• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KAITAN SISTEMIK LEMBAGA NEGARA

Kemarin, 30/09/2011, saya memperoleh pengayaan materi pada kegiatan Diklatpim Tingkat I, yang disampaikan oleh Prof. Dr. Jimly Ash-Shidiqi. Adapun materi yang dibawanya adalah Kaitan Sistemik Lembaga Negara. Judul ini relevan dan dianggap penting sebab sesuai dengan tema diklatpim, yaitu penguatan sinergi antara pemerintah, dunia usaha dan masyarakat.
Menurutnya, sekarang ini kita sedang belajar tentang demokrasi. Demokrasi lalu diartikan dengan kebebasan. Apa saja perlu kebebasan. Di masa lalu negara dianggap segala-galanya, akan tetapi sekarang negara bukan segala-galanya. Meskipun demikian banyak orang yang berebut tentang negara dan untuk menjadi bagian dari negara. Mereka berebut menjadi pejabat, anggota DPR, dan pejabat lembaga kenegaraan lainnya.
Di negara ini, juga sedang ada proses menuju perimbangan antara state and civil society. Yang perlu dibangun adalah civil society agar ke depan terjadi proses check and balance. Di dalam hal ini maka negara memiliki tugas untuk memberdayakan civil society. Selain itu juga perlu memberdayakan dunia usaha. Ketika dunia usaha terintegrasi dengan dunia global atau perdagangan dunia internasional, maka negara hanya berperan untuk mengatur tentang keamanan, ketentraman dan sebagainya. Akan tetapi di sisi lain, negara juga harus memiliki peran untuk tetap mengatur kebijakan ekonomi agar tidak terjadi kesenjangan yang lebih jauh.
Sinergi pemerintah, dunia usaha dan masyarakat adalah trias politica baru yang harus dikembangkan secara maksimal. Di dalam hal ini, maka harus ada keseimbangan di antara ketiganya dengan masing-masing memiliki peran yang relevan. Dunia usaha mengembangkan ekonomi, pemerintah mengatur regulasinya dan masyarakat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat dan dunia usaha.
Secara ekonomi bahwa ada dua sisi, yaitu comercial industry dan nobel industry. Industri komersial tentu tujuannya adalah untuk mencari laba sebanyak-banyaknya. Sedangkan nobel industry adalah dunia bisnis yang tujuan utamanya bukan semata-mata untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Keduanya harus ada aturan yang bisa mengaturnya, yaitu regulasi pemerintah sehingga tidak akan terjadi kesenjangan yang semakin menganga. Inilah sebabnya pemerintah tetap memiliki peran penting juga di dalam proses kebijakan negara.
Ketika negara terlalu dominan di dalam proses pengaturan kehidupan masyarakat dan juga dunia usaha, maka kemudian muncullah konsep debirokratisasi dan desentalisasi. Sesuai dengan perkembangan zaman, maka kita mengikuti pergulatan-pergulatan tentang perubahan desentralisasi yang terkadang belum relevan dengan situasi politik dan budaya setempat.
Di era sekarang, ada banyak lembaga-lembaga baru, misalnya komisi-komisi yang tidak jelas pekerjaannya. Dan akibatnya terjadilah ineffisiensi yang luar biasa. Banyak lembaga komisioner yang didirikan dan jika ditentang pembentukannya maka dianggaplah kontra reformasi. Jika ada di antara kita yang bersuara lantang untuk menentang pendirian lembaga baru, maka dianggapnya sebagai menentang reformasi.
Di Indonesia banyak terjadi fungsi yang bercampuran. Misalnya KPPU, KPK, MK, KY dan sebagainya. Dewan Pers misalnya hanya membela kebebasan pers dan tidak pernah melakukan kontrol terhadap dunia pers. Demikian pula tentang Komisi Yudisial yang seharusnya netral, ternyata lebih memerankan peran pemerintah. Seharusnya KY adalah mitra kehakiman dan bukan saling hantam. Di Australia ketua KY adalah ex-ofisio Ketua Mahkamah Agung.
Jadi sekarang tidak hanya ekonomi yang berada di pasar bebas akan tetapi juga politik pasar bebas. Misalnya tentang pemanggilan banggar oleh KPK, seharusnya yang dipanggil adalah individunya dan bukan institusinya. Kenapa keempat pimpinannya dipanggil sekaligus. Mestinya dipanggil satu persatu sebagai saksi. Ketika yang dilibatkan adalah institusinya, maka yang terjadi adalah disharmoni antar institusi negara.
Bagaimana menata hubungan eksekutif dan legislatif bisa lebih baik, efektif dan efisien. Di dalam sistem parlementer lebih mudah sebab ada pembagian kekuasaan yang jelas Para pakar luar negeri, menyatakan bahwa sistem presidentil di Indonesia tidak cocok, yang lebih cocok adalah sistem parlementer. Dengan sistem presidentil tetap sulit sebab ketika presiden akan memilih para menteri, maka harus mempertimbangkan asal menteri, misalnya yang dari Papua, Sumatera, Jawa dan sebagainya. Dengan sistem parlementer maka hubungannya mudah, sebab misalnya di Amerika, jika presidennya dari Partai Demokrat maka pemerintahan itu dari Partai Demokrat, demikian sebaliknya. Meskipun terkadang parlemen dikuasai oleh Partai Republik dan presidennya dari Partai Demokrat, tetapi tidak ada masalah. Sistem presidentil itu harus didukung oleh partai yang jumlahnya sedikit dan ada suara mayoritas. Sehingga pemerintah akan menjadi kuat. Presiden Soeharto dulu sangat kuat sebab berasal dari Golkar yang selalu menjadi single majority.
Sebagai akibat partai yang banyak dengan suara kecil maka dapat dipastikan adanya koalisi. Partai Demokrat meskipun menang tidak akan bisa melepaskan koalisi sebab jumlahnya tidak akan menjadi mayoritas. Makanya, presiden yang berasal dari Partai Demokrat juga tidak akan bisa menjadi kuat posisinya.
Namun demikian pilihan kita tetap menjadi negara dengan sistem presidentil, maka yang penting harus disadari adalah bagaimana menata relasi antar lembaga di dalam negara ini. Tanpa membina relasi dan komunikasi yang baik didasari oleh kewenangan yang jelas, maka akan terjadi tumpang tindih dan kesemrawutan penyelenggaraan negara.
Oleh karena itu harus ada reformasi birokrasi yang tidak lain adalah menata ulang tentang birokrasi kita, mana yang sangat urgen dipertahankan dan mana yang tidak harus dieliminasi. Presiden memiliki kewenangan untuk melakukannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

INDEKS PENDIDIKAN INDONESIA

Laporan Kompas, 29/09/2011, tentang Education Development Index (EDI) tentu sangat menarik. Laporan ini mengungkapkan bahwa dari sebanyak 127 negara, maka EDI Indonesia menempati peringkat 69, sementara Malaysia berada di urutan 65 dan Brunei di urutan 34. Brunei memang maju pesat dalam indeks pendidikannya yang tentu saja disebabkan oleh kepedulian pemerintah (more..)

DINAMIKA SISTEM KELEMBAGAAN NEGARA DAN PEMERINTAH

Menurut Prof. Dr. Miftah Thoha, bahwa perkembangan sistem kelembagaan negara dan pemerintah merupakan perkembangan yang agak memprihatinkan. Tampaknya ada stagnasi di dalam perkembangan mengenai topik yang dibicarakan ini, terbukti bahwa sudah sekian lama reformasi birokrasi dicanangkan, akan tetapi tidak ada perkembangan yang membanggakan. Bahkan banyak alumni yang dilahirkan dari pendidikan dan pelatihan seperti ini, akan tetapi ternyata perubahan yang signifikan tidak didapatkan.

Lembaga yang berada di  eksekutif ternyata belum bekerja secara baik di negeri ini, terutama yang terkait dengan otonomi dan desentralisasi. Masih ada masalah yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintah yang ternyata belum terimplementasikan secara memadai sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Lembaga-lembaga yang berada di bawah presiden ternyata tidak menampilkan performance kinerja yang memadai, padahal system penganggaran sudah dibenahi. Banyak lembaga pemerintahan yang dibentuk, misalnya berbagai lembaga komisioner, badan dan seterusnya.  Dari kajian tentang penyelenggaraan pemerintahan di kemenag, kemendiknas, kemendagri, ternyata jumlah pegawai dan strukturnya masih sangat banyak. Depdagri memiliki tujuh dirjen, sekjen dan lima deputi. Kemendiknas ada sebanyak tiga badan sedangkan dahulu hanya satu badan. Mestinya  struktur kecil  dengan banyak fungsi. Misalnya dirjen pendidikan dasar dengan segala direkturnya dan seterusnya harus diubah.  Akibatnya jika strukturnya banyak, maka anggaran dan pegawainya banyak. Dan hal ini adalah beban bagi pemerintah untuk menganggarkannya.

Ada persoalan yaitu remunerasi dan moratorium, yang menyisakan masalah. Misalnya harus ada penambahan  pegawai. Untuk ini,  maka harus ada analisis yang dilakukan untuk membaca tentang berapa kebutuhan pegawai dan tanggungjawab kerja yang dipercayakan kepadanya. Oleh karena itu moratorium dan pensiun dini itu tidak akan terjadi jika ada seleksi yang ketat mengenai pegawai.

Lembaga kementerian dan non kementerian juga tidak jelas. Apa bedanya LAN dan Menpan. Misalnya harus ada kejelasan tentahg LAN sebagai sumber kajian professional, maka hasil kajian tersebut dapat menjadi kebijakan menteri. Makanya,  di Menpan seharusnya tidak ada lembaga kajian yang bisa overlap dengan LAN, sebab keduanya memiliki tupoksi yang sama. Di zaman Soekarno dan Soeharto terdapat  lembaga non depertemen yang diisi oleh orang professional. Sedangkan di kementerian diisi oleh politisi, sehingga ada balance di dalam pemberian informasi kepada presiden, dan dapat menghasilkan keputusan yang seimbang. Di masa Soeharto kemudian ada merger antara yang department dan non departemen, sehingga terjadilah overlap yang berlebihan. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan misalnya tidak perlu merangkap jabatan sebagai  kepala Bappenas.

Di Indonesia menteri banyak sekali sampai 34 menteri belum wakil menteri, sedangkan di Amerika hanya terdapat sebanyak 15 kementerian, di Korea Selatan 13 Kementerian, Malaysia 18 Kementerian, Australia 28 Kementerian. Untuk menentukan lembaga kementerian dan lembaga pemerintah non Departemen (LPND) di masa lalu diisi oleh PNS yang professional, akan tetapi di era Gus Dur dibuatlah aturan yang memberikan kesempatan bagi orang non PNS untuk menjadi kepala LPND.

Khusus mengenai reformasi, maka ada tiga hal yang seharusnya direformasi yaitu lembaganya, sistem yang dipakai dan manajemen SDM-nya. Di dalam banyak hal, SDM itu sesuai dengan lembaganya. Perilakunya juga sama dengan perilaku lembaganya. Selain itu, sistem demokrasi dan otonomi daerah juga  belum jelas. Mestinya harus ada aturan tentang undang-undang kepegawaian. Karena ditunggu tidak ada kabarnya dari pemerintah, maka DPR merancang Undang-Undang Kepegawaian. Maka dirumuskanlah revisi UU Kepegawaian untuk tujuan mereformasi kepegawaian. Di masa lalu, dilakukan juga revisi tentang UU Kepegawaian yaitu UU kepegawaian Nomor 43 tahun 1999 Untuk merevisi UU No 8 tahun 1974 tentang kepegawaian yang merupakan tinggalan Presiden Soeharto. UU Kepegawaian hanya mengatur orang yang bekerja di pemerintah, sedangkan profesionalitasnya belum diundangkan. Itulah sebabnya dibuatlah Undang-Undang Aparat Sipil Negara yang dibuat dengan rencana agar ada kejelasan profesi pegawai negeri. RUU ini sudah disahkan oleh DPR dan sekarang sudah ditangan pemerintah untuk dicarikan DIM-nya.

Tetapi nampaknya pemerintah kurang setuju terhadap RUU ini, sebab pemerintah inginnya adalah revisi dan bukan merumuskan UU baru. Jika ini yang kemudian dipilih, maka ada tiga Undang-undang yang dilaksanakan oleh pemerintah dengan jiwa yang berbeda-beda. Yaitu ada semangat yang berbeda dengan tiga UU tersebut. Nanti juga akan terdapat kesulitan untuk menerapkannya.

Jadi yang lebih baik adalah dengan merumuskan UU Kepegawaian baru sehingga akan dapat memenuhi profesionalitas pegawai negeri yang sementara ini dikeluhkan sebab hanya sebanyak 60 persen PNS yang dianggap professional.

Wallahu a’lam bi al shawab.

TERORISME DAN CITRA INDONESIA

Jika dianalisis dari berapa kerugian yang ditimbulkan oleh gerakan terorisme, maka jelas bahwa gerakan terorisme menghasilkan citra negatif tentang keamanan negeri ini. Apalagi bahwa gerakan terorisme ini juga mendapatkan porsi liputan yang luar biasa dari (more..)

FALSAFAH BANGSA, PARADIGMA PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN NASIONAL

Secara sistemik bahwa problem bangsa Indonesia memang saling terkait. Hal itu bisa dilihat dari relasi antara penerapan falsafah bangsa, pembangunan nasional dan kepemimpinan nasional. Sebagaimana telah saya tulis kemarin bahwa Pancasila sebagai falsafah bangsa belumlah diimplementasikan dengan sangat baik. Konsepsi tentang falsafah bangsa sudah ditentukan semenjak Indonesia (more..)