Banyak hal yang bisa kita pelajari dari kehadiran Bang Haji Rhoma Irama di Kampus IAIN Sunan Ampel ini. Yang sangat mendasar adalah bagaimana perjuangannya selama 41 tahun mengembangkan musik dangdut dengan menjadikannya sebagai medium penyebaran nilai-nilai keislaman.
Waktu tersebut tentu saja merupakan waktu yang cukup lama. Hampir setengah abad Bang Haji Rhoma Irama mengembangkan musik dangdut yang selama ini hanya dikenal sebagai musik kampung bahkan musik lokal yang tradisional dan kemudian menjadi musik yang modern dan dikenal di seluruh Indonesia bahkan dunia internasional. Dari musik kampung ke musik internasional.
Musik dangdut adalah musik khas Indonesia. Dia berasal dari musik yang berbasis kendang dan seruling dan kemudian oleh Rhoma Irama dijadikan sebagai musik yang modern dengan penambahan alat musik yang menarik. Akan tetapi penambahan alat musik tersebut tidak menghilangkan orisinalitas musik melayunya. Bang Haji Rhoma Irama diilhami oleh qaidah “almuhafadlatu ala al qadim al shalih wa al akhdzu bi al jadid al ashlah”. Menjaga nilai lama yang tetap baik dan mengadopsi nilai baru yang lebih bermanfaat.
Menurut ketua Soneta Fans Club Indonesia Jawa Timur, Surya Aka, bahwa didirikannya Soneta Fans Club adalah untuk melestarikan khasanah musik Dangdut yang merupakan khasanah budaya bangsa. Melalui keberadaan fans club ini maka khasanah budaya bangsa kita tidak akan diakui oleh orang lain. Keberadaan fans club bukan untuk mendewakan atau mengkultuskan terhadap seseorang, khususnya Rhoma Irama, akan tetapi untuk mencintai dan melestarikan budaya bangsa khususnya musik dangdut.
Saya yang juga memperoleh kesempatan memberikan apresiasi terhadap Rhoma Irama sebagai pemusik dan sekaligus sebagai pendakwah, maka saya nyatakan bahwa musik dangdut adalah musik rakyat yang keberadaannya sudah diakui oleh dunia internasional. Kita semua yang hadir di sini adalah fans berat Bang Haji Rhoma Irama. Ketika saya mengikuti acara Diklapim di Jakarta, dan setiap peserta diminta untuk menyanyi, maka yang saya pilih adalah lagunya bang Haji, Chane.
Menurut Rhoma Irama bahwa musik tidak hanya sebagai sarana hura-hura, sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Rod Steward, bahwa musik adalah sahabatnya setan. Baginya musik adalah sahabat agama. Musik bisa menjadi sarana untuk mengembangkan religiositas kita. Beliau pernah diundang di Amerika Serikat dalam acara konferensi tentang budaya dunia, maka beliau sampaikan makalah dengan tema “Music is not For Fun, music is for responsibility for God and People”. Beliau sampaikan bahwa suatu ketika dia diundang oleh Universitas Airlangga Surabaya, dan setelah acara selesai, maka ada seorang dosen yang perawakannya seperti Keturunan China, orang ini menyatakan bahwa melalui lagu-lagunya Rhoma Irama, maka dia temukan solusi atas problem kehidupan yang selama ini dirasakannya. Makanya, dia memberitahukan kepada koleganya untuk mendengarkan musik dangdut Soneta.
Memang ada kritikan bahwa musik menjadi sarana untuk joget dan sebagainya. Akan tetapi jangan dilupakan bahwa terdapat banyak orang bahkan ratusan orang yang menyimak musik Soneta dengan penuh kekhidmatan dan keseriusan, sehingga memperoleh pencerahan. Jadi musik bisa membuat sesuatu yang madlarat, akan tetapi juga ada yang membuat manfaat. Jika manfaatnya jauh lebih besar dari madharatnya, maka bermusik dan menjadikannya sebagai media dakwah tentu bukan sesuatu yang salah.
Untuk menciptakan lagu-lagu yang bernafaskan keagamaan, maka juga butuh perenungan dan observasi. Lagu Begadang diciptakan bukan tanpa sebab, akan tetapi berangkat dari kenyataan bahwa ada kawannya yang meninggal gara-gara terlalu banyak begadang. Jadi begadang jika ada perlunya. Jangan begadang setiap malam.
Lagu Judi adalah hasil observasi lapangan yang diciptakan dalam waktu yang lama. Butuh observasi bertahun-tahun. Makanya secara akademis, syair lagu tersebut tidak akan bisa dibantah kebenarannya.
Oleh karena itu musik bisa menjadi media dakwah selama lagu-lagunya memang diniatkan untuk kepentingan tersebut. Jadi meskipun peluang untuk menjadikan musik sebagai media dakwah itu sangat kecil, tetapi Rhoma Irama telah membuktikannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Hari ini, 23/12/2011, IAIN Sunan Ampel kedatangan tamu yang luar biasa, yaitu Rhoma Irama, dedengkot dan master musik dangdut Indonesia dan bahkan dikenal sebagai Raja Dangdut. Ada banyak acara yang dilakukannya di IAIN Sunan Ampel, yaitu Khutbah Jum’at di Masjid Ulul Albab IAIN Sunan Ampel, sarasehan musik sebagai medium dakwah, peresmian Soneta Fans Club Indonesia Jawa Timur dan juga penandatangan prasasti berdirinya Soneta Fans Club di Jawa Timur.
Acara ini dihadiri oleh Ketua Soneta Fans Club Jawa Timur, Surya Aka, anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Timur dan Mantan Wartawan Jawa
Pos, Ketua PAMMI Jawa Timur, Puri Rahayu, sepuluh orang pengurus Soneta Fans Club kabupaten, pimpinan IAIN Sunan Ampel, dan mahasiswa IAIN Sunan Ampel serta masyarakat pecinta Soneta dan Rhoma Irama. Acara sarasehan ini diselenggarakan di Auditorium IAIN Sunan Ampel.
Ada yang menarik dari session presentasi yang disampaikan oleh Rhoma Irama terkait dengan pertanyaan apakah musik dapat dijadikan sebagai medium dakwah. Selama ini ada gambaran bahwa dunia musik itu adalah dunia yang rusak, dunia hura-hura, minuman keras, narkoba dan anti agama. Jika ada pemain musik yang melakukan shalat, maka dianggap aneh. Ditertawakam dan diolok-olok. Sepertinya bahwa tidak ada pengaruh agama sama sekali antara dunia musik dengan agama.
Maka, pada suatu ketika Rhoma Irama berpikir bahwa seharusnya dunia musik tidak dipisahkan dengan agama. Di dalam pementasan di Ancol, maka dia membuka lantunan musiknya dengan salam. Maka kemudian dia diteror dengan banyak cara, misalnya dilempari sandal bahkan lumpur. Jadi, tantangan untuk mengakrabkan dunia musik dengan agama ternyata sangat sulit. Bahkan orang sekaliber Gus Dur juga tidak percaya bahwa musik dapat dijadikan sebagai medium dakwah. Dunia musik adalah wilayah otonom yang tidak bisa disandingkan dengan dakwah.
Tetapi Rhoma Irana melihatnya lain. Bagi dia, bahwa musik dapat dijadikan sebagai medium dakwah. Caranya adalah dengan mengawinkan bunyi-bunyian alat-alat musik dengan syair dan lagu sehingga terjadilah prosesi untuk saling mengisi di antara keduanya. Misalnya lagu, dengan syair sebagai berikut: “Wahai manusia, jreng–jreng–jreng–jreng–jreng, hormati ibumu…..” Di dalam lagu ini, maka ada perkawinan antara alat musik dengan pesan keagamaan. Ketika dinyanyikan lagu dengan syair “Wahai manusia” lalu dibunyikan alat musiknya, maka orang akan menantikan apa pesan berikutnya, maka pesannya adalah “Hormati Ibumu”. Jadi lagu ini mengajak kita semua untuk menghormati ibu, sebagai perintah agama. Jadi tetap ada peluang menjadikan musik sebagai media dakwah. Meskipun peluang itu sangat kecil, akan tetapi jika dicarikan solusinya tentu saja bisa.
Ketika Bang Haji Rhoma Irama ingin mengembangkan dakwah melalui musik, maka dia berdoa kepada Allah, jika jalan yang ditempuh dengan menjadikan musik sebagai medium dakwah itu tidak diperkenankan oleh Allah, maka cabutlah kemampuan bermusiknya. Tetapi jika menjadikan musik sebagai medium dakwah tersebut memperoleh ridlo Allah, maka berikan kesempagan untuk mengembangkannya. Ternyata bahwa usaha untuk menjadikan musik sebagai medium dakwah tersebut dirasakannya memperoleh perkenan-Nya.
Rhoma Irama memang ditakdirkan untuk menjadi raja Dangdut dan teguh mempertahankan ideologi dangdutnya. Musik bukan hanya sarana hiburan akan tetapi juga mengandung nuansa keagamaan. Makanya, ketika musik dangdut dijadikan sebagai media erotisme oleh salah satu penyanyi, maka dia marah sebab hal itu dianggapnya sebagai merusak musik dangdut dengan selera rendah.
Kita tahu memang ada perdebatan dan bahkan ke pengadilan tentang kasus ini, akan tetapi akhirnya dipilih jalan damai. Memang Bang Haji Rhoma Irama adalah seorang pemusik namun demikian juga seorang da’i yang mengembangkan dakwahnya dengan cara yang berbeda dengan lainnya.
Jadi, Bang Haji telah membuktikab bahwa meskipun peluang untuk berdakwah melalui musik tersebut sangat kecil dan nyaris tidak kelihatan, akan tetapi dengan usaha keras akhirnya tujuan itupun dapat direalisasikan.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Pada hari Selasa, 20/12/2011, saya berkesempatan untuk hadir di Australian National University (ANU) di Canberra. Acara ini memang dirancang oleh alumni ANU yang berketepatan menjadi dosen IAIN Sunan Ampel, Nabiela Naely. Ada beberapa lulusan ANU yang menjadi dosen di IAIN Sunan Ampel lainnya, yaitu Kemal Reza dan Ahmad Muzakki. Makanya ketika saya datang ke Canberra, maka dijadwalkan untuk bertemu dengan Prof. Greg Fealey, Prof. Chaterine Robinson dan Prof. James Fox.
Mereka adalah Indonesianis yang selama ini banyak mendarmabaktikan ilmu pengetahuannnya di Australia dan dunia akademis internasional tentang Indonesia. Prof. Greg Fealey, misalnya adalah ahli tentang NU dan disertasinya juga membahas secara akademis tentang NU dan Politik. Tetapi akhir-akhir ini juga menulis tentang gerakan radikalisme di Indonesia. Bukunya tentang radikalisme juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Saya bersama dengan Masdar Helmy, PhD, Ahmad Zaini, MA dan Nabiela Naely, MA serta Prof. Muhammadiyah Amin datang untuk bertemu beliau di ANU dalam rangka untuk menjajagi kemungkinan kerja sama antara IAIN SA dengan ANU. Kami berbincang dalam waktu yang cukup lama, kira-kira satu setengah jam di ruang pertemuan di Center of Asian and Pacific Studies.
Mereka adalah para guru besar yang selama ini banyak melakukan kajian tentang Indonesia. NU saya kira berhutang budi pada Prof. Greg Fealey karena NU diperkenalkan sebagai organisasi yang terus berkembang baik dalam pemikiran maupun praksis politik di Indonesia. Melalui Prof. Greg, maka NU menjadi bahan diskusi di tingkat internasional. Demikian pula dunia Tasawuf di Indonesia juga banyak diperkenalkan oleh Prof. James Fox sebagai lahan kajian yang sangat menantang. Sedangkan Prof. Chaterine Robinson juga banyak mengkaji tentang relasi antara agama dan masyarakat secara khusus di Indonesia Timur.
Sebagaimana misi yang saya bawa ke beberapa perguruan tinggi di Australia, maka saya sampaikan bahwa tujuan kami ke ANU adalah untuk menjaring kerja sama dalam kerangka capacity building. Jika pada tahun 2011 kita banyak mengirim dosen untuk workshop di tiga universitas, yaitu University of Sydney, University of Canberra dan University of Murdock, maka pada tahun depan IAIN SA juga akan mengirimkan dosen untuk workshop, pos doktoral, pendampingan penulisan disertasi dan sebagainya. Itulah sebabnya maka tentunya ada beberapa PT di Australia yang akan dapat dijadikan sebagai mitra di dalam kerangka capacity building tersebut.
Untuk kerjasama dengan ANU, maka yang sangat cocok adalah untuk pos doktoral dalam kaitannya dengan relasi antara agama dan masyarakat. Selain banyak profesor yang memiliki keahlian tentang hal ini, juga banyak mahasiswa Australia yang mengkaji Indonnesia dalam berbagai perspektifnya. Makanya diharapkan akan terjadi diskusi yang mendalam tentang tema atau topik yang menjadi pokok bahasan para peserta pos doktoral.
Prof. Greg Fealey sangat mendukung terhadap program ini. Bahkan juga mengarahkan agar jika akan dikirim dosen untuk kepentingan ini, maka agar dilaksanakan pada bulan-bulan yang banyak kegiatan di kampus, sehingga akan memungkinkan bagi yang bersangkutan untuk terlibat di dalam banyak kegiatan akademik, seperti seminar, general lecture, konferensi dan sebagainya. Bahkan beliau juga menawarkan tentang kerja sama penelitian yang memungkinkan dilaksanakan. Misalnya Prof. Chaterine juga sedang memiliki project penelitian di Indonesia Timur, maka bisa juga dilakukan kerja sama untuk melaksanakannya.
Selain itu juga ada rencana untuk menyelenggarakan kegiatan Knowledge Sector yang sedang dibicarakan oleh Ausaid, yaitu program pengiriman dosen dari beberapa negara termasuk Indonesia untuk melakukam penelitian di wilayahnya dan dibiayai oleh pemerintah Australia. Program ini tentu sangat terbuka untuk diikuti oleh para scholar yang memiliki kemampuan penelitian yang memadai dan berkeinginan untuk melakukan penelitian yang serius.
Menilik terhadap kesungguhan para guru besar di ANU ini, maka saya berkeyakinan bahwa program kerja sama antara IAIN SA dengan ANU akan dapat dilaksanakan tahun depan. Makanya dibutuhkan Memory of Understanding dan juga Letter of Agreement di dalam kerangka pengembangan program tersebut.
Jadi memang diperlukan kesungguhan untuk meraih mimpi menjadi the competitive and excellence university bagi IAIN SA melalui berbagai kerja sama antar universitas.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Kemarin, 19/12/2011, acara workshop on Curriculum Review and Development di University of Canberra sudah ditutup. Artinya bahwa kunjungan ke Australia juga sudah akan berakhir. Acara tersebut ditutup dengan dihadiri oleh Prof. Jacky Walkington, Frank Guo, Janet Smith, Shirley Wijaya dan Hanoem dan seluruh peserta workshop. Acara ini dilaksanakan pada jam 15 waktu Canberra.
Saya diminta untuk memberikan sambutan pada acara penutupan ini. Tetapi sebelumnya Prof. Jacky menyatakan bahwa kita tidak mengucapkan selamat tinggal akan tetapi sampai jumpa lagi. Saya sungguh sangat setuju bahwa memang yang benar adalah sampai jumpa dan bukan selamat tinggal. Jika yang diucapkan sampai jumpa lagi, maka tentu ada harapan bahwa kita akan berjumpa lagi dalam kesempatan lain.
Saya sampaikan bahwa acara di University of Canberra ini bukan yang pertama dan terakhir, akan tetapi acara yang pertama dan terus akan berlangsung. Artinya bahwa diharapkan akan ada berbagai macam acara yang bisa didesain bersama di masa yang akan datang. Sebagaimana yang kami bicarakan di dalam pertemuan dengan vice Chancellor beberapa hari yang lalu, maka akan dilakukan penandatangan MoU antara IAIN Sunan Ampel dengan UC pada waktu mendatang. Jadi peluang untuk melakukan kerjasama sangat terbuka.
Saya menyampaikan apresiasi dan ucapan terima kasih atas kerjasama antara IAIN Sunan Ampel dengan UC dalam acara Curriculum Development ini. Kita sungguh sangat membutuhkan acara ini terutama dalam kaitannya dengan keinginan untuk melakukan perubahan institusional dari IAIN menjadi UIN. Acara workshop ini sangat penting dan urgen. Melalui acara ini maka para dosen memiliki beberapa hal: yaitu: pertama, memperoleh tambahan pengetahuan tentang bagaimana perguruan tinggi terkenal seperti UC melakukan perubahan dan pengembangan kurikulumnya. Kedua, para peserta atau ketua jurusan atau prodi juga memperoleh pengetahuan tentang metode dan teknik pengembangan kurikulum. Ketiga, para dosen ini juga memperoleh pengalaman internasional sehingga akan memiliki kepercayaan diri sebagai dosen yang memiliki pengalaman internasional. Keempat, para dosen juga memperoleh pengalaman tentang budaya masyarakat dan juga budaya akademik yang penting dari kunjungan ke perguruan tinggi internasional.
Saya berkeyakinan bahwa seorang dosen mutlak memerlukan kunjungan kerja di luar negeri. Melalui kunjungan ke luar negeri, maka akan terdapat perasaan yang mendalam sebagai bagian dari dunia internasioal. Yang bersangkutan akan bisa bercerita tentang kunjungannya ke luar negeri kepada mahasiswa, sehingga akan membangun mimpi di kalangan mahasiswa untuk suatu kesempatan bisa pergi juga ke luar negeri.
Makanya, mahasiswa dan juga dosen lalu tergerak untuk mempelajari bahasa internasional agar bisa berkomunikasi dengan dunia interasional. Ada inspirasi yang dibangun melalui kunjungan ke luar negeri tersebut. Itulah sebabnya para pimpinan perguruan tinggi harus menganggarkan kunjungan ke luar negeri yang terdisain secara memadai agar para dosen memperoleh tambahan pengetahuan dan pengalaman praktis tentang perguruan tinggi luar negeri.
Saya juga sungguh-sungguh bersyukur bahwa melalui kunjungan para dosen ke luar negeri ini dapat memberikan tambahan motivasi bagi para ketua jurusan untuk bekerja keras. Salah satu di antaranya adalah Abdurrahman Chudlory, ketua jurusan Manajemen Dakwah pada Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel yang merumuskan motto jurusannya, yaitu aware, lead, learn, inspire and learning faster. Saya kira bahwa munculnya keinginan untuk terlibat secara penuh dengan dunia pendidikan melalui motto ini tentu sangat penting.
Jadi, sedikit atau banyak bahwa workshop ini membawa pengaruh motivatif bagi para pimpinan perguruan tinggi khususnya para ketua jurusan atau prodi untuk melakukan perubahan sejauh yang bisa dilakukannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Perjalanan dari Sydney ke Canberra memang cukup jauh. Perjalanan dengan bus selama tiga jam. Saya mengalami perjalanan panjang tersebut dalam seminggu terakhir ini. Pertama dari Sydney ke Canberra untuk pertemuan di UC dengan Vice Chancellor dan timnya dan kemudian dari Canberra ke Sydney untuk bertemu dengan Prof. Julia Howell di Western Sydney University.
Dalam perjalanan pertama dengan Bus Murrys, maka pengemudinya adalah seorang perempuan yang usianya kira-kira 40 tahunan. Dia kemudikan bus tersebut non stop dari Sydney ke Canberra. Hebatnya ternyata tanpa pembantu. Semuanya dikerjakan sendiri. Mulai dari mengangkat barang milik penumpang sampai menurunkannya. Kiranya menjadi tradisi bahwa pengemudi kendaraan umum di Australia tanpa pembantu atau di Indonesia dikenal dengan kernet atau kenek. Demikian pula ketika kembali ke Sydney, maka gilirannya pengemudinya adalah lelaki. Maka dia juga tanpa pembantu atau semua dikerjakan sendiri.
Ketika saya melihat ada seorang perempuan menjadi pengemudi bus transportasi antar kota, maka saya berpikir inilah bentuk dari kesetaraan jender. Perkara mengemudi bus bukanlah perkara lelaki atau perempuan, akan tetapi perkara tangan dan kemampuan. Jika perempuan memiliki kemampuan untuk mengemudi bus, maka dia juga memiliki kesempatan untuk menjadi sopir. Jadi perkara menjadi sopir bus adalah pilihan rasional yang bisa dilakukan oleh siapa saja.
Sepanjang perjalanan ini tidaklah dijumpai perumahan penduduk. Sepanjang perjalanan adalah hutan dan daerah lapang yang di dalam banyak hal digunakan sebagai lahan peternakan. Ada peternakan sapi dan domba. Sapi dan domba tersebut dibiarkan hidup secara bebas dan hanya dibatasi dengan kawat yang dijadikan sebagai pagarnya. Sepanjang mata memandang hanyalah lahan peternakan atau hutan-hutan yang terjaga dari kerusakan oleh tangan manusia.
Pohon-pohon yang matipun mengering begitu saja dan tidak dipotong atau dibakar. Berbeda dengan Indonesia yang hutannya ditebang habis-habisan, maka di Australia semuanya dibiarkan tanpa dirusak. Hal ini disebabkan oleh masyarakat Australia tidak menggunakan kayu sebagai bahan bakar memasak atau lainnya. Untuk memasak sudah digunakan alat-alat elektronik yang sangat mencukupi. Itulah sebabnya hutan tidak menjadi rusak untuk kepentingan manusia. Hutan dijaga kelestariannya.
Mungkin juga ada penebangan yang dilakukan, akan tetapi hal itu dilakukan untuk kepentingan industri, pertanian atau peternakan. Saya kira untuk kepentingan peternakan juga dilakukan penebangan hutan, akan tetapi jelas ada kepentingan ekonomi yang jelas.
Sepanjang jalan Sydney ke Canberra, semuanya adalah jalan bebas hambatan dan satu jalur. Jadi berkendaraan di sini juga nyaman. Jalannya sudah didesain dengan sangat memadai. Sopir juga mentaati peraturan di jalan dengan maksimal. Bus umum hampir tidak pernah melaju di atas 80 kilo meter perjam. Di atas itu maka bunyi alarm akan didengarnya. Selain itu juga terdapat alat monitor yang berupa camera yang beroperasi selama 24 jam. Jadi kalau ada yang ngebut di jalan melampaui kapasitas kecepatan berkendaraan, maka akan dikenai tilang. Bagi yang kelupaan tidak memakai sabuk pengaman, maka akan dikenai denda 285 dollar Australia. Hampir tiga juta rupiah. Penumpang bus juga harus menggunakan sabuk pengaman. Ketika kendaraan akan berangkat, maka sopir akan memberikan pengumuman tentang apa saja yang harus dilakukan ketika sedang berada di atas kendaraan. Termasuk juga memakai sabuk pengaman tersebut.
Disebabkan oleh kepatuhan terhadap hukum lalu lintas ini, maka juga sangat mungkin kecelakaan lalu lintas sangat kecil. Jika ada kecelakaan, maka yang sangat mungkin adalah karena sopirnya mabuk. Maklumlah di negeri ini memang orang harus memilih, termasuk memilih menjadi pemabuk atau tidak. Oleh karena itu negara memberikan pilihan dan yang menyalahi aturan, maka akan dihukum sesuai dengan aturan yang berlaku.
Suatu ketika Indonesia juga harus menjadikan masyarakatnya untuk mematuhi hukum, sebab hanya dengan kepatuhan pada hukum, maka keteraturan sosial akan dihasilkan.
Wallahu a’lam bi al shawab.