KUALITAS GURU KITA
Sesungguhnya para guru itu sudah memiliki pilihan di dalam hidupnya, yaitu menjadi tenaga pendidik yang sedari semula memang tidak berharap menjadi orang kaya. Kalau menjadi orang kaya, maka tentu tidak memilih menjadi pegawai negeri sipil (PNS), yang memang gajinya hanya cukup untuk makan. Bahkan untuk menyekolahkan anak setingkat universitas saja rasanya tidak cukup. Makanya, ketika seseorang menjadi guru maka di dalam dirinya sudah disadari bahwa yang dicari bukan materi atau kekayaan akan tetapi amal ibadah.
Akan tetapi di tengah dunia modern yang menyisakan hanya beberapa gelintir orang yang tidak larut di dalam menggapai kekayaan materi, maka kecenderungan orang untuk menjadi guru bagi mereka yang sungguh-sungguh pintar tentu juga menurun.
Generasi muda yang pintar dan cerdas tentu saja lebih suka untuk menjadi karyawan di dunia perusahaan multi nasional dengan ukuran gaji yang memadai. Atau mereka menjadi wirausahawan yang memiliki prospek yang cerah. Jadi bagi mereka yang otaknya encer maka kurang berkecenderungan untuk memasuki dunia PNS secara khusus guru yang memang tidak menjanjikan apa-apa kecuali gaji secukupnya.
Dengan demikian yang memasuki dunia pendidikan adalah mereka yang secara kualitas akademis memang bukanlah yang the best. Namun sesungguhnya bahwa untuk menjadi tenaga pendidik tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan intelektual akan tetapi yang juga penting adalah kecerdasan emosional dan spiritual. Melalui kecerdasan dimaksud, maka seorang guru akan selalu care dengan mitra didiknya.
Lalu di mana persoalannya sehingga di dalam UKA 2012, banyak guru yang nilainya berada di bawah standart yang seharusnya lulus dan kenyataannya bahwa rerata kelulusannya hanya 44,22. Variabel apa yang sesungguhnya memiliki pengaruh terhadap gambaran data seperti ini.
Jawaban terhadap persoalan ini akan diklasifikasi di dalam dua hal: pertama, Input guru yang kurang selektif. Dewasa ini, ada banyak saluran untuk menjadi guru. Yaitu melalui rekruitmen yang dilakukan oleh pemerintah pusat, lalu rekruitmen yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan rekruitmen yang dilakukan oleh sekolah secara mandiri. Sebagai akibat bervariasinya rekruitmen guru tersebut, maka tidak ada standart baku mutu input tenaga pendidik.
Sesungguhnya jika rekruitmen guru dilakukan oleh pusat dan berbasis pada data yang benar mengenai kebutuhan guru, maka problem input guru yang berkualitas akan lebih bagus. Hanya saja lemahnya pendataan tentang kebutuhan guru selalu menjadikan proses rekruitmen pusat dianggap kurang memihak pada orang daerah dan kebutuhan daerah.
Sebaliknya rekruitmen yang dilakukan oleh daerah terkadang berkaitan dengan politik daerah dan juga masih kuatnya kecenderungan KKN di daerah. Kasus rekruitmen guru honorer di salah satu kabupaten di Provinsi Indonesia Timur, bahwa siapapun bisa menjadi guru asalkan memiliki orang di lembaga pemerintah tentu bisa menjadi pembenar persoalan ini.
Selain itu juga diperkuat oleh data bahwa telah terjadi penggelembungan yang luar biasa tentang data base guru ini. Sehingga pada awal hanya terdapat sebanyak 50.000 guru honorer dan kemudian menggelembung menjadi 150.000 guru hanya karena guru honorer tersebut akan diangkat menjadi PNS.
Jadi sebenarnya yang perlu untuk dibenahi adalah proses rekruitmen guru untuk memperoleh seorang guru yang cakap intelektual, emosional dan spiritual ini. Sebab jika tidak maka keinginan untuk menghasilkan guru yang profesional hanyalah akan menjadi isapan jempol belaka.
Kedua, faktor minat menjadi guru. Pekerjaan sebagai guru tentu tidak sama dengan pekerjaan lainnya. Jika menjadi administratur, maka yang dihadapi di dalam banyak hal adalah kertas dan bahan pekerjaan lainnya, sedangkan seorang guru berhadapan dengan anak didik yang harus diajar sehingga menjadi pintar. Makanya seorang guru harus memiliki jiwa guru, yaitu mendidik, membimbing dan menasehati serta mengarahkan seorang murid ke jalan yang benar di dalam mengarungi kehidupan ini.
Jika kemudian menjadi guru hanya sebagai pilihan yang penting bekerja, maka akan dapat dipastikan bahwa dunia pendidikan akan kehilangan ruhnya yaitu semangat mendidik yang berbasis pada penanaman kecerdasan dan berperadaban yang sesungguhnya menjadi cita-cita kemerdekaan ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.
