MENJAGA DIRI DARI THAGHUT
MENJAGA DIRI DARI THAGHUT
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Tulisan ini bukanlah menggunakan perspektif hukum Islam atau lebih khusus fiqih, akan tetapi lebih bercorak sosiologis. Bukan otoritas saya untuk membicarakan tentang thaghut dari perspektif fiqih. Yang menjadi sedikit otoritas saya adalah pendekatan sosiologis sebagaimana yang pernah saya pelajari.
Tentang thaghut dari perspektif ajaran sudah saya paparkan pada tulisan sebelumnya sebagai hasil dari rangkuman atas ceramah dalam Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) yang diisi oleh Ustadz Muhammad Zamzami, STh., dan kemudian saya berikan komentar pendek terkait dengan penjelasan-penjelasan yang telah disampaikannya. Tetapi yang jelas bahwa thaghut ada kaitannya dengan dunia keyakinan yang menjadi inti di dalam agama Islam.
Pada tulisan yang lalu, saya lebih banyak membahas thaghut dalam konteks kekuasaan atau pemerintahan, sedangkan Muhammad Zamzami lebih banyak membahas tentang thaghut dari perspektif fiqih. Pembahasan dikaitkan dengan pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab yang menjadi pusat genealogi kaum Salafi Wahabi dari masa lalu hingga sekarang. Jika ada orang yang membahas tentang pemerintahan thaghut atau pemikiran yang berbasis pada keyakinan keagamaan yang dinyatakannya tidak sesuai dengan Islam murni, maka hal itu pasti dikaitkan dengan Muhammad bin Abdul Wahab.
Thaghut dapat dikaitkan dengan beberapa konsep Islam yang terbiasa disampaikan atau didakwahkan oleh kaum Salafi Wahabi, yaitu takhayul, bidh’ah dan churafat (TBC). Muhammadiyah di masa lalu, kira-kira tahun 1950-1970-an, juga sering mendakwahkan tentang TBC dan kemudian diakhir-akhir ini, kala Muhammadiyah surut dan tidak lagi membicarakan TBC, maka representasi TBC dilakukan oleh kaum Salafi Wahabi. Dunia media social menjadi ajang bagi kaum Salafi Wahabi untuk mengekspresikan dan menyebarkan keyakinannya tentang ajaran Islam.
Di dalam tulisan ini akan sedikit diulas tentang takhayul atau kepercayaan atas sesuatu yang tidak layak dipercayai. Takhayul di dalam Bahasa Arab berarti membayangkan, menghayalkan atau berimajinasi, sedangkan secara istilah merupakan kepercayaan atas hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Takhayul sering dikontradiksikan dengan keimanan. Orang yang bertakhayul artinya meyakini bahwa ada sesuatu yang diyakini di luar keimanan kepada Tuhan. Meyakini kebenaran akan terjadinya suatu hal di masa depan. Misalnya meramal nasib orang, meramal akan terjadi malapetaka, meramal akan terjadi masalah dan sebagainya. Hal tersebut diyakini sebagai kebenaran.
Di dalam tradisi Jawa terdapat banyak kepercayaan, misalnya jika ada burung prenjak maka dipercayai ada tamu, kalau ada bunyi burung gagak akan ada kematian, jika kejatuhan cecak akan bermasalah, bahkan bunyi tokekpun bisa dijadikan sebagai perlambang tertentu. Jika ada orang bermimpi giginya tanggal, maka disimpulkan akan ada keluarganya yang meninggal,. Jika gigi atas yang tanggal, maka keluarga yang usianya lebih tua dan jika yang tanggal gigi bawah, maka yang akan meninggal adalah keluarga yang lebih muda. Di dalam tradisi Jawa, dunia berisi symbol-simbol yang dapat dipahami dengan mata batin. Orang Jawa yang terbiasa untuk melakukan riyadhoh tentu dapat merasakan aura apa yang disimbolkan oleh alam. Daun jatuhpun merupakan simbol.
Lalu, bagaimana dengan ramalan seperti ini? Adakah Islam mengakomodasi atau menolaknya? Maka sebagai jawabannya adalah tergantung dari keyakinannya. Islam mengajarkan bahwa keyakinan tentang semua kejadian adalah milik Allah. Tidak ada suatu kejadian yang tidak diketahui oleh Allah. Oleh karena itu jangan meyakini akan sesuatu yang belum terjadi. Untuk itu maka yang digunakan adalah potensi kejadian, dan bukan keyakinan akan kejadian. Jika yang dibicarakan itu potensinya, maka kita tidak meyakini sesuatu yang akan terjadi. Potensi itu peluangnya bisa terjadi dan tidak terjadi. Jika terjadi maka semata-mata kehendak Allah atau kepastian yang datang dari Allah. Dengan demikian, janganlah lalu dihakimi syirik, haram atau bahkan makruh. Jika yang diyakini adalah potensi saja yang masih tergantung, maka kita tidak jatuh pada melakukan tindakan takhayul. Kita tidak berpikir tentang kejadian yang masuk atau tidak masuk akal.
Sama halnya pendapat yang menyatakan semua manusia memiliki potensi mendapatkan rejeki, akan tetapi untuk memperoleh rejeki maka syaratnya adalah orang harus berusaha. Jadi keyakinannya pada potensi adanya rejeki dan bukan keyakinan rejeki itu pasti miliknya. Kita harus tetap berusaha, berdoa dan bertawakkal kepada Allah akan kehadiran rejeki pada seseorang tersebut.
Ada contoh lain, terkadang kita menyatakan bahwa seseorang sembuh karena dokter. Pernyataan ini seakan-akan meyakini bahwa dokterlah yang menyembuhkan penyakit. Maka jangan menyatakan bahwa dokter itu yang menyembuhkan, akan tetapi dokter itu menjadi perantara Allah untuk menyembuhkan. Manusia sakit berpotensi untuk sembuh atau juga tidak sembuh. Oleh karena itu, orang harus berusaha untuk menemukan washilah Allah untuk menyembuhkan penyakitnya. Pernyataan ini sama sekali bukan mengerdilkan otoritas Allah untuk menyembuhkan orang sakit. Allah itu kun fayakun semuanya terjadi. Hanya saja bahwa Allah akan memberikan wewenang bagi dokter untuk kesembuhan orang sakit.
Makanya, bagi saya, takhayul itu hanya ada jika orang meyakini bahwa ada kekuatan alam yang berupa symbol dan hal itu diyakini sebagai kebenaran. Oleh karena itu, jika hanya menyatakan sebagai potensi symbol tersebut terjadi, maka hal itu tidak bisa dinyatakan sebagai takhayul.
Wallahu a’lam bi al shawab.