MENYIKAPI LUPA DALAM GERAKAN SHALAT
MENYIKAPI LUPA DALAM GERAKAN SHALAT
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Manusia itu tempatnya kekhilafan dan kesalahan. Al insanu mahalul khatha’ wan nisyan. Jadi kalau kita terkadang lupa juga sangat manusiawi. Bahkan jika kita melakukan kehilafan juga sangat manusiawi. Tetapi memang khilaf dan salah betulan dan bukan salah dan khilaf yang dibuat-buat. Islam itu sangat mudah dan tidak menyulitkan hamba pemeluknya. Islam is simple for human being.
Jika saya di Tuban, maka saatnya Pak Darsam, imam di Mushalla Raudhatul Jannah, istirahat menjadi imam. Kira-kira karena ada saya. maka sayalah yang menjadi imam shalat rawatib. Pak Darsam yang adzan dan iqamah. Pak Darsam menjadi imam di mushalla ini sudah 1 bertahun-tahun, bahkan semenjak mushalla ini didirikan. Dulu di saat masih ada Mbah Saeran, Paman saya dan Kebayan Desa Sembungrejo, atau Bapak H. Rois, ayah sambung saya, kaur Kesra Desa Sembungrejo, maka merekalah yang menjadi imam di mushalla. Tetapi ketika mereka berdua sudah wafat, maka Pak Darsam saja yang melanjutkan menjadi imam. Alhamdulillah mereka adalah orang-orang yang ikhlas di dalam menjalani kehidupannya.
Kala saya menjadi imam shalat shubuh, maka saya lupa untuk membaca doa qunut. Kala saya sudah mendekati gerakan sujud ada jamaah yang mengingatkan, maka saya terus sujud karena khawatir kalau saya berdiri lagi maka shalat shubuh akan menjadi tiga rakaat. Maka di akhir shalat lalu saya lakukan sujud syahwi, sebagaimana yang dilakukan orang NU yang mengikuti paham keagamaannya Imam Syafi’i. Makanya, selesai shalat shubuh lalu saya jelaskan sedikit saja tentang bagaimana menyikapi terhadap kekhilafan shalat khususnya kala shalat shubuh.
Pertama, kita terkadang menjadi makmum yang imamnya bukan orang yang kita kenal. Kita shalat di masjid atau mushallah yang terkadang paham keagamaannya tidak sama dengan kita. Misalnya kita shalat shubuh di Masjid Muhammadiyah atau Masjid yang dikelola oleh kaum Salafi atau bahkan shalat shubuh di Masjidil Haram atau di Masjid Nabawi, maka di sana tidak ada bacaan qunut pada rakaat kedua yang mengantarai antara gerakan rukuk dan sujud. Lalu, bagaimana kita menyikapinya? Maka kita harus mengikuti tindakan shalat imam. Jangan kita melakukan suatu tindakan shalat yang berbeda dengan apa yang dilakukan imam. Misalnya, kita qunut sendiri atau lalu sujud syahwi sendiri. Yakini bahwa yang dilakukan imam di dalam shalatnya itu benar dan kita sebagai makmumnya akan mendapatkan kebaikan dan pahala di dalam shalat kita. Diharuskan bahwa semua tindakan imam shalat kita ikuti, sebab ada yang wajib dan harus dilakukan di dalam shalat dan ada yang sunnah di dalam gerakan atau bacaan shalat yang bisa saja ditinggalkan.
Ada seorang da’i Salafi yang menyatakan bahwa jika ada imam yang membaca qunut dan sementara itu kelompok salafi menjadi makmum, maka silahkan membaca doa apa saja jangan mengikuti bacaan qunut tersebut. Inilah dunia penafsiran tentang gerakan dan bacaan shalat yang memang bervariasi. Lalu bagaimana sikap bagi kaum salafi yang menjadi makmum di dalam shalat shubuh, maka kiranya yang terbaik adalah dengan mengikuti apa yang dilakukan imam meskipun tidak mengamini atau mengangkat tangan. Bukankah doa di dalam qunut itu sangat baik untuk didengarkan atau bahkan diamini. Bisa menyatakan amin di dalam hati.
Kedua, membaca doa qunut itu memang debatable atau bisa diperdebatkan dasarnya. Imam Syafi’i menyatakan wajib, sebab bacaan doa di dalam qunut itu memang hanya sekali dilakukan oleh Nabi Muhammad dalam shalat shubuh dan setelah itu beliau wafat. Maka menurut Imam Syafi’i membaca doa qunut di dalam shalat shubuh itu wajib mutlak, sehingga kalau lupa harus diganti dengan sujud syahwi, sebagaimana jika kita lupa menjalankan gerakan dan bacaan wajib di dalam shalat. Tetapi madzab lain tidak mewajibkan dan juga tidak mensunahkan. Di antara umat Islam, maka orang Muhammadiyah tidak melakukannya, karena tidak wajib menjalankannya bahkan juga bukan sunnah. Tetapi juga ada yang menyatakan bahwa pendapat yang mewajibkan bacaan qunut di dalam shalat shubuh itu memiliki dalil yang sah hanya dalilnya bukan dalil umum, tetapi dalil khusus, bahwa Nabi Muhammad SAW pernah melakukannya dan hanya sekali sepanjang hidupnya.
Ketiga, islam itu tidak pernah menyulitkan hambanya. Ada pilihan-pilihan di dalam melakukan tindakan keagamaan, bahkan ritual keagamaan. Termasuk shalat. Jadi kita tidak usah risau jika ada yang berbeda di dalam melakukan tindakan shalat. Yang jelas bahwa prinsip umumnya pasti sama. Jumlah rakatnya pasti sama, jumlah bacaan fatihahnya jelas juga sama meskipun ada yang membaca basmalah dengan keras atau dengan pelan, bacaan takbirnya sama, jumlah rukuk dan sujudnya juga sama, kecuali ada sujud syahwi dan salamnya juga sama. Yang jelas bahwa prinsip umumnya sama, tetapi ada yang furu’iyah atau cabang-cabangnya yang berbeda.
Yang penting kita tidak boleh menganggap bahwa yang kita lakukan saja yang benar. Sikap ananiyah itu berlebihan, seakan-akan kebenaran itu hanya miliknya, haknya, otoritasnya. Tidak ada kebenaran lain, padahal teks agama ketika sudah sampai kepada manusia, maka yang ada adalah penafsiran. Jadi tafsir itu bukan kebenaran mutlak tetapi relative. Kebenaran mutlak hanya ada pada Allah dan rasulnya tentang tafsir teks suci atau Alqur’an. Tetapi meskipun relative tetap harus tetap menjadi keyakinan bahwa yang kita lakukan adalah kebenaran. Yang kita lakukan adalah kebenaran yang bersumber dari teks suci hasil penafsiran ulama yang otoritatif atau yang memiliki keahlian sangat memadai.
Imam syafi’i, imam Hambali, Imam Hanafi dan Imam Maliki adalah mujtahid mutlak karena kelengkapan ilmu keislamannya. Itulah sebabnya kita mengikuti tafsirnya tentang Islam. Dan kita meyakini bahwa kebenaran hasil tafsirnya dapat dijadikan sebagai rujukan di dalam mengamalkan ajaran Islam.
Sungguh menjadi Islam itu mudah dan tidak sulit, membahagiakan dan tidak menyengsarakan, membawa kedamaian dan bukan membawa perpecahan. Selamat melakukan ibadah sesuai dengan keyakinan kita masing-masing.
Wallahu a’lam bi al shawab.