TRADISI BARU MEMBAKAR TEMPAT IBADAH
Ketika terjadi kekerasan agama antara orang Syiah dengan penganut agama Islam lainnya, maka saya diwawancarai oleh dua koran nasional, yaitu The Jakarta Post dan Harian Surya. The Jakarta Post mewawancarai saya setiba saya dari Pontianak dalam kunjungan Dewan Riset Daerah Jawa Timur ke Propinsi Kalimantan Barat.
Saya memang belum sempat membaca koran hari itu, sebab ada acara pagi hari yang saya acarakan dengan Ketua STAIN Pontianak untuk bertemu di Hotel Aston dan kemudian keliling kampus STAIN Pontianak yang dulunya adalah Cabang IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan kemudian sekarang mandiri dengan nama STAIN Pontianak.
Setibanya di bandara, maka saya ditelpon oleh wartawan The Jakarta Post tentang berita kekerasan agama terhadap kelompok Syiah di Sampang. Masjid dan rumah pemiliknya dibumihanguskan dan tinggallah puing-puingnya saja. Kita sungguh tidak paham tentang perilaku keberagamaan ini dan bagaimana bisa terjadi seperti itu. Rupanya masyarakat Jawa Timur memperoleh kado akhir tahun yang sangat tidak menyenangkan.
Kita menjadi miris dengan perilaku keberagamaan kita yang semakin keras. Ada sesuatu yang paradoks di masyarakat kita, yaitu beragamanya semakin tinggi tetapi sentimen keagamaannya juga semakin meningkat. Berdasarkan laporan Kompas, 30/12/2011, bahwa kekerasan agama meningkat tajam pada tahun 2011 ini. Berdasarkan laporan The Wahid Institute, bahwa yang dominan di tahun 2011 adalah kekerasan atas nama agama. Maka, kekerasan agama di Sampang ini juga menjadi penegas bahwa kekerasan agama masih akan mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia.
Di dalam wawancara dengan The Jakarta Post saya ungkapkan bahwa dahulu kekerasan agama itu nyaris tidak terjadi seperti sekarang. Rupanya era reformasi justru melahirkan suatu tindakan masyarakat Indonesia yang agak aneh yaitu suka menyelesaikan masalah dengan tindakan membumihanguskan semuanya. Kita tentu belum melupakan kejadian pembumihangusan terhadap Jemaat Ahmadiyah dan sekarang terjadi lagi pada kelompok minoritas lainnya, yaitu kaum Syiah.
Saya menjadi teringat ketika berkunjung ke Australia bahwa penduduk dilarang dengan keras untuk membakar apa saja, termasuk juga membakar kayu-kayu yang sudah mengering. Makanya, kayu yang mengering juga dibiarkan hancur dengan sendirinya. Jika ada yang melanggar maka hukuman berat telah menantinya.
Di sini, yang dibakar bukan hanya kayu kering tetapi rumah dan tempat ibadah. Sungguh suatu tindakan yang melanggar Hak Asasi Manusia. Itulah sebabnya, maka harus dilakukan tindakan hukum yang sangat memadai terhadap prilaku kerusuhan ini, sehingga ke depan akan memunculkan efek jera bagi yang akan melakukannya.
Sesungguhnya Syiah di Indonesia sudah berubah. Syiah dewasa ini sudah bukan lagi penganut Syiah ideologis yang mengusung gerakan Teodemokrasi. Akan tetapi telah menjadi penganut agama yang insklusif dalam arti yang luas. Oleh karena itu, di dalam banyak hal, maka gerakan Syiah bukan lagi sebagai gerakan keagamaan yang eksklusif, akan tetapi telah menjadi bagian dari umat Islam secara umum.
Melihat kenyataan empiris semacam ini, maka kekerasan agama berbasis paham keagamaan ini tidak bisa dijelaskan semata-mata agama akan tetapi harus dijelaskan dari aspek sosial politik, misalnya kecemburuan sosial, konflik kewenangan, kekharismaan dan sebagainya. Di Jember misalnya justru terjadi pola saling memberi dengan konsepsi yang disebut sebagai susi atau Sunni-Syii. Artinya terjadi pembauran meskipun tentu saja di dalam ranah permukaan. Di dalam konteks ini, maka yang sesungguhnya bisa dibangun adalah mengembangkan kesepahaman bersama.
Kita sungguh tidak paham bahwa ada sekelompok orang Islam yang mengamalkan ajaran agama yang merusak tempat ibadah ini. Islam tentu mengajarkan agar menghormati orang lain, termasuk menghormati tempat ibadahnya. Ajaran bakar membakar termasuk membakar tempat ibadah tentu bukanlah ciri khas Islam Indonesia. Sejauh yang kita pahami, bahwa Islam mengajarkan kasih sayang dan toleransi. Pertanyaan yang bisa dikembangkan adalah apakah ada ideologi lain yang mendasari dan mengajarkan kekerasan seperti ini. Jadi jika kemudian terjadi kekerasan agama, maka bisa dirujuk dari dimensi lain, termasuk di dalam hal ini adalah relasi sunni-syii di Jawa Timur.
Berdasarkan temuan sementara, bahwa konflik tersebut bukan semata-mata faktor agama akan tetapi faktor sosial, yaitu persaingan pengaruh di antara elit agama di sana. Jika penjelasan ini benar maka yang diperlukan adalah bagaimana peran pemerintah, kementerian agama dan MUI serta tokoh lokal untuk mendiskusikan dan mempertemukan di antara mereka yang bermasalah dan kemudian menemukam solusinya.
Wallahu a’lam bi al shawab.