MENYEDIAKAN SDM MEDIATOR PROFESIONAL
Saya diminta oleh Dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel, Prof. Dr. HA. Faishol Haq, MAg., untuk menutup acara Pendidikan dan Pelatihan Mediasi Profesional bagi para alumni Progran Studi Akhwalusy Syahsiyah pada Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel di Hotel Tanjung Surabaya (27/12/2011).
Acara ini diikuti oleh alumni Fakultas Syariah yang sewaktu kuliah menerima beasiswa Santri Berprestasi angkatan tahun 2005 dan 2006 yang kebanyakan sekarang sudah kembali ke pesantrennya masing-masing. Jadi sesungguhnya mereka sekarang sudah menjadi ustadz dan ustadzah yang mengabdikan dirinya di pesantren. Mereka memang dulunya dikirim oleh pesatren dan sesuai dengan perjanjian bahwa mereka akan mengabdikan diri di pesantren sekurang-kurangnya dua tahun.
Sebagai tim trainernya adalah tim ahli Mediasi dari Walisongo Mediation Center (WMC) yang memang memiliki sejumlah pengalaman sebagai pendamping pendidikan dan pelatihan terstruktur di sejumlah tempat. Melalui pendampingan ini, maka mereka diajarkan tentang bagaimana menjadi pendamping pada resolusi konflik, dan penanganan berbagai problema hukum dan sosial kemasyarakatan. Sebagaimana pengakuan peserta, bahwa melalui pelatihan ini mereka memperoleh ilmu baru tentang mediasi untuk menemukan solusi bagi masyarakat.
Di dalam sambutan saya, saya kemukakan bahwa kita sekarang sedang hidup di tengah era globalisasi yang meniscayakan terjadinya berbagai persoalan kemasyarakatan. Misalnya perbedaan pendapat, pertentangan atau rivalitas dan juga konflik. Tantangan ini luar biasa, baik dalam skala mikro maupun makro. Dalam skala mikro misalnya adalah konflik antar individu, antar kelompok dan juga antar komunitas. Era reformasi meniscayakan terjadinya berbagai konflik kepentingan sehingga bisa menjadi konflik horizontal. Kasus pilkada di mana-mana menimbulkan benturan antar pendukung yang juga berujung pada konflik komunal. Kita bisa mencatat banyaknya konflik yang terjadi disebabkan oleh kasus Pilkada.
Dalam skala individu juga banyak konflik dan bahkan berujung pada konflik komunal. Misalnya kekerasan yang terjadi di kalangan pemuda dan mahasiswa juga menggambarkan betapa konflik telah menjadi bagian dari cara kita menyelesaikan persoalan. Bukankah kecenderungan untuk melakukan kekerasan juga semakin meningkat akhir-akhir ini. Ada banyak tindakan konfliktual yang dilakukan oleh mahasiswa di era reformasi ini.
Dengan demikian ke depan akan semakin banyak tantangan untuk melakukan mediasi dalam berbagai levelnya. Mungkin yang paling banyak ditangani adalah kasus-kasus mikro, seperti semakin banyaknya kasus perceraian, semakin banyaknya kasus antar individu atau kelompok dan sebagainya. Dalam kasus perceraian, memang ada semakin banyak tuntutan untuk melakukan perceraian dewasa ini, baik yang tuntutan cerainya berasal dari pihak lelaki atau perempuan.
Untuk menjadi mediator ini, maka dipersyaratkan PK2S. Yaitu peduli, komitmen, konsisten dan support. Untuk menjadi agen mediasi, maka persyaratan mendasarnya adalah kepedulian, care atau aware. Jika kita tidak memiliki kepedulian akan orang lain, maka rasanya akan sulit untuk menjadi mediator ini. Kepedulian bukan semata-mata faktor internal yang berasal dari dalam, akan tetapi juga bisa dari faktor eksternal atau dipelajari atau ditumbuhkan, misalnya melalui pendidikan dan pelatihan. Makanya, melalui pendidikan dan pelatihan ini diharapkan akan muncul sikap dan tindakan untuk peduli kepada problema orang lain.
Kemudian aspek lain yang penting adalah komitmen. Yaitu sikap untuk terus menerus membantu terhadap orang atau kelompok individu yang perlu mendapatkan pendampingan di dalam menyelesaikan masalahnya. Komitmen pada program membantu untuk menemukan solusi atas problem kemanusiaan merupakan perwujudan dari rasa kepedulian yang menggelora di dalam hati ara agen atau mediator profesional.
Agar bisa menjadi mediator yang hebat, maka juga dibutuhkan konsistensi. Selalu terus menerus melakukan tindakan agat ditemukan solusi terhadap problem yang dihadapi oleh masyarakat. Itulah sebabnya seorang mediator harus memiliki ketangguhan jiwa untuk berkomitmen dan konsisten di dalam menangani dan menyelesaikan problem yang dihadapi oleh masyarakat.
Dan yang juga sangat penting adalah support atau dorongan dan dukungan agar orang atau komunitas yang bermasalah bisa menyelesaikan masalahnya. Dukungan atau support tersebut sangat dibutuhkan agar orang atau komunitas memahami bahwa penyelesaian masalah bukan datang dari orang luar akan tetapi justru datang dari dalam.
Jika para alumni prodi Ahwalusy syakhsiyah ini ingin menjadi mediator yang profesional, maka lima kunci ini harus menjadi bagian penting di dalam kehidupannya. Jadi semuanya kembali kepada niat yang tulus dan mendasar untuk berbuat kebaikan.
Wallahu a’lam bi al shawab.