• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

OPTIMISLAH SURGA ITU MILIK KITA

OPTIMISLAH SURGA ITU MILIK KITA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Ada yang sangat menarik di dalam pengajian hari Selasa, 09/01/2023 yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Cholil Umam di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency. Pengajian bada shubuh ini diikuti oleh sejumlah jamaah shalat shubuh dari warga Perumahan Lotus Regency dan Perumahan Sakura. Pengajian yang materinya sangat menarik itu  disampaikan oleh da’i yang memiliki jam terbang yang tinggi. Ustadz Dr. Cholil Umam adalah penceramah yang sudah malang melintang dalam dunia dakwah khususnya di Kota Surabaya.

Meskipun kuliah bada shubuh tetapi tetap dikemas dalam senda gurau sebagaimana ciri khas dari Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) yang memang selain mendapatkan materi ceramah agama yang bervariasi juga terdapat humor yang menyegarkan. Sungguh kita semua merasa bahagia sewaktu dan setelah mengikuti ceramah agama. Siapapun penceramahnya, maka harus terdapat humor di dalamnya.

Pak Cholil menyampaikan tiga hal mendasar, yaitu: pertama, optimislah bahwa surga akan menjadi milik kita. Jangan kita pesimis bahwa kita tidak bisa masuk surga. Orang memang harus takut masuk neraka tetapi jangan ragu bahwa kita ke depan adalah warga surganya Allah SWT. Untuk masuk surga syaratnya tidak berat. Allah memberikan peluang bagi umat Islam untuk dapat dengan mudah masuk surga. Hanya ada tiga syarat saja untuk bisa menjadi penghuni surga.

Syarat itu adalah dengan menjalankan shalat jamaah, khususnya shalat shubuh. Berjamaah shalat shubuh ternyata menjadi pintu masuk ke dalam surganya Allah, karena shalat shubuh itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memang benar-benar mencari ridlanya Allah SWT. Secara umum, shalat jamaah di masjid itu memang berat sebab orang banyak berpikir yang penting menjalankan shalat rawatib. Padahal kalau tahu hikmah shalat jamaah, maka orang akan melakukan shalat jamaah tersebut, terutama shalat shubuh.

Allah akan menghitung setiap langkah kita ke masjid untuk shalat jamaah itu dengan balasan surga. Jika rumahnya di Lotus Regency, maka bisa dihitung berapa langkah ke masjid, tetapi bagi jamaah dari Sakura tentu memakai kendaraan bermotor, lalu bagaimana Malaikat menghitungnya? Maka yang seperti ini adalah urusan Allah untuk memberi pahala yang setimpal. Rasulullah itu manusia yang memiliki kadar kasih sayang melebihi makhluk lainnya. Ada seorang jamaah di masjid yang diimami oleh Rasulullah. Sahabat yang tidak terkenal,  Namanya Sa’ban Mughirah. Tetapi jamaahnya rutin dan selalu berada di pojok masjid bagian depan. Suatu ketika selama sepekan sahabat Nabi ini tidak shalat jamaah, maka selesai shalat Nabi bertanya kepada jamaah, siapa yang tahu keadaan Sa’ban? Para sahabat menyatakan tidak tahu. Lalu Nabi menanyakan lagi, di mana rumahnya, maka ada seorang sahabat yang menyatakan tahu rumah Sa’ban. Maka Nabi dan beberapa sahabat mendatangi rumahnya yang cukup jauh kira-kira perjalanan 30 menit. Kira-kira antara masjid ini dengan Wonokromo. Sesampainya di rumah itu, ternyata ada pertanda sedang ada yang baru meninggal. Ternyata yang meninggal adalah Sa’ban. Lalu Nabi bertanya bagaimana keadaan Sa’ban, maka ada seorang tetangganya yang menyatakan, beliau sering menyatakan: “kenapa kurang jauh Ya Allah” dan hal itu diulang berkali-kali. Maka Nabi kemudian mendapatkan petunjuk bahwa pahala yang diberikan oleh Allah sangat luar biasa karena perjalanan menuju masjid pada saat shalat rawatib. Dijelaskan oleh Nabi bahwa yang diungkapkan itu adalah “kalau tahu sebegitu besarnya pahala, kenapa tidak ditakdirkan rumahnya lebih jauh, sehingga pahalanya lebih besar.”

Berikutnya, Pak Cholil menjelaskan  kesukaannya  membaca surat di Alqur’an yang isinya merupakan motivasi untuk melakukan kebaikan dan bersikap optimis. Surat Adh Dhuha, khususnya ayat “walal akhiratu khoirul laka minal ula”. Yang artinya: “bahwa kehidupan di akherat itu lebih baik dari kehidupan di dunia”. Ayat ini memberikan optimisme yang sangat tinggi. Jika seandainya kita tidak mendapatkan kehidupan di dunia yang nikmat atau di dalam kehidupan kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan, maka Allah memberikan jaminan bahwa kehidupan di akherat itu lebih baik”. Maka optimislah. Berikutnya adalah Surat al Insyirah, khususnya ayat: “inna ma’al ‘usyri yusro” dan diulang dua kali. Hal ini juga membuat kita optimis. Bahwa setiap sesuatu itu ada jalan keluarnya. Setiap kesulitan ada jalan kemudahan. Dalam surat ini ada ayat  al usyri itu isim ma’rifat jelas dan satu masalah, Allah memberikan petunjuk dengan ‘usro yang isimnya nakirah atau banyak potensi jawabannya. Jadi Allah itu memberikan satu ujian kepada kita tetapi memberikan banyak jalan penyelesaian.

Kedua, bersabar. Untuk masuk surga caranya dengan kesabaran. Di dalam menghdapai kesulitan di dalam kehidupan itu jawabannya adalah dengan kesabaran. Jangan jadi orang yang suka marah-marah. Ada persoalan sedikit saja marah. Tetapi yang penting justru bersabar. Yakinlah dengan kesabaran akan terdapat  jalan keluar di dalam menghadapi kesulitan atau ujian atas kehidupan kita. Jika ingin melihat orang yang sabar itu contohnya petinju. Jangan hanya dilihat atas pertarungannya  tetapi lihatlah bagaimana pertarungan tersebut berlangsung dan bagaimana kesabaran memainkan peran. Di dalam kesabaran itu terdapat keberanian. Jangan selalu berada di dalam ketakutan terhadap siapa saja. Ketakutan itu hanya kepada Allah semata. Kalau tidak berani maka pasti akan kalah. Lalu kemandirian, sebab petinju itu kala di atas ring harus bertarung sendirian. Bisa diberi instruksi oleh pelatih tetapi yang bertanding adalah petinjunya. Kemudian juga harus mengatur strategi, kapan memukul kapan menghindar. Untuk itu dibutuhkan kesabaran. Seterusnya memiliki kekuatan untuk melawan. Petinju itu harus berlatih dengan keras agar memiliki kekuatan. Jika tidak sabar, maka dia akan dikalahkan oleh emosinya. Kesabaran menjadi kata kuncinya.

Ketiga, menjaga istiqamah. Ibadah yang paling baik itu adalah ibadah yang dilakukan secara terus menerus atau secara rutin. Upayakan kita dapat melakukan ibadah shalat rawatib, shalat jamaah,  shalat sunnah dengan cara instiqamah. Kita bisa istiqamah shalat malam, lalu dzikir, lalu shalat qabliyah shubuh, lalu shalat subuh berjamaah, lalu dzikir atau mengaji Alqur’an sampai terbit matahari dan hal ini dilakukan secara rutin, maka inilah jalan ke surga yang dikehendaki oleh Allah SWT.

Mari kita optimis dengan amal ibadah yang kita lakukan sehingga kita akan menjadi bagian dari orang yang mendapatkan kebaikan di hari akhir. Kita harus optimis bahwa kehidupan di akherat itu akan jauh lebih baik karena kita semua termasuk orang yang terus menerus mengabdi kepada Allah SWT.

Wallahu a’lam bi al shawab.

MENJAGA DIRI DARI THAGHUT

MENJAGA DIRI DARI THAGHUT

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Tulisan ini bukanlah menggunakan perspektif hukum Islam atau lebih khusus fiqih, akan tetapi lebih bercorak sosiologis. Bukan otoritas saya untuk membicarakan tentang thaghut dari perspektif fiqih. Yang menjadi sedikit otoritas saya adalah pendekatan sosiologis sebagaimana yang pernah saya pelajari.

Tentang thaghut dari perspektif ajaran sudah saya paparkan pada tulisan sebelumnya sebagai hasil dari rangkuman atas ceramah dalam Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) yang diisi oleh Ustadz Muhammad Zamzami, STh., dan kemudian saya berikan komentar pendek terkait dengan penjelasan-penjelasan yang telah disampaikannya. Tetapi yang jelas bahwa thaghut ada kaitannya dengan dunia keyakinan yang menjadi inti di dalam agama Islam.

Pada tulisan yang lalu, saya lebih banyak membahas thaghut dalam konteks kekuasaan atau pemerintahan, sedangkan Muhammad Zamzami lebih banyak membahas tentang thaghut dari perspektif fiqih. Pembahasan  dikaitkan dengan pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab yang menjadi pusat genealogi kaum Salafi Wahabi dari masa lalu hingga sekarang. Jika ada orang yang membahas tentang pemerintahan thaghut atau pemikiran yang berbasis pada keyakinan keagamaan yang dinyatakannya tidak sesuai dengan Islam murni, maka hal itu pasti dikaitkan dengan Muhammad bin Abdul Wahab.

Thaghut dapat dikaitkan dengan beberapa konsep Islam yang terbiasa disampaikan atau didakwahkan oleh kaum Salafi Wahabi, yaitu takhayul, bidh’ah dan churafat (TBC). Muhammadiyah di masa lalu, kira-kira tahun 1950-1970-an, juga sering mendakwahkan tentang TBC dan kemudian diakhir-akhir ini, kala Muhammadiyah surut dan tidak lagi membicarakan TBC, maka representasi TBC dilakukan oleh kaum Salafi Wahabi. Dunia media social menjadi ajang bagi kaum Salafi Wahabi untuk mengekspresikan dan menyebarkan keyakinannya tentang ajaran Islam.

Di dalam tulisan ini akan sedikit diulas tentang takhayul atau kepercayaan atas sesuatu yang tidak layak dipercayai. Takhayul di dalam Bahasa Arab berarti  membayangkan, menghayalkan atau berimajinasi, sedangkan secara istilah merupakan kepercayaan atas hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Takhayul sering dikontradiksikan dengan keimanan. Orang yang bertakhayul artinya meyakini bahwa ada sesuatu yang diyakini di luar keimanan kepada Tuhan. Meyakini kebenaran akan terjadinya suatu hal di masa depan. Misalnya meramal nasib orang, meramal akan terjadi malapetaka, meramal akan terjadi masalah dan sebagainya. Hal tersebut diyakini sebagai kebenaran.

Di dalam tradisi Jawa terdapat banyak kepercayaan, misalnya jika ada burung prenjak maka dipercayai ada tamu, kalau ada bunyi burung gagak akan ada kematian, jika kejatuhan cecak akan bermasalah, bahkan bunyi tokekpun bisa dijadikan sebagai perlambang tertentu. Jika ada orang bermimpi giginya tanggal, maka  disimpulkan akan ada keluarganya yang meninggal,. Jika gigi atas yang tanggal, maka keluarga yang usianya lebih tua dan jika yang tanggal gigi bawah, maka yang akan meninggal adalah keluarga yang lebih muda. Di dalam tradisi Jawa, dunia berisi symbol-simbol yang dapat dipahami dengan mata batin. Orang Jawa yang terbiasa untuk melakukan riyadhoh tentu dapat merasakan aura apa yang disimbolkan oleh alam. Daun jatuhpun merupakan  simbol.

Lalu, bagaimana dengan ramalan seperti ini? Adakah Islam mengakomodasi atau menolaknya? Maka sebagai jawabannya adalah tergantung dari keyakinannya. Islam mengajarkan bahwa keyakinan tentang semua kejadian adalah milik Allah. Tidak ada suatu kejadian yang tidak diketahui oleh Allah. Oleh karena itu jangan meyakini akan sesuatu yang belum terjadi. Untuk itu maka yang digunakan adalah potensi kejadian, dan bukan keyakinan akan kejadian. Jika yang dibicarakan itu potensinya, maka kita tidak meyakini sesuatu yang akan terjadi. Potensi itu peluangnya bisa terjadi dan tidak terjadi. Jika terjadi maka semata-mata kehendak Allah atau kepastian yang datang dari Allah. Dengan demikian,  janganlah lalu dihakimi syirik, haram atau bahkan makruh. Jika yang diyakini adalah potensi saja yang masih tergantung, maka kita tidak jatuh pada melakukan tindakan takhayul. Kita tidak berpikir tentang kejadian yang masuk atau tidak masuk akal.

Sama halnya pendapat yang menyatakan semua manusia memiliki potensi mendapatkan rejeki, akan tetapi untuk memperoleh rejeki maka syaratnya adalah orang harus berusaha. Jadi keyakinannya pada potensi adanya rejeki dan bukan keyakinan rejeki itu pasti  miliknya. Kita harus tetap berusaha, berdoa dan bertawakkal kepada Allah akan kehadiran rejeki pada seseorang tersebut.

Ada contoh lain, terkadang kita menyatakan bahwa seseorang sembuh karena dokter. Pernyataan ini seakan-akan meyakini bahwa dokterlah yang menyembuhkan penyakit. Maka jangan menyatakan bahwa dokter itu yang menyembuhkan, akan tetapi dokter itu menjadi perantara Allah untuk menyembuhkan. Manusia sakit berpotensi untuk sembuh atau juga tidak sembuh. Oleh karena itu, orang harus berusaha untuk menemukan washilah Allah untuk menyembuhkan penyakitnya. Pernyataan ini sama sekali bukan mengerdilkan otoritas Allah untuk menyembuhkan orang sakit. Allah itu kun fayakun semuanya terjadi. Hanya saja bahwa Allah akan memberikan wewenang bagi dokter untuk kesembuhan orang sakit.

Makanya, bagi saya, takhayul itu hanya ada jika orang meyakini bahwa ada kekuatan alam yang berupa symbol dan hal itu diyakini sebagai kebenaran. Oleh karena itu, jika hanya menyatakan sebagai potensi symbol tersebut terjadi, maka hal itu tidak bisa dinyatakan sebagai takhayul.

Wallahu a’lam bi al shawab.

MASUK SURGA ITU HAKNYA ALLAH SWT

MASUK SURGA ITU HAKNYA ALLAH SWT

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) makin konsisten. Bukan dari sisi jumlah yang mengaji tahsinan, tetapi dari pembahasan tentang ayat-ayat yang dipelajari bersama. Memang sebelum membaca ayat-ayat Alqur’an, maka dibacakan tarjamah ayat yang dibacakan oleh Ustadz Alif Rifqi, mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya. Pada hari Rabo, 04/01/2024, kita membahas tentang ayat di dalam Surat Al Qalam. Di antara ayat tersebut membahas tentang surga bagi orang yang beriman yang  akan memasuki surga Na’im, dan yang penting bahwa Allah akan membedakan antara orang yang beriman dengan orang yang tidak beriman.

Saya membahasnya dalam tiga hal, yaitu: Pertama, peluang masuk surga. Di  sini sebenarnya Allah memberikan peluang bagi orang yang beriman untuk menjadi penghuni surga dan memberikan peluang bagi orang yang tidak beriman atau kafir untuk memasuki neraka yang panasnya berlipat-lipat. Untuk masuk surga bisa dari umat Nabi-nabi terdahulu hingga Nabi Muhammad SAW. Umat Nabi Ibrahim yang mengamalkan agama Hanif, atau umat Yahudi yang mengamalkan ajaran Nabi Musa, orang Nasrani yang mengamalkan ajaran Nabi Isa dan umat yang mengamalkan Islam sesuai dengan pedoman yang diarahkan oleh Nabi Muhammad, semuanya berpeluang masuk surga, sebagaimana yang dijanjikan oleh Allah SWT.

Kedua, pandangan ahli ilmu kalam. Bagi ahli ilmu kalam atau ahli teologi, maka orang bisa beriman atau dalam kesesatan itu semata takdir Tuhan atau upaya manusia. Ada beberapa penjelasan, misalnya ada kaum Jabariyah, yang serba takdir bahwa semua karena takdir. Orang beriman atau tidak beriman, ada pemimpin yang adil atau  dholim dan semua yang dilakukan oleh manusia adalah bagian dari takdir Tuhan. Kaum ini berpikir serba takdir. Tetapi ujung akhirnya akan tetap kembali  kepada Allah SWT. Kelompok ini disebut sebagai aliran determinisme. Tokohnya adalah Ja’ad bin Dirham dan Jahm ibnu Shafwan.

Lalu ada ahli teologi yang berpaham bahwa semua karena factor manusia. Kelompok ini serba usaha. Semua kembali kepada usaha manusia. Disebut sebagai aliran Qadariyah. Jadi bukan Tuhan yang menentukan manusia masuk surga atau tidak, akan tetapi karena perilaku manusia itu sendiri. Manusia memiliki kehendak bebas dan perilaku bebas atau free will and free acts. Karena kebebasan tersebut, maka manusia bisa diganjar atau disiksa, memperoleh reward atau punishment tergantung dari amalnya. Manusia sudah diberikan pedoman ajaran agama sehingga bisa memilih jalan selamat atau jalan celaka. Aliran ini disebut sebagai aliran rasional. Di sinilah terdapat keadilan Tuhan. Tokohnya adalah Ma’bad Al Juhani dan Galian Al Dimasyqi.

Lalu ada ahli teologi yang mengambil jalan ketiga, memadukan antara takdir dan ikhtiar atau kepastian dan usaha. Penafsiran tentang takdir dalam konteks jalan ketiga atau kaum Ahli Sunnah dalam teologi adalah Tuhan yang menentukan dan manusia yang berusaha. Ada kepastian dan ada usaha. Keduanya saling berhimpitan. Di dalam usaha ada takdir dan di dalam takdir ada usaha. Man proposes God disposes. Ada takdir yang kepastiannya mutlak dan ada takdir yang kepastiannya mengambang. Dalam Bahasa Arab disebut ada takdir yang mubrom dan ada yang mu’allaq. Yang mubrom itu pasti tanpa ada kata tidak atau pasti terjadi, sedangkan yang muallaq itu tergantung kepada manusia mengusahakannya. Misalnya kematian, kelahiran, dan usia manusia  itu mutlak kepastian Tuhan. Diusahakan atau tidak pasti akan terjadi.  Tetapi ada yang muallaq, misalnya orang sakit dan kemudian melalui washilah dokter dan kemudian sembuh,  maka itu kepastian yang bersifat tergantung. Jika sakit dan tidak diobati, maka akan meninggal,  maka ketiadaan usaha itu menjadi washilah terjadinya takdir. Rejeki itu takdir Allah,  tetapi bisa tergantung usaha. Setiap manusia akan mendapatkan rejeki dari Allah, tetapi rejeki tersebut masih menggantung kepada usaha yang dilakukan oleh manusia. Semua manusia memiliki potensi untuk mendapat rejeki dengan besaran masing-masing, tetapi karena factor usaha maka rejeki tersebut menjadi takdir yang pasti. Menjadi actual.

Ketiga, surga merupakan  haknya Allah. Manusia juga memiliki potensi masuk surga, semuanya. Tetapi untuk masuk surga tergantung pada imannya kepada Allah dan kepasrahannya kepada Allah. Maka Iman dan Islam merupakan satu pasangan. Tidak cukup iman saja tetapi harus dibarengi dengan Islam. Percaya kepada Tuhan dan pasrah untuk menjadi hambanya Allah dengan menjalankan amalan-amalan kebaikan yang diwajibkannya. Pedoman sudah diberikan melalui perantaraan Nabi atau Rasul sehingga manusia bisa memilih mau kemana. Mau berislam atau mengingkari kebenaran. Tokoh ahli sunni adalah Al Maturidi dan Al Asy’ari.

Itulah sebabnya di dalam pandangan kaum Sunni dinyatakan dengan trilogy takdir dan usaha, yaitu “berusaha, berdoa dan pasrah” atau “ikhtiar, doa dan tawakkal” kepada Allah SWT. Jadi saya kira yang lebih tepat untuk menjadi pemahaman atas takdir adalah jalan ketiga ini.

Surga itu haknya Allah SWT dan manusia harus berusaha untuk menggapainya melalui ajaran agama yang diyakini kebenarannya. Kita semua berada di dalam pemahaman agama seperti ini.

Wallahu a’lam bi al shawab.

THAGHUT DI ERA MODEREN

THAGHUT DI ERA MODEREN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Pada Selasa, 02/01/2024, jamaah pengajian atau Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) memperoleh asupan pemahaman yang sangat penting, yaitu thaghut yang disampaikan oleh Ustadz Muhammad Zamzami, S.Fil.I, al hafidz, alumni Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya. Ketepatan bahwa Ustadz Zamzami meneliti tentang Thaghut dalam pandangan Ali Sunnah dan Syiah melalui kajian tentang thaghut dalam Tafsir Al Munir dan Tafsir Qumi.

Di dalam surat Al Baqarah ayat 256, dijelaskan sebagai berikut: “la ikraha fiddin, qod tabayyanar rusydu minal gahyyi. Faman yakfur bit thaghuti wa yu’min billahi faqadisy tamsyaka bil ‘urwatil wustqa lan fishama laha, wallahu sami’un ‘alim”. Yang artinya: “tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama Islam, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada tali Allah yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Ustadz Zamzami mengutip pandangan Muhammad bin Abdul Wahab tentang thaghut. Menurut Bahasa, thaghut adalah melanggar batas, berbuat kejam dan sewenang-wenang,  melebihi batas dan pengingkaran atas kebenaran Tuhan secara optimal. Dinyatakannya bahwa thaghut memiliki banyak arti, di antaranya adalah syaithan, penguasa yang dzalim dan orang atau kelompok yang menentukan sesuatu bukan bersumber dari hukum Islam, orang yang mengaku mengetahui hal-hal ghaib, dan orang yang beribadah selain mencari ridha Allah.

Jika dikaitkan dengan pemahaman tersebut, maka thaghut berarti mengikuti jalan syaitan, atau mengikuti jalan kemungkaran, jalan kesesatan dan mengingkari atau menolak ajaran Islam. Lalu yang menarik, bahwa thaghut bisa dikaitkan dengan kekuasaan atau pemerintahan. Thaghut dalam konteks pemerintahan, adalah jika sebuah pemerintahan melakukan atau merumuskan kebijakan yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Pemerintahan yang mengajak masyarakatnya untuk mengingkari ajaran agama dan menolak atas kebenaran yang diajarkan oleh agama. Jika ada pemerintahan yang melakukan hal ini, maka pemerintahan tersebut dapat dianggap sebagai pemerintahan thaghut.

Yang tidak kalah menarik, bahwa thaghut tersebut juga dapat dikaitkan dengan system perundang-undangan. Jika perundang-undangan di dalam sebuah negara kemudian bercorak secular atau tidak didasarkan pada hukum Allah, maka negara tersebut juga dapat dilabel sebagai negara thaghut. Pemberlakuan hukum yang tidak didasarkan pada hukum Allah itu disebut dengan negara thaghut.

Dilihat dari pemahaman tersebut, maka orang yang mengaku bisa memprediksi hal-hal gaib di masa yang akan datang, maka itu termasuk thaghut. Dhukun atau ahli ramal tentang nasib orang di masa yang akan datang bisa dikategorikan sebagai thaghut. Meramal nasib perjodohan, meramal tentang nasib usaha di masa depan dan sebagainya adalah bagian dari perilaku thaghut. Dukun atau peramal melakukan pekerjaannya tanpa data karena konon katanya berasal dari kemampuan adikodratinya, sedangkan memprediksi atau forecasting atas usaha berdasar atas data yang dianalisis tentu masuk dalam kajian ilmu pengetahuan dan bukan ramalan. Contoh lain, di dalam keyakinan Jawa bahwa utuk menikah seseorang harus menghindari angka 25 dari hari kelahiran lelaki dan perempuan. Katanya bisa celaka. Yang semacam ini tidak perlu diyakini kebenarannya dan juga bisa dikategorikan sebagai thaghut.

Di dalam pengajian ini, saya turut memberikan sedikit pemahaman tentang thaghut sebagai konsepsi yang telah dinyatakan oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Berdasarkan uraian tadi, maka sesungguhnya penjelasan Muhammad bin Abdul Wahab tentu berdasarkan atas apa yang dianggapnya penting pada saat itu. Di dalam mendirikan negara Saudi Arabia, maka ada dua orang yang penting, yaitu Ibnu Saud dan Abdul Wahab. Dua orang ini bersepakat bahwa yang memegang tampuk kekuasaan Arab Saudi adalah generasi keturunan  dari Ibnu Saud, sedangkan yang menjadi pemegang otoritas keagamaan adalah Abdul Wahab dan keturunannya.

Jadi kerajaan Saudi Arabia merupakan system pemerintahan monarchi yang berbasis pada system keturunan Ibnu Saud, dan untuk paham keagamaannya harus berdasar atas penafsiran Abdul Wahab. Itulah sebabnya beberapa ahli menyatakan bahwa paham keagamaan Arab Saudi adalah Wahabiyah atau Salafi Wahabi. Kata Salafi dikaitkan dengan upaya Abdul Wahab untuk mengikuti ulama salafus shalih dengan doktrin Kembali kepada Alqur’an dan hadits. Mereka sangat keras dalam memberantas takhayul, bidh’ah dan khurafat (TBC). Semua yang tidak didapatkan sunnahnya sesuai dengan amalan rasul dianggap sebagai mengada-ada dan merupakan kesesatan. Kelompok HTI, FPI dan aliran Islam yang fundamental lebih suka menyebut dirinya sebagai ahli sunnah, tetapi bukan ahli sunnah wal jamaah.

Sebagai konsekuensi dari pandangannya tersebut, maka gagasan Ibn Saud juga menjadikan hukum Islam sebagai dasar menentukan kebijakannya. Tentu saja adalah hukum Islam sebagaimana dirumuskan oleh ulama-ulama Wahabi yang selama ini telah mendampingi raja-raja di Saudi. Memang tidak sekeras kaum Khawarij atau kaum radikalis yang menyatakan la hukma illa lillah atau tidak ada hukum kecuali hukumnya Allah, akan tetapi hukum Islam yang dikembangkannya dinyatakan bersumber dari hukum pada zaman kenabian atau sekurang-kurangnya masa Khulafaur Rasyidin, meskipun plus minus. Artinya hukum tetap disesuaikan dengan kenyataan perkembangan dunia.

Jadi memberantas thaghut menjadi salah satu dari agenda pemerintahan Arab Saudi agar pemerintahannya tetap berjalan di atas rel penafsiran ulama Salafi Wahabi. Sampai hari ini, yang menjadi standart dalam penafsiran ajaran agama adalah tiga ulama Arab Saudi, yaitu Syekh Nashiruddin Albani, Syekh Utsaimin dan Syekh Abdullah bin Baz dan jika ke atas lagi adalah penafsiran Ibnu Taimiyah. Semua yang tidak bersandar pada penafsiran-penafsiran tersebut maka dianggapnya sebagai tidak sah dalam paham Islam.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

MENYIKAPI LUPA DALAM GERAKAN SHALAT

MENYIKAPI LUPA DALAM GERAKAN SHALAT

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Manusia itu tempatnya kekhilafan dan kesalahan. Al insanu mahalul khatha’ wan nisyan. Jadi kalau kita terkadang lupa juga sangat manusiawi. Bahkan jika kita melakukan kehilafan juga sangat manusiawi. Tetapi memang khilaf dan salah betulan dan bukan salah dan khilaf yang dibuat-buat. Islam itu sangat mudah dan tidak menyulitkan hamba pemeluknya. Islam is simple for human being.

Jika saya di Tuban, maka saatnya Pak Darsam, imam di Mushalla Raudhatul Jannah, istirahat menjadi imam. Kira-kira karena ada saya. maka sayalah yang menjadi imam shalat rawatib. Pak Darsam yang adzan dan iqamah. Pak Darsam menjadi imam di mushalla ini sudah       1 bertahun-tahun, bahkan semenjak mushalla ini didirikan. Dulu di saat masih ada Mbah Saeran, Paman saya dan Kebayan Desa Sembungrejo, atau Bapak H. Rois, ayah sambung saya, kaur Kesra Desa Sembungrejo, maka merekalah yang menjadi imam di mushalla. Tetapi ketika mereka berdua sudah wafat, maka Pak Darsam saja yang melanjutkan menjadi imam. Alhamdulillah mereka adalah orang-orang yang ikhlas di dalam menjalani kehidupannya.

Kala saya menjadi imam shalat shubuh, maka saya lupa untuk membaca doa qunut. Kala saya sudah mendekati gerakan sujud ada jamaah yang mengingatkan,  maka saya terus sujud karena khawatir kalau saya berdiri lagi maka shalat shubuh akan menjadi tiga rakaat. Maka di akhir shalat lalu saya lakukan sujud syahwi, sebagaimana yang dilakukan orang NU yang mengikuti paham keagamaannya Imam Syafi’i. Makanya, selesai shalat shubuh lalu saya jelaskan sedikit saja tentang bagaimana menyikapi terhadap kekhilafan shalat khususnya kala shalat shubuh.

Pertama, kita terkadang menjadi makmum yang imamnya bukan orang yang kita kenal. Kita shalat di masjid atau mushallah yang terkadang paham keagamaannya tidak sama dengan kita. Misalnya kita shalat shubuh di Masjid Muhammadiyah atau Masjid yang dikelola oleh kaum Salafi atau bahkan shalat shubuh di Masjidil Haram atau di Masjid Nabawi, maka di sana tidak ada bacaan qunut pada rakaat kedua yang mengantarai antara gerakan rukuk dan sujud. Lalu, bagaimana kita menyikapinya? Maka kita harus mengikuti tindakan shalat imam. Jangan kita melakukan suatu tindakan shalat yang berbeda dengan apa yang dilakukan imam. Misalnya, kita qunut sendiri atau lalu sujud syahwi sendiri. Yakini bahwa yang dilakukan imam di dalam shalatnya itu benar dan kita sebagai makmumnya akan mendapatkan kebaikan dan pahala di dalam shalat kita. Diharuskan bahwa semua tindakan imam shalat kita ikuti, sebab ada yang wajib dan harus dilakukan di dalam shalat dan ada yang sunnah di dalam gerakan atau bacaan shalat yang bisa saja ditinggalkan.

Ada seorang da’i Salafi yang menyatakan bahwa jika ada imam yang membaca qunut dan sementara itu kelompok salafi menjadi makmum, maka silahkan membaca doa apa saja jangan mengikuti bacaan qunut tersebut. Inilah dunia penafsiran tentang gerakan dan bacaan shalat yang memang bervariasi. Lalu bagaimana sikap bagi kaum salafi yang menjadi makmum di dalam shalat shubuh, maka kiranya yang terbaik adalah dengan mengikuti apa yang dilakukan imam meskipun tidak mengamini atau mengangkat tangan. Bukankah doa di dalam qunut itu sangat baik untuk didengarkan atau bahkan diamini. Bisa menyatakan amin di dalam hati.

Kedua, membaca doa qunut itu memang debatable atau bisa diperdebatkan dasarnya. Imam Syafi’i menyatakan wajib, sebab bacaan doa di dalam qunut itu memang hanya sekali dilakukan oleh Nabi Muhammad dalam shalat shubuh dan setelah itu beliau wafat. Maka menurut Imam Syafi’i membaca doa qunut di dalam shalat shubuh itu wajib mutlak, sehingga kalau lupa  harus diganti dengan sujud syahwi, sebagaimana jika kita lupa menjalankan gerakan dan bacaan wajib di dalam shalat. Tetapi madzab lain tidak mewajibkan dan juga tidak mensunahkan. Di antara umat Islam, maka orang  Muhammadiyah tidak melakukannya, karena tidak wajib menjalankannya bahkan juga bukan sunnah. Tetapi juga ada yang menyatakan bahwa pendapat yang mewajibkan bacaan qunut di dalam shalat shubuh itu memiliki dalil yang sah hanya dalilnya bukan dalil umum, tetapi dalil khusus, bahwa Nabi Muhammad SAW pernah melakukannya dan hanya sekali sepanjang hidupnya.

Ketiga,  islam itu tidak pernah menyulitkan hambanya. Ada pilihan-pilihan di dalam melakukan tindakan keagamaan, bahkan ritual  keagamaan. Termasuk shalat. Jadi kita tidak usah risau jika ada yang berbeda di dalam melakukan tindakan shalat. Yang jelas bahwa prinsip umumnya pasti sama. Jumlah rakatnya pasti sama, jumlah bacaan fatihahnya jelas juga sama meskipun ada yang membaca basmalah dengan keras atau dengan pelan,  bacaan takbirnya sama, jumlah rukuk dan sujudnya juga sama, kecuali ada sujud syahwi dan salamnya juga sama. Yang jelas bahwa prinsip umumnya sama, tetapi ada yang furu’iyah atau cabang-cabangnya yang berbeda.

Yang penting kita tidak boleh menganggap bahwa yang kita  lakukan saja yang benar. Sikap ananiyah itu berlebihan, seakan-akan kebenaran itu hanya miliknya, haknya, otoritasnya. Tidak ada kebenaran lain, padahal teks agama ketika sudah sampai kepada manusia, maka yang ada adalah penafsiran. Jadi tafsir itu bukan kebenaran mutlak tetapi relative. Kebenaran mutlak hanya ada pada Allah dan rasulnya tentang tafsir teks suci atau Alqur’an. Tetapi meskipun relative tetap harus tetap menjadi keyakinan bahwa yang kita lakukan adalah kebenaran. Yang kita lakukan adalah kebenaran yang bersumber dari teks suci hasil penafsiran ulama yang otoritatif atau yang memiliki keahlian sangat memadai.

Imam syafi’i, imam Hambali, Imam Hanafi dan Imam Maliki adalah mujtahid mutlak karena kelengkapan ilmu keislamannya. Itulah sebabnya kita mengikuti tafsirnya tentang Islam. Dan kita meyakini bahwa kebenaran hasil tafsirnya dapat dijadikan sebagai rujukan di dalam mengamalkan ajaran Islam.

Sungguh menjadi Islam itu mudah dan tidak sulit, membahagiakan dan tidak menyengsarakan, membawa kedamaian dan bukan membawa perpecahan.  Selamat melakukan ibadah sesuai dengan keyakinan kita masing-masing.

Wallahu a’lam bi al shawab.