REKONSTRUKSI KUALITAS GURU
Saya ingin memperdalam tentang kanyataan empiris kualitas guru kita dan apa sesungguhnya faktor yang menjadi pemicunya. Saya kurang berani untuk menyebut mempengaruhinya sebab tulisan ini hanya sebuah commonsense saja dan bukan didasari oleh data yang valid dan reliable.
Kemarin sudah saya tuliskan tentang dua aspek mendasar tentang kenyataan mengapa guru kita kurang atau belum berkualitas, padahal mereka sarjana pendidikan yang seharusnya sudah memiliki pengetahuan dan kemampuan profesional tentang pendidikan dan bahkan juga sudah mengajar dalam rentang waktu yang cukup memadai. Akan tetapi kenyataannya bahwa pengetahuan dan pemahaman tentang profesionalisme guru seperti itu keberadaannya.
Secara makro, saya kira harus ada revolusi tentang pendidikan keguruan kita. Kiranya yang diperlukan adalah rekonstruksi kurikulum untuk menjawab pengetahuan para guru agar selaras dan sesuai dengan tuntutan profesionalisme guru. Jika kita mengacu ada profesionalisme dokter, maka bisa dibayangkan bagaimana para sarjana yang akan memperoleh brevet dokter itu harus berjibaku dengan pengalaman lapangan melakukan praktik kedokteran yang sangat ketat.
Mungkin memang tidak bisa disamakan antara keduanya, akan tetapi bahwa pendidikan keguruan adalah pendidikan profesi, maka tuntutan agar alumninya memiliki kompetensi tentu tidak bisa diabaikan. Jadi kiranya lembaga pendidikan yang mengusung kompetensi guru haruslah melakukan review kurikulum agar senafas dengan tujuan profesionalisme guru dimaksud. Jadi para pengelola pendidikan berbasis pendidikan dan keguruan harus menata ulang bangunan sistem pembelajaran pada program pendidikan keguruan.
Sebagai lembaga pendidikan yang mengkhususkan pada program penyedia tenaga pendidik, maka yang mesti dilakukan adalah bagaimana agar para calon guru tersebut memiliki minat, komitmen dan kesadaran tentang membangun peradaban bangsa melalui pendidikan. Jadi, ke depan yang diinginkan dan harus disadari para guru adalah mencetak anak yang cerdas dan kompetitif tetapi sekaligus juga berperadaban.
Hanya saja bahwa tujuan yang baik tersebut terkadang dikotori oleh mental menerabas yang di dalam banyak hal merugikan dunia pendidikan kita. Semakin menjamurnya kelas jarak jauh yang dilakukan oleh tidak hanya PT swasta akan tetapi juga PT negeri, maka semakin melengkapi tentang mentalitas permissiveness dalam aspek pendidikan. Kelas jauh yang sesungguhnya dilarang oleh peraturan perundangan juga terus berlangsung dan hal itu justru melibatkan para guru yang hanya ingin memperoleh tunjangan profesional. Jadi tujuan memperoleh tunjangan profesional bisa menghalalkan cara untuk memperoleh ijazah sebagai persyaratannya.
Pemerintah tidak bisa menutup mata terhadap penyelenggaraan pendidikan kelas jauh yang di dalam kenyataannya banyak melibatkan para guru. Seharusnya, mentalitas pengelola pendidikan yang mempersiapkan para guru untuk profesional haruslah lembaga yang profesional. Jika kemudian yang mencetak calon profesional seperti itu, maka telah terjadi degradasi profesionalitas yang luar biasa.
Jika demikian halnya, maka pantaslah jika kemudian hasil UKA mencengangkan kita semua. Bisa dibayangkan bahwa guru yang selama ini menjadi patron bagi proses pembelajaran ternyata memiliki pengetahuan yang belum maksimal di dalam profesionalisme pendidikan.
Agar kenyataan ini tidak semakin parah, maka harus ada langkah strategis untuk merumuskan ulang tentang apa yang sesungguhnya diinginkan dari sertifikasi guru ini.
Jadi kiranya dibutuhkan rekonstruksi pendidikan sebagai medium menata ulang terhadap program pendidikan keguruan dan juga mentalitas menerabas yang menghinggapi elemen penting di dalam dunia pendidikan.
Wallahuna’lam bi al shawab.
