INDONESIA NEGARA PARIPURNA
Sebagai Negara paripurna, maka mestilah harus memiliki dasar filofofis, kenegaraan, pandangan hidup dan pemersatu bangsa yang jelas. Di dalam hal ini, maka Pancasila dinyatakan memenuhi semua aspek tersebut. Makanya, berdasarkan pandangan selintas tentang historisitas, rasionalitas dan aktualitas Pancasila bagi bangsa Indonesia, menunjukkan bahwa Pancasila sangat relevan untuk menjawab semua hal itu.
Menurut Yudhi Latif, bahwa Pancasila melalui proses pembuahan, perumusan dan pengesahan. Pada masa Pembuahan, maka semenjak Perhimpunan Indonesia berdiri, maka yang dicari rumusannya adalah tentang ideology politik untuk kepentingan kemerdekaan Indonesia, yaitu persatuan nasional, solidaritas, non-kooperasi dan kemandirian. Hal ini merupakan sintesis dari ideology terdahulu yang sudah dicetuskan oleh Indische Partij dengan Persatuan Nasional, Komunis dengan non-kooperasi, kemandirian adalah konsepsi Sarekat Islam, dan solidaritas adalah tema-tema semua organisasi tersebut.
Tjokroaminoto, misalnya telah merumuskan sistesia antara Islam, sosialisme dan demokrasi. Persatuan Muslimin Indonesia juga membuat sintesis Islam dan Kebangsaan. Kemudian Soekarno juga menulis tentang Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme. Kemudian pada tahun 1930-an, beliau juga merumuskan tentang sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Dari semua perbincangan dan gerakan tersebut kemudian memunculkan Sumpah pemuda tanggal 28 Oktober 1928 dengan pernyataan kesamaan tumpah darah, bangsa dan bahasa Indonesia.
Di dalam proses perumusannya, maka untuk merdeka tentu dibutuhkan dasar negara yang mulai dibicarakan di BPUPK tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945. Semula beranggotakann 63 orang dan kemudian bertambah menjadi 69 orang. Mereka terdiri dari golongan pergerakan, golongan Islam, golongan birokrat, wakil kerajaan, pangreh projo dan golongan peranakan (Cina dan Arab).
Ada pertarungan pemikiran yang terjadi ketika itu. Di antara yang menonjol adalah Moh Yamin, Soekarno, Agus Salim dan Hatta. Pada tanggal 1 Juni 1945, maka Soekarno membacakan pidatonya yang kemudian dinamakan Pancasila. Yang menurut beliau digali dari bumi Indonesia. Dinyatakannya bahwa untuk menggali Pancasila bukan hanya dengan rasio semata akan tetapi melalui bisikan spiritualitas yang tinggi. Bagi Soekarno, maka kelima prinsip tersebut adalah Kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan social dan ketuhanan yang berkebudayaan. Urutan ini adalah sekuensial.
Di dalam penetapannya, maka Pancasila ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 sehari setelah pembacaan Naskah Proklamasi oleh Soekarno dan Hatta. Pancasila ditetapkan oleh PPKI yang beranggotakan 21 orang dengan diketuai oleh Soekarno. Perbincangan yang menarik adalah tentang sila pertama, yaitu tentang Ketuhanan Yang Maha Esa yang bertarung dengan Piagam Jakarta yaitu Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya. Akan tetapi melalui musyawarah akhirnya dapat diterima tentang Sila pertama sebagaimana yang terdapat sekarang. Rupanya setelah menerima surat dari Indonesia Timur tentang keberatan terhadap Piagam Jakarta, maka diputuskanlah melalui musyawarah tentang penerimaan Pancasila sebagaimana yang kita lihat sekarang.
Dari perbincangan tentang Pancasila secara historis, rasionalitas dan aktualitas ini, maka ada beberapa fitrah yang dapat dikemukakan, yaitu fitrah semangat “Menuhan”, yaitu semangat untuk bertuhan dan mengamalkan ajaran ketuhanan tersebut dalam bingkai agama dan keyakinannya tersebut. Lalu semangat kekeluargaan, yaitu semangat bahwa di dalam mengelola Negara hendaknya berprinsip sebagai sebuah keluarga, yang masing-masing memiliki tempat, tugas, pokok dan fungsi yang selaras, serasi dan seimbang. Kemaudian semangat keikhlasan dan ketulusan, yaitu di dalam menjalankan seluruh kehidupan mestilah berpinsip ikhlas dan tulus bekerja. Lalu semangat pengabdian dan tanggungjawab, yaitu semanga yang dibangun atas rasa dan prilaku mengabdi kepada nusa dan bangsa yang disertai dengan tanggungjawab di dalam pelaksanaannya. Kemudian, semangat keadilan dan kemanusiaan dan semangat kejuangan.
Pancasila tidak ada artinya jika dia tidak diamalkan secara riil di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila tidak hanya digunakan sebagai discourse saja, didiskusikan dan diseminarkan dan sebagainya, akan tetapi justru harus diamalkan di dalam kehidupan sehari-hari.
Wallahu a’am bi al shawab.