JANGAN ADA LAGI KEKERASAN AGAMA
Serangan terhadap kaum Syiah yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan dalih apapun merupakan bagian dari pelanggaran terhadap HAM. Mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia yang seharusnya juga memperoleh kesamaan di dalam mengekspresikan keyakinan beragamanya. Saya sungguh tidak memahami bagaimana umat Islam bisa membakar terhadap masjid, sekolah dan rumah penduduk Islam lainnya dan kemudian mengusirnya. Mindset macam apa yang dijadikan sebagai pedoman di dalam memahami ajaran agamanya.
Selama ini masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Islam dikenal sebagai masyarakat yang beragama secara moderat. Artinya, bahwa ada paham keagamaan yang mendasari keyakinannya bahwa beragama yang benar adalah yang melindungi terhadap lainnya. Tetapi kenyataannya bahwa terdapat kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengaku beragama yang benar sendiri.
Era reformasi memang sering ditandai dengan semakin banyaknya kekerasan atas nama agama. Dan hal ini merupakan kekerasan yang sangat aktual. Kebanyakan dilakukan terhadap kelompok minoritas yang tanpa back up memadai dari siapapun, misalnya kelompok Syiah ini. Makanya, menjadi kelompok minoritas lalu berada di dalam tekanan yang luar biasa. Sepertinya, mereka bukan hidup di Indonesia yang dahulu dikenal sebagai wilayah yang ramah terhadap keanekaragaman.
Sebagaimana saya ungkapkan di Harian Surya dan juga The Jakarta Post bahwa dewasa ini sudah terdapat perbedaan yang mencolok terkait dengan Syiah di Indonesia. Meskipun secara genealogis keyakinan tersebut bersumber dari Islam Syiah di Iran akan tetapi mereka sudah tidak lagi menjadikan ideology Syiah sebagai referensi untuk melakukan gerakan teodemokrasi.
Berdasarkan kajian, bahwa Syiah di Indonesia bisa dikategorikan ke dalam tiga hal, yaitu Syiah ideologis dalam pengertian menjadikan ajaran Syiah sebagai ideologi perjuangan tetapi non politis. Yaitu ingin mengembangkan ajaran Syiah dalam arti keberagamaan dan bukan ideologi kenegaraan. Di dalam hal ini coraknya lebih pada gerakan keagamaan dan bukan gerakan ideologi politik. Kemudian ada yang disebut sebagai Syiah-Sunni atau juga disingkat dengan Susi. Kelompok ini cenderung lebih bisa berbaur dengan lainnya dan tidak menjadikan Syiah sebagai basis gerakan pengembangan keyakinan. Mereka meyakini ajaran Syiah tetapi tidak menjadikannya sebagai basis ideologi gerakan. Dan kemudian juga ada Syiah intelektual yaitu menjadikan ajaran Syiah sebagai basis diskusi dan kajian. Kelompok ini memang lebih sedikit dibanding dengan kelompok pertama dan kedua.
Saya berkeyakinan bahwa kekerasan di Sampang, tepatnya di kecamatan Omben dan Karang Penang, bukanlah kekerasan agama dalam pengertian perbedaan paham agama, akan tetapi difasilitasi oleh persoalan sosial dan politik yang dibalut dengan paham keagamaan. Di dalam konsepsi teoretik disebut sebagai kekerasan sosial bernuansa agama. Jadi agama dijadikan sebagai medan magnit untuk menggerakkan massa untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan.
Jika mereka adalah orang yang benar-benar mengamalkan ajaran Islam, maka tidak ada teladan di dalam Islam yang mengajarkan untuk membakar masjid atau tempat ibadah. Di dalam peperangan saja Islam mengajarkan kesantunan. Jangan sakiti anak-anak, perempuan, orang tua, jangan membakar tempat ibadah, jangan merusak tanaman dan sebagainya. Lalu, bagaimana orang yang mengatasnamakan agama lalu melakukan pembakaran terhadap masjid yang dijadikan tempat untuk melakukan ibadah dan berdzikir kepada Allah, meskipun cara yang digunakan berbeda.
Sebagai umat beragama, kita juga yakin bahwa menjadi Islam yang baik adalah dengan terus menerus menyambung tali ibadah kepada Allah, dan juga menyambung tali kasih dengan sesama umat manusia. Islam mengajarkan bukan hanya hablum minal muslim tetapi juga hablum minan nas. Jadi, Islam mengajarkan menyambung tali persaudaraan dengan sesama umat manusia. Jika berbicara manusia maka konsepsinya adalah coraknya yang sosiologis dan bukan hanya teologis.
Jadi yang sesungguhnya dibutuhkan adalah memahami bahwa ada orang lain dengan keyakinan lain dan keyakinan tersebut tidak menyimpang dari ajaran dasar agama yang fundamental, atau bahkan keyakinan orang yang berbeda agama dan kemudian menjalin persaudaraan atas dasar kemanusiaan. Kiranya orang berislam mesti arif di dalam tindakan dan bijaksana di dalam kelakuan. Selain ada pertimbangan teologis juga ada pertimbangan sosiologis sebagai bagian dari kemanusiaan kita.
Janganlah kita menjadi orang yang menjadikan agama sebagai alat untuk menekan atau melakukan kekerasan sebab saya yakin beragama seperti ini tentu tidak sesuai dengan ajaran Islam sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Keindahan dan keagungan Islam hanya akan didapatkan jika kita menghargai dan memuliakan manusia sebagai Allah swt memuliakannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.