• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENYEDIAKAN SDM MEDIATOR PROFESIONAL

Saya diminta oleh Dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel, Prof. Dr. HA. Faishol Haq, MAg., untuk menutup acara Pendidikan dan Pelatihan Mediasi Profesional bagi para alumni Progran Studi Akhwalusy Syahsiyah pada Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel di Hotel Tanjung Surabaya (27/12/2011).
Acara ini diikuti oleh alumni Fakultas Syariah yang sewaktu kuliah menerima beasiswa Santri Berprestasi angkatan tahun 2005 dan 2006 yang kebanyakan sekarang sudah kembali ke pesantrennya masing-masing. Jadi sesungguhnya mereka sekarang sudah menjadi ustadz dan ustadzah yang mengabdikan dirinya di pesantren. Mereka memang dulunya dikirim oleh pesatren dan sesuai dengan perjanjian bahwa mereka akan mengabdikan diri di pesantren sekurang-kurangnya dua tahun.
Sebagai tim trainernya adalah tim ahli Mediasi dari Walisongo Mediation Center (WMC) yang memang memiliki sejumlah pengalaman sebagai pendamping pendidikan dan pelatihan terstruktur di sejumlah tempat. Melalui pendampingan ini, maka mereka diajarkan tentang bagaimana menjadi pendamping pada resolusi konflik, dan penanganan berbagai problema hukum dan sosial kemasyarakatan. Sebagaimana pengakuan peserta, bahwa melalui pelatihan ini mereka memperoleh ilmu baru tentang mediasi untuk menemukan solusi bagi masyarakat.
Di dalam sambutan saya, saya kemukakan bahwa kita sekarang sedang hidup di tengah era globalisasi yang meniscayakan terjadinya berbagai persoalan kemasyarakatan. Misalnya perbedaan pendapat, pertentangan atau rivalitas dan juga konflik. Tantangan ini luar biasa, baik dalam skala mikro maupun makro. Dalam skala mikro misalnya adalah konflik antar individu, antar kelompok dan juga antar komunitas. Era reformasi meniscayakan terjadinya berbagai konflik kepentingan sehingga bisa menjadi konflik horizontal. Kasus pilkada di mana-mana menimbulkan benturan antar pendukung yang juga berujung pada konflik komunal. Kita bisa mencatat banyaknya konflik yang terjadi disebabkan oleh kasus Pilkada.
Dalam skala individu juga banyak konflik dan bahkan berujung pada konflik komunal. Misalnya kekerasan yang terjadi di kalangan pemuda dan mahasiswa juga menggambarkan betapa konflik telah menjadi bagian dari cara kita menyelesaikan persoalan. Bukankah kecenderungan untuk melakukan kekerasan juga semakin meningkat akhir-akhir ini. Ada banyak tindakan konfliktual yang dilakukan oleh mahasiswa di era reformasi ini.
Dengan demikian ke depan akan semakin banyak tantangan untuk melakukan mediasi dalam berbagai levelnya. Mungkin yang paling banyak ditangani adalah kasus-kasus mikro, seperti semakin banyaknya kasus perceraian, semakin banyaknya kasus antar individu atau kelompok dan sebagainya. Dalam kasus perceraian, memang ada semakin banyak tuntutan untuk melakukan perceraian dewasa ini, baik yang tuntutan cerainya berasal dari pihak lelaki atau perempuan.
Untuk menjadi mediator ini, maka dipersyaratkan PK2S. Yaitu peduli, komitmen, konsisten dan support. Untuk menjadi agen mediasi, maka persyaratan mendasarnya adalah kepedulian, care atau aware. Jika kita tidak memiliki kepedulian akan orang lain, maka rasanya akan sulit untuk menjadi mediator ini. Kepedulian bukan semata-mata faktor internal yang berasal dari dalam, akan tetapi juga bisa dari faktor eksternal atau dipelajari atau ditumbuhkan, misalnya melalui pendidikan dan pelatihan. Makanya, melalui pendidikan dan pelatihan ini diharapkan akan muncul sikap dan tindakan untuk peduli kepada problema orang lain.
Kemudian aspek lain yang penting adalah komitmen. Yaitu sikap untuk terus menerus membantu terhadap orang atau kelompok individu yang perlu mendapatkan pendampingan di dalam menyelesaikan masalahnya. Komitmen pada program membantu untuk menemukan solusi atas problem kemanusiaan merupakan perwujudan dari rasa kepedulian yang menggelora di dalam hati ara agen atau mediator profesional.
Agar bisa menjadi mediator yang hebat, maka juga dibutuhkan konsistensi. Selalu terus menerus melakukan tindakan agat ditemukan solusi terhadap problem yang dihadapi oleh masyarakat. Itulah sebabnya seorang mediator harus memiliki ketangguhan jiwa untuk berkomitmen dan konsisten di dalam menangani dan menyelesaikan problem yang dihadapi oleh masyarakat.
Dan yang juga sangat penting adalah support atau dorongan dan dukungan agar orang atau komunitas yang bermasalah bisa menyelesaikan masalahnya. Dukungan atau support tersebut sangat dibutuhkan agar orang atau komunitas memahami bahwa penyelesaian masalah bukan datang dari orang luar akan tetapi justru datang dari dalam.
Jika para alumni prodi Ahwalusy syakhsiyah ini ingin menjadi mediator yang profesional, maka lima kunci ini harus menjadi bagian penting di dalam kehidupannya. Jadi semuanya kembali kepada niat yang tulus dan mendasar untuk berbuat kebaikan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

NASIB PROFESIONAL

Profesi adalah kata yang sesungguhnya sangat sakti di dalam dunia modern. Makanya, sesuatu yang dilabel dengan kata professional tentu dianggap sebagai labeling yang sangat hebat di dalam jajaran kehidupan. Ada  pekerja professional, misalnya dokter, teknisi, penyanyi, dosen, guru dan sebagainya. Dengan menyandang tambahan professional, maka bisa dibayangkan bahwa yang bersangkutan akan lebih sejahtera kehidupannya.

Tetapi melihat tayangan di SCTV tentang mantan petinju professional dalam paket acara bersama Olga, siapapun akan menjadi sedih, sebab ada seorang mantan pentinju nasional dan juga mantan petinju professional akan tetapi kehidupannya sangat memprihatinkan. Pak Hasan, yang mantan petinju tersebut ternyata hidup menggelandang, tanpa rumah dan tanpa pekerjaan.

Sebagai petinju professional tentu dia mengharapkan kehidupan yang layak sebagaimana orang yang berprofesi lainnya. Akan tetapi kenyataan berkata lain. Bahkan medali yang pernah diterimanya pun dijual untuk makan. Yang menyedihkan adalah piagam sebagai pemenang tinju itupun dijual dan disisakan hanya lambang sebagai pemenang, sementara bingkainya dijual. Dia ternyata memiliki kebanggaan sebagai petinju yang pernah dilakoninya.

Dia akhirnya harus menjadi pemulung dengan hidup tanpa apapun. Tempat tidurnya pun tidak layak disebut sebagai tempat tidur. Tempat itu lebih layak disebut sebagai kandang ayam. Tidak terbayangkan jika waktu hujan. Saya menjadi teringat dengan lagunya Rhoma Irama yang berjudul “Gelandangan” atau lagunya Meggy Z, “Gubug Derita”. Sungguh sebuah gambaran hidup yang nestapa.

Sebagai mantan petinju nasional dan mantan petinju professional, maka sungguh kehidupan yang dialaminya sangat kontras. Saya membayangkan, apakah tidak ada pekerjaan yang lebih layak dari sebagai pemulung dengan tanpa rumah dan tanpa pakaian kecuali yang disandang di badan. Saya kira ada banyak nasib saudara kita yang seperti itu. Orang yang dahulunya hidup sebagai perofesional dan kemudian jatuh dalam kehidupan yang tragis.

Di Indonesia, memang ada hal-hal yang ironis. Cobalah tengok nasib seniman, seperti penyair, pemain tari atau seni tradisional lainnya, maka kehidupannya tentu jauh dari kesan berlebihan. Saya jadi teringat kepada sahabat saya Lan Fang. Dia ini juga penyair yang kesohor untuk ukuran Indonesia. Ada banyak buku yang diterbitkan. Ada banyak tulisan yang dirilis di koran. Akan tetapi kehidupannya juga jauh dari kesan sebagai orang berada.

Ada banyak juga pemain ludruk atau ketoprak yang masa tuanya sungguh tragis. Saya rasa bukannya mereka tidak bisa memanej uangnya ketika mereka berjaya, akan tetapi karena semata-mata mereka tidak mampu untuk bersaing dengan kehidupan yang lebih keras. Kehidupan ternyata jauh lebih keras dibanding pukulan pentinju lawan ketika pertarungan tinju  sedang berlangsung. Di dahi Pak Hasan masih ada bekas pukulan lawannya, akan tetapi rasa sakitnya tentu sudah hilang. Akan tetapi derita kehidupan akan terus dirasakannya setiap hari.

Kita tidak bisa membayangkan dengan kaum selebritis yang sering menghiasai televisi. Mereka adalah orang yang sudah memperoleh pengakuan dari masyarakat dan juga dunia entertainment. Bayarannya diukur dari profesionalitasnya. Jadi di Indonesia ini, yang sudah memperoleh pengakuan adalah para penyanyi yang sudah memiliki rating tinggi dan juga lainnya yang berkaitan dengannya.

Saya berpikir andaikan anggaran negara, termasuk anggaran untuk olahraga tidak dikorupsi tentu saja orang seperti pak Hasan akan bernasib lain. Anggaran yang dikorupsi tersebut tentu saja bisa didayagunakan untuk memberikan tunjangan kepada mantan atlet nasional yang hidupnya menderita. Berikan mereka insentif dalam jumlah yang memadai, kemudian didampingi agar mereka bisa hidup yang layak. Pendampingan kegiatan ekonomi dan spiritual dirasakan penting agar mereka dapat kembali menapaki hidup yang lebih sejahtera dan mungkin lebih bahagia.

Andaikan banyak orang yang jujur dalam kehidupan ini, utamanya yang memegang wewenang anggaran, maka kehidupan masyarakat yang sejahtera sebagaimana yang diidamkan oleh para pendiri bangsa tentu akan tercapai.

Wallahu a’lam bi al shawab.

RHOMA IRAMA: MEMBANGUN MUSIK LEBIH BERADAB

Salah satu  hal yang tidak dimiliki oleh pemusik lain di dalam jajaran blantika musik, khususnya di  Indonesia, adalah kemampuan keberagamaan yang sangat tinggi sebagaimana yang dimiliki oleh Rhoma Irama. Kefasihannya di dalam melafalkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan juga pemahamannya yang sangat baik tentang agamanya, maka membuat Rhoma Irama bukan sekedar penyanyi atau pemusik, akan tetapi adalah seorang da’i.

Saya memahami tentang kemampuan Bang Haji tentang agamanya adalah ketika beliau menjadi khotib di IAIN Sunan Ampel dan sekaligus menjadi Imam Shalat Jum’at. Bacaannya sangat bagus dan sangat fasih. Sehingga mendengarkan beliau berkhotbah, maka rasanya seperti mendengarkan khotib yang disampaikan oleh seorang kyai besar dan kharismatis. Jadi melihat Rhoma Irama tidak hanya dari sisi musiknya saja akan tetapi juga harus dari sisi lainnya, yaitu pemahaman keagamaan dan fungsi agama tersebut bagi dirinya dan manusia lainnya.

Penghayatan keberagamaannya dapat juga diketahui dari dzikir yang selalu dilantunkannya. Tangannya selalu memutar tasbih untuk berdzikir. Bukan untuk kesombongan akan tetapi sebagaimana yang dinyatakannya bahwa dengan tasbih yang terus dipegangnya, maka ada semacam pertautan batin dengan dzat yang Maha Kuasa, Allah swt. Tasbih adalah washilah untuk mempertautkan jiwa dengan yang Maha Suci. Jadi bukan untuk memamerkan diri tentang dzikir yang dilakukannya.

Jauh sebelum banyak orang bicara tentang multikulturalisme dan pluralisme atau keberagaman, maka Rhoma Irama sudah mendendangkan lagunya yang sangat terkenal, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beraneka ragam dalam suku, agama dan rasnya. Beliau nyatakan “seratus tiga puluh lima juta penduduk Indonesia. Terdiri dari banyak suku bangsa itulah Indonesia. Janganlah saling menghina satu suku bangsa dengan lainnya. Karena kita satu bangsa. Dan satu Bahasa Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika. Lambang Negara Kita Indonesia. Walaupun bermacam-macam aliran tetapi satu tujuan”.

Hal itu pula yang bebarapa hari yang lalu disampaikannya di dalam acara pertemuan di ruang Rektor IAIN Sunan Ampel. Beliau nyatakan bahwa beliau mendapat dorongan dari KH. Hasyim Muzadi, Prof. Dien Syamsudin dan beberapa lainnya untuk terus mengembangkan Islam yang damai, Islam yang moderat atau Islam yang rahmatan lil alamin. Baginya, Islam yang moderatlah yang akan menjadi pintu bagi masuknya perdamaian dan keselamatan dunia ini.

Sekarang ini sedang ada gerakan yang sangat kuat untuk menjadikan Indonesia sebagai ladang persemaian gerakan salafi dalam berbagai bentuknya. Gerakan yang mengusung Islam dalam coraknya yang sangat eksklusif ini tentu saja akan merugikan Islam Indonesia yang selama ini menjadi ciri keberagamaan di Indonesia. Gerakan ini selalu menghembuskan “permusuhan” dengan tradisi-tradisi Islam yang sudah ada dan menjadi basis keberagamaan masyarakat Indonesia.

Saya mengamati bahwa ada konsistensi pemikiran Rhoma Irama antara dahulu dengan sekarang. Tampak tidak ada perubahan di dalam memandang keislaman dan Keindonesiaan. Keduanya tidak perlu dipertentangkan akan tetapi justru saling memberi dan menerima. Di dalam lagunya yang bernuansa “Kebhinekaan” tersebut ternyata juga masih menjadi pemikiran dan tindakanya sekarang.

Sesungguhnya ada banyak pemusik Indonesia yang memiliki talenta besar untuk menjadi agen religiositas, seperti Ebiet G. Ade atau Iwan Fals. Namun jika dilihat dari pemahaman keberagamaannya yang sangat jelas memihak kepada musik bukan hanya sekedar musik akan tetapi musik adalah medium untuk pengembangan religiositas adalah Rhoma Irama.

Ada yang lain, misalnya Kelompok Bimbo, yang juga dapat disebut sebagai pemusik yang memadukan religiositas dengan musik yang dibawakannya, akan tetapi popularitas dan kemampuannya untuk berkolaborasi dengan zamannya dan masyarakatnya tentu belum sejajar dengan Rhoma Irama. Menurut saya, Rhoma Irama memang seorang pemusik yang di dalam dirinya bergemuruh keinginan untuk memberikan nuansa religiositas yang diyakininya.

Jadi tidak salah jika saya menyatakan bahwa Rhoma Irama adalah pemusik yang mengembangkan dunia musiknya menjadi dunia musik yang lebih beradab.

Wallahu a’lam bi al shawab.

LAN FANG: “HUMAS” IAIN SA ITU TIADA

Saya tentu saja kaget mendapatkan sms dari Sdr. Chabib, 25/12/2011,  bahwa Lan Fang telah dipanggil oleh Tuhan Yang Maha Esa. Begitu cepat. Rasanya baru saja kemarin saya bertemu dengan dia dalam berbagai even yang melibatkannya. Saya mengenalnya karena seringnya beliau datang di IAIN Sunan Ampel. Terkadang datang dengan membawa program dan terkadang juga dating begitu saja.

Memang semenjak saya mengikuti acara Diklatpim Tingkat I di Jakarta saya tidak bertemu dengannya. Jadi selama 10 minggu saya tidak sempat bertemu. Tetapi seingat saya pernah sekali mengirim sms kepada saya tentang rencananya untuk mendiskusikan bukunya Acep Zamzam Nur. Saya juga lupa apakah saya balas atau tidak. Tetapi jika saya balas pastilah saya nyatakan hubungi dan ajak bicara saja Chabib. Begitulah biasanya jika saya tidak bisa bertemu, maka Chabib yang dalam banyak hal mengajaknya bicara.

Pertemuan saya dengannya adalah dalam diskusi di depan toko Buku elKis di IAIN SA. Waktu itu kita bicara tentang tulisan dia di Jawa pos dengan judul Q. Saya nyatakan bahwa Q itu bisa memiliki banyak makna. Bisa saja berarti Question. Semenjak pertemuan itu, maka dia sering datang kepada saya untuk sekedar bercerita tentang tulis menulis. Bahkan jika ada berita di Koran tentang IAIN SA, maka beliau sampaikan kepada saya melalui sms. Bahkan juga ketika tulisan Chabib dimuat di Koran, maka juga beliau sampaikan kepada saya melalui sms.

Diskusi dengan kawan-kawan Teater Q Fakultas Syariah juga sering dilakukannya. Di antaranya tentang sarasehan teater yang diselenggarakan di Blok M atau arena di sebelah utara Fakultas Syariah. Waktu itu saya didaulat oleh kawan-kawan teater Q untuk memberikan sambutan. Lan Fang yang menjadi narasumbernya. Semenjak itu dan seterusnya maka Lan Fang semakin sering datang ke IAIN SA dalam kapasitas sebagai “humas”-nya IAIN SA.

Saya sering menyatakan bahwa Lan Fang adalah Humasnya IAIN SA. Saya nyatakan humas karena Lan Fang sering menjadi perantara kepada dunia wartawan atau sesama face booker untuk memberitakan tentang apa yang terjadi di IAIN SA. Ketika Radar Panca Dahana manggung di IAIN dalam lakon Republik Reptil, maka Lan Fang juga yang menjadi humas IAIN SA. Beliau juga tidak beranjak sampai detik akhir lakon itu dipentaskan.

Demikian pula ketika Iwan Fals manggung di IAIN SA, maka Lan Fang juga menjadi humasnya IAIN SA. Dia beritakan di face booknya tentang kegiatan manggung Iwan Fals. Dia mengikuti acara tersebut juga sampai acara selesai. Dia nikmati sajian musik Iwan Fals di tengah rintik hujan yang mengguyur lapangan IAIN SA. Bahkan juga ketika Iwan Fals selesai manggung dan bertemu di ruang rektorat, maka dia juga menyertainya.

Yang masih saya ingat adalah ketika saya menyelenggarakan acara nonton bareng pada Piala Dunia di Afrika Selatan. Waktu itu semi final antara Belanda melawan Brasil. Maka dia juga nonton bareng dan juga berteriak-teriak sebagaimana layaknya penggila bola. Dia juga baru pulang ketika acara tersebut selesai.

Kecintaannya pada IAIN SA tidak hanya dituangkan di dalam acara bersama seperti itu, akan tetapi juga membawa narasumber untuk berdiskusi di IAIN SA. Yang sempat saya ikuti adalah ketika mendiskusikan bukunya “Ciuman Di Bawah Hujan” bersama dengan Konsulat Jenderal Amerika Serikat, Kirsten Bauer. Saya juga dimintanya untuk menjadi narasumbernya.

Sampai sejauh yang saya kenal, Lan Fang tidak pernah mengeluh sakit. Padahal sebenarnya sakitnya itu sudah lama. Dia terkena kanker payudara dan sudah dirasakannya semenjak lama. Tetapi penyakitnya itu tidak dirasakannya, sehingga setiap bertemu dengan kita selalu berwajah sumringah sebagai pertanda bahwa tidak ada masalah apapun tentang kesehatannya. Itulah sebabnya saya kaget sekali ketika mendengar kabar kematiannya.

Ternyata, ketika saya mengikuti acara Diklatpim Tingkat I di Jakarta dia sudah keluar masuk rumah sakit. Sampai akhirnya harus dibawa ke Rumah Sakit Mount Elizabeth di Singapura ketika penyakitnya sudah stadium tinggi. Kira-kira 40 hari dia keluar masuk rumah sakit, hingga akhirnya harus menerima kenyataan takdir yang tidak dapat ditolaknya, kematian.

Sebagai seorang perempuan keturunan Tionghoa, memang dia memilih kehidupan yang aneh, yaitu menjadi penyair. Bukan sebagai pengusaha. Makanya kehidupannya juga sangat sederhana. Ketika saya ke rumahnya, maka gambaran sebagai orang yang sangat sederhana tertata dengan jelas. Di rumahnya hanya ada sepeda motor yang biasa digunakan setiap hari. Perabot rumahnya juga sangat sederhana. Tidak ada tanda sedikitpun dia memiliki harta yang berlebihan.

Meskipun demikian, setiap hari raya idul Fitri dia siapkan pemberian kepada orang-orang yang tidak punya. Dia melaksanakan ajaran zakat. Jadi meskipun dia beragama Budha, akan tetapi tidak mengurangi kecintaan dan kasih sayangnya kepada siapa saja. Bahkan di akhir-akhir hayatnya dia juga sering keluar masuk pesantren untuk memperkenalkan tentang dunia kepenyairan.

Selamat bepergian jauh Lan Fang, saya yakin banyak amalmu yang memperoleh perkenan Tuhan. Amin.

UNIVERSITY OF CANBERRA

Saya merasakan bahwa kunjungan saya ke Australia kali ini sangat efektif, sebab dalam jangka waktu yang singkat kami dapat berkunjung di  lima universitas di Australia. Dan selain itu juga bisa mengikuti acara-acara penting seperti diskusi kelas dan presentasi action plan yang dibuat oleh peserta program. Acara ini juga sangat efektif, sebab hanya dalam waktu yang singkat, seminggu, ternyata para peserta dapat merumuskan action plan yang sangat memadai.

Baik peserta workshop di University of Sydney maupun peserta workshop di University of Canberra ternyata dapat menyajikan presentasinya secara sangat memadai. Ketika saya dimintai komentar oleh Richard Seymour dari  University of Sydney tentang presentasi para peserta yang tergabung di dalam tiga kelompok, maka saya nyatakan bahwa presentasi aupun materi presentasinya sangat ekselen. Saya nyatakan bahwa untuk membuat action plan, saya membutuhkan waktu 10 minggu di Lembaga Administrasi Negara (LAN), sedangkan para peserta workshop di luar negeri ternyata bisa membuat action plan dalam waktu satu minggu.

Demikian pula para peserta workshop di University of Canberra juga diminta untuk menyajikan action plannya. Mereka juga bisa membuat action plan yang baik dan memenuhi terhadap keinginan untuk mengembangkan kurikulum yang relevan dengan tuntutan ke depan. Saya nyatakan sebagai catatan bahwa action plannya memang harus diperkuat dengan tahapan-tahapan actionnya supaya lebih operasional. Secara keseluruhan bahwa pelatihan dengan tema seperti ini tentu sangat penting di masa yang akan datang.

Catatan saya yang lain adalah profesionalisme dalam penyelenggaraan acara pelatihan. Bisa dibayangkan bahwa untuk melayani peserta workshop ini, maka hanya ada beberapa orang. Untuk catering tidak diperlukan panitia, sebab sudah diserahkan kepada tenaga professional yang memang bergerak di sector itu. Berbeda dengan di Indonesia yang mesti harus ada panitian konsumsi, akomodasi dan sebagainya. Di sini hanya dua orang saja yang menjadi panitia dan satunya da naraumber tetap di dalam acara workshop ini. Ass. Prof. Jackie Walkington adalah panitian dan sekaligus narasumber utamanya. Ada efektifitas  yang luar biasa di dalam penyelenggaraan acara ini.

Kampus University of Canberra memang berada di luar kota. Dibangun di daerah Belkonen kira-kira 20 kilometer dari pusat kota Canberra. Kota Canberra memang dikenal sebagai pusat pemerintahan dan memang menjadi ibukota Australia. Sebagai kota pemerintahan, maka tentunya menjadi pusat administrasi pemerintahan. Jika Sydney dikenal sebagai kota perdagangan, maka Canberra dikenal sebagai kota pemerintahan.

Kampus University of Sydney baru didirikan pada tahun 1970-an dan sekarang terus berbenah. Bahkan juga sedang terus menerus membangun fisik kampusnya. Gedung Inspirasi atau Inspire Building, 25, adalah gedung baru dan belum digunakan untuk kegiatan akademis. Makanya, peserta program pengembangan kurikulum di sini pastilah beruntung sebab menjadi kelompok pertama yang memanfaatkan gedung ini untuk kuliah.

 

Jangan bayangkan bahwa kampus ini memiliki gedung dengan bangunan tinggi seperti di Indonesia atau seperti University of Technology Sidney (UTS) yang memiliki bangunan pencakar langit. Banyak gedungnya yang dibangun hanya dengan dua atau tiga lantai. Bangunannya pun sangat minimalis. Akan tetapi yang hebat adalah bahwa setiap fakultas pastilah memiliki gedung theater yang sangat memadai dari sisi fasilitasnya.

Ada yang belum pernah saya ceritakan adalah tentang Student Union. Maka setiap program studi memiliki student Union atau kira-kira Himpunan Mahasiswa Jurusan dan juga Himpunan Mahasiswa di tingkat universitas. Sebagaimana  di University of Sydney, maka di sini juga terdapat Student Union yang juga memiliki unit usaha. Ada kafe, mini mart dan lainnya. Tentu karena trust yang dimiliki oleh mahasiswanya, maka unit usaha ini juga berkembang. Kita boleh membandingkan dengan koperasi mahasiswa di Indonesia yang di dalam banyak hal mengalami kegagalan. Tentu ada juga yang berhasil tetapi jumlahnya sangat sedikit.

Sebagai kampus yang terletak di suburb atau pinggiran kota, maka di kiri kanannya masih berupa lahan yang kosong dan hanya kelihatan rerumputan yang menghijau. Makanya juga berkeliaran dengan bebas binatang seperti kanguru dan kelinci. Mereka bebas berkeliaran di sekitar kampus tanpa ada yangmengganggu. Saya terkadang merasa iri dengan orang-orang ini. Bagaimana mereka bisa bersahabat dengan binatang, seperti burung. Tidak ada yang ditembak atau dikurung di rumah. Semuanya bebas berterbangan ke sana ke mari.

Di Indonesia, burung jalak hitam, putih dan uren, kemudian kepodang, manyar dan jowan –begitulah saya menamainya—sudah jarang atau bahkan tidak lagi didapati di desa-desa pedesaan Jawa. Ketika saya kecil dulu, masih kita dengar hiruk pikuk suaranya di pohon-pohonan dan  berterbangan di sana sini. Tidak demikian hanya di Australia. Semuanya dilindungi dan masyarakatnya juga melindunginya. Maka semua menjadi lestari.

Kiranya memang kita harus belajar pada masyarakat ini tentang kearifan lokal yang terkait dengan menjaga lingkungan agar tetap lestari kelak kemudian hari.

Wallahu a’lam bi al shawab.