MENYIKAPI PERBEDAAN JAUHKAN POLITISASI
Kita sungguh tidak menduga bahwa penetapan berakhirnya puasa diduga mengarah juga ke ranah politik. Ada tuduhan bahwa hari raya yangg jatuh pada hari Rabo, 31 Agustus 2011 adalah pesan istana agar hari raya yang ditetapkan oleh pemerintah berbeda dengan yang dilakukan oleh ketetapan Muhammadiyah. Dugaan ini bahkan sempat diberitakan oleh beberapa media bahwa ketetapan pemerintah tersebut dipicu oleh ketidakharmonisan hubungan antara pimpinan Muhammadiyah dengan istana. Selama ini memang hubungan antara Dien Syamsudin dan Syafi’i Maarif memang agak renggang kalau tidak dikatakan konflik terselubung.
Fakta inilah yang kemudian mengakibatkan adanya berbagai dugaan bahwa penetapan hari raya kali ini bermuatan politik. Tentu masih diingat dengan jelas tentang adanya issu “kebohongan publik” yang digagas dan dikembangkan oleh tokoh-tokoh agamawan yang melibatkan tokoh-tokoh Muhammadiyah dan bahkan kantor Syafi’i Maarif Institut dijadikan sebagai markas gerakan ini. Hal semacam ini yang menimbulkan dugaan bahwa ada niatan untuk membuat keputusan penetapan hari raya harus berbeda antara Muhammadiyah dan pemerintah.
Perbedaan hari raya bukan barang baru dalam sejarah Indonesia modern. Ketika zaman Orde Baru, maka juga berkali-kali terjadi perbedaan antara NU dan pemerintah. Hal ini disebabkan oleh penetapan hari raya kala itu lebih banyak menggunakan metode hisab atau berpatokan pada wujudul hilal. Sedangkan NU menggunakan metode rukyat al hilal, sehingga ketika rukyat al hilal tidak bisa didapatkan maka ditentukanlah puasa dengan waktu istikmal, 30 hari. Pemerintah waktu itu bersepaham dalam banyak hal dengan metode hisab yang wujudul hilal, sebab Kementerian Agama memang dipimpin oleh Muhammadiyah. Kebanyakan pimpinan kementerian agama sampai di daerah adalah orang Muhammadiyah. Demikian seterusnya.
Pada era Orde Reformasi, maka tejadilah perubahan yang sangat signifikan, terutama di Kementerian Agama. Menteri agama berasal dari NU, sehingga kemudian juga memunculkan realitas baru, bahwa pemerintah lebih dekat dengan NU dalam penetapan hari raya, sehingga metode yang dipakai untuk menentukan hari raya dalam banyak hal adalah metode rukyatul hilal. Itulah yang terjadi akhir-akhir ini.
Akan tetapi satu hal yang dapat dicatat adalah bahwa penentuan tanggal 1 Syawal 1432 H ternyata dilakukan dengan sangat demokratis. Sebagaimana yang saya jelaskan di dalam acara dialog dengan TVone, bahwa penetapan berakhirnya ramadlan ternyata menggunakan suasana diskusi yang sangat beradab. Tidak ada unsur otoriterisme di dalamnya. Semuanya diberikan kesempatan untuk mendiskusikannya secara terbuka. Sehingga jauh kesan dari adanya politisasi di dalamnya.
Memang penetapan hari raya yang berbeda menimbulkan kesan adanya ketidakpastian tentang penetapan hari raya. Ketika saya ditanya seperti ini oleh reporter TVone, saya nyatakan bahwa ada dua kepastian itu, yaitu kepastian universal atau kepastian absolut dan ada kepastian parsial atau kepastian nisbi. Kepastian absolut adalah kepastian tentang keberadaan Allah dan segala hal yang terkait dengannya. Di dalam hal ini adalah tentang keberadaan hari raya. Akan tetapi tentang kepastian nisbi, maka semuanya tergantung pada penafsiran elit agamanya. Kapan pelaksanaan hari raya adalah bagian dari kepastian nisbi atau kepastian parsial. Ketika ada di wilayah tersebut, maka tidak bisa lagi dihakimi sebagai ketidakpastian akan tetapi adalah bagian dari dunia penafsiran yang memang memungkinkan terjadinya perbedaan demi perbedaan. Oleh karena itu, menyudutkan salah satu pihak terlibat dengan urusan politik atau lainnya tentu tidak tepat.
Makanya kita harus berpatokan pada apa yang dinyatakan oleh tim independen seperti dari LAPAN, yang menyatakan bahwa hilal yang rendah tidak akan bisa dilihat dengan alat teknologi apapun. Itulah sebabnya, diusulkan agar penentuan hilal harus menggunakan ukuran 4 derajat, sebab dengan ukuran tersebut, maka hilal akan bisa dilihat atau dirukyat.
Dengan demikian selama tidak ada kesepakatan tentang bagaimana penetapannya, maka selama itu pula akan terjadi perbedaan ini. Jadi, yang terbaik memang harus ada kesepahaman yang sama untuk menentukan kapan tanggal 1 Syawal tersebut harus ditentukan.
Jika tidak maka perbedaan tersebut akan terus terjadi ketika hilal tidak akan sampai dalam ukuran di atas 5 derajat atau sekurang-kurangnya 4 derajat.
Wallahu a’lam bi al shawab.