MEMAHAMI PERBEDAAN DALAM AGAMA
Secara sosiologis bahwa manusia memang memiliki kecenderungan untuk berkeyakinan tentang adanya kekuatan gaib yang ada sekitarnya. Semenjak dilakukan kajian tentang adanya relasi manusia dengan alam lingkungannya, maka ditemukanlah bahwa manusia memang meyakini bahwa ada dunia keyakinan pada diri manusia yang disebut sebagai kekuatan gaib atau dinamisme.
Sebelumnya juga ditemukan bahwa manusia meyakini adanya roh dibalik kehidupan ini yang kemudian disebut sebagai animisme. Secara historis kemudian juga muncullah agama-agama yang dikenal sebagai agama monoteisme atau yang meyakini bahwa hanya ada satu saja yang dianggapnya sebagai Tuhan, meskipun praktik animisme dan dinamisme juga tetap eksis di dalam kehidupan manusia.
Agama adalah dunia keyakinan yang di dalamnya terdapat dua hal penting, yaitu yang berupa doktrin keagamaan yang bercorak absolut dan dunia penafsiran agama yang menyisakan ruang nisbi atau tafsir keagamaan. Yang absolut inilah yang merupakan ruang yang tidak bisa didiskusikan sebab menyangkut dunia keyakinan yang sangat mendalam dan tidak bisa ditawar. Misalnya tentang keberadaan Tuhan, Rasul, kitab suci dan lainnya yang dianggap sebagai inti keimanan. Setiap agama memiliki dimensi belief atau keyakinan yang absolut ini.
Tetapi di sisi lain tentu ada dunia tafsir keagamaan, yaitu sebuah ruang yang di dalamnya terdapat tempat untuk mendiskusikan tentang penafsiran elit agama sesuai dengan keyakinannya itu. Di ruang inilah akan terjadi perbedaan di dalam menafsirkan ajaran agama itu. Meskipun teks keagamaan itu satu, misalnya di dalam Islam, akan tetapi karena ada ruang tafsir manusia atas teks itu, maka bisa saja terdapat banyak tafsir. Di dalam berwudlu saja, meskipun teks yang dipakai sama, akan tetapi ternyata ada varian di dalam pelaksanaannya. Hal ini tentu saja disebabkan oleh adanya perbedaan penafsiran tersebut.
Jadi, sesungguhnya perbedaan antara satu golongan dengan golongan lainnya di dalam ritual agama tentu bukan sesuatu yang aneh. Agama sendiri menyediakan ruang untuk berbeda antara satu dengan lainnya. Sebab banyak teks agama yang bercorak umum, sehingga terbuka untuk ditafsirkan berbeda. Bahkan dalam teks yang sangat jelas misalnya tentang shalat, maka juga ada perbedaan antara satu dengan lainnya. Shalat yang dilakukan oleh orang sunni dan syi’i jelas berbeda, meskipun perintahnya sangat jelas.
Di antara yang sering memicu banyak masalah di dalam relasi antar dan interen umat beragama adalah dalam kawasan tafsir ini. Apalagi juga disebabkan oleh adanya kebenaran referensi di antara mereka. Setiap kelompok meyakini bahwa tafsirannya yang benar, sehingga sering menafikan terhadap penafsiran lainnya. Ada semacam keyakinan yang kuat bahwa tafsirnya saja yang benar dan yang lainnya salah.
Ciri agama memang berada di dalam kawasan keyakinan yang tidak bisa ditawar tersebut.
Akhir-akhir ini yang sangat menonjol adalah dunia tafsir tentang kapan hari raya idul fitri dilaksanakan atau kapan tanggal 1 Syawal 1432 H terjadi. Perbedaan ini tentu saja tidak masuk dalam kategori persoalan doktriner, akan tetapi berada di dalam kawasan tafsir terhadap teks keagamaan. Teks tentang kapan hari raya idul fitri atau tanggal 1 Syawal berasal dari teks Hadis Nabi Muhammad saw, bahwa hendaklah memulai puasa dengan melihat hilal dan mengakhiri puasa dengan melihat hilal. Teks inilah yang menjadi rujukan di dalam pelaksanaan puasa. Memulai dengan rukyat al hilal dan mengakhirinya dengan rukyat al hilal.
Akan tetapi sesuai dengan perkembangan zaman, maka dilakukanlah proses penghitungan atau yang dikenal sebagai proses penentuan hilal melalui sistem perhitungan atau sistem hisab. Melalui sistem perhitungan ini, maka akan diketahui berapa ketinggian derajat hilal pada saat kemunculannya yang pertama atau tanggal 1 qamariyah. Berdasarkan perhitungan tersebut maka akan dapat dipastikan bahwa hilal sudah berada dalam ketinggian sekian derajat.
Problem perbedaan akan terjadi manakala ketinggian hilal sangat rendah seperti kasus tahun 2011 ini. Ketika seperti itu, maka dapat dipastikan akan terjadi perbedaan pendapat yang disebabkan oleh pandangan apakah yang dipakai ukurannya adalah wujud al hilal atau rukyat al hilal. Perbedaan tersebut akhirnya memang terjadi, yaitu penetapan 1 Syawal adalah hari Selasa, 30 Agustus 2011 dan lainnya menentukan hari Rabo, 31 Agustus 2011.
Adanya perbedaan ini tentu bukan sesuatu yang mengherankan, sebab memang di dalam persoalan penafsiran tentang kapan hilal ada dan terlihat memang berada di dalam kawasan tafsir agama. Jika demikian halnya, maka tentu harus dipahami bahwa memang ada perbedaan. Oleh karena itu tulisan yang saling mencibir tentang keputusan yang berbeda tentu juga tidak perlu dan tidak penting.
Jadi kita memang perlu kembali kepada keyakinan kita masing-masing saja sambil berusaha untuk menemukan titik temu di antara semuanya.
Wallahu a’lam bi al shawab.