allah sebagai Tuhan. Tentu berbeda artinya dengan mengingkari nikmat Allah atau tidak bersyukur. Orang yang beriman bisa saja tidak mensyukuri nikmat Allah SWT.
Ketiga, macam-macam kafir. Ada empat jenis kafir yang dikenal dalam literatur ilmu keislaman, yaitu kafir harbi ialah kafir yang bisa diperangi karena mereka memerangi terhadap umat Islam. Misalnya kaum Israel adalah contoh kafir harbi. Untuk mereka itu maka berlaku prinsip harakah ijtihadiyah atau prinsip gerakan memerangi terhadapnya. Mereka melakukan penyerangan terhadap umat Islam, maka umat Islampun harus melawan. Pada zaman Belanda, setelah Kemerdekaan 19/8/1945, maka KH. Hasyim Asy’ari mengumunkan perlunya jihad melawan Belanda dan sekutunya, yang disebut sebagai Resolusi Jihad. Artinya harus melakukan jihad terhadap Belanda dan sekutunya. Nabi Muhammad SAW juga melakukan peperangan terhadap kaum kafir karena mereka menyerang terhadap umat Islam. Dalam konteks ini, maka jihad berarti perang.
Kemudian, kafir dzimmi atau kafir yang memperoleh perlindungan. Mereka memang orang yang beragama lain, akan tetapi mereka mematuhi terhadap pemerintah yang sah. Misalnya membayar zakat. Di masa Nabi Muhammad SAW mereka dikenai untuk membayar jizyah dengan ketentuan yang disepakati. Di Indonesia sekarang ini bisa dikategorikan sebagai orang kafir yang disebut sebagai kafir dzimmi. Orang yang tidak mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah, tetapi berada di dalam negara yang damai. Orang kafir tersebut mematuhi regulasi, maka mereka harus memperoleh perlindungan.
Kafir musta’man adalah orang kafir yang mendapatkan suaka di dalam wilayah negara. Mereka meminta suaka pada negara lain dan diberikannya. Dan yang terakhir adalah kafir mu’ahad atau terikat perjanjian dengan pemerintah atau pemimpin negara. Nabi Muhammad SAW pernah melakukan perjanjian dengan berbagai suku di Arab Saudi, untuk hidup berdampingan. Mereka akan saling berada di dalam kedamaian dan saling mempercayai dan tidak akan melakukan pencederaan atas perjanjian tersebut.
Kita tentu harus bersyukur sebab bisa hidup di Negara Republik Indonesia, meskipun bukan negara agama, akan tetapi menjadikan agama sebagai pattern for behaviour negara dan juga masyarakatnya. Kita hidup dalam kedamaian meskipun berbeda suku bangsa, etnis, golongan social dan agama. Sungguh kita merasakan betapa Indonesia merupakan negara idaman bagi manusia di dunia, sebab negeri ini aman dan damai, dan insyaallah juga akan menjadi negara yang rakyatnya merasakan kemakmuran.
Wallahu a’lam bi al shawab.