Apakah jejaring sosial atau social network penting di era sekarang? Jawabannya pasti ya. Jejaring sosial memang menjadi sesuatu yang sangat penting di era teknologi informasi dan modernitas seperti sekarang. Bahkan begitu pentingnya jejaring tersebut, maka secara proporsional dinyatakan bahwa siapa yang paling banyak memiliki jejaring sosial, maka dialah yang akan bisa membangun dunia ini. Secara konseptual dinyatakan bahwa dunia dibangun di atas jejaring sosial ini.
Konsep jejaring sosial sesungguhnya merupakan konsep di dalam dunia ilmu sosial yang dikembangkan di dalam kerangka untuk mengembangkan komunikasi, interaksi dan proses sosial lainnya yang dapat berimplikasi terhadap perubahan sosial yang akseleratif.
Pembangunan adalah konsep yang digunakan untuk pengembangan wilayah atau daerah yang akseleratif dimaksud. Pembangunan bukanlah kata sakti yang dengan mudah dapat dipakai untuk melakukan perubahan. Pembangunan tentu saja membutuhkan perangkat teknologi, sumber daya manusia, sumber daya alam dan juga kemampuan untuk mendayagunakannya secara memadai.
Sesuai dengan arah dan tujuan pembangunan, maka sasarannya adalah pemberdayaan masyarakat. Pembangunan bersearah dengan bagaimana agar masyarakat menjadi berdaya terutama dari sisi ekonomi. Semakin berdaya masyarakat berarti semakin berhasil pembangunan tersebut.
Salah satu unsur penting di dalam pembangunan adalah dukungan masyarakat yang menyeluruh. Dukungan tersebut tidak hanya datang birokrasi, akan tetapi juga pengusaha dan para akademisi. Itulah sebabnya dewasa ini terdapat pengembangan konsep pembangunan berbasis partnership antara akademisi, pengusaha dan birokrat atau yang disebut sebagai ABG yaitu akronim dari akademisi, businesman dan government.
Peran kaum akademisi sesungguhnya sangat penting. Di luar negeri, peran kaum akademisi dengan perguruan tingginya sangat penting. Makanya, ketika sebuah kota akan menyelenggarakan sister city program, maka yang harus dilibatkan adalah perguruan tinggi. Jadi perguruan tinggi yang ada di kota tersebut harus dilibatkan di dalam proses kerjasama sister city.
Kesadaran untuk melibatkan kaum akademisi di perguruan tinggi tentu didasari oleh keahlian yang dimiliki oleh perguruan tinggi dimaksud. Perguruan tinggi adalam gudangnya kaun cerdik pandai yang selama ini sudah malang melintang di dalam kajian akademis. Sehingga ketika yang bersangkutan dilibatkan di dalam proyek pembangunan tentu akan sangat ideal.
Sesungguhnya banyak kajian yang dilakukan oleh kaum akademisi terkait dengan pembangunan wilayah. Di dalam hal ini terkait dengan pembangunan pertanian, peternakan, perkebunan, sosial, ekonomi, bahkan politik. Semuanya tentu berkaitan dengan bagaimana pembangunan daerah tersebut dapat dilaksanakan.
Sabtu (03/09/2011), terdapat sebuah pertemuan yang sangat menarik, yaitu berkumpulnya kaum akademisi, birokrat dan pengusaha di kabupaten Tuban. Mereka adalah warga Tuban yang berada di rantau atau yang menetap di luar kabupaten Tuban. Ada dosen, mantan birokrat, pengusaha dan lainnya. Mereka berkumpul untuk menindaklanjuti pertemuan dengan bupati dan wakil bupati, pada tanggal 17 Juli 2011. Saat itu saya usulkan agar ada sebuah forum yang berisi para akademisi, birokrat dan pengusaha. Waktu itu saya usulkan sebuah forum Konsorsium dengan berbagai bidangnya. Akhirnya rencana untuk merumuskan forum konsorsium tersebut terlaksana juga.
Forum ini memang dimaksudkan sebagai organisasi yang nir politik, terbuka dan partnership. Oleh karena itu diharapkan bahwa melalui forum ini maka akan dapat disatukan langkah untuk mengembangkan Wilayah Tuban berdasarkan atas pandangan para ahli sesuai dengan bidangnya.
Sebagai forum jejaring sosial, maka lembaga ini akan menghimpun berbagai pemikiran dari para ahli dan praktisi tentang pengembangan wilayah. Jika forum ini sudah terbentuk, maka tentu yang diharapkan adalah bagaimana aktivitas lembaga ini di tengah tuntutan perubahan sosial yang akan terus berlangsung.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Secara sosiologis bahwa manusia memang memiliki kecenderungan untuk berkeyakinan tentang adanya kekuatan gaib yang ada sekitarnya. Semenjak dilakukan kajian tentang adanya relasi manusia dengan alam lingkungannya, maka ditemukanlah bahwa manusia memang meyakini bahwa ada dunia keyakinan pada diri manusia yang disebut sebagai kekuatan gaib atau dinamisme.
Sebelumnya juga ditemukan bahwa manusia meyakini adanya roh dibalik kehidupan ini yang kemudian disebut sebagai animisme. Secara historis kemudian juga muncullah agama-agama yang dikenal sebagai agama monoteisme atau yang meyakini bahwa hanya ada satu saja yang dianggapnya sebagai Tuhan, meskipun praktik animisme dan dinamisme juga tetap eksis di dalam kehidupan manusia.
Agama adalah dunia keyakinan yang di dalamnya terdapat dua hal penting, yaitu yang berupa doktrin keagamaan yang bercorak absolut dan dunia penafsiran agama yang menyisakan ruang nisbi atau tafsir keagamaan. Yang absolut inilah yang merupakan ruang yang tidak bisa didiskusikan sebab menyangkut dunia keyakinan yang sangat mendalam dan tidak bisa ditawar. Misalnya tentang keberadaan Tuhan, Rasul, kitab suci dan lainnya yang dianggap sebagai inti keimanan. Setiap agama memiliki dimensi belief atau keyakinan yang absolut ini.
Tetapi di sisi lain tentu ada dunia tafsir keagamaan, yaitu sebuah ruang yang di dalamnya terdapat tempat untuk mendiskusikan tentang penafsiran elit agama sesuai dengan keyakinannya itu. Di ruang inilah akan terjadi perbedaan di dalam menafsirkan ajaran agama itu. Meskipun teks keagamaan itu satu, misalnya di dalam Islam, akan tetapi karena ada ruang tafsir manusia atas teks itu, maka bisa saja terdapat banyak tafsir. Di dalam berwudlu saja, meskipun teks yang dipakai sama, akan tetapi ternyata ada varian di dalam pelaksanaannya. Hal ini tentu saja disebabkan oleh adanya perbedaan penafsiran tersebut.
Jadi, sesungguhnya perbedaan antara satu golongan dengan golongan lainnya di dalam ritual agama tentu bukan sesuatu yang aneh. Agama sendiri menyediakan ruang untuk berbeda antara satu dengan lainnya. Sebab banyak teks agama yang bercorak umum, sehingga terbuka untuk ditafsirkan berbeda. Bahkan dalam teks yang sangat jelas misalnya tentang shalat, maka juga ada perbedaan antara satu dengan lainnya. Shalat yang dilakukan oleh orang sunni dan syi’i jelas berbeda, meskipun perintahnya sangat jelas.
Di antara yang sering memicu banyak masalah di dalam relasi antar dan interen umat beragama adalah dalam kawasan tafsir ini. Apalagi juga disebabkan oleh adanya kebenaran referensi di antara mereka. Setiap kelompok meyakini bahwa tafsirannya yang benar, sehingga sering menafikan terhadap penafsiran lainnya. Ada semacam keyakinan yang kuat bahwa tafsirnya saja yang benar dan yang lainnya salah.
Ciri agama memang berada di dalam kawasan keyakinan yang tidak bisa ditawar tersebut.
Akhir-akhir ini yang sangat menonjol adalah dunia tafsir tentang kapan hari raya idul fitri dilaksanakan atau kapan tanggal 1 Syawal 1432 H terjadi. Perbedaan ini tentu saja tidak masuk dalam kategori persoalan doktriner, akan tetapi berada di dalam kawasan tafsir terhadap teks keagamaan. Teks tentang kapan hari raya idul fitri atau tanggal 1 Syawal berasal dari teks Hadis Nabi Muhammad saw, bahwa hendaklah memulai puasa dengan melihat hilal dan mengakhiri puasa dengan melihat hilal. Teks inilah yang menjadi rujukan di dalam pelaksanaan puasa. Memulai dengan rukyat al hilal dan mengakhirinya dengan rukyat al hilal.
Akan tetapi sesuai dengan perkembangan zaman, maka dilakukanlah proses penghitungan atau yang dikenal sebagai proses penentuan hilal melalui sistem perhitungan atau sistem hisab. Melalui sistem perhitungan ini, maka akan diketahui berapa ketinggian derajat hilal pada saat kemunculannya yang pertama atau tanggal 1 qamariyah. Berdasarkan perhitungan tersebut maka akan dapat dipastikan bahwa hilal sudah berada dalam ketinggian sekian derajat.
Problem perbedaan akan terjadi manakala ketinggian hilal sangat rendah seperti kasus tahun 2011 ini. Ketika seperti itu, maka dapat dipastikan akan terjadi perbedaan pendapat yang disebabkan oleh pandangan apakah yang dipakai ukurannya adalah wujud al hilal atau rukyat al hilal. Perbedaan tersebut akhirnya memang terjadi, yaitu penetapan 1 Syawal adalah hari Selasa, 30 Agustus 2011 dan lainnya menentukan hari Rabo, 31 Agustus 2011.
Adanya perbedaan ini tentu bukan sesuatu yang mengherankan, sebab memang di dalam persoalan penafsiran tentang kapan hilal ada dan terlihat memang berada di dalam kawasan tafsir agama. Jika demikian halnya, maka tentu harus dipahami bahwa memang ada perbedaan. Oleh karena itu tulisan yang saling mencibir tentang keputusan yang berbeda tentu juga tidak perlu dan tidak penting.
Jadi kita memang perlu kembali kepada keyakinan kita masing-masing saja sambil berusaha untuk menemukan titik temu di antara semuanya.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Kita sungguh tidak menduga bahwa penetapan berakhirnya puasa diduga mengarah juga ke ranah politik. Ada tuduhan bahwa hari raya yangg jatuh pada hari Rabo, 31 Agustus 2011 adalah pesan istana agar hari raya yang ditetapkan oleh pemerintah berbeda dengan yang dilakukan oleh ketetapan Muhammadiyah. Dugaan ini bahkan sempat diberitakan oleh beberapa media bahwa ketetapan pemerintah tersebut dipicu oleh ketidakharmonisan hubungan antara pimpinan Muhammadiyah dengan istana. Selama ini memang hubungan antara Dien Syamsudin dan Syafi’i Maarif memang agak renggang kalau tidak dikatakan konflik terselubung.
Fakta inilah yang kemudian mengakibatkan adanya berbagai dugaan bahwa penetapan hari raya kali ini bermuatan politik. Tentu masih diingat dengan jelas tentang adanya issu “kebohongan publik” yang digagas dan dikembangkan oleh tokoh-tokoh agamawan yang melibatkan tokoh-tokoh Muhammadiyah dan bahkan kantor Syafi’i Maarif Institut dijadikan sebagai markas gerakan ini. Hal semacam ini yang menimbulkan dugaan bahwa ada niatan untuk membuat keputusan penetapan hari raya harus berbeda antara Muhammadiyah dan pemerintah.
Perbedaan hari raya bukan barang baru dalam sejarah Indonesia modern. Ketika zaman Orde Baru, maka juga berkali-kali terjadi perbedaan antara NU dan pemerintah. Hal ini disebabkan oleh penetapan hari raya kala itu lebih banyak menggunakan metode hisab atau berpatokan pada wujudul hilal. Sedangkan NU menggunakan metode rukyat al hilal, sehingga ketika rukyat al hilal tidak bisa didapatkan maka ditentukanlah puasa dengan waktu istikmal, 30 hari. Pemerintah waktu itu bersepaham dalam banyak hal dengan metode hisab yang wujudul hilal, sebab Kementerian Agama memang dipimpin oleh Muhammadiyah. Kebanyakan pimpinan kementerian agama sampai di daerah adalah orang Muhammadiyah. Demikian seterusnya.
Pada era Orde Reformasi, maka tejadilah perubahan yang sangat signifikan, terutama di Kementerian Agama. Menteri agama berasal dari NU, sehingga kemudian juga memunculkan realitas baru, bahwa pemerintah lebih dekat dengan NU dalam penetapan hari raya, sehingga metode yang dipakai untuk menentukan hari raya dalam banyak hal adalah metode rukyatul hilal. Itulah yang terjadi akhir-akhir ini.
Akan tetapi satu hal yang dapat dicatat adalah bahwa penentuan tanggal 1 Syawal 1432 H ternyata dilakukan dengan sangat demokratis. Sebagaimana yang saya jelaskan di dalam acara dialog dengan TVone, bahwa penetapan berakhirnya ramadlan ternyata menggunakan suasana diskusi yang sangat beradab. Tidak ada unsur otoriterisme di dalamnya. Semuanya diberikan kesempatan untuk mendiskusikannya secara terbuka. Sehingga jauh kesan dari adanya politisasi di dalamnya.
Memang penetapan hari raya yang berbeda menimbulkan kesan adanya ketidakpastian tentang penetapan hari raya. Ketika saya ditanya seperti ini oleh reporter TVone, saya nyatakan bahwa ada dua kepastian itu, yaitu kepastian universal atau kepastian absolut dan ada kepastian parsial atau kepastian nisbi. Kepastian absolut adalah kepastian tentang keberadaan Allah dan segala hal yang terkait dengannya. Di dalam hal ini adalah tentang keberadaan hari raya. Akan tetapi tentang kepastian nisbi, maka semuanya tergantung pada penafsiran elit agamanya. Kapan pelaksanaan hari raya adalah bagian dari kepastian nisbi atau kepastian parsial. Ketika ada di wilayah tersebut, maka tidak bisa lagi dihakimi sebagai ketidakpastian akan tetapi adalah bagian dari dunia penafsiran yang memang memungkinkan terjadinya perbedaan demi perbedaan. Oleh karena itu, menyudutkan salah satu pihak terlibat dengan urusan politik atau lainnya tentu tidak tepat.
Makanya kita harus berpatokan pada apa yang dinyatakan oleh tim independen seperti dari LAPAN, yang menyatakan bahwa hilal yang rendah tidak akan bisa dilihat dengan alat teknologi apapun. Itulah sebabnya, diusulkan agar penentuan hilal harus menggunakan ukuran 4 derajat, sebab dengan ukuran tersebut, maka hilal akan bisa dilihat atau dirukyat.
Dengan demikian selama tidak ada kesepakatan tentang bagaimana penetapannya, maka selama itu pula akan terjadi perbedaan ini. Jadi, yang terbaik memang harus ada kesepahaman yang sama untuk menentukan kapan tanggal 1 Syawal tersebut harus ditentukan.
Jika tidak maka perbedaan tersebut akan terus terjadi ketika hilal tidak akan sampai dalam ukuran di atas 5 derajat atau sekurang-kurangnya 4 derajat.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Hari raya ini, saya agak lama di pedesaan tempat kelahiran saya. Karena di sini ada Ibu saya, maka tentu saja saya harus mudik ke desa untuk bertemu ibu dan juga kerabat serta handai taulan yang di masa lalu pernah sekolah bersama dan bermain bersama. Hidup di desa itu memang ada juga nikmatnya, selain jauh dari kebisingan, kemacetan dan hiruk pikuk manusia juga ada banyak orang yang hidup ikhlas di tengah keidupan yang terbatas.
Ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari religiositas orang desa. Dua kali saya memperoleh pelajaran tersebut. Yaitu tentang keyakinannya bahwa Allah pasti akan memberikan rezeki kepada makhluknnya dalam takaran apapun. Misalnya ada di antara mereka yang menyatakan bahwa mulut kita ini bukan sobek karena terkena kayu, tetapi diciptakan Allah, sehingga Allah pasti akan memberinya makan dengan cara yang disediakan. Kemudian, ada lagi pernyataan senada dari orang yang berbeda, bahwa selama orang melakukan pengabdian kepada Allah, maka dipastikan bahwa Allah akan memberinya makan sesuai dengan takarannya.
Para kerabat saya ini tidaklah belajar banyak tentang takdir, ikhtiar, dan ilmu agama yang rumit-rumit, akan tetapi mereka beragama dengan keyakinan dan amalannya saja, akan tetapi bisa menghasilkan rasa kepasrahan kepada Allah atas semua hal yang dihadapinya. Beragama seperti ini yang tekadang jauh dari orang-orang yang selama ini belajar agama dari sisi ilmunya. Jadi, beragama sesungguhnya berurusan dengan keyakinan, kepasrahan dan kepatuhan yang tidak usah ditawar.
Beragama bagi orang desa seperti ini adalah beragama dengan rasa pengabdian yang luar biasa tanpa ada keinginan mempertanyakan apa guna dan manfaat pengabdiannya tersebut. Dilaluinya amalan shalat tanpa ada pertanyaan untuk apa shalat yang dilakukannya itu. Baginya, shalat dan seluk beluk pengabdiannya kepada Allah adalah bagian dari kewajiban dan kebutuhannya untuk menghadapkan seluruh hidupnya untuk Tuhannya.
Sebagaimana yang pernah ditulis oleh para ahli, bahwa agama memang berisi keyakinan, ritual dan performance keberagamaannya itu. Maka ketika kita melihat meeka mengamalkan ajaran agamanya, maka yang tentu saja segera terlihat adalah bagaimana mereka beragama dengan keyakinan dan upacara keberagamaannya itu.
Keyakinan beragamanya terlihat dari bagaimana mereka memaknai pemberian atau rizki Allah kepadanya. Merek berkeyakinan bahwa Allah itu maha kasih sayang kepada hambanya, sehingga ketika hambanya itu dihidupkan, maka pastilah bahwa Allah akan memberinya rezeki. Allah tidak akan pernah mengingkari pemberian rezeki itu kepada hambanya. Dan mereka meyakini betul bahwa pasti ada cara Allah memberikan rezeki tersebut.
Bagi mereka setiap individu akan memperoleh rezeki sebagaimana ukurannya. Kepastia tentang rezeki itu adalah bagian dai takdir Tuhan yang memang harus terjadi. Allah pastilah akan memberikan rezeki kepada hambanya, hanya saja besar kecilnya tentu juga hanya Allah yang mengetahuinya. Mereka yakin betul akan kepastian pemberian rezeki tersebut. Setiap yang dicipakan Allah pasti akan diberikan rezekinya masing-masing.
Agama bagi orang desa adalah sesuatu yang sangat sederhana. Beragama itu yang penting adalah keyakinan tentang agamanya itu. Keyakinan bahwa Allah adalah Maha Pemberi, bahwa Allah adalah Maha Kasih Sayang, bahwa Allah adalah Maha kuasa. Sebagai pemberi, maka Allah pastilah akan memberikan rezeki kepada semua makhluknya. Sebagai pemberi kasih sayang, maka Allah dipastikan akan menyayangi hambanya dengan caranya Allah menyayangi. Demikian seterusnya.
Dan semuanya berimplikasi terhadap kepasrahannya kepada Allah. Di dalam hal kebahagiaan dan kesengsaraan di dunia, maka diungkapkan dengan kalimat “nerimo ing pandum” yang artinya “menerima dengan ikhlas semua pemberian”. Tuhan digambarkannya sebagai pemberi yang apapun pemberiannya harus diterima dengan ikhlas. Orang harus pasrah menerimanya.
Kepasrahan terhadap pemberian Tuhan inilah yang sesungguhnya menjadi inti dari kehidupan orang desa, sehingga mereka bisa menerima kemiskinan dan kekayaan sebagai pemberian Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat. Dengan keyakinan semacam ini maka orang desa bisa bertahan di tengah budaya materialisme yang mengandaikan bahwa kekakayaan adalah sagu-satunya pilihan di dalam kehidupan.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Semalam (02/09/2011), saya menikmati sajian musik patrol yang dipagelarkan oleh kelompok musik Patrol Raden Santri Desa Sembungrejo, Kecamatan Merakurak, Kabupaten Tuban, JawaTimur. Selama dua jam, dari jam 19.30 sampai jam 21.30 mereka memainkan musik patrol yang biasanya digunakan untuk membangunkan masyarakat untuk melaksanakan kegiatan makan sahur. Jadi fungsi awal musik patrol adalah untuk membangunkan agar warga masyarakat bisa bangun untuk makan sahur tersebut.
Semula musik patrol memang dibikin untuk kepentingan beribadah puasa. Makanya alat-alat yang digunakan juga sangat sederhana. Ada batang bambu yang dipotong, gitar dan bekas galon air mineral yang dijadikan untuk menghasilkan suara khas dengung. Musik patrol ini juga dimainkan oleh anak-anak usia belasan yang berekeliling di jalan-jalan desa sambil menyanyi seadanya. Yang penting menghasilkan suara yang bisa membantu penduduk desa untuk bangun dan menunaikan sahur.
Akan tetapi lama kelamaan musik patrol ini semakin berkembang, baik dari sisi alat musiknya maupun pemainnya. Jika sebelumnya hanya dimainkan oleh anak-anak usia belasan, maka kemudian dimainkan oleh para remaja dan orang dewasa yang berkeinginan main musik patrol. Varian alat dan lagunya juga bervariasi. Alat musik gamelan kemudian menjadi bagian penting dari musik patrol. Ada peking, saron, kenong atau gong yang menjadi alat musik ini. Kemudian juga alat musik bambu, sederhana sekali, hanya batang bambu yang dipotong untuk menghasilkan varian suara musiknya, bekas galon air mineral, bekas drum plastik, gentong air, simbal, kencreng dan lainnya.
Meskipun alat musiknya sangat sederhana, akan tetapi ketika dimainkan dengan rancak dan penuh semangat ternyata bisa menghasilkan bunyi musik yang sangat indah.
Alunan lagu shalawatan, lagu campur sari dan bahkan juga musik pop bisa dimainkan dengan baik melalui alat musik sederhana tersebut. Makanya tidak salah jika masyarakat juga menikmati sajian musiknya. Ada yang berjoget ala musik dangdut dan ada pula yang menari beksan dalam tarian Jawa.
Musik patrol atau oleh masyarakat disebut musik Dunak Dungkul atau musik Tongklek adalah musik rakyat. Musik dengan genre ini adalah musik yang lahir dari keinginan untuk membantu mayarakat yang menjalankan ibadah puasa agar dapat melaksanakan sahur tepat waktu. Jadi meskipun berisik, akan tetapi masyarakat tetap memperoleh manfaat. Itulah sebabnya masyarakat menikmati kehadiran musik itu.
Musik patrol ternyata berkembang pesat di setiap desa. Hampir seluruh desa di wilayah Kabupaten Tuban ternyata memiliki musik ini. Makanya ketika diadakan lomba musik patrol di Kabupaten Tuban, maka pesertanya sangat banyak, kira-kira 150 peserta. Lomba tersebut tidak hanya di kota kabupaten, akan tetapi juga dilaksanakan di banyak tempat. Setiap kecamatan bahkan memiliki arena lombanya sendiri.
Menilik terhadap perkembangan musik patrol ini, maka sesungguhnya bulan puasa bisa menjadi medium untuk mengembangkan musik rakyat ini. Puasa selama ini hanya dianggap sebagai bulan ibadah dalam pengertian khusus, akan tetapi ternyata bisa juga menghasilkan musik rakyat.
Dan sebagaimana yang saya tahu, bahwa musik Tongklekan yang semula hanya menjadi tengara makan sahur, ternyata bisa juga menjadi musik hiburan khas pedesaan. Bahkan menurut penuturan masyarakat bahwa musik ini mulai digemari masyarakat dan banyak memperoleh order untuk tanggapan atau pementasan.
Oleh karena itu bisa dinyatakan bahwa puasa ternyata bisa juga menghadirkan musik meskipun hanya sekedar menjadi musik pedesaan. Tetapi apapun namanya tetapp saja ada manfaatnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.