Tragedi demi tragedi di negeri ini terus berlangsung. Baik yang bersumber dari peristiwa alam yang memang harus terjadi ataupun yang di dalamnya ada campur tangan manusia. Peristiwa alam yang memang harus terjadi misalnya adalah gempa bumi, gunung meletus atau lainnya, sedangkan yang terdapat campur tangan manusia misalnya ada kerusakan bangunan yang bukan disebabkan oleh peristiwa alam.
Yang beberapa saat lalu terjadi adalah ambruknya jembatan di Tenggarong Kutai Kartanegara. Jembatan yang melintasi Sungai Mahakam di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur ini memang menjadi jembatan yang sangat vital. Jembatan ini menghubungkan kota Tenggarong dengan kota Samarinda. Ambruknya jembatan untuk sementara menewaskan 13 orang dan korban luka-luka lainnya. Bahkan juga masih ada korban yang belum ditemukan.
Jika robohnya jembatan tersebut terjadi di daerah ring of fire, bisa saja dinyatakan bahwa ada pengaruh alam terhadap keruntuhan jembatan tersebut. Bisa saja kerusakan jembatan disebabkan oleh gerakan tanah sebagai akibat gempa atau gunung meletus. Gempa bumi tentu saja sangat berpengaruh terhadap bangunan yang ada di atasnya.
Akan tetapi sejauh yang kita ketahui bahwa pulau Kalimantan adalah satu-satunya pulau di Indonesia yang tidak menjadi bagian dari ring of fire, sehingga bangunan di atas pulau Kalimantan tentu saja tidak rawan terkena gerakan tanah sebagai akibat gempa bumi atau lainnya. Pulau Kalimantan adalah pulau yang paling aman dibandingkan dengan pulau lain di Nusantara.
Jika ini yang sesungguhnya terjadi, maka berarti bahwa ada tangan manusia yang terlibat di dalam keruntuhan jembatan kebanggaan masyarakat Tenggarong ini. Makanya lalu ada dugaan bahwa perawatan bangunan jembatan yang tidak maksimal atau ada dugaan korupsi dalam pembangunan jembatan tersebut. Mabes Polri menduga ada faktor perawatan bangunan yang kurang maksimal, sementara pimpinan KPK, Busyro Muqoddas, berpikir bahwa ada kemungkinan anggaran pembangunannya dikorupsi.
Memang bisa saja terjadi berbagai macam komentar dan dugaan tentang penyebab runtuhnya jembatan ini. Berdasarkan konsepsi paradigma fakta sosial, bahwa memang tidak ada fakta yang berdiri sendiri kecuali ada fakta penyebabnya. Dan fakta penyebab tersebut juga tidak tunggal. Berdasarkan konsepsi ini, maka lantas bisa dikembangkan berbagai macam penyebab yang tentu saja harus diuraikan penjelasannya oleh aparat yang berwajib.
Saya ingin melihat runtuhnya jembatan di Kutai Kartanegara ini dengan menghubungkannya dengan fenomena yang secara umum terjadi, yaitu pembangunan nir hati nurani. Yaitu pembangunan yang dilakukan dengan tanpa mempertimbangkan kemaslahatan umum. Ada kepentingan pribadi atau kelompok di dalam pembangunan tersebut. Makanya di dalam banyak kasus, pembangunan selalu rawan dengan masalah KKN. Berdasarkan pengalaman empirik yang terus terjadi, maka dengsn mudah orang menduga bahwa proyek bangunan di Indonesia tidak standar.
Pembangunan adalah amanah konstitusi sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu untuk menyejahterakan kehidupan rakyat. Jadi pembangunan bukan untuk menyejahterakan sekelompok orang apalagi segelintir individu. Jika berbicara tentang kesejahteraan atau kemaslahatan umat, maka yang sesungguhnya banyak berperan adalah kepentingan rakyat yang berdasar atas hati nurani dan bukan kepentingan individu berbasis materi.
Materialisme nir hati nurani yang menjadi penyebab utama mengapa konstruksi bangunan tidak standar dan di sana sini terjadi penyimpangan. Jika materialisme sudah menguasai kehidupan manusia, maka kehidupan akan menjadi tidak bermakna. Orang hanya akan mengukur sesuatu dari materi belaka, sehingga dimensi rohani lalu tidak ada tempat di dalamnya.
Di dalam hal ini, Nabi Muhammad saw menyatakan bahwa di dalam diri manusia terapat seonggok daging yang akan menentukan kehidupan manusia ke arah kebaikan atau keburukan, yaitu hati. Dan yang akan mengarahkan kepada kebaikan adalah hati nurani, yaitu hati yang memperoleh cahaya Tuhan.
Pembangunan bangsa ini akan menjadi kemaslahatan, jika dilakukan dengan menggunakan hati nurani. Jika tidak, maka kerusakan demi kerusakan juga akan terus berlangsung. Wallahu a’lam bi al shawab.
Saya ingin menulis sekali lagi tentang kekerasan agama, terutama yang terkait dengan kekerasan antara kaum Syiah dengan lainnya di Sampang. Sebagai umat beragama yang merasa betapa pentingnya kerukunan itu, maka ketika terjadi benturan yang berakibat pada kehancuran rumah ibadah, lembaga pendidikan dan rumah penduduk, maka hati menjadi menjerit. Itukah kelakuan umat beragama.
Rasanya ada yang gelap tertutup debu hitam di hati nurani masyarakat ini, yaitu hati yang kelam. Hati yang tertutup oleh saputan debu hitam, sebagaimana debu tersebur menutupi pori-pori kulit yang dapat menyerap sinar matahari pagi yang penuh dengan sinar terang matahari. Apakah mereka juga bertanya kepada nuraninya di saat termenung, bahwa orang yang rumahnya dibakar adalah saudaranya sendiri. Yang paling kurang adalah saudara sesama Islam, meskipun berbeda pahamnya.
Sesungguhnya Islam itu agama kedamaian. Tidak ada kata lain selain itu. Islam kita ini mengajarkan tentang kerukunan dan persahabatan atau persaudaraan. Tidak hanya untuk sesama umat Islam akan tetapi juga untuk seluruh umat manusia. Perdamaian merupakan kata kunci bagi terciptanya kehidupan masyarakat yang aman dan teratur. Keteraturan sosial hanya akan terjadi jika terdapat perdamaian.
Sesungguhnya yang mengajarkan kekerasan di dalam beragama bukanlah ajaran agama itu sendiri akan tetapi adalah penafsiran tentang ajaran agama yang bertali temali dengan kepentingan kemanusiaan. Di antara yang dominan adalah ekonomi dan politik. Makanya ketika agama telah menjadi ideologi politik dan ekonomi, maka di sana akan terjadi penguasaan satu atas lainnya.
Pertumpahan darah pertama antar sesama umat Islam terjadi ketika kekhalifahan menjadi praktik di dalam kehidupan masyarakat Islam. Pada zaman Nabi Muhammad saw memang terjadi peperangan, akan tetapi hal itu dilakukan semata-mata karena untuk kepentingan mempertahankan perjanjian yang sudah dibuat antara Islam dengan lainnya. Akan tetapi terjadinya pertumpahan darah pertama di dalam sejarah umat Islam adalah ketika Islam masuk dalam ranah penafsiran politik dan ekonomi.
Di dalam kasus perusakan dan pembumihangusan terhadap properti milik orang Syiah, maka yang menjadi penyebabnya bukanlah paham keagamaan murni, akan tetapi lebih banyak karena faktor penguasaan sumber daya pengaruh di antara para elit agama di Sampang dimaksud. Satu elemen kemudian menggunakan penafsiran ajaran agamanya untuk menihilkan penganut agama Islam lainnya.
Itulah sebabnya, menjelaskan konflik Sampang dari sisi pertarungan atau konflik Sunni-Syii rasanya juga kurang tepat, sebab memang tidak ada dasar yang menjadikannya untuk bertentangan secara ideologis. Sebagaimana yang saya jelaskan di Harian Surya, bahwa sudah bukan saatnya menghakimi Syiah sebagai ajaran yang harus dinihilkan di Indonesia. Sebab Syiah di Indonesia adalah Syiah yang khas dan tidak mengusung pertarungan dengan Sunni. Jadi memvonis bahwa Syiah adalah harus dinihilkan dengan berbagai kekuatan negara tentu bukan pada tempatnya.
Oleh sebab itu, harus ada kearifan lokal terutama di kalangan para elit agama, elit pemerintah dan juga elit masyarakat untuk mendialogkan aspek keberagamaan ini. Dirasakan penting untuk memetakan mana ajaran keduanya yang memiliki nilai kesamaan dan mana yang berbeda. Menemukan hal ini sangat penting untuk menjadi dasar bagi berlangsungnya dialog antar dan intern umat beragama. Tanpa memahami keduanya, maka akan sangat sulit untuk mengembangkan kebersamaan. Produk dialog kemudian dapat disosialisasikan kepada masyarakat dan dijadikan sebagai pedoman untuk melangkah bersama.
Sebagai sesama umat Islam tegakah hati kita melihat umat Islam lainnya berada di dalam pengungsian yang tidak memadai bagi kepentingan kemanusiaan. Jika hati kita menyatakan tega, maka marilah kita pertanyakan keberagamaan itu dengan menggunakan hati nurani.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Rasanya baru kemarin kita meramaikan tahun baru 2011. Ternyata sudah setahun perjalanan menempuh tahun 2011 tersebut. Hari ini kita memasuki tahun baru, 1 Januari 2012. Bertepatan dengan hari Ahad. Tahun baru biasanya ditanggapi dengan berbagai acara, baik yang teratur maupun yang hura-hura. Baik lelaki atau perempuan, terutama kaum mudanya memanfaatkan momentum tahun baru dengan gegap gempita.
Hari ini saya diwawancarai Radio El Shinta, terkait dengan pandangan sosiologis mengenai tradisi tahun baru di sejumlah kota di Indonesia dan secara khusus di Surabaya. Wawancara ini agak sedikit terganggu sebab pada saat yang sama juga terdapat acara jalan sehat yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama Wilayah Jawa Timur untuk memperingati 66 tahun berdirinya kementerian agama.
Saya sampaikan bahwa sudah lama saya tidak melihat secara langsung bagaimana anak muda Surabaya memperingati tahun baru. Bertepatan bahwa semalam saya secara sengaja melihat bagaimana anak-anak muda Surabaya merayakan tahun baru. Hanya ada satu kata: seru. Bagaimana tidak, semua jalanan dipenuhi dengan sepeda motor dengan gayanya masing-masing. Ada yang diganti kenalpotnya sehingga memberi efek suara yang memekakkan telinga, ada yang diganti sadelnya, slebornya dan sebagainya seakan ingin memberikan nuansa berkendaraan yang berbeda.
Sungguh merupakan suasana yang crowded dan tidak terkontrol. Mereka memenuhi jalan, sehingga mereka benar-benar menjadi raja jalanan. Dikuasainya jalan perkotaan seakan tidak ada lagi rambu lalu lintas, tidak ada lagi penegak aturan, tidak ada lagi yang mengontrol tindakan yang mereka lakukan. Itulah kebebasan yang dapat mereka raih di malam tahun baru.
Itulah sebabnya kemacetan ada di mana-mana. Jika kita menggunakan mobil maka harus berdesakan dengan sepeda motor yang menyemut. Bahkan ada suasana menakutkan sebab bisa saja terjadi kecelakaan secara tiba-tiba. Sebab mereka memang berkendaraan dengan tanpa keteraturan sebagaimana layaknya berkendaraan di jalan raya.
Tradisi menyambut tahun baru di kota-kota di Indonesia memang berbeda dengan misalnya di Singapura. Di sana suasana merayakan tahun baru dikemas dengan keteraturan, sehingga bisa menjadi ajang untuk menarik wisatawan asing. Cobalah berapa banyak orang Indonesia yang merayakan tahun baru bukan di Indonesia akan tetapi di Singapura. Mereka menjalani perayaan tahun baru dengan nuansa yang sangat berbeda.
Sebaliknya di Indonesia, merayakan tahun baru justru dengan hura-hura dan ketidakteraturan. Ada semacam memanfaatkan acara tahun baru dengan melakukan ekspressi dalam berkendaraan secara bebas dan tidak terkendali. Makanya yang terjadi juatru suasana menakutkan dan bukan menyenangkan.
Seharusnya menatap tahun baru justru dengan doa untuk permohonan keselamatan. Tahun baru bukanlah nuansa untuk hura-hura, akan tetapi adalah untuk introspeksi tentang apa yang sudah kita lakukan selama setahun dan harus bagaimana setahun yang akan dijalani. Pada tahun yang baru lalu tentu saja ada pencapaian yang memenuhi harapan dan ada juga yang tidak memenuhi harapan. Makanya yang tidak memenuhi harapan haruslah dicari apa faktor penyababnya. Dengan begitu maka akan diketahui apa seyogyanya yang kita lakukan di tahun ini.
Oleh karena itu akan menjadi lebih baik jika kita menandai pergantian tahun dengan tindakan yang sepantasnya. Yaitu dengan melakukan perenungan tentang apa yang seharusnya kita lakukan di masa mendatang. Jadi sebaiknya kita melakukan introspeksi sambil berpikir apa yang sebaiknya yang seharusnya terjadi di masa mendatang.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Serangan terhadap kaum Syiah yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan dalih apapun merupakan bagian dari pelanggaran terhadap HAM. Mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia yang seharusnya juga memperoleh kesamaan di dalam mengekspresikan keyakinan beragamanya. Saya sungguh tidak memahami bagaimana umat Islam bisa membakar terhadap masjid, sekolah dan rumah penduduk Islam lainnya dan kemudian mengusirnya. Mindset macam apa yang dijadikan sebagai pedoman di dalam memahami ajaran agamanya.
Selama ini masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Islam dikenal sebagai masyarakat yang beragama secara moderat. Artinya, bahwa ada paham keagamaan yang mendasari keyakinannya bahwa beragama yang benar adalah yang melindungi terhadap lainnya. Tetapi kenyataannya bahwa terdapat kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengaku beragama yang benar sendiri.
Era reformasi memang sering ditandai dengan semakin banyaknya kekerasan atas nama agama. Dan hal ini merupakan kekerasan yang sangat aktual. Kebanyakan dilakukan terhadap kelompok minoritas yang tanpa back up memadai dari siapapun, misalnya kelompok Syiah ini. Makanya, menjadi kelompok minoritas lalu berada di dalam tekanan yang luar biasa. Sepertinya, mereka bukan hidup di Indonesia yang dahulu dikenal sebagai wilayah yang ramah terhadap keanekaragaman.
Sebagaimana saya ungkapkan di Harian Surya dan juga The Jakarta Post bahwa dewasa ini sudah terdapat perbedaan yang mencolok terkait dengan Syiah di Indonesia. Meskipun secara genealogis keyakinan tersebut bersumber dari Islam Syiah di Iran akan tetapi mereka sudah tidak lagi menjadikan ideology Syiah sebagai referensi untuk melakukan gerakan teodemokrasi.
Berdasarkan kajian, bahwa Syiah di Indonesia bisa dikategorikan ke dalam tiga hal, yaitu Syiah ideologis dalam pengertian menjadikan ajaran Syiah sebagai ideologi perjuangan tetapi non politis. Yaitu ingin mengembangkan ajaran Syiah dalam arti keberagamaan dan bukan ideologi kenegaraan. Di dalam hal ini coraknya lebih pada gerakan keagamaan dan bukan gerakan ideologi politik. Kemudian ada yang disebut sebagai Syiah-Sunni atau juga disingkat dengan Susi. Kelompok ini cenderung lebih bisa berbaur dengan lainnya dan tidak menjadikan Syiah sebagai basis gerakan pengembangan keyakinan. Mereka meyakini ajaran Syiah tetapi tidak menjadikannya sebagai basis ideologi gerakan. Dan kemudian juga ada Syiah intelektual yaitu menjadikan ajaran Syiah sebagai basis diskusi dan kajian. Kelompok ini memang lebih sedikit dibanding dengan kelompok pertama dan kedua.
Saya berkeyakinan bahwa kekerasan di Sampang, tepatnya di kecamatan Omben dan Karang Penang, bukanlah kekerasan agama dalam pengertian perbedaan paham agama, akan tetapi difasilitasi oleh persoalan sosial dan politik yang dibalut dengan paham keagamaan. Di dalam konsepsi teoretik disebut sebagai kekerasan sosial bernuansa agama. Jadi agama dijadikan sebagai medan magnit untuk menggerakkan massa untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan.
Jika mereka adalah orang yang benar-benar mengamalkan ajaran Islam, maka tidak ada teladan di dalam Islam yang mengajarkan untuk membakar masjid atau tempat ibadah. Di dalam peperangan saja Islam mengajarkan kesantunan. Jangan sakiti anak-anak, perempuan, orang tua, jangan membakar tempat ibadah, jangan merusak tanaman dan sebagainya. Lalu, bagaimana orang yang mengatasnamakan agama lalu melakukan pembakaran terhadap masjid yang dijadikan tempat untuk melakukan ibadah dan berdzikir kepada Allah, meskipun cara yang digunakan berbeda.
Sebagai umat beragama, kita juga yakin bahwa menjadi Islam yang baik adalah dengan terus menerus menyambung tali ibadah kepada Allah, dan juga menyambung tali kasih dengan sesama umat manusia. Islam mengajarkan bukan hanya hablum minal muslim tetapi juga hablum minan nas. Jadi, Islam mengajarkan menyambung tali persaudaraan dengan sesama umat manusia. Jika berbicara manusia maka konsepsinya adalah coraknya yang sosiologis dan bukan hanya teologis.
Jadi yang sesungguhnya dibutuhkan adalah memahami bahwa ada orang lain dengan keyakinan lain dan keyakinan tersebut tidak menyimpang dari ajaran dasar agama yang fundamental, atau bahkan keyakinan orang yang berbeda agama dan kemudian menjalin persaudaraan atas dasar kemanusiaan. Kiranya orang berislam mesti arif di dalam tindakan dan bijaksana di dalam kelakuan. Selain ada pertimbangan teologis juga ada pertimbangan sosiologis sebagai bagian dari kemanusiaan kita.
Janganlah kita menjadi orang yang menjadikan agama sebagai alat untuk menekan atau melakukan kekerasan sebab saya yakin beragama seperti ini tentu tidak sesuai dengan ajaran Islam sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Keindahan dan keagungan Islam hanya akan didapatkan jika kita menghargai dan memuliakan manusia sebagai Allah swt memuliakannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Ketika terjadi kekerasan agama antara orang Syiah dengan penganut agama Islam lainnya, maka saya diwawancarai oleh dua koran nasional, yaitu The Jakarta Post dan Harian Surya. The Jakarta Post mewawancarai saya setiba saya dari Pontianak dalam kunjungan Dewan Riset Daerah Jawa Timur ke Propinsi Kalimantan Barat.
Saya memang belum sempat membaca koran hari itu, sebab ada acara pagi hari yang saya acarakan dengan Ketua STAIN Pontianak untuk bertemu di Hotel Aston dan kemudian keliling kampus STAIN Pontianak yang dulunya adalah Cabang IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan kemudian sekarang mandiri dengan nama STAIN Pontianak.
Setibanya di bandara, maka saya ditelpon oleh wartawan The Jakarta Post tentang berita kekerasan agama terhadap kelompok Syiah di Sampang. Masjid dan rumah pemiliknya dibumihanguskan dan tinggallah puing-puingnya saja. Kita sungguh tidak paham tentang perilaku keberagamaan ini dan bagaimana bisa terjadi seperti itu. Rupanya masyarakat Jawa Timur memperoleh kado akhir tahun yang sangat tidak menyenangkan.
Kita menjadi miris dengan perilaku keberagamaan kita yang semakin keras. Ada sesuatu yang paradoks di masyarakat kita, yaitu beragamanya semakin tinggi tetapi sentimen keagamaannya juga semakin meningkat. Berdasarkan laporan Kompas, 30/12/2011, bahwa kekerasan agama meningkat tajam pada tahun 2011 ini. Berdasarkan laporan The Wahid Institute, bahwa yang dominan di tahun 2011 adalah kekerasan atas nama agama. Maka, kekerasan agama di Sampang ini juga menjadi penegas bahwa kekerasan agama masih akan mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia.
Di dalam wawancara dengan The Jakarta Post saya ungkapkan bahwa dahulu kekerasan agama itu nyaris tidak terjadi seperti sekarang. Rupanya era reformasi justru melahirkan suatu tindakan masyarakat Indonesia yang agak aneh yaitu suka menyelesaikan masalah dengan tindakan membumihanguskan semuanya. Kita tentu belum melupakan kejadian pembumihangusan terhadap Jemaat Ahmadiyah dan sekarang terjadi lagi pada kelompok minoritas lainnya, yaitu kaum Syiah.
Saya menjadi teringat ketika berkunjung ke Australia bahwa penduduk dilarang dengan keras untuk membakar apa saja, termasuk juga membakar kayu-kayu yang sudah mengering. Makanya, kayu yang mengering juga dibiarkan hancur dengan sendirinya. Jika ada yang melanggar maka hukuman berat telah menantinya.
Di sini, yang dibakar bukan hanya kayu kering tetapi rumah dan tempat ibadah. Sungguh suatu tindakan yang melanggar Hak Asasi Manusia. Itulah sebabnya, maka harus dilakukan tindakan hukum yang sangat memadai terhadap prilaku kerusuhan ini, sehingga ke depan akan memunculkan efek jera bagi yang akan melakukannya.
Sesungguhnya Syiah di Indonesia sudah berubah. Syiah dewasa ini sudah bukan lagi penganut Syiah ideologis yang mengusung gerakan Teodemokrasi. Akan tetapi telah menjadi penganut agama yang insklusif dalam arti yang luas. Oleh karena itu, di dalam banyak hal, maka gerakan Syiah bukan lagi sebagai gerakan keagamaan yang eksklusif, akan tetapi telah menjadi bagian dari umat Islam secara umum.
Melihat kenyataan empiris semacam ini, maka kekerasan agama berbasis paham keagamaan ini tidak bisa dijelaskan semata-mata agama akan tetapi harus dijelaskan dari aspek sosial politik, misalnya kecemburuan sosial, konflik kewenangan, kekharismaan dan sebagainya. Di Jember misalnya justru terjadi pola saling memberi dengan konsepsi yang disebut sebagai susi atau Sunni-Syii. Artinya terjadi pembauran meskipun tentu saja di dalam ranah permukaan. Di dalam konteks ini, maka yang sesungguhnya bisa dibangun adalah mengembangkan kesepahaman bersama.
Kita sungguh tidak paham bahwa ada sekelompok orang Islam yang mengamalkan ajaran agama yang merusak tempat ibadah ini. Islam tentu mengajarkan agar menghormati orang lain, termasuk menghormati tempat ibadahnya. Ajaran bakar membakar termasuk membakar tempat ibadah tentu bukanlah ciri khas Islam Indonesia. Sejauh yang kita pahami, bahwa Islam mengajarkan kasih sayang dan toleransi. Pertanyaan yang bisa dikembangkan adalah apakah ada ideologi lain yang mendasari dan mengajarkan kekerasan seperti ini. Jadi jika kemudian terjadi kekerasan agama, maka bisa dirujuk dari dimensi lain, termasuk di dalam hal ini adalah relasi sunni-syii di Jawa Timur.
Berdasarkan temuan sementara, bahwa konflik tersebut bukan semata-mata faktor agama akan tetapi faktor sosial, yaitu persaingan pengaruh di antara elit agama di sana. Jika penjelasan ini benar maka yang diperlukan adalah bagaimana peran pemerintah, kementerian agama dan MUI serta tokoh lokal untuk mendiskusikan dan mempertemukan di antara mereka yang bermasalah dan kemudian menemukam solusinya.
Wallahu a’lam bi al shawab.