EKONOMI POLITIK DAN PARADIGMA PEMBANGUNAN
Di dalam ceramahnya, Prof. Dr. Didik J Rachbini, 21/09/2011, menyatakan bahwa birokrasi di Indonesia selalu memiliki dua prestasi, yaitu posisif dan negative. Ada prestasi birokrasi yang positif pada zaman orde baru, misalnya Prof. Haryono Soeyono yang mampu menghasilkan program KB dan berhasil luar biasa, sementara Filipina ternyata tidak berhasil, sebab birokrasinya tidak mampu menundukkan gereja dengan para pendeta dan pasturnya. Kemudian di era itu juga program Bimas dan Inmas yang dapat berjalan luar biasa. Meskipun tidak didukung oleh perusahaan besar dan hanya didukung oleh perusahaan kecil-kecil, akan tetapi ternyata berhasil melakukan swasembada beras.
Di Indonesia sebenarnya terjadi praktik yang salah. Di dalam UUD adalah sosialisme sebagaimana pemikiran Hatta, akan tetapi di dalam praktiknya justru terjadi kapitalisme. Sebagai contoh, ketika pasar bagus untuk cengkeh, maka bukan negara yang mengatur pasar, akan tetapi yang datang adalah Tomi dan kemudian melakukan eksploitasi. Demikian pula ketika mobl memiliki pasaran yang baik, maka terjadi monopoli yang dilakukan oleh pengusaha.
Kasus Cina sungguh berbeda. Cina mengambil jalan keduanya. Ketika Rusia hancur dengan glasnost dan perestroika, maka Cina lalu siap-siap. Cina juga akan sama nasibnya jika tidak melakukan perubahan. Jadi yang positif dari kapitalisme diambil dan kemudian yang positif dari komunisme juga diambil. System ekonomi bisa kapitalis akan tetapi politik tetap komunis. Berbeda dengan Rusia yang langsung belok ke kapitalisme, sehingga sekarang mengalami krisis ekonomi yang luar biasa. Rusia terseok-seok di dalam pengembangan ekonominya, ada gap yang tinggi antara yang kaya dengan yang miskin. Sementara Cina dengan ekonomi politik yang mengayuh dengan dua model atau dual model tersebut, maka kesejahteraan ekonomi masyarakatnya relatif lebih baik.
Di Jerman, kemudian merumuskan konsep ekonomi sosial pasar. Yaitu sistem ekonomi yang mengkombinasikan kebebasan atau inisitaif individu dengan tanggungjawab sosial. Unsur individu dibiarkan berkembang dalam potensi dan dinamika ekonomi masyarakatnya, sementara tanggungjawab sosial juga didorong agar terus berkembang. Prinsip kebebasan dan kompetisi dibiarkan berkembang, akan tetapi social responsibility tetap juga harus berjalan seimbang. Pasar harus berkembang karena dengan pasar itulah dunia ekonomi akan berkembang, sementara perusahaan harus mengembangkan CSR yang menjadi tanggungjawabnya.
Implikasi dari kebijakannya adalah keamanan pekerja, yaitu menghindari PHK massal, melakukan proteksi hak-hak bekerja, dijamin oleh sistem hukum pada tingkat yang jelas. Ada subsidi pembangunan, Asuransi social, dan kesejahteraan keluarga.
Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia sekarang masuk ke G 20. Tahun 2030 diperkirakan Indonesaia akan menjadi 10 atau enam besar dunia. Dunia kompetisi nasional masih berada di angka 49, dan birokrasi berada di peringkat 120-an. Birokrasi kita rendah di dalam prestasinya. Akan tetapi ternyata masih bisa berkembang secara ekonomik. Kelas menengah Indonesia sebesar 20 persen atau kira-kira 40 juta orang. Bahkan berdasarkan data ADB sebesar hampir 81 juta orang. Itu setara dengan klas menengah di Eropa dan itu menjadi kekuatan ekonomi yang signifikan.
Problem ekonomi kita adalah karena kita tidak memiliki konsep yang jelas. Di dalam UUD dinyatakan ekonomi kekeluargaan akan tetapi di dalam praktiknya justru liberal. Jadi memang akhirnya menyebabkan adanya gap antara yang kaya dan miskin. Hingga tahun 2011, maka angka kemiskinan kita masih besar, 12,49 persen atau sama dengan 30,02 persen. Sementara jarak antara Papua dengan Jakarta dalam angka kemiskinan juga sangat besar. Jakarta dengan tingkat kemiskinan hanya 3,48 persen, sementara Papua sebesar 36,80 persen.
Untuk mengentas kemiskinan, maka sebaiknya jangan uang dibagi-bagi ke kementerian-kementerian akan tetapi bisa melalui pola tidak langsung. Masing-masing daerah memiliki kekhasan di dalam pengentasan kemiskinan. Maka berikanlah daerah untuk mengentaskan kemiskinannya sendiri. Sebagai contoh Jawa Timur, misalnya bisa menyumbang pengentasan kemiskinan sebesar 30 persen. Selain itu juga da contoh yang baik, seperti Provinsi Gorontalo dengan program jagungnya, Kabupaten Malang dengan agroindustrinya dan sebagainya.
Jadi memang harus ada kreativitas dari para pemimpin daerah untuk menyejahterakan masyarakatnya dan hal itu menjadi visi dari seluruh aparat pemerintah. Jika hal ini bisa dilakukan, maka kesejahteraan rakyat sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945 akan bisa dicapai.
Wallahu a’lam bi al shawab.