• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PROBLEM PENDIDIKAN ISLAM

Di dalam acara yang digelar oleh Kementerian Agama, dengan tema Reformulasi Pendidikan Islam yang Relevan dengan kebinekaan, saya sampaikan beberapa hal yang terkait dengan problem dan tantangan pendidikan Islam. Di dalam pembicaraan sering mendikbud, Prof. Mohammad Nuh menyatakan bahwa jika orang ingin masuk ke dalam masalah, maka masuklah di dalam dunia pendidikan, sebab di dalam dunia pendidikan itu tetdapat 1001 masalah. Dan uniknya adalah ketika satu masalah diselesaikan, maka muncullah masalah lainnya. Jadi rasanya tidak pernah lepas dari masalah itu.
Namun satu hal yang unik adalah bahwa masalah itu hakikatnya adalah tantangan. Bagi orang yang selalu berpikir optimis, maka setiap tantangan akan menjadi peluang dan bukan sebaliknya bahwa masalah tersebut adalah yang membuat seseorang menjadi pesimis di dalam menghadapinya. Orang yang optimis selalu menyatakan bahwa hal ini bisa diselesaikan meskipun harus bekerja keras. Atau selalu menyatakan bahwa hal ini sulit akan tetapi tetap ada celah untuk diselesaikan. Jadi bukan berkata tidak bisa.
Sebagai problem yang sistemik, maka seyogyanya juga dapat diselesaikan secara sistemik. Artinya menggunakan penyelesaian yang secara bersamaan. Dan inilah problematikanya, sebab sebagai institusi pendidikan yang tergantung pada persoalan penganggaran, maka agak sulit melakukan penyelesaian secara bersamaan tersebut. Dengan demikian tetap saja penyelesaiannya bercorak gradual.
Dari sisi pendidikan tinggi, maka masoh ada sebanyak 42 persen problema yang dihadapinya. Problem tersebut terkait dengan relevansinya dengan standar nasional pendidikan. Memang problemnya bervariasi, misalnya kurang lengkapnya standar perpustakaan, kurang memadainya ruang dosen, atau infrastruktur kependidikan lainnya. Kemudian juga mismatch antara keahlkan dosen dengan mata kuliah yang diampunya, gelar yang tidak relevan dengan bidang ilmu yang diampunya dan sebagainya.
Problem yang sangat mendasar adalah tentang tenaga pendidik ini. Angka ratio jumlah pendidik dan mahasiswa sebagai peserta didik masih belum seimbang. Artinya, bahwa masih ada kesenjangan antara jumlah mahasiswa dengan jumlah dosen pada masing-masing program studi. Idealnya seorang dosen berada dalam angka ratio 1 berbanding 20. Kenyataan sekarang di seluruh Indonesia angka rasionya adalah 1 berbanding 40.
Suatu kenyataan bahwa rekruitmen dosen juga tidak semudah yang dibayangkan. Ada keterbatasan anggaran, ketersediaan keahlian yang memadai dan keinginan yang bersangkutan untuk menjadi dosen. Lulusan perguruan tinggi teknik, akan lebih senang bekerja di perusahaan dari pada bekerja sebagai dosen dengan tingkat kerumitan tinggi dan gaji yang belum memadai.
Dengan demikian, maka in put dosen sesungguhnya bukanlah mereka yang berkualotas sangat baik, akan tetapi adalah mereka yang memiliki keinginan dan kecenderungan untuk menjadi pendidik. Memang ada sementara anggapan bahwa kepintaran bukanlah ukuran untuk menjadi seorang dosen yang berhasil. Akan tetapi perasaan, kemauan dan tindakan yang selalu dalam posisi asah, asih dan asuhlah yang lebih mendasar sebagai modal dasar untuk menjadi tenaga pendidik.
Itulah sebabnya ada yang menyayakan bahwa persoalan mendidik adalah persoalan seni dan bukan ilmu semata. Orang yang memiliki keahlian metodologis yang memadai belum tentu bisa menjadi seorang tenaga pendidik yang baik, jika yang bersangkutan tidak memiliki kemampuan untuk mengajar dengan kemampuan seni mengajar yang sangat mamadai.
Problem dosen dengan segenap ikutannya ini, ternyata juga berkait dengan problem lainnya yang tidak kalah serius yaitu lingkungan pendidikan yang kondusif bagi proses pengembangan intelektualitas, sikap dan behavior peserta didik yang betkualtas.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PROBLEM SISTEMIK PENDIDIKAN

Di dalam pandangan kaum positivistik, maka problem bisa disebabkan oleh faktor tunggal. Akan tetapi bagi kaum fenomenologik, maka problem pendidikan atau bahkan problem apapun tidaklah bisa tunggal akan tetapi bercorak sistemik. Yang satu dengan yang lain adalah saling mengkait dalam jaringan yang tidak saling terpisahkan.
Saya memang mengikuti pandangan kaum fenomenolog yang melihat bahwa setiap problem tentu memiliki keterkaitan dengan faktor atau fakta lainnya dalam jaringan sistemik yang utuh. Dalam pandangan saya tidak ada faktor tunggal dalam kaitannya dengan problem apapun.
Tentang dunia pendidikan, maka saya juga beranggapan bahwa problemnya juga sangat sistemik. Taruhlah problem membangun ekselensi outcome pendidikan, maka ternyata juga tidak terdapat problem yang tunggal. Problem ekselensi outcome pendidikan ternyata bervariasi dengan membangun jaringan sistemik yang kuat.
Untuk menjadi ekselen, maka mutu lulusan atau outcome pendidikan tersebut harus berada di dalam sistem pendidikan yang baik. Di dalam lembaga pendidikan yang berkualitas, maka akan dihasilkan produk pendidikan yang baik. Lembaga pendidikan yang baik hanya akan terjadi jika berada di tangan seorang pemimpin yang memiliki visi ke depan.
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang berpikir business as unsual. Jika hanya berpikir business as usual, maka jangan berharap akan terjadi perubahan yang berarti. Maka pemimpin harus memiliki visi yang jelas dan kemudian dituangkan menjadi visi yang jelas dan diterjemahkan ke dalam program yang berpihak pada pencapaian visinya tersebut.
Pemimpin juga tidak akan mungkin dapat menyelesaikan problem sendiri tanpa bantuan seluruh stafnya, baik staf akademik maupun staf administratif. Seorang mitra belajar tidak akan menjadi produk yang ekselen jika tidak diajar oleh dosen atau guru yang ekselen.
Untuk menjadi guru atau dosen yang ekselen maka dia harus memperoleh pendidikan yang baik dan juga lingkungan kerja yang baik. Itu artinya untuk menjadi dosen atau guru yang baik, maka yang bersangkutan harus lulus dari lembaga pendidikan yang berkualitas. Tidak mungkin lembaga pendidikan berkualitas rendah menghasilkan lulusan atau guru atau dosen yang baik.
Selain itu juga harus didukung oleh lingkungan yang kondusif untuk mengembangkan mitra belajar yang memadai. Ini berarti bahwa harus ada tradisi akademik yang menonjol untuk kepentingan yang lebih besar, yaitu menciptakan outcome pendidikan yang ekselen. Seseorang akan memiliki semangat belajar yang sangat tinggi jika dia berada di dalam suasana pembelajaran dan lingkungan belajar yang sangat baik.
Kemudian juga tidak akan lahir outcome pendidikan yang baik jika di dalam lembaga pendidikan tersebut tidak terdapat infrastruktur pendidikan yang memadai. Bagaimana seseorang akan menjadi berpengetahuan luas jika tidak pernah membaca. Untuk bisa membaca dengan baik, maka harus terdapat sarana perpustakaan yang andal. Jadi perpustakaan sebuah lembaga pendidikan juga harus ekselen untuk menghasilkan outcome yang ekselen.
Untuk memiliki perpustakaan yang andal juga harus didukung oleh keberpihakan penganggaran yang memadai. Selain itu juga harus didukung oleh teknologi informasi yang memadai. Oleh karena itu juga harus didukung oleh tenaga IT yang baik agar pengembangan informmasinya akan dapat terjadi secara cepat dan tepat.
Tulisan ini baru memetakan sebagian sistemiknya problem pendidikan dalam kaitannya dengan keinginan untuk memproduk outcome pendidikan yang ekselen. Selain yang sudah sedikit diuraikan ini, maka masih ada lagi problem sistemik yang terkait dengan upaya menciptakan outcome pendidikan yang ekselen yaitu faktor guru atau dosen dan juga proses pembelajaran yang juga saling mengkait dengan sarana atau infrastruktur pendidikan lainnya.
Jadi memang problem pendidikan bukanlah problem yang tunggal akan tetapi adalah problem sistemik yang penyelesaiannya juga membutuhkan cara yang sistemik pula.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PENGEMBANGAN KUALITAS MANAJEMEN PENDIDIKAN

Semuanya memang bisa ditingkatkan, seperti pengembangan akses pendidikan, kualitas SDM dan juga kualitas sarana dan prasarana pendidikan. Akan tetapi yang tidak boleh dilupakan adalah peningkatan kualitas manajemen pendidikan. Oleh karena itu, keberhasilan pendidikan tentu juga disebabkan salah satunya oleh kehebatan manajemen pendidikan ini.
Sebagai komponen penting di dalam pengembangan pendidikan, maka keberadaan manajemen pendidikan tentu saja tidak bisa dipisahkan dari kepemimpinan secara umum. Artinya bahwa kepemimpinan dan manajemen pendidikan merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Kepemimpinan adalah inti menajemen.
Manajemen pendidikan secara umum dapat diartikan sebagai proses untuk mencapai tujuan pendidikan melalui kerja sama dengan orang lain. Dengan demikian, tujuan pendidikan adalah suatu ideal tentang pendidikan yang akan dijadikan sebagai sesuatu yang akan dicapai. Tujuan pendidikan adalah untuk menjadikan manusia Indonesia yang memiliki kecerdasan yang konprehensif, kompetitif dan bermoral. Hal ini relevan dengan visi pendidikan Indonesia yaitu mencetak manusia Indonesia yang cerdas, kompetitif dan bermoral. Dengan demikian, manajemen pendidikan harus diarahkan untuk mencapai visi dan tujuan pendidikan dimaksud.
Hal berikutnya, bahwa manajemen pendidikan selalu terkait dengan kemampuan menggerakkan orang lain untuk secara bersama-sama mencapai tujuan pendidikan. Maka berarti di dalam manajemen pendidikan haruslah dilibatkan dengan kerjasama yang sangat dinamis antar komponen pendidikan, baik yang berupa orang, maupun komponen lainnya. Komponen manusia tersebut adalah dosen/guru, mahasiswa/murid, staf dan stakeholder pendidikan secara umum.
Guru atau dosen sebagai komponen penting di dalam manajemen pendidikan haruslah memperoleh tempat yang utama, yaitu sebagai penggerak untuk mencapai tujuan pendidikan. Maka kualitas guru dan motivasi guru untuk mengembangkan anak didik agar mencapai keselarasan dengan tujuan pendidikan tentu sangat penting. Makanya pembinaan terhadap tenaga pendidik menjadi urgen di dalam proses manajemen pendidikan.
Kemudian staf atau tenaga kependidikan juga menempati posisi yang sangat mendasar. Jangan pernah berpikir bahwa tenaga kependidikan tidak penting. Di dalam standar nasional pendidikan, maka keberadaan tenaga kependidikan sangat diperhitungkan. Demikian pula mahasiswa/siswa di dalam proses pendidikan. Sebagai mitra sasaran pendidikan, maka keberadaannya sangat menentukan. Keberhasilan untuk meningkatkan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotoriknya dan juga kemampuan dan tindakan religiusnya merupakan tolok ukur keberhasilan pendidikan. Dengan demikian, jika lembaga pendidikan dapat menciptakan ekselensi kemampuan mitra didik ini, maka lembaga pendidikan tersebut akan dinyatakan berhasil.
Di sisi lain, yang tidak kalah pentingnya juga bagaimana faktor pendukung manajemen pendidikan itu bisa dimaksimalkan perannya. Yaitu sarana prasarana, anggaran, lembaga-lembaga pendukung keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan. Sarpras pendidikan juga menempati posisi penting di dalam proses pencapaian tujuan pendidikan. Misalnya adalah ketersediaan infrastruktur pendidikan, yaitu gedung atau bangunan yang memadai, laboratorium yang lengkap, sarana pembelajaran lain yang mendukung proses pembelajaran modern dan sebagainya. Jika hal ini tidak terpenuhi maka maka akan terjadi gap antara pembelajaran teoretik dan praksis.
Agar manajemen pendidikan atau tata kelola menjadi ekselen, maka setiap lembaga pendidikan harus memberikan pelayanan yang memadai. Di dalam hal ini, maka lembaga pendidikan haruslah memperoleh pengakuan nasional maupun internasional, misalnya untuk standar pelayanan internasional maka bisa didapatkan melalui ISO 9001 tahun 2008 atau lainnya.
Oleh karena itu, maka pemimpin lembaga pendidikan haruslah memiliki kemampuan perencanaa yang relevan dengan visi, misi dan tujuan pendidikan, pengorganisasian yang baik, penggerakan yang memadai dan juga evaluasi yang akurat.
Semua ini dilakukan agar lembaga pendidikan bisa memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara di era sekarang maupun yang akan datang.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PENINGKATAN KUALITAS SARANA PENDIDIKAN

Saya termasuk orang yang menganut paham bahwa kualitas sarana dan prasarana pendidikan menentukan terhadap kualitas pembelajaran dan melalui kualitas pembelajaran yang baik, maka akan didapatkan kualitas outcome yang memadai. Bagi kebanyakan orang bahwa kemegahan dan kewibawaan sebuah lembaga juga ditentukan oleh seberapa baik kualitas bangunan fisiknya. Jika bangunan fisiknya baik, maka akan membawakan kewibawaan lembaga pendidikan dimaksud.
Itulah sebabnya ketika saya memimpin IAIN Sunan Ampel, maka yang pertama saya pikir adalah bagaimana terdapat perubahan yang sangat signifikan tentang fisik IAIN Sunan Ampel. Saya selalu ingat pernyataan Prof. Imam Suprayogo, bahwa komputer dan sebagainya tidak bisa ditaruh di tempat yang bocor. Maka dibutuhkan tempat yang layak untuk menempatkan infrastruktur seperti itu.
IAIN SA yang usianya cukup tua, maka juga sudah sangat layak untuk mendapatkan perbaikan sarana dan prasarananya. IAIN SA secara fisik sudah layak mendapatkan sentuhan anggaran percepatan. IAIN yang sudah menjelma menjadi UIN maka seluruhnya sudah memperoleh percepatan pengembangan fisik. Semuanya sudah sangat megah dan layak disandingkan dengan perguruan tinggi besar lainnya. Para pemimpinnya berhasil merealisasikan mimpinya untuk menjadikan lembaga pendidikannya sebagai lembaga pendidikan yang bergengsi.
Itulah sebabnya saya berusaha secara maksimal agar mendapatkan percepatan pembiayaan melalui skema bantuan luar negeri dan salah satu yang saya jadikan target –sebagaimana enam UIN lainnya– adalah loan dari IDB. Fondasi untuk mengembangkan fisik IAIN SA tentu sudah saya letakkan dan sekarang tinggal melanjutkan untuk terealisasi, sebab start up workshop program ini sudah dilaksanakan dan demikian pula kesiapan lainnya.
Ke depan, yang sangat diperlukan adalah pengembangan fisik lembaga pendidikan Islam dalam semua levelnya. Sebagaimana diketahui bahwa di bawah Kemenag terdapat ribuan lembaga pendidikan mulai dari TK sampai PTA. Lembaga pendidikan ini tersebar di seluruh Indonesia. Ada yang lembaga pendidikan negeri dan ada yang dikelola oleh yayasan swasta. Kualitas fisik dan akademiknya juga sangat bervariasi. Ada yang sangat maju sementara juga terdapat yang sangat rendah. Ada yang berstandar lokal bahkan sangat lokal dan ada yang berstandar nasional bahkan internasional.
Varian tingkatan kualitas lembaga pendidikan ini yang seharusnya memperoleh perhatian khusus, misalnya melalui pemetaan yang jelas seperti apa sesungguhnya profile lembaga pendidikan tersebut. Melalui pemetaan yang jelas, maka akan didapatkan data yang jelas tentang kualitas fisik dan akademis lembaga pendidikan dimaksud. Sehingga ketika akan memberikan bantuan atau dorongan untuk peningkatan kualitas lembaga pendidikan dimaksud maka tidak akan terdapat kesalahan yang fatal.
Pemetaan kualitas ini terasa sangat penting sebab hanya dengan cara seperti ini, maka program pengembangan institusi pendidikan akan bisa sejalan dengan tujuan untuk peningkatan kualitasnya. Ada institusi pendidikan yang harus didorong untuk menjadi berkelas internasional dan ada yang didorong untuk berkelas nasional. Semuanya tergantung pada kenyataan empiris tentang kesiapan dan keinginan lembaga pendidikan tersebut untuk maju.
Jika selama ini bantuan atau apapun lebih didasarkan pada kepentingan pengembangan yang belum berbasis data, maka ke depan semua bantuan harus didasarkan pada keinginan pengembangan lembaga pendidikan yang terukur.
Jadi, kita harus meletakkan dasar bagi pengembangan institusi pendidikan Islam dalam kerangka modernitas bangunan fisiknya akan tetapi tetap berada di dalam kerangka tradisi bangunan fisik keindonesiaan. Jadi rasanya kita memerlukan bangunan fisik yang modern, tetapi Islami dan tetap menjaga tradisi.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PENINGKATAN SDM PTAI

Fokus pengembangan pendidikan Islam terutama dalam kaitannya dengan tantangan ke depan adalah peningkatan kualitas SDM. Mengapa hal ini harus tetap menjadi fokus di dalam kerangka pengembangan pendidikan Islam? Pada tulisan kemarin sudah saya singgung bahwa perluasan akses pendidikan merupakan tugas kementerian agama yang tidak bisa dibantah. Di dalam hal ini, maka akses yang diperluas hanya akan bermakna jika kualitas SDM juga meningkat.
Salah satu keluhan tentang kualitas pendidikan Islam yang rendah adalah disebabkan oleh masih rendahnya kualitas guru atau dosen atau tenaga pendidik. Meskipun saya tidak mendapatkan data tentang bagaimana kualitas tenaga pendidik di kementerian agama, akan tetapi secara common sense tentu bisa digambarkan bahwa realitas tenaga pendidik masih belum sepenuhnya memenuhi standar yang dibakukan.
Jika menggunakan ukuran pendidikan tinggi, maka standart 30 persen doktor juga masih belum bisa terpenuhi. Kira-kira masih butuh waktu 10 sampai 20 tahun untuk memenuhi kebutuhan doktor di perguruan tinggi. Bahkan di wilayah Indonesia Timur, maka untuk memenuhi standart 10 persen doktor masih sulit. Bahkan untuk kepentingan memenuhi standar pemimpin yang bergelar doktor saja masih mengalami hambatan.
Jika di wilayah barat, maka peluang untuk memenuhi standar doktor 30 persen tentu bukan hal sulit. Bahkan di beberapa PTAIN, maka mungkin sudah melebihi batasan tersebut. UIN Malang dan IAIN Sunan Ampel mungkin dalam waktu lima tahun ke depan sudah bisa memenuhi standar 30 persen dosen bergelar doktor tersebut.
Untuk peningkatan kualitas SDM pendidikan, maka jalan yang harus ditempuh adalah melalui pendidikan lanjut. Makanya program studi lanjut bagi tenaga pendidik, haruslah tetap menjadi prioritas untuk pengembangan SDM di masa depan. Untuk kepentingan tersebut, maka diperlukan varian-varian program studi yang diperlukan oleh masing-masing program studi.
Memang diperlukan upaya untuk menyeimbangkan antara pengembangan SDM pendidik untuk kepentingan studi Islam dan juga program studi ilmu umum atau program studi Islamic studies multidisipliner. Untuk tenaga pendidik program studi Islamic studies, kiranya sudah dianggap memadai, meskipun masih diperlukan pemetaan secara akurat. Akan tetapi, senyatanya bahwa kebutuhan untuk tenaga pendidik Islamic studies bisa ditunda lebih dahulu dan kemudian diprioritaskan untuk kepentingan mendongkrak kebutuhan program studi umum.
Harus dipahami, bahwa program wider mandate sungguh membutuhkan perhatian khusus. Hal ini mengingat bahwa kepercayaan yang diberikan oleh pemerintah untuk mengembangkan program studi umum haruslah dijawab dengan sungguh-sungguh. Dan kenyataannya hingga sekarang, jumlah tenaga pendidik untuk program studi umum masih jauh dari harapan.
Berdasarkan pandangan sementara, maka hingga sekarang jumlah dosen umum untuk prodi umum belum memadai. Artinya bahwa masih terdapat kekurangan tenaga pendidik untuk program studi umum. Perbandingannya bahwa jika satu program studi harus ada enam dosen yang memenuhi standar, maka jika dalam satu prodi terdapat dua kelas, maka yang dibutuhkan adalah sebanyak 12 dosen. Standar inilah yang harus dipenuhi untuk menjawab tantangan pemberian wider mandate tersebut.
Tantangan seperti ini tentu tidak mudah dijawab, sebab ada kaitannya dengan kemampuan pemerintah dalam rangka rekruitmen tenaga pendidik. Kemudian untuk peningkatan kualitas tenaga pendidik juga dibutuhkan pendidikan atau pelatihan yang relevan dengan kebutuhan peningkatan kualitas tenaga pendidik.
Oleh karena itu yang dibutuhkan adalah pemihakan kebijakan untuk peningkatan kualitas tenaga pendidik. Hanya dengan cara seperti ini maka tujuan untuk peningkatan kualitas tenaga pendidik akan dapat dicapai.
Wallahu a’lam bi al shawab.