MENGHARAP KERUKUNAN MASYARAKAT
Saya ingin menulis sekali lagi tentang kekerasan agama, terutama yang terkait dengan kekerasan antara kaum Syiah dengan lainnya di Sampang. Sebagai umat beragama yang merasa betapa pentingnya kerukunan itu, maka ketika terjadi benturan yang berakibat pada kehancuran rumah ibadah, lembaga pendidikan dan rumah penduduk, maka hati menjadi menjerit. Itukah kelakuan umat beragama.
Rasanya ada yang gelap tertutup debu hitam di hati nurani masyarakat ini, yaitu hati yang kelam. Hati yang tertutup oleh saputan debu hitam, sebagaimana debu tersebur menutupi pori-pori kulit yang dapat menyerap sinar matahari pagi yang penuh dengan sinar terang matahari. Apakah mereka juga bertanya kepada nuraninya di saat termenung, bahwa orang yang rumahnya dibakar adalah saudaranya sendiri. Yang paling kurang adalah saudara sesama Islam, meskipun berbeda pahamnya.
Sesungguhnya Islam itu agama kedamaian. Tidak ada kata lain selain itu. Islam kita ini mengajarkan tentang kerukunan dan persahabatan atau persaudaraan. Tidak hanya untuk sesama umat Islam akan tetapi juga untuk seluruh umat manusia. Perdamaian merupakan kata kunci bagi terciptanya kehidupan masyarakat yang aman dan teratur. Keteraturan sosial hanya akan terjadi jika terdapat perdamaian.
Sesungguhnya yang mengajarkan kekerasan di dalam beragama bukanlah ajaran agama itu sendiri akan tetapi adalah penafsiran tentang ajaran agama yang bertali temali dengan kepentingan kemanusiaan. Di antara yang dominan adalah ekonomi dan politik. Makanya ketika agama telah menjadi ideologi politik dan ekonomi, maka di sana akan terjadi penguasaan satu atas lainnya.
Pertumpahan darah pertama antar sesama umat Islam terjadi ketika kekhalifahan menjadi praktik di dalam kehidupan masyarakat Islam. Pada zaman Nabi Muhammad saw memang terjadi peperangan, akan tetapi hal itu dilakukan semata-mata karena untuk kepentingan mempertahankan perjanjian yang sudah dibuat antara Islam dengan lainnya. Akan tetapi terjadinya pertumpahan darah pertama di dalam sejarah umat Islam adalah ketika Islam masuk dalam ranah penafsiran politik dan ekonomi.
Di dalam kasus perusakan dan pembumihangusan terhadap properti milik orang Syiah, maka yang menjadi penyebabnya bukanlah paham keagamaan murni, akan tetapi lebih banyak karena faktor penguasaan sumber daya pengaruh di antara para elit agama di Sampang dimaksud. Satu elemen kemudian menggunakan penafsiran ajaran agamanya untuk menihilkan penganut agama Islam lainnya.
Itulah sebabnya, menjelaskan konflik Sampang dari sisi pertarungan atau konflik Sunni-Syii rasanya juga kurang tepat, sebab memang tidak ada dasar yang menjadikannya untuk bertentangan secara ideologis. Sebagaimana yang saya jelaskan di Harian Surya, bahwa sudah bukan saatnya menghakimi Syiah sebagai ajaran yang harus dinihilkan di Indonesia. Sebab Syiah di Indonesia adalah Syiah yang khas dan tidak mengusung pertarungan dengan Sunni. Jadi memvonis bahwa Syiah adalah harus dinihilkan dengan berbagai kekuatan negara tentu bukan pada tempatnya.
Oleh sebab itu, harus ada kearifan lokal terutama di kalangan para elit agama, elit pemerintah dan juga elit masyarakat untuk mendialogkan aspek keberagamaan ini. Dirasakan penting untuk memetakan mana ajaran keduanya yang memiliki nilai kesamaan dan mana yang berbeda. Menemukan hal ini sangat penting untuk menjadi dasar bagi berlangsungnya dialog antar dan intern umat beragama. Tanpa memahami keduanya, maka akan sangat sulit untuk mengembangkan kebersamaan. Produk dialog kemudian dapat disosialisasikan kepada masyarakat dan dijadikan sebagai pedoman untuk melangkah bersama.
Sebagai sesama umat Islam tegakah hati kita melihat umat Islam lainnya berada di dalam pengungsian yang tidak memadai bagi kepentingan kemanusiaan. Jika hati kita menyatakan tega, maka marilah kita pertanyakan keberagamaan itu dengan menggunakan hati nurani.
Wallahu a’lam bi al shawab.