BERPIKIR SOFT SISTEM
Salah satu materi di dalam diklatpim Tingkat I adalah bagaimana berpikir sistemik dapat dilakukan di dalam pengembangan institusi. Untuk pengembangan institusi, maka banyak digunakan cara berpikir black box. Yaitu cara berpikir dengan mengumpulkan bahan sebanyak-banyaknya dan kemudian tanpa memperdulikan prosesnya yang cukup jelimet dan kemudian memutuskannya.
Berpikir dengan model black box masih banyak digunakan oleh para pemimpin untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh instansinya. Para pemimpin baik institusi pemerintah maupun swasta di dalam banyak hal masih menggunakan cara berpikir ini. Di dalam banyak hal, berpikir sistemik tentu sangat penting. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa melalui cara berpikir sistemik maka akan didapatkan hasil yang lebih baik.
Satu metode khusus yang dikembangkan sebagai kelanjutan cara berpikir positivistik yang kuantitatif dan fenomenologik yang kualitatif adalah yang disebut sebagai soft system methodology. Tujuan dari metodologi berpikir ini adalah untuk menghasilkan atau membentuk system thinker dan menguasai system methodology.
Di antara tokoh yang sudah dapat diidentifikasi sebagai orang dengan kemampuan soft system methodology adalah Peter Checkland, Kim Dae Jung dan Wali/walikota Solo. Peter Checkland adalah orang yang menghasilkan buku Learning for Action, a Short Definitive Account of Soft System Methodology and its Use for Practitioners, Teachers and Students. Kim Dae Jung adalah Presiden Korea Selatan di masa kriris ekonomi yang kala kampanye menyatakan bahwa jika dia menjadi presiden, maka krisis Korea Selatan akan dapat diselesaikannya dalam waktu dua tahun. Ternyata Kim Dae Jung hanya butuh waktu 18 bulan untuk menyelesaikan krisis ekonomi di sana. Melalui soft system methodology ini, Kim Dae Jung sampai kepada kesimpulan “krisis finansial Korea Selatan disebabkan oleh kegagalan lembaga-lembaga keuangan domestik dan hancurnya daya saing nasional, serta tidak adanya demokrasi.” Sementara itu Jokowi, Walikota Solo juga dianggap memiliki kemampuan soft system methodology yang disebabkan oleh keberhasilannya di dalam menangani PKL. Jika ditempat lainnya, PKL diburu dan disingkirkan, maka Jokowi justru menjadikannya sebagai mitra. Puluhan kali Jokowi makan bareng dengan PKL dan hasilnya adalah kerelaan mereka untuk pindah dan bahkan diiringi dengan pagelaran kesenian Solo. Kim Dae Jung dan Jokowi adalah orang yang memiliki kemampuan soft system metholodology alamiah.
Secara metodologis, bahwa terdapat perbedaan yang tegas antara metodologi kualitatif, kuantitatif dengan system thinking approach. Ciri metode kualitatif adalah fenomenologis, induktif, holistik, subyektif, orientasi proses, antropological worldview, relatif longgar, tujuannya adalah pemahaman, realitas dinamik dan orientasi penemuan. Sedangkan pendekatan kuantitatif bercirikan positivistik, hipotetis deduktif, obyektif, orientasi hasil, worldview natural science, control variabel yang ketat, memperoleh fakta dan penyebabnya, realitas statis dan orientasi verifikasi. Sedangkan untuk system thinking approach, maka cirinya adalah interpretativisme dan realisme, melihat interrelasi dari sesuatu yang sistemik, dualitas struktur, integratif-perspektif, keduanya adalah subyektif dan obyektif, pendekatan saintifik ke problem solving serta action research, strukturasi dan menyeluruh, kompleksitas dinamik dan sebuah pendekatan untuk memahami perilaku dari sistem kompleks sepanjang waktu dan memahami interelasi aspek yang bermacam-macam.
Secara prosedural, maka ada tujuh langkah di dalam soft system methodology yaitu: 1) situasi problem, 2) ekspres situasi problem, 3) akar masalah, 4) membuat modal konseptual, 5) membandingkan antara model ideal dengan kenyataan realistik, 6) melakukan perubahan secara sistematis dan 7) merumuskan action plan. Dalam urutan satu, dua, lima, enan dan tujuh adalah real world sedangkan urutan tiga dan empat adalah system berpikir tentang real world.
Berpikir sistemik memang sangat mengandalkan pada proses, artinya bawa proses harus memperoleh porsi yang besar agar dapat menjadi sebuah keputusans problem sloving yang justru diharapkan datang dari mereka yang dikenai program. Dalamm kasus Jokowi, maka untuk memindahkan para PKL maka membutuhkan waktu yang panjang. Jadi kalau kita selalu berpikir instan maka dapat dipastikan bahwa kita akan gagal menerapkan cara berpikir sistemik ini.
Dengan demikian, agar kita bisa berpikir sistemik maka harus ada ketercukupan fakta atau realitas yang akan dijadikan sebagai bahan masukan untuk mermuskan kebijakan atau keputusan problem sloving dan kemudian juga proses penyadarannyang intensif dan panjang, meakipun tetap harus ada durasi waktu yang jelas, dan juga pelibatan secara maksimal terhadap sasaran mitra kebijakan.
Wallahu a’lam bi al shawab.