Di dalam tulisan sebelumnya tentang Rekonstruksi Pendidikan Keguruan (1), sudah saya paparkan bagian pertama. Maka saya akan melanjutkannya di dalam tulisan ini.
Kedua, rekonstruksi sistem pembelajaran. Selama ini sistem pembelajaran pada lembaga pendidikan yang menyiapkan tenaga pendidik adalah sama dengan pendidikan akademis pada umumnya. Artinya tidak ada perbedaan antara program studi kependidikan dengan program studi lainnya. Padahal dengan diberlakukannya guru dan dosen sebagai tenaga profesional, maka tentu akan membawa konsekuensi perubahan yang sangat signifikan.
Jika kita mengacu kepada program profesi di bidang kedokteran dan kenotariatan atau lainnya, maka untuk menjadi profesional, maka harus melampaui pendidikan khusus atau pendidikan tambahan profesi. Di fakultas kedokteran, karena yang akan dihasilkan adalah dokter umum, maka semua jenis ilmu dan praktik dokter umum harus ditempuh dan waktunya tidak kurang dari dua tahun, DM satu dan DM dua. Mereka dibimbing oleh dokter spesialis yang memiliki jam terbang di bidang ilmunya dalam rentang waktu yang memadai. Mereka benar-benar pontang panting untuk melakoni program asistensi ini. Meskipun tidak seketat di program studi kedokteran, akan tetapi fakultas hukum juga menerapkan hal yang sama.
Bagaimana dengan fakultas tarbiyah, saya kira masih jauh dengan rekannya yang lain, progam studi yang mengembangkan profesionalisme, seperti fakultas kedokteran dan fakultas hukum. Seharusnya di fakuktas tarbiyah tidak menggunakan angka minimal Satuan Kredit Semester sebanyak 144 sks, akan tetapi menggunakan angka maksimal 160 sks. Sehingga akan bisa mengatur tambahan program mata kuliah lapangan dalam bentuk praktikum atau PPL di dalam kerangka menguatkan basis profesionalitas dan pedagogis.
Selama ini fakultas tarbiyah hanya menyelenggarakan PPL selama satu bulan dengan pendampingan yang tidak seketat di pendidikan dokter. Artinya, bahwa mereka dibimbing agar menjadi profesional yang betul. Mereka dilepas begitu saja dan diserahkan begitu saja ke lembaga pendidikan yang mau menampung mereka. Akibatnya kontrol dan evaluasinya juga cenderung kurang greget. Saya berpikir bahwa PPL atau apapun namanya, mestilah menjadi alat ukur untuk memahami bagaimana kompetensi akademis, dan pedagogis calon guru. Jadi memang harus ketat benar. Jadi bukan hanya sekedar ikut PPL lalu pasti lulus, akan tetapi harus dicermati betul mengenai kemampuan akademis, dan pedagogisnya.
Sekarang memang sudah ada satu program yang disebut sebagai Pendidikan Profesi Guru atau PPG. Program ini dirancang selama satu tahun dengan desain, bagi yang berasal dari prodi kependidikan, maka akan lebih ditekankan pada program penguatan akademis, sedangkan bagi yang berasal dari non kependidikan, maka akan lebih difokuskan pada aspek pedagogis. Artinya bahwa ada perbedaan treatmen di antara dua kelompok ini. Ini yang menurut saya harus dikritisi. Sebab seharusnya kompetensi akadenik itu tuntas pada prodi Strata satu, dan program berikutnya harus lebih menyentuh pada penguatan kompetensi profesional, pedagogis, kepribadian dan sosial.
Program PPG itulah yang nantinya akan menjadi ajang pembuktian bahwa calon guru memang memiliki kompetensi pedagogis, kepribadian dan profesional yang memadai. Jangan sampai mereka sudah lulus kompetensi guru akan tetapi kenyataannya tidak memiliki komitmen, kedisiplinan dan kemauan yang kuat sebagai tenaga pendidik. Di dalam hal ini, maka diperlukan diskusi yang mendasar dari para ahli pendidikan untuk memetakan tentang mana materi pembelajaran yang akan menguatkan terhadap kompetensi pedagogis, profesional dan sosial bagi calon guru.
Menjadi guru adalah profesi yang paling terhormat. Sebab kemajuan sebuah bangsa akan sangat tergantung kepada dedikasi para gurunya. Semakin tinggi dedikasi guru pada dunia pendidikan, maka akan semakin berkualitas pendidikan tersebut, dan kemudian akan dapat mendongkrak kualitas bangsa.
Jadi untuk menghasilkan guru yang profesional sangat tergantung kepada bagaimana fakultas pendidikan bisa menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Kata rekonstruksi memang sering menjadi wacana di era orde reformasi ini. Orang pada gandrung dengan istilah ini. Kita banyak dipengaruhi oleh kata social construction yang kemudian diteruskan ke dalam berbagai aspek, misalnya educational construction atau konstruksi pendidikan. Saya tahu bahwa ia telah menjadi madzab baru di dalam dunia pendidikan. Ia dimaksudkan sebagai pendidikan berbasis rakyat, berbasis kebutuhan atau berbasis stakeholder dan lebih khusus berbasis kebutuhan peserta didik
Jadi yang mengkonstruksi pendidikan adalah masyarakat dan bukan elit atau bahkan
pemerintah. Elit atau pemerintah hanyalah fasilitator saja yang menghubungkan kepentingan masyarakat dengan kepentingan negara atau penguasa. Inti di dalam pendidikan konstruktivistik adalah pendidikan yang lebih mengedankan aspirasi dan kesadaran masyarakat tentang pendidikan ketimbang aspirasi elit atau pemerintah. Masyarakat atau individulah yang menentukan kebutuhan macam apa tentang pendidikan dimaksud.
Untuk menyelenggarakan pendidikan sebagai wadah pelaksanaan keinginan masyarakat tersebut, maka didapati lembaga pendidikan. Yaitu sebuah institusi yang bertugas dan berfungsi untuk mendidik masyarakat di dalam mencapai cita-cita bersama sebagai bangsa, yaitu bangsa yang cerdas, kompetitif dan beradab. Untuk kepentingan mencetak guru atau calon tenaga pendidik, maka didirikan perguruan tinggi yang secara khusus mendidik guru atau calon guru.
Jadi, lembaga pendidikan keguruan memiliki peran strategis untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang cerdas sebagai amanat UUD 1945. Begitu strategisnya peran pendidikan keguruan tersebut, maka nasib kecerdasan bangsa dan keberadaban bangsa ini terletak di punggungnya. Jika pendidikan keguruan gagal di dalam mengimplementasikan fungsinya ini, maka kegagalan bangsa sudah tampak di depan mata. Kalimat ini mungkin bombastis akan tetapi memang benar kiranya. Keberhasilan sebuah bangsa sangat tergantunng kepada para gurunya dan lembaga pendidikannya. Jepang berhasil menjadi negara yang super power di bidang ekonomi tentu karena dedikasi yang luar biasa dari para guru dan lembaga pendidikannya. Kaisar Jepang, ketika Nagasaki dan Hiroshima hancur berantakan, maka yang ditanyakan adalah berapa guru yang masih hidup.
Di Indonesia, guru dan dosen sudah menjadi profesi yang setara dengan profesi lainnya, seperti dokter, notaris, advokat, teknisi dan sebagainya. Maka seorang guru atau dosen harus memahami tentang profesinya, misalnya kompetensi pedagogis, kompetensi profesional, kompetensi akademis, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. Jadi seorang guru harus memiliki kompetensi tersebut agar dirinya disebut berkompeten.
Rekonstruksi pendidikan keguruan, saya kira menjadi sesuatu yang sangat penting. Di dalam hal ini kiranya diperlukan rekonstruksi sistem pendidikan keguruan dan bukan hanya rekonstrukasi kurikulum pendidikannya. Rekonstruksi sistem tersebut menyangkut beberapa aspek, yaitu:
Pertama, merekonstruksi kurikulum pendidikan keguruan. Di dalam hal ini, maka relevansi kurikulum dengan kompetensi pendidikan keguruan haruslah menempati ruang yang jelas. Saya melihat bahwa kurikulum kita masih bercorak gado-gado antara muatan akademis, muatan profesional dan pedagogis. Jika saya menggunakan kasus Fakultas Tarbiyah atau pendidikan Islam, maka di sana didapati kenyataan bahwa muatan akademisnya kurang terfokus pada kepentingan pembelajaran bidang studi. Saya melihat bahwa kurikulum fakultas tarbiyah terutama prodi kependidikannya haruslah dikonstruksi ulang yang terkait dengan penguatan kompetensi profesional, kompetensi soaial dan kompetensi pedagogisnya. Akan tetapi dengan tetap terfokus pada penguatan akademis untuk konten pembelajaran di sekolah. Jadi yang diperkuat adalah kompetensi akademisnya, sebab kompetensi profesional harus ditempatkan pada program pendidikan lainnya.
Penguasaan bidang studi yang diajarkan memang menjadi syarat penting bagi calon guru bidang studi. Tanpa ini, maka profesionalitas juga hanya omong kosong. Makanya, tetap harus ada kebijakan kurikulum untuk lebih terfokus pada bidang akademik yang akan diajarkan, dalam bentuk memetakan mata kuliah yang akan diajarkan di lembaga pendidikan, dan kemudian mengurangi mata kuliah yang tingkat relevansinya dengan fokus kajian pendidikan agama dianggap kurang.
Pemetaan ulang terhadap mata kuliah dirasakan sangat mendasar, sebab dari sini akan diketahui mana yang memiliki relevansi tinggi dengan keahlian akademis guru dan mana yang hanya pendukung. Mungkin prinsip sedikit mata kuliah dengan muatan yang besar bisa menjadi pertimbangan. Bisa dibayangkan bahwa mata kuliah di PTAI itu sangat banyak (kurang lebih 77 mata kuliah), akan tetapi kebanyakan relevansinya dengan keahlian akademis, pedagogis dan profesional sangat rendah.
Jadi pertanyaannya adalah mata kuliah apa yang benar-benar mendukung kompetensi akademik, kompetensi profesional dan pedagogis bagi calon guru. Jika para doktor pendidikan di fakultas tarbiyah dalam prodi pendidikan agama atau lainnya bisa berkumpul dalam diskusi yang serius, saya rasa bahwa pemetaan tersebut akan bisa didapatkan. Dan selanjutnya akan bisa diputuskan untuk melakukan perubahan radikal mengenai struktur kurikulum tersebut.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Saya ingin memperdalam tentang kanyataan empiris kualitas guru kita dan apa sesungguhnya faktor yang menjadi pemicunya. Saya kurang berani untuk menyebut mempengaruhinya sebab tulisan ini hanya sebuah commonsense saja dan bukan didasari oleh data yang valid dan reliable.
Kemarin sudah saya tuliskan tentang dua aspek mendasar tentang kenyataan mengapa guru kita kurang atau belum berkualitas, padahal mereka sarjana pendidikan yang seharusnya sudah memiliki pengetahuan dan kemampuan profesional tentang pendidikan dan bahkan juga sudah mengajar dalam rentang waktu yang cukup memadai. Akan tetapi kenyataannya bahwa pengetahuan dan pemahaman tentang profesionalisme guru seperti itu keberadaannya.
Secara makro, saya kira harus ada revolusi tentang pendidikan keguruan kita. Kiranya yang diperlukan adalah rekonstruksi kurikulum untuk menjawab pengetahuan para guru agar selaras dan sesuai dengan tuntutan profesionalisme guru. Jika kita mengacu ada profesionalisme dokter, maka bisa dibayangkan bagaimana para sarjana yang akan memperoleh brevet dokter itu harus berjibaku dengan pengalaman lapangan melakukan praktik kedokteran yang sangat ketat.
Mungkin memang tidak bisa disamakan antara keduanya, akan tetapi bahwa pendidikan keguruan adalah pendidikan profesi, maka tuntutan agar alumninya memiliki kompetensi tentu tidak bisa diabaikan. Jadi kiranya lembaga pendidikan yang mengusung kompetensi guru haruslah melakukan review kurikulum agar senafas dengan tujuan profesionalisme guru dimaksud. Jadi para pengelola pendidikan berbasis pendidikan dan keguruan harus menata ulang bangunan sistem pembelajaran pada program pendidikan keguruan.
Sebagai lembaga pendidikan yang mengkhususkan pada program penyedia tenaga pendidik, maka yang mesti dilakukan adalah bagaimana agar para calon guru tersebut memiliki minat, komitmen dan kesadaran tentang membangun peradaban bangsa melalui pendidikan. Jadi, ke depan yang diinginkan dan harus disadari para guru adalah mencetak anak yang cerdas dan kompetitif tetapi sekaligus juga berperadaban.
Hanya saja bahwa tujuan yang baik tersebut terkadang dikotori oleh mental menerabas yang di dalam banyak hal merugikan dunia pendidikan kita. Semakin menjamurnya kelas jarak jauh yang dilakukan oleh tidak hanya PT swasta akan tetapi juga PT negeri, maka semakin melengkapi tentang mentalitas permissiveness dalam aspek pendidikan. Kelas jauh yang sesungguhnya dilarang oleh peraturan perundangan juga terus berlangsung dan hal itu justru melibatkan para guru yang hanya ingin memperoleh tunjangan profesional. Jadi tujuan memperoleh tunjangan profesional bisa menghalalkan cara untuk memperoleh ijazah sebagai persyaratannya.
Pemerintah tidak bisa menutup mata terhadap penyelenggaraan pendidikan kelas jauh yang di dalam kenyataannya banyak melibatkan para guru. Seharusnya, mentalitas pengelola pendidikan yang mempersiapkan para guru untuk profesional haruslah lembaga yang profesional. Jika kemudian yang mencetak calon profesional seperti itu, maka telah terjadi degradasi profesionalitas yang luar biasa.
Jika demikian halnya, maka pantaslah jika kemudian hasil UKA mencengangkan kita semua. Bisa dibayangkan bahwa guru yang selama ini menjadi patron bagi proses pembelajaran ternyata memiliki pengetahuan yang belum maksimal di dalam profesionalisme pendidikan.
Agar kenyataan ini tidak semakin parah, maka harus ada langkah strategis untuk merumuskan ulang tentang apa yang sesungguhnya diinginkan dari sertifikasi guru ini.
Jadi kiranya dibutuhkan rekonstruksi pendidikan sebagai medium menata ulang terhadap program pendidikan keguruan dan juga mentalitas menerabas yang menghinggapi elemen penting di dalam dunia pendidikan.
Wallahuna’lam bi al shawab.
Perbedaan adalah sunnatullah yang tidak bisa dihindarkan di dalam kehidupan di dunia ini. Ia merupakan keniscayaan yang memang harus terjadi. Makanya jika ada orang yang menginginkan hanya ada satu entitas saja di dalam kebudayaan, agama dan lainnya rasanya orang itu telah tercerabut dari sunnatullah yang azali sifatnya.
Memang Allah swt menciptakan makhluk di dunia ini secara variatif. Ada bermacam-macam binatang, terbagi ke dalam jantan dan betina. Manusia juga dijadikan sebagai makhluk yang bervariasi di dalam etnis, suku, warna kulit, kebangsaan, agama dan sebagainya yang menandakan bahwa kebinekaan merupakan suatu keniscayaan di dalam kehidupan di dunia ini.
Kita tentu bersyukur diciptakan oleh Allah swt dalam varian-varian yang nyata ini. Benar adanya bahwa melalui ciptaan Tuhan yang variatif ini, maka kita bisa saling mengenal satu dengan lainnya. Di Indonesia saja terdapat sebanyak kira-kira 500 bahasa dan suku bangsanya. Bayangkan di seluruh dunia, maka terdapat ratusan ribu suku bangsa dan bahasanya, sehingga antara satu dengan lainnya saling berbeda. Akan tetapi ternyata bisa juga mereka saling mengenal antara satu dengan lainnya.
Jika kita mengamati bangsa Indonesia, maka ternyata bangsa ini memiliki kebinekaan yang sangat jelas. Melalui pulaunya yang sebanyak 17 000 pulau lebih, maka bisa dibayangkan bagaimana varian di dalamnya. Tentu ada sejumlah perbedaan yang luar biasa dari varian tersebut.
Akan tetapi untungnya bahwa kita memiliki common platform yang bisa mempersatukan perbedaan tersebut di dalam bingkai negara yang berbasis pada kesatuan dan persatuan bangsa. Bentuk negara yang disebut sebagai negara kesatuan atau NKRI adalah berkah bagi bangsa ini. Artinya bahwa melalui NKRI itulah kita bisa merajut persatuan dari keanekaragaman suku bangsa Indonesia ini.
Memahami perbedaan bukanlah sesuatu yang mudah. Untuk melakukannya diperlukan suatu kelapangan hati di dalam memahami perbedaan tersebut. Jika perbedaan tersebut hanya karena faktor fisik, maka masih mudah untuk dipahami. Akan tetapi jika perbedaan tersebut terkait dengan paham dan keyakinan keagamaan maka tentu sangat tidak mudah.
Bagaimana orang harus memahami bahwa ada keyakinan yang dianggapnya sebagai ajaran yang sesat atau ajaran yang terlarang dan ajaran tersebut harus ditoleransinya karena faktor kemanusiaan. Bagaimana orang harus menoleransi ajaran agama lain yang terang-terangan dinyatakan sebagai ajaran yang tersesat dan menjadi musuhnya. Inilah problem tentang the ultimate concern di dalam agama. Agama selalu mengajarkan kebenaran absolut yang tidak bisa dinegosiasikan kebenarannya.
Setiap agama mengajarkan tentang kebenaran absolut itu. Kebenaran Islam adalah absolut. Demikian pula agama lainnya. Maka ketika setiap agama mengajarkan kebenaran yang absolut, maka akan sangat mungkin terjadinya gesekan-gesekan yang disebabkan oleh absolusitas ajaran agamanya masing-masing.
Untuk memahami perbedaan maka hanya ada satu hal yang mendasar, yaitu bahwa manusia memang diciptakan Tuhan dalam varian yang nyata. Di dalam hal ini, maka truth claimed tentang kebenaran mutlak harus ditempatkan di dalam kerangka kemanusiaan yang memiliki variasi tersebut. Marilah kita letakkan truth claimed tersebut di dalam bingkai perbedaan kemanusiaan yang memang dikehendaki oleh Tuhan. Bukankah jika Allah mau maka semua akan bisa dijadikan menjadi satu entitas yang sama. Akan tetapi Allah memang menghendaki agar ada varian di dalam kehidupan ini, sehingga sunnatullah tersebut terjadi secara nyata adanya.
Memahami perbedaan dengan demikian bukan berarti meletakkan perbedaan tersebut di dalam melting pot dan lebur menjadi satu, akan tetapi tetap ada perbedaan, hanya saja kita menyadari bahwa perbedaan bukan untuk dinihilkan akan tetapi dijadikan sebagai mitra untuk saling menguatkan.
Jadi dengan memahami bahwa perbedaan bukan harus dinihilkan, maka kita sesungguhnya telah berupaya untuk memahami perbedaan tersebut dan menjadikannya sebagai kekuatan untuk bekerja sama.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Sesungguhnya para guru itu sudah memiliki pilihan di dalam hidupnya, yaitu menjadi tenaga pendidik yang sedari semula memang tidak berharap menjadi orang kaya. Kalau menjadi orang kaya, maka tentu tidak memilih menjadi pegawai negeri sipil (PNS), yang memang gajinya hanya cukup untuk makan. Bahkan untuk menyekolahkan anak setingkat universitas saja rasanya tidak cukup. Makanya, ketika seseorang menjadi guru maka di dalam dirinya sudah disadari bahwa yang dicari bukan materi atau kekayaan akan tetapi amal ibadah.
Akan tetapi di tengah dunia modern yang menyisakan hanya beberapa gelintir orang yang tidak larut di dalam menggapai kekayaan materi, maka kecenderungan orang untuk menjadi guru bagi mereka yang sungguh-sungguh pintar tentu juga menurun.
Generasi muda yang pintar dan cerdas tentu saja lebih suka untuk menjadi karyawan di dunia perusahaan multi nasional dengan ukuran gaji yang memadai. Atau mereka menjadi wirausahawan yang memiliki prospek yang cerah. Jadi bagi mereka yang otaknya encer maka kurang berkecenderungan untuk memasuki dunia PNS secara khusus guru yang memang tidak menjanjikan apa-apa kecuali gaji secukupnya.
Dengan demikian yang memasuki dunia pendidikan adalah mereka yang secara kualitas akademis memang bukanlah yang the best. Namun sesungguhnya bahwa untuk menjadi tenaga pendidik tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan intelektual akan tetapi yang juga penting adalah kecerdasan emosional dan spiritual. Melalui kecerdasan dimaksud, maka seorang guru akan selalu care dengan mitra didiknya.
Lalu di mana persoalannya sehingga di dalam UKA 2012, banyak guru yang nilainya berada di bawah standart yang seharusnya lulus dan kenyataannya bahwa rerata kelulusannya hanya 44,22. Variabel apa yang sesungguhnya memiliki pengaruh terhadap gambaran data seperti ini.
Jawaban terhadap persoalan ini akan diklasifikasi di dalam dua hal: pertama, Input guru yang kurang selektif. Dewasa ini, ada banyak saluran untuk menjadi guru. Yaitu melalui rekruitmen yang dilakukan oleh pemerintah pusat, lalu rekruitmen yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan rekruitmen yang dilakukan oleh sekolah secara mandiri. Sebagai akibat bervariasinya rekruitmen guru tersebut, maka tidak ada standart baku mutu input tenaga pendidik.
Sesungguhnya jika rekruitmen guru dilakukan oleh pusat dan berbasis pada data yang benar mengenai kebutuhan guru, maka problem input guru yang berkualitas akan lebih bagus. Hanya saja lemahnya pendataan tentang kebutuhan guru selalu menjadikan proses rekruitmen pusat dianggap kurang memihak pada orang daerah dan kebutuhan daerah.
Sebaliknya rekruitmen yang dilakukan oleh daerah terkadang berkaitan dengan politik daerah dan juga masih kuatnya kecenderungan KKN di daerah. Kasus rekruitmen guru honorer di salah satu kabupaten di Provinsi Indonesia Timur, bahwa siapapun bisa menjadi guru asalkan memiliki orang di lembaga pemerintah tentu bisa menjadi pembenar persoalan ini.
Selain itu juga diperkuat oleh data bahwa telah terjadi penggelembungan yang luar biasa tentang data base guru ini. Sehingga pada awal hanya terdapat sebanyak 50.000 guru honorer dan kemudian menggelembung menjadi 150.000 guru hanya karena guru honorer tersebut akan diangkat menjadi PNS.
Jadi sebenarnya yang perlu untuk dibenahi adalah proses rekruitmen guru untuk memperoleh seorang guru yang cakap intelektual, emosional dan spiritual ini. Sebab jika tidak maka keinginan untuk menghasilkan guru yang profesional hanyalah akan menjadi isapan jempol belaka.
Kedua, faktor minat menjadi guru. Pekerjaan sebagai guru tentu tidak sama dengan pekerjaan lainnya. Jika menjadi administratur, maka yang dihadapi di dalam banyak hal adalah kertas dan bahan pekerjaan lainnya, sedangkan seorang guru berhadapan dengan anak didik yang harus diajar sehingga menjadi pintar. Makanya seorang guru harus memiliki jiwa guru, yaitu mendidik, membimbing dan menasehati serta mengarahkan seorang murid ke jalan yang benar di dalam mengarungi kehidupan ini.
Jika kemudian menjadi guru hanya sebagai pilihan yang penting bekerja, maka akan dapat dipastikan bahwa dunia pendidikan akan kehilangan ruhnya yaitu semangat mendidik yang berbasis pada penanaman kecerdasan dan berperadaban yang sesungguhnya menjadi cita-cita kemerdekaan ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.