INDEKS PENDIDIKAN INDONESIA
Laporan Kompas, 29/09/2011, tentang Education Development Index (EDI) tentu sangat menarik. Laporan ini mengungkapkan bahwa dari sebanyak 127 negara, maka EDI Indonesia menempati peringkat 69, sementara Malaysia berada di urutan 65 dan Brunei di urutan 34. Brunei memang maju pesat dalam indeks pendidikannya yang tentu saja disebabkan oleh kepedulian pemerintah terhadap dunia pendidikan. Malaysia juga berkembang pesat dalam pengelolaan pendidikannya, meskipun di tahun 1970-an pernah memperoleh bantuan asistensi dalam program pendidikan tinggi dari Indonesia.
Berdasarkan konsepsi Education for All (EFA), yang kemudian dijadikan sebagai tolok ukur oleh Global Monitoring Report setiap tahun, maka Indonesia menempati angka 0,934 pada tahun 2008. EDI dikatakan tinggi jika capaiannya adalah 0,95-1. Kategori medium jika capaiannya adalah di atas 0,80 dan rendah adalah di bawah angka 0,80. Nilai EDI Indonesia sebesar 0,934 tersebut diperoleh dari rangkuman perolehan empat kategori, yaitu angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi menurut kesetaraan jender dan angka bertahan siswa hingga kelas V sekolah dasar (SD).
Pencapaian angka EDI Indonesia ini tentu saja bukan sesuatu yang menggembirakan mengingat bahwa sebenarnya pemerintah Indonesia memiliki peluang yang besar untuk peningkatan EDI ini. Memang jika dibandingkan dengan beberapa negara Asia kita harus menyatakan kalah, sebab pada tahun 1995 saja anggaran pendidikan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand bahkan Filipina sudah berada jauh di atas anggaran pendidikan Indonesia. Kala itu anggaran pendidikan Indonesia baru sebesar 10,2 persen dari APBN, sementara Singapura sudah mencapai angka 21 persen.
Tetapi besaran anggaran bukanlah pengungkit utama di dalam perubahan pendidikan. Bagi bangsa Indonesia yang besar dengan jumlah pulau, penduduk dan juga varian-varian suku dan sebagainya juga menjadi persoalan khusus di dalam peningkatan EDI ini. Jika di Jawa kita bisa melihat perkembangan pendidikan yang sangat baik, akan tetapi ketika kita melihat kondisi pendidikan di daerah terpencil, maka kita harus menyatakan bahwa pendidikan Indonesia memang belum maju.
Kita masih melihat gap antara kualitas pendidikan di Jawa dengan wilayah lain. Pembangunan yang lebih terkonsentrasi di wilayah barat dengan berbagai dukungan potensi dan sumber daya mengakibatkan adanya kesenjangan tersebut. Dan akibatnya tentu saja EDI kita belum bisa masuk ke jajaran grade tinggi, sebab perimbangan kualitas pendidikan yang tidak balance. Jadi meskipun di wilayah barat maju akan tetapi di wilayah timur terpuruk. Akibatnya peringkatnya juga masih berada pada kategori medium.
Sesuai dengan konsepsi UNESCO, bahwa pembelajaran adalah to know, to do, to be dan to live together. Artinya bahwa pendidikan tidak hanya untuk kepentingan meningkatkan pengetahuan dan bahkan kerja, akan tetapi lebih jauh adalah untuk kepentingan membangun hidup bersama. Itulah akhirnya diputuskan bahwa yang menjadi sasaran pendidikan bukan hanya kecerdasan intelektual, akan tetapi juga kecerdasan social dan kecerdasan spiritual. Pendidikan harus bisa mengarahkan anak didiknya untuk mencapai kecerdasan spiritual ini.
Pendidikan adalah modal bangsa untuk pembangunan berkelanjutan. Makanya, investasi pendidikan merupakan kemutlakan bagi bangsa ini jika ke depan ingin sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Itulah sebabnya pendidikan harus dilakukan dengan kreatif dan inovatif. Untuk kepentingan ini maka perlu dikembangkanlah pendidikan soft skill selain menempa aspek hard skill-nya.
Dari sisi hard skill, mungkin relevansinya juga masih dipertanyakan, sebab kebanyakan lembaga pendidikan tinggi hanya mengusung dimensi kognitif di dalam proses pembelajaran, selain sentuhannya yang hanya bercorak teoretik. Di dalam hal ini, maka sesungguhnya diperlukan sinergi antara berbagai komponen agar tujuan pendidikan untuk mencetak manusia Indonesia yang professional dan paripurna akan dapat dicapai. Program link and match yang pernah menjadi isu di dalam dunia pendidikan, saya kira layak untuk dibuka kembali.
Saya terus terang menghargai inovasi yang dikembangkan misalnya oleh President University yang melakukan program link and match dengan dunia perusahaan yang ada di sekitarnya. Melalui kerjasama tersebut, maka gambaran tentang profesionalitas dan dunia kerja tersebut sudah ada di depan mata. Hanya yang perlu ditambahkan adalah soft skill, yaitu pendidikan yang mengarah kepada bagaimana living together dalam paket to live together bisa diarahkan.
Jika bisa seperti itu, maka pendidikan tinggi akan menyumbang ahli-ahli professional yang kelak sangat dibutuhkan oleh negeri ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.