PROBLEM PENDIDIKAN ISLAM
Di dalam acara yang digelar oleh Kementerian Agama, dengan tema Reformulasi Pendidikan Islam yang Relevan dengan kebinekaan, saya sampaikan beberapa hal yang terkait dengan problem dan tantangan pendidikan Islam. Di dalam pembicaraan sering mendikbud, Prof. Mohammad Nuh menyatakan bahwa jika orang ingin masuk ke dalam masalah, maka masuklah di dalam dunia pendidikan, sebab di dalam dunia pendidikan itu tetdapat 1001 masalah. Dan uniknya adalah ketika satu masalah diselesaikan, maka muncullah masalah lainnya. Jadi rasanya tidak pernah lepas dari masalah itu.
Namun satu hal yang unik adalah bahwa masalah itu hakikatnya adalah tantangan. Bagi orang yang selalu berpikir optimis, maka setiap tantangan akan menjadi peluang dan bukan sebaliknya bahwa masalah tersebut adalah yang membuat seseorang menjadi pesimis di dalam menghadapinya. Orang yang optimis selalu menyatakan bahwa hal ini bisa diselesaikan meskipun harus bekerja keras. Atau selalu menyatakan bahwa hal ini sulit akan tetapi tetap ada celah untuk diselesaikan. Jadi bukan berkata tidak bisa.
Sebagai problem yang sistemik, maka seyogyanya juga dapat diselesaikan secara sistemik. Artinya menggunakan penyelesaian yang secara bersamaan. Dan inilah problematikanya, sebab sebagai institusi pendidikan yang tergantung pada persoalan penganggaran, maka agak sulit melakukan penyelesaian secara bersamaan tersebut. Dengan demikian tetap saja penyelesaiannya bercorak gradual.
Dari sisi pendidikan tinggi, maka masoh ada sebanyak 42 persen problema yang dihadapinya. Problem tersebut terkait dengan relevansinya dengan standar nasional pendidikan. Memang problemnya bervariasi, misalnya kurang lengkapnya standar perpustakaan, kurang memadainya ruang dosen, atau infrastruktur kependidikan lainnya. Kemudian juga mismatch antara keahlkan dosen dengan mata kuliah yang diampunya, gelar yang tidak relevan dengan bidang ilmu yang diampunya dan sebagainya.
Problem yang sangat mendasar adalah tentang tenaga pendidik ini. Angka ratio jumlah pendidik dan mahasiswa sebagai peserta didik masih belum seimbang. Artinya, bahwa masih ada kesenjangan antara jumlah mahasiswa dengan jumlah dosen pada masing-masing program studi. Idealnya seorang dosen berada dalam angka ratio 1 berbanding 20. Kenyataan sekarang di seluruh Indonesia angka rasionya adalah 1 berbanding 40.
Suatu kenyataan bahwa rekruitmen dosen juga tidak semudah yang dibayangkan. Ada keterbatasan anggaran, ketersediaan keahlian yang memadai dan keinginan yang bersangkutan untuk menjadi dosen. Lulusan perguruan tinggi teknik, akan lebih senang bekerja di perusahaan dari pada bekerja sebagai dosen dengan tingkat kerumitan tinggi dan gaji yang belum memadai.
Dengan demikian, maka in put dosen sesungguhnya bukanlah mereka yang berkualotas sangat baik, akan tetapi adalah mereka yang memiliki keinginan dan kecenderungan untuk menjadi pendidik. Memang ada sementara anggapan bahwa kepintaran bukanlah ukuran untuk menjadi seorang dosen yang berhasil. Akan tetapi perasaan, kemauan dan tindakan yang selalu dalam posisi asah, asih dan asuhlah yang lebih mendasar sebagai modal dasar untuk menjadi tenaga pendidik.
Itulah sebabnya ada yang menyayakan bahwa persoalan mendidik adalah persoalan seni dan bukan ilmu semata. Orang yang memiliki keahlian metodologis yang memadai belum tentu bisa menjadi seorang tenaga pendidik yang baik, jika yang bersangkutan tidak memiliki kemampuan untuk mengajar dengan kemampuan seni mengajar yang sangat mamadai.
Problem dosen dengan segenap ikutannya ini, ternyata juga berkait dengan problem lainnya yang tidak kalah serius yaitu lingkungan pendidikan yang kondusif bagi proses pengembangan intelektualitas, sikap dan behavior peserta didik yang betkualtas.
Wallahu a’lam bi al shawab.