• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

BOM BUNUH DIRI DAN KEBERAGAMAAN KITA

Masih terus ada kejutan terkait dengan bom bunuh diri. Kemarin, 25 September 2011, terjadi lagi bom bunuh diri yang dilakukan di Gereja Bethel Injil Sepenuh di Solo. Pelakunya tentu saja meninggal dengan keadaan mengenaskan dan 22 orang lainnya terluka. Bom bunuh diri ini tentu saja mengagetkan banyak orang sebab selama ini suasana keamanan di Indonesia cukup stabil. Akan tetapi tiba-tiba terjadi bom bunuh diri yang dilakukan oleh orang nekad.
Secara teoretik, bahwa bunuh diri dilakukan disebabkan oleh rendahnya solidaritas sosial. Semakin rendah solidaritas sosial, maka semakin kuat akan terjadi fenomena bunuh diri. Bunuh diri misalnya bisa terjadi ketika orang merasakan tekanan eksternal yang luar biasa dan bunuh diri adalah salah satu jalan yang bisa dilakukan. Dan hal ini bisa dilakukan oleh siapa saja. Banyak kasus bunuh diri yang dilakukan oleh pejabat atau pribadi yang memang mengalami penderitaan akibat tekanan eksternal ini.
Dalam kasus bunuh diri yang dilakukan oleh mereka dengan sasaran orang barat, gereja atau tempat ibadah lainnya, maka sesungguhnya terdapat motif ideologis yang sangat tinggi. Akhir-akhir ini kita melihat banyak kasus bom bunuh diri yang disebabkan oleh motif ideologis ini. Bom bunuh diri sebagaiman yang dilakukam akhir-akhir ini, adalah bom bunuh diri yang dilakukam bukan karena tekanan eksternal yang terkait dengan dirinya sendiri, akan tetapi dipicu oleh basis keyakinan yang diyakininya sebagai kebenaran.
Konsepsi yang digunakannya adalah berasal dari konsepsi agama yang ditafsirkannya seperti itu, yaitu jihad sebagai bentuk perlawanan kepada semua orang yang dianggap berseberangan dengan keyakinan agamanya. Jihad versi Imam Samodra yaitu keharusan memerangi seluruh kepentingan barat di dunia adalah makna jihad yang diturunkan dari makna jihad adalah peperangan. Jadi memang harus perang kepada musuh. Dan musuh itu adalah budaya dan kepentingan barat.
Itulah sebabnya yang dijadikan sasaran oleh mereka ini adalah orang barat dengan segala kepentingan barat dan juga orang atau tempat yang melambangkan kepentingan barat, misalnya adalah gereja, tempat orang barat berkumpul, misalnya hotel, diskotik dan sebaganinya. Semua ini adalah tempat yang dijadikan sebagai sasaran tindakan teror yang dianggapnya sah dan benar menurut agama.
Kita memang bisa saja heran melihat tindakan orang yang melakukan tindakan nekad bunuh diri ini. Bisa dibayangkan bahwa orang menjemput kematiannya sendiri dalam keadaan jasad yang mengenaskan. Saya pun merasakan hati tersayat melihat pemandangan sebagaiman disiarkan oleh televisi. Gambar seorang pria tergeletak dengan darah berceceran dan bagian badan lainnya terburai. Bahkan untuk menegaskannya, penyiar televisi menguatkan dengan ungkapan “ususnya terburai”.
Berita di televisi memang penting. Akan tetapi dengan kekuatan audio visualnya terkadang terasa menyebabkan terjadinya perasaan yang kurang menyenangkan atau bahkan tidak menyenangkan. Bagi orang yang memiliki rasa ketakutan terhadap darah, apalagi darah manusia, maka pemberitaan yang vulgar tentang bom bunuh diri tersebut pasti menyesakkan. Selayaknya televisi melakukan introspeksi tentang pemberitaannya yang terkadang membuat orang tidak nyaman.
Menilik bom yang diledakkannya, maka cara merakit bomnya sama dengan perakitan bom sebelumnya, yaitu elemen bom terdiri dari paku, sekrup dan elemen lainnya yang bisa menancap di tubuh. Kiranya mereka memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya. Bahkan juga diindikasikan bahwa pelakunya adalah buron Densuas 88 dari Jawa Barat. Jika memang betul, maka berarti bahwa memang jaringan kekeraan atau terorisme hanyalah mati suri saja dan sekali waktu bisa mengejutkan seperti ini.
Sesungguhnya ada sesuatu yang terus dipertanyakan, yaitu masih terusnya perkembangan paham keagamaan dengan arus ekstrim ini. Saya kira yang dilakukan oleh pemerntah melalui pendeatan struktural sudah cukup, yaitu dengan dibentuknya satu kesatuan khusus untuk menangani kasus terorisme. Akan tetapi hang justru penting adalah menangani terorisme secara kultural. Memang ada kendala luar biasa untuk menyelesaikan persoalam terorisme dengan cara kultural tersebut, sebab kenyataannya para teroris ini memang menggunakan basis ideologis untuk bergerak.
Akan tetapi bukan berarti tidak bisa diubah. Salah satu contoh adalah Nasir Abbas yang ternyata menjadi corong bagi pengembangan Islam damai sebagaimana kita lihat sekarang. Jadi, artinya peluang untuk berubah dengan pendekatan kultural tersebut masih ada. Hanya saja bahwa memang harus ada aktor yangbbisa melakukannya. Di dalam hal ini, maka pendekatan atruktural dan kultural tersebut layak dilakukan.
Yang penting adalah adanya aktor yang memiliki kemauan untuk menjadikan para teroris justru menjadi penyebar Islam yang damai. Jika kota todak melakukannya, maka keberagamaan kita akan terus terpuruk seirama dengan tindakan terorisme yang terus bermunculan
Wallahu a’lam bi al shawab.

RELASI KEPEMIMPINAN DAN PEMBANGUNAN

Menurut Dr. Purnaman Natakusumah, bahwa pemimpin nasional adalah para pemimpin di segala bidang kehidupan bangsa yang berjuang untuk mewujudkan Visi Bangsa. Visi bangsa adalah sebagaimana yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu menghapus segala bentuk penjajahan, menyejahterakan kehidupan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam perdamaian dunia.
Setiap pemimpin memiliki tantangan dan masalahnya sendiri meskipun tantangan atau masalah tersebut tidak berdiri sendiri akan tetapi adalah rangkaian masalah yang betkaitan secara sistemik. Masalah bangsa ini adalah masalah masa lalu dan dan juga maalah sekarang yang harus dipecahkan sekarang. Makanya seorang pemimpin tidak bisa menyatakan sekarang tinggal cuci piring. Artinya, bahwa makannya dilakukan oleh pemimpin masa lalu dan pemimpin sekarang yang harus mencuci piringnya.
Seorang pemimpin memang ditakdirkan untuk memecahkan masalah. Makanya seorang pemimpin harus mau dan berani melakukan tindakan untuk memecahkan masalah. Didalam hal ini, A. Einstein menyatakan “masalah kita saat ini tidak bisa dipecahkan dengan tingkat pemikiran yang sama dengan yang telah melahirkan masalah-masalah tersebut”.
Oleh karena itu, seorang pemimpin harus memiliki kemampuan berpikir sistemik. Kehidupan kenegaraan ini tidak ubahnya seperti cara kerja seluruh organ di dalam tubuh kita. Jantung, darah, paru, urat dan otak dan seluruh jaringannya adalah gambaran sistemik tentang kehidupan manusia. Jika presiden itu adalah otaknya, maka seluruh menteri, adalah saraf dan urat-urat yang menjadi saluran peredaran darah, pejabat eselon I dan II adalah paru-paru, jantung, limpa, usus dan seluruh mekanisme kerja sistemiknya.
Berpikir serba sistem adalah suatu kerangka konseptual, suatu tatanan pengetahuan dan alat-alat yang dikembangkan untuk membuat pola keseluruhan menjadi jelas dan bisa membantu kita bagaimana mengubahnya secara efektif. Pejabat setingkat eselon satu harus memiliki kemampuan berpikir sistemik ini, sebab di tangan pejabat yang memiliki kemampuan berpikir ini, maka akan dilahirkan kebijakan yang berimplikasi sistemik juga.
Anthony Robbin di dalam bukunya “Unlimited Power” bahwa modeling excellence memiliki komponen potensi, action, result dan belief/attitude. Manusia memiliki potensi yang tidak terbatas, akan tetapi diimplementasikan secara terbatas. Jika kita memiliki keyakinan yang benar maka kita akan memiliki potensi yang unlimited. Jika hal itu ada, maka akan terjadi action yang unlimited dan tentunya juga akan menghasilkan result yang unlimited. Belief ternyata memiliki power yang luar biasa. Ketika setelah memproklomasikan kemerdekaan dengan menyatakan “berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur…” maka tentara nasional berani melawan tentara Jepang dan melucutinya. Keberanian tersebut muncul karena kepercayaan bahwa Tuhan bersama kita dan akan melindungi kita untuk merdeka dan memperjuangkan kemerdekaan.
Di dalam paradigma baru kepemimpinan dinyatakan bahwa leadership is vision there is no more to say dikumandangkan mulai tahun 1996 dan menjadi bahan pembicaraan yang panjang. Hanya sayangnya bahwa motto ini tidak menjadi arus utama di dalam kepemimpinan nasional. Banyak pemimpin yang dilahirkan tanpa visi kepemimpinan yang jelas. Makanya visi adalah the key to Leadership. Pemimpin harus memiliki visi ke depan yang memikat, sehingga jika bisa dicapai maka akan menghasilkan kesejahteraan rakyat.
Pemimpin yang tidak memiliki visi yang jelas, maka juga akan menghasilkan produk yang tidak jelas. Namun demikian yang harus diperhatikan adalah variabel-variabel eksternal yang selalu mempengaruhi terhadap pencapaian visi tersebut.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sesungguhnya juga memiliki motto yang baik, yaitu Bersama Kita Bisa. Hanya saja bahwa problem kita adalah pada bagaimana kebersamaan kita rajut. Kita tidak bisa bersama. Karena itu maka kita tidak bisa. Hasil penelitian menyebutkan bahwa rata-rata kebersamaan pimpinan daerah adalah dua tahun. Bupati ke barat, wakil bupati ke timur. Demikian seterusnya.
Oleh karena itu, yang diperlukan oleh bangsa ini adalah bagaimana membangun kebersamaan itu, sehingga kita akan bisa melakukan tugas besar memimpin bangsa yaitu untuk menyejahterakan dan membahagiakan masyarakat Indonesia.
Wallahu a’lam bi al shawab.

NASIONALISME KEPEMIMPINAN

Saya memperoleh pencerahan yang luar biasa dari Prof. Dr. Sri Edi Swasono dalam acara perkuliahan di Diklatpim Tingkat I, 21/09/2011. Ini adalah pertemuan saya yang ketiga dengan beliau di dalam acara seminar, yaitu pada acara di UIN Makasar, kemudian acara Forum Intelektual Indonesia (FII) di Surabaya dan sekarang pada acara Diklatpim Tingkat I di Jakarta.
Sebagaimana yang saya lihat dalam tiga kali pertemuan tersebut, maka kesan yang mendalam bahwa beliau adalah orang yang memiliki komitmen yang luar biasa di dalam semangat nasionalisme dan Pancasilaisme yang sangat kental. Seperti biasanya, beliau selalu berbicara dengan gayanya yang khas meledak-ledak, terutama jika berbicara tentang ekonomi kerakyatan.
Saya tidak tahu apakah karena beliau orang Jawa, sehingga salah satu konsep yang dijadikan sebagai pijakan tentang kepemimpinan adalah konsep Hasta Brata yang sangat khas Jawa. Akan tetapi menyimak uraian beliau, maka saya memahami bahwa konsep tersebut bukan hanya untuk orang Jawa, akan tetapi ternyata memiliki cakupan yang universal.
Hasta Brata adalah konsep kepemimpinan yang dinisbahkan dengan fenomena alam, yaitu matahari, bulan, bintang, angin, air, samudera, bumi dan api. Matahari atau enabling leader adalah pemimpin dengan wataknya yang memberikan transparansi, energi hidup dan penerangan, memberikan pencerahan dan kecerdasan hidup, memberdayakan atau memberikan pemberdayaan.
Bulan atau team leader building yaitu memberikan makna harmoni, menumbuhkan kerukunan dan kerja sama, memberikan ketentraman batin, ketenangan dan keindahan paripurna. Bintang atau visioning dan master leader, yaitu memberi makna kejelasan mata angin. Pemimpin harus tahu arah ke depan di dalam membawa bangsa dan rakyatnya. Udara atau soul-mate leader, yaitu pemimpin yang berwatak seperti udara ada di mana-mana, sehingga semua orang terasa berada bersamanya, sehingga sebagai seorang pemimpin harus terasa hadir di setiap saat.
Air atau democratic leader, yaitu pemimpin harus menjadi pedoman bertindak yang adil, air selalu waterpass, tidak miring ke kiri atau ke kanan, artinya tidak ada anak tiri atau anak emas, air juga melambangkan kepemimpinan yang emansipatif. Samudra atau creative, wise and desicive leader, yaitu samudra adalah ketangguhan seorang pemimpin, tidak surut ketika ditimba dan tidak meluap ketika diguyur air, artinya seorang pemimpin tidak akan kehabisan kemampuannya untuk memberikan petunjuk secara terus menerus. Akan tetapi samudra bisa menggelora jika terkait dengan martabat.
Kemudian bumi atau prosperity leader, yaitu bumi adalah simbol ketiadaan dendam, senantiasa pemaaf, betapapun diinjak-injak akan tetapi tetap memberi penghidupan. Dan terakhir adalah api atau justice and lawfull leader, yaitu pemimpin harus seperti api, mampu menghukum yang salah tanpa pandang bulu. Melahap apapun yang ada di depannya jika memang perlu dilahap, akan tetapi juga menjadi sahabat yang baik dan menghidupkan.
Pemimpin memang menjadi kata kunci di dalam pembangunan bangsa. Setiap pemimpin memiliki kelebihan dan kelemahannya. Soekarno, misalnya sangat dikenal sebagai pemimpin yang mampu menjadikan Indonesia sebagai negara merdeka dan memiliki kewibawaan di mata internasional. Beliau adalah orang yang selalu berpikir tentang kesatuan dan persatuan bangsa dalam koridor P.ancasila dan UUD 1945. Makanya ketika Megawati kampanye untuk pemilihan Presiden RI menyatakan bahwa prestasinya yang penting di dalam memimpin Indonesia adalah melakukan amandemen UUD 1945, maka Sri Edi Swasono menyatakan, bahwa jangan-jangan Pak Karno menangis di alam kubur, sebab yang memperjuangkan UUD 1945 secara konsekuen adalah Presiden Soekarno.
Presiden Soeharto juga memiliki kehebatan yang tidak dimiliki oleh pemimpin lainnya, yaitu ketegasan. Ketika Pronk, dari IGGI datang ke Timor Leste tanpa seijin pemerintah Indonesia dan kemudian mengadakan jumpa pers dengan menjelekkan Indonesia di mata dunia internasional, maka beliau nyatakan bubarkan IGGI. Beliau yang mendirikannya dan yang membubarkannya. Rupanya, harga diri sebagai bangsa Indonesia jauh lebih penting dari uang atau apapun. Dulu ketika Soeharto menjadi presiden, maka Malaysia tidak akan berani berani bertindak macam-macam. Pak Harto baru melihat ke daratan Malaysia, maka Malaysia sudah keder.
Indonesia memang memiliki UUD yang sangat baik, hanya saja kemudian direduksi ke dalam substansi yang kurang tepat melalui amandemen. Dan melalui amandemen tersebut maka substansi UUD 1945 kemudian bergeser. Misalnya masuknya HAM versi barat. Apa yang ada di HAM atau human right kemudian diadopsi begitu saja di dalam batang tubuh UUD 1945.
Kemudian yang lebih celaka lagi adalah ketika ekonomi berasas kekeluargaan kemudian diperluas ke dalam ekonomi liberal melalui privatisasi. Akhirnya, Indosat pun harus jatuh ke tangan asing, Krakatau Steel juga jatuh ke tangan asing dan sebagainya. Yang membeli Indosat adalah Qatar sebuah negara yang hanya berpenduduk 800 ribu jiwa akan tetapi menikmati pelanggan Indosat 80 juta orang.
Oleh karena itu yang dibutuhkan sekarang adalah seorang pemimpin yang memiliki semangat nasionalisme yang tinggi, sebab dengan melalui kepemimpinan dengan visi nasionalisme yang benar saja maka problem bangsa ini akan dapat diselesaikan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

MEMBANGUN BIROKRASI ENTREPRENEURSHIP

Pagi kemarin, 20/09/2011, saya memperoleh kuliah yang sangat menantang di ruang Presidential Lecture Gedung LAN oleh Dr. Ir. Fadel Muhammad, Menteri  Perikanan dan Kelautan  Republik Indonesia. Menurutnya, dulu ketika Beliau memimpin Gorontalo, maka dikembangkan konsep Reinventing Local Government. Tetapi setelah menjadi menteri, maka harus juga dikembangkan (more..)

EKONOMI POLITIK DAN PARADIGMA PEMBANGUNAN

Di dalam ceramahnya, Prof. Dr. Didik J Rachbini, 21/09/2011, menyatakan bahwa birokrasi di Indonesia selalu memiliki dua prestasi, yaitu posisif dan negative. Ada prestasi birokrasi yang positif pada zaman orde baru, misalnya  Prof. Haryono Soeyono yang mampu menghasilkan program KB dan berhasil luar biasa, sementara Filipina ternyata tidak berhasil, sebab birokrasinya tidak mampu menundukkan  gereja dengan para pendeta dan pasturnya. Kemudian di era itu juga program Bimas dan Inmas yang  dapat berjalan luar biasa. Meskipun tidak didukung oleh perusahaan besar dan  hanya didukung oleh  perusahaan kecil-kecil,  akan tetapi ternyata berhasil melakukan swasembada beras.

Di Indonesia sebenarnya terjadi praktik yang salah. Di dalam UUD adalah sosialisme sebagaimana pemikiran Hatta, akan tetapi di dalam praktiknya justru terjadi kapitalisme. Sebagai contoh, ketika pasar bagus untuk cengkeh, maka bukan negara yang mengatur pasar,  akan tetapi yang datang adalah Tomi dan kemudian melakukan eksploitasi. Demikian pula ketika mobl memiliki pasaran yang baik, maka terjadi monopoli yang dilakukan oleh pengusaha.

Kasus Cina sungguh berbeda. Cina mengambil jalan  keduanya. Ketika Rusia hancur dengan glasnost dan perestroika, maka Cina lalu siap-siap. Cina juga akan sama nasibnya jika tidak melakukan perubahan. Jadi yang positif dari kapitalisme diambil dan kemudian yang positif dari komunisme juga diambil. System ekonomi bisa kapitalis akan tetapi politik tetap komunis. Berbeda dengan Rusia yang langsung belok ke kapitalisme,  sehingga sekarang mengalami krisis ekonomi yang luar biasa. Rusia terseok-seok di dalam pengembangan ekonominya, ada gap yang tinggi antara yang kaya dengan yang miskin. Sementara Cina  dengan ekonomi politik yang mengayuh dengan dua model atau dual model tersebut, maka kesejahteraan ekonomi masyarakatnya relatif lebih baik.

Di Jerman, kemudian merumuskan konsep  ekonomi sosial pasar. Yaitu sistem ekonomi yang mengkombinasikan kebebasan atau inisitaif individu dengan tanggungjawab sosial. Unsur individu dibiarkan berkembang dalam potensi dan dinamika ekonomi masyarakatnya, sementara tanggungjawab sosial juga didorong agar terus berkembang. Prinsip kebebasan dan kompetisi dibiarkan berkembang, akan tetapi social responsibility tetap juga harus berjalan seimbang. Pasar harus berkembang karena dengan pasar itulah dunia ekonomi akan berkembang, sementara perusahaan harus mengembangkan CSR yang menjadi tanggungjawabnya.

Implikasi dari kebijakannya adalah keamanan pekerja, yaitu  menghindari PHK massal, melakukan proteksi hak-hak bekerja, dijamin oleh sistem hukum  pada tingkat yang jelas. Ada subsidi pembangunan,  Asuransi social, dan kesejahteraan keluarga.

Bagaimana dengan Indonesia?  Indonesia sekarang masuk ke G 20. Tahun 2030 diperkirakan Indonesaia akan menjadi 10 atau enam besar dunia. Dunia kompetisi nasional masih berada di angka 49, dan birokrasi berada di peringkat 120-an. Birokrasi kita rendah di dalam prestasinya. Akan tetapi ternyata masih bisa berkembang secara ekonomik. Kelas menengah Indonesia sebesar  20 persen atau kira-kira 40 juta orang. Bahkan berdasarkan data ADB sebesar hampir 81 juta orang. Itu setara dengan klas menengah di Eropa dan itu menjadi kekuatan ekonomi yang signifikan.

 Problem ekonomi kita adalah karena kita tidak memiliki konsep yang jelas. Di dalam UUD dinyatakan ekonomi kekeluargaan akan tetapi di dalam praktiknya justru liberal. Jadi memang akhirnya menyebabkan adanya gap antara yang kaya dan miskin. Hingga tahun 2011, maka angka kemiskinan kita masih besar, 12,49 persen atau sama dengan 30,02 persen. Sementara jarak antara Papua dengan Jakarta dalam angka kemiskinan juga sangat besar. Jakarta dengan tingkat kemiskinan hanya 3,48 persen, sementara Papua sebesar 36,80 persen.

Untuk mengentas kemiskinan,  maka sebaiknya jangan uang dibagi-bagi ke kementerian-kementerian akan tetapi bisa melalui pola tidak langsung. Masing-masing daerah memiliki kekhasan di dalam  pengentasan kemiskinan. Maka berikanlah daerah untuk mengentaskan kemiskinannya sendiri. Sebagai contoh Jawa Timur, misalnya bisa menyumbang pengentasan kemiskinan sebesar 30 persen. Selain itu juga da contoh yang baik, seperti Provinsi Gorontalo dengan program jagungnya, Kabupaten Malang dengan agroindustrinya dan sebagainya.

Jadi memang harus ada kreativitas dari para pemimpin daerah untuk menyejahterakan masyarakatnya dan hal itu menjadi visi dari seluruh aparat pemerintah. Jika hal ini bisa dilakukan, maka kesejahteraan rakyat sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945 akan bisa dicapai.

Wallahu a’lam bi al shawab.