FALSAFAH BANGSA, PARADIGMA PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN NASIONAL
Secara sistemik bahwa problem bangsa Indonesia memang saling terkait. Hal itu bisa dilihat dari relasi antara penerapan falsafah bangsa, pembangunan nasional dan kepemimpinan nasional. Sebagaimana telah saya tulis kemarin bahwa Pancasila sebagai falsafah bangsa belumlah diimplementasikan dengan sangat baik. Konsepsi tentang falsafah bangsa sudah ditentukan semenjak Indonesia merdeka, akan tetapi selama ini belum dijadikan sebagai falsafah bangsa bagi sebagian masyarakat Indonesia.
Implementasi falsafah bangsa –Pancasila—di dalam kehidupan masyarakat Indonesia memang mengalami pasang surut. Di era orde lama, sebagaimana tahap pembentukan dan pengembangan Pancasila, maka tentu saja ada penafsiran-penafsiran yang dilakukan oleh para pemimpin bangsa. Ada tafsir tentang Pancasila yang bervariasi tentang hal ini. Kemudian tafsir tentang Pancasila tersebut juga dilakukan, misalnya dengan menjadikan Pancasila sebagai pedoman bernegara, berbangsa dan bernegara.
Akibatnya, maka ada varian-varian yang terkait dengan paradigma pembangunan. Di era orde lama, maka pembangunan masyarakat lebih diselaraskan dengan sosialisme yang mendekati komunisme. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa terdapat penafsiran tentang kemenyatuan antara agama, nasionalisme dan komunis menjadi satu kesatuan yang tidak terelakkan. Soekarno yang memang menginginkan adanya penyatuan komponen-komponen yang saling berbeda tersebut di dalam satu kesatuan –nasakom—ternyata dimensi sosialisme-komunis jauh lebih digdaya. Jadi pengalihan sistem pembangunan ekonomi yang lebih ke arah sosialisme-komunis, ternyata membawa bangsa Indonesia berada di tengah suasana konfliktual. Untunglah bahwa kekuatan nasional berhasil menyelesaikan problem bangsa ini.
Di era orde baru, maka Pancasila sebagai falsafah bangsa juga direduksi menjadi pedoman-pedoman yang dituangkan di dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), yang ternyata banyak dijadikan sebagai constraint bagi warga untuk memperoleh sesuatu, misalnya untuk menjadi syarat memperoleh KTP, bantuan pemerintah dan sebagainya. Ketika manajemen pemerintahan melakukan tindakan koruptif, kolutif dan nepotisme maka kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menjadi sangat menurun dan berakibat terjadinya gerakan reformasi. Soeharto kemudian dimakzulkan oleh rakyat di tengah suasana chaos meskipun tidak terjadi konflik yang sangat keras. People power secara damai ternyata bisa menjadi awal bagi adanya reformasi pemerintahan.
Sayangnya bahwa di era reformasi ternyata terjadi suasana politik yang kurang kondusif untuk mengembalikan Pancasila sebagai falsafah bangsa. Hal ini bisa dilihat dari rendahnya apresiasi masyarakat terhadap Pancasila. Ketika orde baru mengalami deficit moral karena KKN, maka masyarakat justru menyalahkan Pancasila dan UUD 1945. Kaum reformis tidak melihat aplikasi Pancasila yang salah di kalangan pemerintah dan masyarakat. Di dalam kasus ini, maka yang justru dilihat adalah tentang UUD 1945, yang dianggapnya kurang relevan dengan tuntutan zaman. Oleh karena itu lalu dibuatlah Amandemen UUD 1945. Sebagaimana diketahui bahwa terjadilah Amandemen UUD 1945, misalnya dengan mengubah pasal tentang perekonomian dan menambahkan HAM dan sebagainya di dalam UUD 1945.
Melalui pengamatan selintas ini, maka bisa dipahami bahwa tiga orde tersebut memiliki kelemahan masing-masing yang sangat mendasar. Yaitu berpangkal pada penafsiran tentang Pancasila sebagai falsafah bangsa. Pemimpin nasional dalam segala levelnya belum berpedoman kepada nilai-nilai Pancasila sebab masih ada kesenjangan antara visi bangsa, visi pembangunan dan implementasi pembangunan. Satu contoh yang riil adalah visi pembangunan ekonomi yang bercorak sosialistik-kekeluargaan ternyata berubah menjadi kapitalisme-liberal dan diimplementasikan dengan kebijakan ekonomi pasar.
Kepemimpinan nasional yang diharapkan adalah kepemimpinan yang memiliki visi kebangsaan, dan mampu menterjemahkan visi tersebut ke dalam visi pembangunan dan juga mampu mengimplementasikan visi tersebut ke dalam implementasi pembangunan yang relevan. Makanya, dibutuhkan pimpinan negara yang visioner yang kuat dan berwibawa yang berpedoman kepada visi bangsa yang relevan dengan visi pembangunan, sehingga tujuan untuk membangun masyarakat berkeadilan dan berkesejahteraan akan bisa dicapai.
Dengan demikian, perlu dipikirkan tentang apa yang menjadi program aksi yang terkait dengan pembulatan falsafah bangsa, paradigm pembangunan dan kepemimpinan nasional yaitu merumuskan program yang bertumpu pada leverage yang berupa pembangunan berkeadilan, yang berbasis pada aktualisasi nilai-nilai luhur Pancasila, yang didasari oleh adanya kepemimpinan nasional yang kuat, berwibawa dan visioner, dan hal ini akan bisa dilakukan jika diletakkan di dalam good governance dan clean government. Fenomena riil masih menggambarkan adanya pemerintahan yang belum bersih dan beriwibawa.
Jadi, memang diperlukan suatu kerjasama yang lebih kuat ke depan dalam kaitannya untuk melaksanakan pembangunan yang berkeadilan di dalam kerangka untuk memperoleh kesejahteraan masyarakat.
Wallahu a’lam bi al shawab.