• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENGURAI PROBLEM INDONESIA

Problem bangsa Indonesia sesungguhnya adalah problem yang sangat sistemik. Hal ini tentu saja disebabkan oleh bangsa Indonesia yang plural dan multikultural, sehingga ragam yang sangat bervariasi tersebut di dalam banyak hal ternyata menjadi kendala untuk membuat justifikasi dan generalisasi kebijakan atau apapun yang berkaitan dengannya.
Begitu sistemiknya problem Indonesia, maka pernah terpikir bahwa siapapun yang menjadi pemimpin Indonesia akan mengalami kendala yang sangat tinggi. Semenjak reformasi hingga sekarang ternyata bahwa common platform sebagai bangsa yang sedang membangun juga belum tampak menonjol. Selama reformasi, baru akhir-akhir ini terdapat arah yang lebih jelas tentang mau dibawa ke mau bangsa ini. Hal ini terkait dengan Jakstranas dan Arah Pembangunan Jangka Panjang Nasional dan Arah Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang kemudian dicoba untuk diterjemahkan ke dalam masing-masing wilayah provinsi, sehingga juga terdapat Jakstrada dan RPJM pada masing-masing daerah.
Terlepas apakah kelemahannya, akan tetapi hal itu sebagai bukti bahwa ada arahan tentang mau dibawa kemana bangsa ini, sebagaimana dahulu dinyatakan bahwa arah bangsa tersebut dituangkan ke dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang merupakan kitab sucinya pembangunan nasional. Di Jawa Timur, misalnya sekarang sedang dirumuskan tentang Jakstrada dan Arah Riset Daerah Jawa Timur yang seluruhnya dirumuskan dari RPJMD.
Bangsa ini memang sedang dirundung masalah. Dan anehnya, baru-baru ini saja tumbuh kembali kesadaran untuk menilai ulang tentang falsafah bangsa sebagai solusi atas problem bangsa ini. Rendahnya pemahaman masyarakat tentang falsafah bangsa ternyata memiliki dan menjadi penyebab dari adanya problem sistemik bangsa.
Nilai-nilai kebangsaan yang sesungguhnya sangat baik dan luar biasa sepertinya ditaruh di laci dan diganti dengan nilai-nilai yang bersumber dari tempat lain. Nilai ketuhanan, nilai kesatuan bangsa, nilai demokrasi, nilai kemanusiaan, nilai keadilan dipajang tetapi tidak diamalkan. Akibatnya di sana sini terjadi kekerasan demi kekerasan, misalnya kekerasan agama, ekonomi, politik, sosial dan sebagainya.
Nilai ketuhanan yang rahmatan lil alamin diganti dengan kekerasan bom bunuh diri atas nama jihad, terorisme atas nama agama dan sebagainya. Nilai kemanusiaan diganti dengan nilai materialisme. Manusia direduksi dalam hubungan materi, sehingga segalanya diukur dari seberapa perolehan uang secara maksimal. Nilai kesatuan dan persatuan bangsa direduksi dengan primordialisme kesukuan, kedaerahan dan etnisitas dan sebagaianya. NKRI diganti dengan corak federalisme terselubung. Nilai demokrasi Pancasila diganti dengan demokrasi one man one vote yang liberal dan sarat dengan money politik. Nilai keadilan sosial diganti dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Semuanya menggambarkan bahwa telah terjadi penyelewengan secara struktural dan kultural terhadap nilai Pancasila.
Melalui bagan analisis sederhana, maka didapati problem sistemik, yaitu terjadinya KKN, kebijakan yang tidak memihak rakyat, kekerasan sosial, kekerasan agama, kekerasan ekonomi dan kekerasan politik, pembalakan, illegal logging, eksploitasi SDA yang berlebihan dan tidak peduli lingkungan, menurunnya moral bangsa, menurunnya rasa nasionalisme, kesenjangan ekonomi, kesenjangan pembangunan wilayah, konflik antar etnis, agama dan politik, yang semuanya berdampak pada pembangunan yang belum menyejahterakan rakyat.
Dengan kenyataan ini, maka solusi yang bisa diambil adalah dengan kembali melakukan revitalisasi nilai-nilai Pancasila di dalam kehidupan bangsa Indonesia dalam semua level kehidupan.
Oleh karena itu kiranya diperlukan aktualisasi falsafah bangsa dan nilai luhur Pancasila untuk mendukung akselerasi pembangunan nasional yang berkeadilan.
Wallahu a’
Am bi al shawab.

INDONESIA NEGARA PARIPURNA

Sebagai Negara paripurna, maka mestilah harus memiliki dasar filofofis, kenegaraan, pandangan hidup dan pemersatu bangsa  yang jelas. Di dalam hal ini, maka Pancasila dinyatakan memenuhi semua aspek tersebut. Makanya, berdasarkan  pandangan selintas tentang historisitas, rasionalitas dan aktualitas Pancasila bagi bangsa Indonesia, menunjukkan bahwa Pancasila sangat relevan untuk menjawab semua hal itu.  

Menurut Yudhi Latif, bahwa Pancasila melalui proses pembuahan, perumusan dan pengesahan. Pada masa Pembuahan, maka semenjak Perhimpunan Indonesia berdiri, maka yang dicari rumusannya adalah tentang ideology politik untuk kepentingan kemerdekaan Indonesia, yaitu persatuan nasional, solidaritas, non-kooperasi dan kemandirian.  Hal ini merupakan sintesis dari ideology terdahulu yang sudah dicetuskan oleh Indische Partij dengan Persatuan Nasional, Komunis dengan non-kooperasi,  kemandirian adalah konsepsi Sarekat Islam, dan solidaritas adalah tema-tema semua organisasi tersebut.

Tjokroaminoto, misalnya telah merumuskan sistesia antara Islam, sosialisme dan demokrasi. Persatuan Muslimin Indonesia juga membuat sintesis Islam dan Kebangsaan. Kemudian Soekarno juga menulis tentang Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme.  Kemudian pada tahun 1930-an, beliau juga merumuskan tentang sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Dari semua perbincangan dan gerakan tersebut kemudian memunculkan Sumpah pemuda tanggal 28 Oktober 1928 dengan pernyataan kesamaan tumpah darah, bangsa dan bahasa Indonesia.

Di dalam proses perumusannya, maka untuk merdeka tentu  dibutuhkan dasar negara yang mulai dibicarakan di  BPUPK tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945. Semula beranggotakann 63 orang dan kemudian bertambah menjadi 69 orang. Mereka terdiri dari golongan pergerakan, golongan Islam, golongan birokrat, wakil kerajaan, pangreh projo dan golongan peranakan (Cina dan Arab).

Ada pertarungan pemikiran yang terjadi ketika itu. Di antara yang menonjol adalah Moh Yamin, Soekarno, Agus Salim dan Hatta. Pada tanggal 1 Juni 1945, maka Soekarno membacakan pidatonya yang kemudian dinamakan Pancasila. Yang menurut beliau digali dari bumi Indonesia. Dinyatakannya bahwa untuk menggali Pancasila bukan hanya dengan rasio semata akan tetapi melalui bisikan spiritualitas yang tinggi. Bagi Soekarno, maka kelima prinsip tersebut adalah Kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan social dan ketuhanan yang berkebudayaan. Urutan ini adalah sekuensial.

Di dalam penetapannya, maka Pancasila ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 sehari setelah pembacaan Naskah Proklamasi oleh Soekarno dan Hatta. Pancasila ditetapkan oleh PPKI yang beranggotakan 21 orang dengan diketuai oleh Soekarno. Perbincangan yang menarik adalah tentang sila pertama, yaitu tentang Ketuhanan Yang Maha Esa yang bertarung dengan Piagam Jakarta yaitu Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya. Akan tetapi melalui musyawarah akhirnya dapat diterima tentang Sila pertama sebagaimana yang terdapat sekarang. Rupanya setelah menerima surat dari Indonesia Timur tentang keberatan terhadap Piagam Jakarta, maka diputuskanlah melalui musyawarah tentang penerimaan Pancasila sebagaimana yang kita lihat sekarang.

Dari perbincangan tentang Pancasila secara historis, rasionalitas dan aktualitas ini, maka ada beberapa fitrah yang dapat dikemukakan, yaitu fitrah semangat “Menuhan”, yaitu semangat untuk bertuhan dan mengamalkan ajaran ketuhanan tersebut dalam bingkai agama dan keyakinannya tersebut. Lalu semangat kekeluargaan, yaitu semangat bahwa di dalam mengelola Negara hendaknya berprinsip sebagai sebuah keluarga, yang masing-masing memiliki tempat, tugas, pokok dan fungsi yang selaras, serasi dan seimbang. Kemaudian semangat keikhlasan dan ketulusan, yaitu di dalam menjalankan seluruh kehidupan mestilah berpinsip ikhlas dan tulus bekerja. Lalu semangat pengabdian dan tanggungjawab, yaitu semanga yang dibangun atas rasa dan prilaku mengabdi kepada nusa dan bangsa yang disertai dengan tanggungjawab di dalam pelaksanaannya. Kemudian, semangat keadilan dan kemanusiaan dan semangat kejuangan.

Pancasila tidak ada artinya jika dia tidak diamalkan secara riil di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.  Pancasila tidak hanya digunakan sebagai discourse saja, didiskusikan dan diseminarkan dan sebagainya, akan tetapi justru harus diamalkan di dalam kehidupan sehari-hari.

Wallahu a’am bi al shawab.

BERPIKIR SOFT SISTEM

Salah satu materi di dalam diklatpim Tingkat I adalah bagaimana berpikir sistemik dapat dilakukan di dalam pengembangan institusi. Untuk pengembangan institusi, maka banyak digunakan cara berpikir black box. Yaitu cara berpikir dengan mengumpulkan bahan sebanyak-banyaknya dan kemudian tanpa memperdulikan prosesnya yang cukup jelimet dan kemudian memutuskannya.
Berpikir dengan model black box masih banyak digunakan oleh para pemimpin untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh instansinya. Para pemimpin baik institusi pemerintah maupun swasta di dalam banyak hal masih menggunakan cara berpikir ini. Di dalam banyak hal, berpikir sistemik tentu sangat penting. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa melalui cara berpikir sistemik maka akan didapatkan hasil yang lebih baik.
Satu metode khusus yang dikembangkan sebagai kelanjutan cara berpikir positivistik yang kuantitatif dan fenomenologik yang kualitatif adalah yang disebut sebagai soft system methodology. Tujuan dari metodologi berpikir ini adalah untuk menghasilkan atau membentuk system thinker dan menguasai system methodology.
Di antara tokoh yang sudah dapat diidentifikasi sebagai orang dengan kemampuan soft system methodology adalah Peter Checkland, Kim Dae Jung dan Wali/walikota Solo. Peter Checkland adalah orang yang menghasilkan buku Learning for Action, a Short Definitive Account of Soft System Methodology and its Use for Practitioners, Teachers and Students. Kim Dae Jung adalah Presiden Korea Selatan di masa kriris ekonomi yang kala kampanye menyatakan bahwa jika dia menjadi presiden, maka krisis Korea Selatan akan dapat diselesaikannya dalam waktu dua tahun. Ternyata Kim Dae Jung hanya butuh waktu 18 bulan untuk menyelesaikan krisis ekonomi di sana. Melalui soft system methodology ini, Kim Dae Jung sampai kepada kesimpulan “krisis finansial Korea Selatan disebabkan oleh kegagalan lembaga-lembaga keuangan domestik dan hancurnya daya saing nasional, serta tidak adanya demokrasi.” Sementara itu Jokowi, Walikota Solo juga dianggap memiliki kemampuan soft system methodology yang disebabkan oleh keberhasilannya di dalam menangani PKL. Jika ditempat lainnya, PKL diburu dan disingkirkan, maka Jokowi justru menjadikannya sebagai mitra. Puluhan kali Jokowi makan bareng dengan PKL dan hasilnya adalah kerelaan mereka untuk pindah dan bahkan diiringi dengan pagelaran kesenian Solo. Kim Dae Jung dan Jokowi adalah orang yang memiliki kemampuan soft system metholodology alamiah.
Secara metodologis, bahwa terdapat perbedaan yang tegas antara metodologi kualitatif, kuantitatif dengan system thinking approach. Ciri metode kualitatif adalah fenomenologis, induktif, holistik, subyektif, orientasi proses, antropological worldview, relatif longgar, tujuannya adalah pemahaman, realitas dinamik dan orientasi penemuan. Sedangkan pendekatan kuantitatif bercirikan positivistik, hipotetis deduktif, obyektif, orientasi hasil, worldview natural science, control variabel yang ketat, memperoleh fakta dan penyebabnya, realitas statis dan orientasi verifikasi. Sedangkan untuk system thinking approach, maka cirinya adalah interpretativisme dan realisme, melihat interrelasi dari sesuatu yang sistemik, dualitas struktur, integratif-perspektif, keduanya adalah subyektif dan obyektif, pendekatan saintifik ke problem solving serta action research, strukturasi dan menyeluruh, kompleksitas dinamik dan sebuah pendekatan untuk memahami perilaku dari sistem kompleks sepanjang waktu dan memahami interelasi aspek yang bermacam-macam.
Secara prosedural, maka ada tujuh langkah di dalam soft system methodology yaitu: 1) situasi problem, 2) ekspres situasi problem, 3) akar masalah, 4) membuat modal konseptual, 5) membandingkan antara model ideal dengan kenyataan realistik, 6) melakukan perubahan secara sistematis dan 7) merumuskan action plan. Dalam urutan satu, dua, lima, enan dan tujuh adalah real world sedangkan urutan tiga dan empat adalah system berpikir tentang real world.
Berpikir sistemik memang sangat mengandalkan pada proses, artinya bawa proses harus memperoleh porsi yang besar agar dapat menjadi sebuah keputusans problem sloving yang justru diharapkan datang dari mereka yang dikenai program. Dalamm kasus Jokowi, maka untuk memindahkan para PKL maka membutuhkan waktu yang panjang. Jadi kalau kita selalu berpikir instan maka dapat dipastikan bahwa kita akan gagal menerapkan cara berpikir sistemik ini.
Dengan demikian, agar kita bisa berpikir sistemik maka harus ada ketercukupan fakta atau realitas yang akan dijadikan sebagai bahan masukan untuk mermuskan kebijakan atau keputusan problem sloving dan kemudian juga proses penyadarannyang intensif dan panjang, meakipun tetap harus ada durasi waktu yang jelas, dan juga pelibatan secara maksimal terhadap sasaran mitra kebijakan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PANCASILA, PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

Sesungguhnya ada dua hal tantangan yang diberikan oleh Prof. Dr. Daoed Yoesoef mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Beliau adalah orang yang begitu gigih di dalam mempertahankan prinsipnya. Beliau bercerita, ketika pertama masuk ke ruang menteri Pendidikan dan Kebudayaan, maka yang diminta adalah mesin ketik. Maka ajudannya bertanya untuk apa mesin ketik. Lalu dijawabnya, mesin ketik ya untuk mengetik, terutama untuk mengetik naskah pidato. Ajudan itu menyatakan “Pak biasanya untuk bahan pidato sudah ada yang membuatnya”. Maka beliau menyatakan “saya ingin mengetik bahan pidato saya sendiri”. Alasan beliau sangat sederhana, bahwa dengan membuat naskah sendiri pidatonya itu, maka yang disampaikan adalah pikirannya sendiri dan bukan pikiran pembantunya.
Begitulah Prof. Daoed Yoesoef, yang memiliki keteguhan dan prinsip bahkan sampai urusan pidatonya sendiri. Kita tentu mengapresiasi terhadap tindakannya itu. Dengan menyusun sendiri bahan pidatonya, maka yang diungkapkan adalah pikirannya sendiri, konsepnya sendiri dan juga implikasi yang terjadi sesudahnya. Orang lain bisa saja menuliskan konsep-konsep pikirannya, akan tetapi tentu tidak akan tahu apa sesungguhnya logika-logika dan dasar filosofi pemikirannya itu. Rasanya memang sangat berbeda dengan para pimpinan negara sekarang yang di dalam banyak hal justru menyuruh orang lain untuk merumuskan pidato-pidatonya. Jika yang membuat pidato itu adalah staf, maka pidato itu tentunya adalah pikiran staf dan bukan pikiran pimpinan.
Ada dua kritik beliau tentang kehidupan Pancasila, Pendidikan dan Kebudayaan. Tentang Pancasila, maka kritiknya adalah bahwa hingga sekarang Pancasila itu belum dijadikan filsafat bangsa. Pancasila itu masih merupakan kumpulan unsur atau bagian yang belum menjadi sebuah sistem yang saling terkait. Pancasila itu bukan lima unsur atau lima sila yang dijadikan satu tetapi tetap menjadi bagian-bagian. Sila yang satu bukan bagian dari sila yang lain.
Jika Pancasila itu dijadikan sebagai falsafah bangsa, maka keterkaitan antar sila itu yang harus dikedepankan. Di dalam kehidupan bernegara ternyata sila-sila tersebut dipisahkan. Ketuhanan yang Maha esa dipisahkan dengan lainnya. Ketuhanan Yang Maha Esa yang bersifat hakikat diubah menjadi bersifat instrumental. Tuhan direduksi menjadi ritual yang instrumen. Masih banyak keinginan untuk mengubah sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Ketuhanan yang universal dan hakikat tersebut ingin direduksi ke dalam Tuhan dalam agama tertentu. Tuhan dalam penafsiran tertentu.
Contoh lain tentang demokrasi. Di dalam Pancasila, demokrasi model barat itu ditolak. Sebab demokasi barat itu diciptakan di atas dasar filsafat barat yang individualistik. Sedangkan bangsa Indonesia tidak. Maka yang dipilih adalah demokrasi atas dasar musyawarah dan mufakat. Di dalam kenyataannya, bahwa musyawarah dan mufakat itu sudah tidak lagi dijadikan sebagai rujukan. Akibatnya, terjadi politik uang yang luar biasa. Di Indonesia kemudian muncul plutokrasi, negara dipimpin oleh orang yang punya modal. Jika tidak punya modal maka dimodali dengan pembagian kekuasaan yang jelas. Semua proyek nantinya harus diberikan kepada orang yang memodalinya. Semua menjadi rusak sebab ukurannya lalu uang. Demokrasi dicomot dari barat dan dipisahkan dari sila kemanusiaan, ketuhanan, persatuan dan kesatuan bangsa. Demokrasi kita menjadi salah arah sebagai akibat tidak menjadikan Pancasila sebagai falsafah bangsa.
Yang juga menarik juga kritiknya tentang pendidikan. Dengan nada keras beliau nyatakan bahwa pemisahan pendidikan dari kebudayaan adalah langkah salah yang dilakukan oleh negara. Pendidikan tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan bahkan dengan seluruh sistem kehidupan. Kebudayaan itu adalah nilai-nilai yang menjadi pedoman bagi manusia untuk melakukan sesuatu. Dalam keadaan apapun kebudayaan itu menjadi pedoman dan kebudayaan memang juga harus ditransformasikan kepada manusia agar menjadi pedoman untuk bertingkah lalu.
Itulah sebabnya pendidikan dan kebudayaan tidak bisa dipisahkan. Kebudayaan jangan direduksi menjadi kesenian, tourisme dan hal-hal yang merupakan bagian dari kebudayaan. Kesenian adalah produk material budaya. Sama halnya dengan tempat wisata yang terkait dengan tourisme. Dengan memisahkan pendidikan dan kebudayaan, maka nilai-nilai yang seharusnya menjadi domain kebudayaan yang seharusnya ditransformasikan melalui pendidikan menjadi terabaikan. Kebudayaan tidak bisa diurus dengan menyamakannya dengan budaya fisik yang merupakan produk dari kebudayaan.
Langkah memisahkan kebudayaan dari pendidikan dan menempatkannya ke dalam kementerian yang salah tentu berakibat yang fatal, yaitu hilangnya roh kebudayaan itu dari dunia pendidikan. Dengan menempatkan kebudayaan pada kementerian kebudayaan dan pariwisata, maka telah terjadi reduksi substansial dan fungsional terhadap kebudayaan.
Melihat keteguhannya dalam memandang prinsip mendasar dari Pancasila, pendidikan dan kebudayaan, maka kiranya tidak salah jika Oetomo Dananjaya menyatakan bahwa Prof. Dr. Daoed Yoesoef adalah menteri pendidikan dan kebudayaan yang paling ideologis.
Wallahu a’lam bi al shawab.

TANTANGAN PANCASILA SEBAGAI FALSAFAH BANGSA

Sessi kedua perbincangan tentang Pancasila diberikan oleh Nara Sumber Soeprapto, MEd dan Dr. Yudi Latif. Pancasila memang memiliki beberapa tantangan yang ridak sedikit, di antaranya adalah liberalisme, individualisme, pragmatisme, hedonisme dan juga ideologi lain yang didatangkan dari luar negeri atau disebut trans-ideologi.
Pertanyaannya adalah negara ini dari mana dan akan dibawa ke mana? Negara ini sesungguhnya menjadi tanggung jawab kita semua. Oleh karena itu yang diperlukan adalah kesatuan perkataan dan tanggungjawab. Di dalam hal ini maka yang penting adalah apa yang kita yakini harus dilakukan sesuai dengan fasafah bangsa yang kita anggap benar.
Berdasarkan surat menyurat yang dilakukan oleh tokoh Amerika, maka tujuan bernegara adalah untuk kebahagiaan. Untuk bahagia harus ada kemerdekaan, untuk merdeka maka membutuhkan negara, dan untuk bernegara membutuh konstitusi dan konstitusi juga membutuhkan moralitas. Maka ketika kita membentuk negara, maka tujuannya adalah untuk memperoleh kebahagiaan dengan beberapa kaitannya tersebut.
Ada fenomena kehidupan yang sedang terjadi di Indonesia, misalnya konflik antar suku, golongan dan sebagainya, ada korupsi, kolusi dan nepotisme serta ada juga masalah-masalah politis yang sedang menggejala pada masyarakat kita. Makanya, untuk memahami tentang hal ini, maka kita harus memahami tentang apa yang ada dibalik hal ini semua.
Untuk menjawab persoalan ini, maka yang bisa menjadi solusi adalah filsafat yaitu untuk mengetahui hakikat fenomena setelah diorganisasi dan disistematisasikan. Melalui refleksi yang mendasar, maka fenomena yang kasat mata akan bisa dicari apa yang menjadi noumenanya. Yang dicari adalah hakikat sesuatu.
Sesungguhnya Pancasila itu dapat dilacak di dalam Pembukaan UUD 1945. Makanya Pancasila adalah pokok dasar yang melandasi pada seluruh UUD 1945. Dan setiap teks di dalam batang tubuh UUD 1945 memiliki relevansi dengan Pancasila, pembukaan UUD 1945 dan di dalam batang tubuh UUD 1945. Pancasila dan UUD 1945 adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Makanya, Soepomo menyatakan bahwa “saya mau terlibat dan mau menjadi ketua tim perumus Batang Tubuh UUD 1945 jika keterkaitan antara Pancasila dan turunannya tdak dipisah-pisahkan”.
Secara ontologis, relasi Pancasila dapat digambarkan sebagai relasi antara manusia dengan the ultimate reality, alam semesta, sesama manusia, negara bangsa, masyarakat dan dunia global. Manusia adalah ciptaan Tuhan sebagaimana yang diberitakan oleh agama-agama. Yang di dalam Pancasila didiskripsikan sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa. Manusia juga makhluk yang memiliki relasi dengan lainnya. Sebagai makhluk relasional, maka dibuatlah value-value yang dijadikan sebagai pedoman untuk membangun kebersamaan tersebut. Manusia yang satu dengan yang lain bukan saling mensubordinasi, akan tetapi memiliki kesederajadan atau equalitas. Di Amerika terdapat restoran yang khusus untuk kulit putih, maka yang kulit hitam tentu akan dilarang dan tidak berani masuk ke dalamnya. Tentang jender sesungguhnya di Indonesia tidak ada masalah, sebab secara realistis memang isu jender bukanlah masalah di Indonesia.
Lalu, manusia juga berada dalam relasinya dengan alam. Ada hubungan timbal balik antar alam dan manusia. Alam bukan dianggp sebagai obyek akan tetapi sebagai subyek. Alam tidak untuk dieksploitasi sembarangan, akan tetapi untuk didayagunakan bagi kesejahteraan masyarakat secara seimbang.
Pancasila memiliki posisi yang bervariasi di dalam struktur negara dan bangsa Indonesia, yaitu sebagai dasar negara, ideologi nasional, pandangan hidup bangsa dan ligatur atau pemersatu bangsa. Semua ini berbasis pada konsep atau prinsip dan nilai empat pilar bangsa. Sebagai konsep tersebut harus berada di dalam koridor yang jelas. Sebagai dasar negara maka Pancasila menjadi acuan peraturan perundang-undangan, sebagai ideologi nasional maka Pancasila adalah arah pembangunan bangsa, Pancasila sebagai pandangan hidup maka Pancasila adalah pembentuk pola pikir sikap dan tingkah laku atau karakter bangsa dan sebagai pemersatu maka Pancasila sebagai pengikut kemajemukan.
Presiden Soekarno telah berpidato di Congress Amerika Serikat tahun 1955 tentang Pancasila sebagai penarikan ke atas dari Sosialisme-komunisme dan liberalisme-individualisme. Hal itulah yang menjadikan Indonesia sangat bergengsi di mata dunia. Makanya, Indonesia dijadikan sebagai pemimpin berbagai lembaga internasional, misalnya pimpinan Non Blok, dan sebagainya. Bagi Soekarno, bahwa Pancasila adalah sintetis antara liberalisme dan komunisme. Jadi Soekarno sudah mengambil jalan ketiga pada tahun 1050-an jauh sebelum Anthony Giddens membuat sistesis The Third Wave.
Akan tetapi kesalahan yang dilakukan oleh era Orde Lama adalah keinginannya yang sangat kuat untuk menyatukan bangsa Indonesia, sehingga yang berbeda dalam prinsip pun disatukan, misalnya Nasakom. Kemudian Orde Baru juga terlalu bersemangat untuk menjadikan Pancasila sebagai pedoman hidup, sehingga para pelakunya kemudian menjadikannya sebagai persyaratan di dalam segala persoalan, mulai dari persyaratan KTP sampai kenaikan jabatan.
Setelah sekian lama vakum, maka di era reformasi sekarang ini maka Pancasila mulai lagi dijadikan sebagai bahan diskusi. Tentu yang diharapkan adalah bagaimana kemudian tidak hanya sebagai discourse akan tetapi menjadi kenyataan yang riil di dalam tindakan manusia Indonesia.
Wallahu a’lam bi al shawab.