• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PANCASILA, PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

Sesungguhnya ada dua hal tantangan yang diberikan oleh Prof. Dr. Daoed Yoesoef mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Beliau adalah orang yang begitu gigih di dalam mempertahankan prinsipnya. Beliau bercerita, ketika pertama masuk ke ruang menteri Pendidikan dan Kebudayaan, maka yang diminta adalah mesin ketik. Maka ajudannya bertanya untuk apa mesin ketik. Lalu dijawabnya, mesin ketik ya untuk mengetik, terutama untuk mengetik naskah pidato. Ajudan itu menyatakan “Pak biasanya untuk bahan pidato sudah ada yang membuatnya”. Maka beliau menyatakan “saya ingin mengetik bahan pidato saya sendiri”. Alasan beliau sangat sederhana, bahwa dengan membuat naskah sendiri pidatonya itu, maka yang disampaikan adalah pikirannya sendiri dan bukan pikiran pembantunya.
Begitulah Prof. Daoed Yoesoef, yang memiliki keteguhan dan prinsip bahkan sampai urusan pidatonya sendiri. Kita tentu mengapresiasi terhadap tindakannya itu. Dengan menyusun sendiri bahan pidatonya, maka yang diungkapkan adalah pikirannya sendiri, konsepnya sendiri dan juga implikasi yang terjadi sesudahnya. Orang lain bisa saja menuliskan konsep-konsep pikirannya, akan tetapi tentu tidak akan tahu apa sesungguhnya logika-logika dan dasar filosofi pemikirannya itu. Rasanya memang sangat berbeda dengan para pimpinan negara sekarang yang di dalam banyak hal justru menyuruh orang lain untuk merumuskan pidato-pidatonya. Jika yang membuat pidato itu adalah staf, maka pidato itu tentunya adalah pikiran staf dan bukan pikiran pimpinan.
Ada dua kritik beliau tentang kehidupan Pancasila, Pendidikan dan Kebudayaan. Tentang Pancasila, maka kritiknya adalah bahwa hingga sekarang Pancasila itu belum dijadikan filsafat bangsa. Pancasila itu masih merupakan kumpulan unsur atau bagian yang belum menjadi sebuah sistem yang saling terkait. Pancasila itu bukan lima unsur atau lima sila yang dijadikan satu tetapi tetap menjadi bagian-bagian. Sila yang satu bukan bagian dari sila yang lain.
Jika Pancasila itu dijadikan sebagai falsafah bangsa, maka keterkaitan antar sila itu yang harus dikedepankan. Di dalam kehidupan bernegara ternyata sila-sila tersebut dipisahkan. Ketuhanan yang Maha esa dipisahkan dengan lainnya. Ketuhanan Yang Maha Esa yang bersifat hakikat diubah menjadi bersifat instrumental. Tuhan direduksi menjadi ritual yang instrumen. Masih banyak keinginan untuk mengubah sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Ketuhanan yang universal dan hakikat tersebut ingin direduksi ke dalam Tuhan dalam agama tertentu. Tuhan dalam penafsiran tertentu.
Contoh lain tentang demokrasi. Di dalam Pancasila, demokrasi model barat itu ditolak. Sebab demokasi barat itu diciptakan di atas dasar filsafat barat yang individualistik. Sedangkan bangsa Indonesia tidak. Maka yang dipilih adalah demokrasi atas dasar musyawarah dan mufakat. Di dalam kenyataannya, bahwa musyawarah dan mufakat itu sudah tidak lagi dijadikan sebagai rujukan. Akibatnya, terjadi politik uang yang luar biasa. Di Indonesia kemudian muncul plutokrasi, negara dipimpin oleh orang yang punya modal. Jika tidak punya modal maka dimodali dengan pembagian kekuasaan yang jelas. Semua proyek nantinya harus diberikan kepada orang yang memodalinya. Semua menjadi rusak sebab ukurannya lalu uang. Demokrasi dicomot dari barat dan dipisahkan dari sila kemanusiaan, ketuhanan, persatuan dan kesatuan bangsa. Demokrasi kita menjadi salah arah sebagai akibat tidak menjadikan Pancasila sebagai falsafah bangsa.
Yang juga menarik juga kritiknya tentang pendidikan. Dengan nada keras beliau nyatakan bahwa pemisahan pendidikan dari kebudayaan adalah langkah salah yang dilakukan oleh negara. Pendidikan tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan bahkan dengan seluruh sistem kehidupan. Kebudayaan itu adalah nilai-nilai yang menjadi pedoman bagi manusia untuk melakukan sesuatu. Dalam keadaan apapun kebudayaan itu menjadi pedoman dan kebudayaan memang juga harus ditransformasikan kepada manusia agar menjadi pedoman untuk bertingkah lalu.
Itulah sebabnya pendidikan dan kebudayaan tidak bisa dipisahkan. Kebudayaan jangan direduksi menjadi kesenian, tourisme dan hal-hal yang merupakan bagian dari kebudayaan. Kesenian adalah produk material budaya. Sama halnya dengan tempat wisata yang terkait dengan tourisme. Dengan memisahkan pendidikan dan kebudayaan, maka nilai-nilai yang seharusnya menjadi domain kebudayaan yang seharusnya ditransformasikan melalui pendidikan menjadi terabaikan. Kebudayaan tidak bisa diurus dengan menyamakannya dengan budaya fisik yang merupakan produk dari kebudayaan.
Langkah memisahkan kebudayaan dari pendidikan dan menempatkannya ke dalam kementerian yang salah tentu berakibat yang fatal, yaitu hilangnya roh kebudayaan itu dari dunia pendidikan. Dengan menempatkan kebudayaan pada kementerian kebudayaan dan pariwisata, maka telah terjadi reduksi substansial dan fungsional terhadap kebudayaan.
Melihat keteguhannya dalam memandang prinsip mendasar dari Pancasila, pendidikan dan kebudayaan, maka kiranya tidak salah jika Oetomo Dananjaya menyatakan bahwa Prof. Dr. Daoed Yoesoef adalah menteri pendidikan dan kebudayaan yang paling ideologis.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini