BOM BUNUH DIRI DAN KEBERAGAMAAN KITA
Masih terus ada kejutan terkait dengan bom bunuh diri. Kemarin, 25 September 2011, terjadi lagi bom bunuh diri yang dilakukan di Gereja Bethel Injil Sepenuh di Solo. Pelakunya tentu saja meninggal dengan keadaan mengenaskan dan 22 orang lainnya terluka. Bom bunuh diri ini tentu saja mengagetkan banyak orang sebab selama ini suasana keamanan di Indonesia cukup stabil. Akan tetapi tiba-tiba terjadi bom bunuh diri yang dilakukan oleh orang nekad.
Secara teoretik, bahwa bunuh diri dilakukan disebabkan oleh rendahnya solidaritas sosial. Semakin rendah solidaritas sosial, maka semakin kuat akan terjadi fenomena bunuh diri. Bunuh diri misalnya bisa terjadi ketika orang merasakan tekanan eksternal yang luar biasa dan bunuh diri adalah salah satu jalan yang bisa dilakukan. Dan hal ini bisa dilakukan oleh siapa saja. Banyak kasus bunuh diri yang dilakukan oleh pejabat atau pribadi yang memang mengalami penderitaan akibat tekanan eksternal ini.
Dalam kasus bunuh diri yang dilakukan oleh mereka dengan sasaran orang barat, gereja atau tempat ibadah lainnya, maka sesungguhnya terdapat motif ideologis yang sangat tinggi. Akhir-akhir ini kita melihat banyak kasus bom bunuh diri yang disebabkan oleh motif ideologis ini. Bom bunuh diri sebagaiman yang dilakukam akhir-akhir ini, adalah bom bunuh diri yang dilakukam bukan karena tekanan eksternal yang terkait dengan dirinya sendiri, akan tetapi dipicu oleh basis keyakinan yang diyakininya sebagai kebenaran.
Konsepsi yang digunakannya adalah berasal dari konsepsi agama yang ditafsirkannya seperti itu, yaitu jihad sebagai bentuk perlawanan kepada semua orang yang dianggap berseberangan dengan keyakinan agamanya. Jihad versi Imam Samodra yaitu keharusan memerangi seluruh kepentingan barat di dunia adalah makna jihad yang diturunkan dari makna jihad adalah peperangan. Jadi memang harus perang kepada musuh. Dan musuh itu adalah budaya dan kepentingan barat.
Itulah sebabnya yang dijadikan sasaran oleh mereka ini adalah orang barat dengan segala kepentingan barat dan juga orang atau tempat yang melambangkan kepentingan barat, misalnya adalah gereja, tempat orang barat berkumpul, misalnya hotel, diskotik dan sebaganinya. Semua ini adalah tempat yang dijadikan sebagai sasaran tindakan teror yang dianggapnya sah dan benar menurut agama.
Kita memang bisa saja heran melihat tindakan orang yang melakukan tindakan nekad bunuh diri ini. Bisa dibayangkan bahwa orang menjemput kematiannya sendiri dalam keadaan jasad yang mengenaskan. Saya pun merasakan hati tersayat melihat pemandangan sebagaiman disiarkan oleh televisi. Gambar seorang pria tergeletak dengan darah berceceran dan bagian badan lainnya terburai. Bahkan untuk menegaskannya, penyiar televisi menguatkan dengan ungkapan “ususnya terburai”.
Berita di televisi memang penting. Akan tetapi dengan kekuatan audio visualnya terkadang terasa menyebabkan terjadinya perasaan yang kurang menyenangkan atau bahkan tidak menyenangkan. Bagi orang yang memiliki rasa ketakutan terhadap darah, apalagi darah manusia, maka pemberitaan yang vulgar tentang bom bunuh diri tersebut pasti menyesakkan. Selayaknya televisi melakukan introspeksi tentang pemberitaannya yang terkadang membuat orang tidak nyaman.
Menilik bom yang diledakkannya, maka cara merakit bomnya sama dengan perakitan bom sebelumnya, yaitu elemen bom terdiri dari paku, sekrup dan elemen lainnya yang bisa menancap di tubuh. Kiranya mereka memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya. Bahkan juga diindikasikan bahwa pelakunya adalah buron Densuas 88 dari Jawa Barat. Jika memang betul, maka berarti bahwa memang jaringan kekeraan atau terorisme hanyalah mati suri saja dan sekali waktu bisa mengejutkan seperti ini.
Sesungguhnya ada sesuatu yang terus dipertanyakan, yaitu masih terusnya perkembangan paham keagamaan dengan arus ekstrim ini. Saya kira yang dilakukan oleh pemerntah melalui pendeatan struktural sudah cukup, yaitu dengan dibentuknya satu kesatuan khusus untuk menangani kasus terorisme. Akan tetapi hang justru penting adalah menangani terorisme secara kultural. Memang ada kendala luar biasa untuk menyelesaikan persoalam terorisme dengan cara kultural tersebut, sebab kenyataannya para teroris ini memang menggunakan basis ideologis untuk bergerak.
Akan tetapi bukan berarti tidak bisa diubah. Salah satu contoh adalah Nasir Abbas yang ternyata menjadi corong bagi pengembangan Islam damai sebagaimana kita lihat sekarang. Jadi, artinya peluang untuk berubah dengan pendekatan kultural tersebut masih ada. Hanya saja bahwa memang harus ada aktor yangbbisa melakukannya. Di dalam hal ini, maka pendekatan atruktural dan kultural tersebut layak dilakukan.
Yang penting adalah adanya aktor yang memiliki kemauan untuk menjadikan para teroris justru menjadi penyebar Islam yang damai. Jika kota todak melakukannya, maka keberagamaan kita akan terus terpuruk seirama dengan tindakan terorisme yang terus bermunculan
Wallahu a’lam bi al shawab.