KAITAN SISTEMIK LEMBAGA NEGARA
Kemarin, 30/09/2011, saya memperoleh pengayaan materi pada kegiatan Diklatpim Tingkat I, yang disampaikan oleh Prof. Dr. Jimly Ash-Shidiqi. Adapun materi yang dibawanya adalah Kaitan Sistemik Lembaga Negara. Judul ini relevan dan dianggap penting sebab sesuai dengan tema diklatpim, yaitu penguatan sinergi antara pemerintah, dunia usaha dan masyarakat.
Menurutnya, sekarang ini kita sedang belajar tentang demokrasi. Demokrasi lalu diartikan dengan kebebasan. Apa saja perlu kebebasan. Di masa lalu negara dianggap segala-galanya, akan tetapi sekarang negara bukan segala-galanya. Meskipun demikian banyak orang yang berebut tentang negara dan untuk menjadi bagian dari negara. Mereka berebut menjadi pejabat, anggota DPR, dan pejabat lembaga kenegaraan lainnya.
Di negara ini, juga sedang ada proses menuju perimbangan antara state and civil society. Yang perlu dibangun adalah civil society agar ke depan terjadi proses check and balance. Di dalam hal ini maka negara memiliki tugas untuk memberdayakan civil society. Selain itu juga perlu memberdayakan dunia usaha. Ketika dunia usaha terintegrasi dengan dunia global atau perdagangan dunia internasional, maka negara hanya berperan untuk mengatur tentang keamanan, ketentraman dan sebagainya. Akan tetapi di sisi lain, negara juga harus memiliki peran untuk tetap mengatur kebijakan ekonomi agar tidak terjadi kesenjangan yang lebih jauh.
Sinergi pemerintah, dunia usaha dan masyarakat adalah trias politica baru yang harus dikembangkan secara maksimal. Di dalam hal ini, maka harus ada keseimbangan di antara ketiganya dengan masing-masing memiliki peran yang relevan. Dunia usaha mengembangkan ekonomi, pemerintah mengatur regulasinya dan masyarakat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat dan dunia usaha.
Secara ekonomi bahwa ada dua sisi, yaitu comercial industry dan nobel industry. Industri komersial tentu tujuannya adalah untuk mencari laba sebanyak-banyaknya. Sedangkan nobel industry adalah dunia bisnis yang tujuan utamanya bukan semata-mata untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Keduanya harus ada aturan yang bisa mengaturnya, yaitu regulasi pemerintah sehingga tidak akan terjadi kesenjangan yang semakin menganga. Inilah sebabnya pemerintah tetap memiliki peran penting juga di dalam proses kebijakan negara.
Ketika negara terlalu dominan di dalam proses pengaturan kehidupan masyarakat dan juga dunia usaha, maka kemudian muncullah konsep debirokratisasi dan desentalisasi. Sesuai dengan perkembangan zaman, maka kita mengikuti pergulatan-pergulatan tentang perubahan desentralisasi yang terkadang belum relevan dengan situasi politik dan budaya setempat.
Di era sekarang, ada banyak lembaga-lembaga baru, misalnya komisi-komisi yang tidak jelas pekerjaannya. Dan akibatnya terjadilah ineffisiensi yang luar biasa. Banyak lembaga komisioner yang didirikan dan jika ditentang pembentukannya maka dianggaplah kontra reformasi. Jika ada di antara kita yang bersuara lantang untuk menentang pendirian lembaga baru, maka dianggapnya sebagai menentang reformasi.
Di Indonesia banyak terjadi fungsi yang bercampuran. Misalnya KPPU, KPK, MK, KY dan sebagainya. Dewan Pers misalnya hanya membela kebebasan pers dan tidak pernah melakukan kontrol terhadap dunia pers. Demikian pula tentang Komisi Yudisial yang seharusnya netral, ternyata lebih memerankan peran pemerintah. Seharusnya KY adalah mitra kehakiman dan bukan saling hantam. Di Australia ketua KY adalah ex-ofisio Ketua Mahkamah Agung.
Jadi sekarang tidak hanya ekonomi yang berada di pasar bebas akan tetapi juga politik pasar bebas. Misalnya tentang pemanggilan banggar oleh KPK, seharusnya yang dipanggil adalah individunya dan bukan institusinya. Kenapa keempat pimpinannya dipanggil sekaligus. Mestinya dipanggil satu persatu sebagai saksi. Ketika yang dilibatkan adalah institusinya, maka yang terjadi adalah disharmoni antar institusi negara.
Bagaimana menata hubungan eksekutif dan legislatif bisa lebih baik, efektif dan efisien. Di dalam sistem parlementer lebih mudah sebab ada pembagian kekuasaan yang jelas Para pakar luar negeri, menyatakan bahwa sistem presidentil di Indonesia tidak cocok, yang lebih cocok adalah sistem parlementer. Dengan sistem presidentil tetap sulit sebab ketika presiden akan memilih para menteri, maka harus mempertimbangkan asal menteri, misalnya yang dari Papua, Sumatera, Jawa dan sebagainya. Dengan sistem parlementer maka hubungannya mudah, sebab misalnya di Amerika, jika presidennya dari Partai Demokrat maka pemerintahan itu dari Partai Demokrat, demikian sebaliknya. Meskipun terkadang parlemen dikuasai oleh Partai Republik dan presidennya dari Partai Demokrat, tetapi tidak ada masalah. Sistem presidentil itu harus didukung oleh partai yang jumlahnya sedikit dan ada suara mayoritas. Sehingga pemerintah akan menjadi kuat. Presiden Soeharto dulu sangat kuat sebab berasal dari Golkar yang selalu menjadi single majority.
Sebagai akibat partai yang banyak dengan suara kecil maka dapat dipastikan adanya koalisi. Partai Demokrat meskipun menang tidak akan bisa melepaskan koalisi sebab jumlahnya tidak akan menjadi mayoritas. Makanya, presiden yang berasal dari Partai Demokrat juga tidak akan bisa menjadi kuat posisinya.
Namun demikian pilihan kita tetap menjadi negara dengan sistem presidentil, maka yang penting harus disadari adalah bagaimana menata relasi antar lembaga di dalam negara ini. Tanpa membina relasi dan komunikasi yang baik didasari oleh kewenangan yang jelas, maka akan terjadi tumpang tindih dan kesemrawutan penyelenggaraan negara.
Oleh karena itu harus ada reformasi birokrasi yang tidak lain adalah menata ulang tentang birokrasi kita, mana yang sangat urgen dipertahankan dan mana yang tidak harus dieliminasi. Presiden memiliki kewenangan untuk melakukannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.