• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

REKONSTRUKSI PENDIDIKAN KEGURUAN (1)

Kata rekonstruksi memang sering menjadi wacana di era orde reformasi ini. Orang pada gandrung dengan istilah ini. Kita banyak dipengaruhi oleh kata social construction yang kemudian diteruskan ke dalam berbagai aspek, misalnya educational construction atau konstruksi pendidikan. Saya tahu bahwa ia telah menjadi madzab baru di dalam dunia pendidikan. Ia dimaksudkan sebagai pendidikan berbasis rakyat, berbasis kebutuhan atau berbasis stakeholder dan lebih khusus berbasis kebutuhan peserta didik
Jadi yang mengkonstruksi pendidikan adalah masyarakat dan bukan elit atau bahkan
pemerintah. Elit atau pemerintah hanyalah fasilitator saja yang menghubungkan kepentingan masyarakat dengan kepentingan negara atau penguasa. Inti di dalam pendidikan konstruktivistik adalah pendidikan yang lebih mengedankan aspirasi dan kesadaran masyarakat tentang pendidikan ketimbang aspirasi elit atau pemerintah. Masyarakat atau individulah yang menentukan kebutuhan macam apa tentang pendidikan dimaksud.
Untuk menyelenggarakan pendidikan sebagai wadah pelaksanaan keinginan masyarakat tersebut, maka didapati lembaga pendidikan. Yaitu sebuah institusi yang bertugas dan berfungsi untuk mendidik masyarakat di dalam mencapai cita-cita bersama sebagai bangsa, yaitu bangsa yang cerdas, kompetitif dan beradab. Untuk kepentingan mencetak guru atau calon tenaga pendidik, maka didirikan perguruan tinggi yang secara khusus mendidik guru atau calon guru.
Jadi, lembaga pendidikan keguruan memiliki peran strategis untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang cerdas sebagai amanat UUD 1945. Begitu strategisnya peran pendidikan keguruan tersebut, maka nasib kecerdasan bangsa dan keberadaban bangsa ini terletak di punggungnya. Jika pendidikan keguruan gagal di dalam mengimplementasikan fungsinya ini, maka kegagalan bangsa sudah tampak di depan mata. Kalimat ini mungkin bombastis akan tetapi memang benar kiranya. Keberhasilan sebuah bangsa sangat tergantunng kepada para gurunya dan lembaga pendidikannya. Jepang berhasil menjadi negara yang super power di bidang ekonomi tentu karena dedikasi yang luar biasa dari para guru dan lembaga pendidikannya. Kaisar Jepang, ketika Nagasaki dan Hiroshima hancur berantakan, maka yang ditanyakan adalah berapa guru yang masih hidup.
Di Indonesia, guru dan dosen sudah menjadi profesi yang setara dengan profesi lainnya, seperti dokter, notaris, advokat, teknisi dan sebagainya. Maka seorang guru atau dosen harus memahami tentang profesinya, misalnya kompetensi pedagogis, kompetensi profesional, kompetensi akademis, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. Jadi seorang guru harus memiliki kompetensi tersebut agar dirinya disebut berkompeten.
Rekonstruksi pendidikan keguruan, saya kira menjadi sesuatu yang sangat penting. Di dalam hal ini kiranya diperlukan rekonstruksi sistem pendidikan keguruan dan bukan hanya rekonstrukasi kurikulum pendidikannya. Rekonstruksi sistem tersebut menyangkut beberapa aspek, yaitu:
Pertama, merekonstruksi kurikulum pendidikan keguruan. Di dalam hal ini, maka relevansi kurikulum dengan kompetensi pendidikan keguruan haruslah menempati ruang yang jelas. Saya melihat bahwa kurikulum kita masih bercorak gado-gado antara muatan akademis, muatan profesional dan pedagogis. Jika saya menggunakan kasus Fakultas Tarbiyah atau pendidikan Islam, maka di sana didapati kenyataan bahwa muatan akademisnya kurang terfokus pada kepentingan pembelajaran bidang studi. Saya melihat bahwa kurikulum fakultas tarbiyah terutama prodi kependidikannya haruslah dikonstruksi ulang yang terkait dengan penguatan kompetensi profesional, kompetensi soaial dan kompetensi pedagogisnya. Akan tetapi dengan tetap terfokus pada penguatan akademis untuk konten pembelajaran di sekolah. Jadi yang diperkuat adalah kompetensi akademisnya, sebab kompetensi profesional harus ditempatkan pada program pendidikan lainnya.
Penguasaan bidang studi yang diajarkan memang menjadi syarat penting bagi calon guru bidang studi. Tanpa ini, maka profesionalitas juga hanya omong kosong. Makanya, tetap harus ada kebijakan kurikulum untuk lebih terfokus pada bidang akademik yang akan diajarkan, dalam bentuk memetakan mata kuliah yang akan diajarkan di lembaga pendidikan, dan kemudian mengurangi mata kuliah yang tingkat relevansinya dengan fokus kajian pendidikan agama dianggap kurang.
Pemetaan ulang terhadap mata kuliah dirasakan sangat mendasar, sebab dari sini akan diketahui mana yang memiliki relevansi tinggi dengan keahlian akademis guru dan mana yang hanya pendukung. Mungkin prinsip sedikit mata kuliah dengan muatan yang besar bisa menjadi pertimbangan. Bisa dibayangkan bahwa mata kuliah di PTAI itu sangat banyak (kurang lebih 77 mata kuliah), akan tetapi kebanyakan relevansinya dengan keahlian akademis, pedagogis dan profesional sangat rendah.
Jadi pertanyaannya adalah mata kuliah apa yang benar-benar mendukung kompetensi akademik, kompetensi profesional dan pedagogis bagi calon guru. Jika para doktor pendidikan di fakultas tarbiyah dalam prodi pendidikan agama atau lainnya bisa berkumpul dalam diskusi yang serius, saya rasa bahwa pemetaan tersebut akan bisa didapatkan. Dan selanjutnya akan bisa diputuskan untuk melakukan perubahan radikal mengenai struktur kurikulum tersebut.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini