• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

AKHIRNYA KE EROPA

AKHIRNYA KE EROPA
Sejak lama sesungguhnya saya menginginkan untuk mengunjungi beberapa negara Eropa. Di antara belahan benua di dunia ini memang yang belum saya kunjungi adalah benua Eropa. Mungkin saja sebuah keterlambatan mengingat bahwa seharusnya kunjungan ke Eropa atau negara-negara Eropa semestinya sudah saya lakukan jauh sebelumnya. Tahun lalu ketika saya masih menjadi rektor IAIN Sunan Ampel juga seharusnya ada kesempatan untuk datang ke Eropa. Akan tetapi peluang itu tidak saya ambil. 
Akhirnya di penghujung tahun 2012, Pak Menteri Agama mengizinkan saya untuk mengunjungi negara Eropa, khususnya Belanda dalam rangka untuk membangun kerjasama di dalam mengembangkan pendidikan Islam di tanah air. Kunjungan ini terasa sangat spesial sebab harus dilakukan di saat pekerjaan kantor juga sangat banyak. Akan tetapi persiapan yang sudah sedemikian matang dan didukung oleh tim kerja kementerian yang sangat baik, maka penyelesaian pekerjaan tentu tidak akan menganggu hal-hal mendasar di kantor.
Kunjungan ke Eropa ini juga terasa sangat panjang dan melelahkan. Bukan karena jaraknya yang memang jauh, Akan tetapi karena harus memutar melewati banyak tempat. Karena menggunakan pesawat Qatar Air, maka konsekuensinya harus melewati Doha, ibukota Qatar. Tidak lama memang transit di Doha. Kira-kira satu jam. 
Bendera internasional Qatar memang besar, jika dibandingkan dengan bandara internasional lainnya, misalnya dengan bandara internasional Juanda di Surabaya. Sebagai bandara transit di berbagai belahan dunia lain, misalnya ke wilayah Afrika dan Eropa, terasa bahwa bandara Internasional Qatar memang menyediakan fasilitas yang cukup baik. Saran transportasi yang disediakan juga tertata rapi dan tepat waktu. Penggunaan transportasi bus juga menggunakan sistem antrean yang baik. Ada dua tempat berhenti, yaitu di arrival pasenger dan transite pasenger. Meskipun jaraknya tidak jauh, akan tetapi cukup tertata kehadiran dan pemberangkatan para penumpangnya.
Sebagaimana jadwal yang sudah tertera, maka pesawat Qatar Airline yang akan membawa kami ke London juga sudah siap. Melalui pemeriksaan yang ketat, kami berangkat ke London. Perjalanan yang sangat jauh. Kira-kira tujuh jam. Badan terasa capek sekali sebab malam sebelumnya hampir tidak dapat memejamkan mata. Karena pesawat dari Jakarta berangkat jam 24.00 atau tengah malam, maka seharusnya begitu naik pesawat lalu biasa tidur. Hanya sayangnya kelemahan saya yang satu ini memang tidak biasa dihindari. Nyaris tidak dapat tidur dalam perjalanan Jakarta Doha tersebut. Saya biasanya menyiapkan animo atau bahkan obat tidur sebangsa CTM jika ingin bepergian ke luar negeri. Akan tetapi kali ini tidak menyiapkannya.
Kepergian ke Eropa ini terkesan sangat kurang di dalam persiapannya. Biasanya saya selalu well-prepare jika akan melakukan perjalanan ke luar negeri. Akan tetapi kali ini memang benar-benar serba mendadak. Malam hari akan ke Belanda, maka pagi harinya harus mewakili Pak Menteri Agama dalam acara di Pondokan Pesantren Sunan Drajat diLamongan Jawa Timur dalam acara rembuk nasional pimpinan Pondokan Pesantren SE Indnesia dalam tema Pengembangan Ekonomi Pesantren yang digagas oleh Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat bekerja sama dengan Kementerian agama dan kementrian terkait. Makanya kami juga harus mendadak kembali ke Jakarta untuk urusan kepergian ke Belanda tersebut. 
Meskipun harus berlari-lari tetapi saya merasa sangat gembira sebab saya bisa mewakili PAN Menyeri Agama dalam acara yang sangat penting, yaitu pembicaraan tentang masa Depan pesantren sebagai lembaga keagamaan yang tidak hanya menyajikan menu mengaji kitan dan pembelajaran keagamaan lainnya, akan tetapi juga mencandra peran pesantren yang lebih luas, yaitu pesantren sebagai pesat pengembangan ekonomi kerakyatan.
Perjalanan ke London tentu sangat melelahkan sebab selain memang waktunya panjang juga badan terasa sangat lelah. Sebagaimana yang sering saya tulis bahwa kelemahan saya yang mendasar dalam perjalanan ke luar negeri adalah karena kesulitan untuk tidur atau istirahat di pesawat. Saya menjadi teringat ketika harus perjalanan panjang ke Canada sekian tahun yang lalu dan juga ke Amerika Serikat tahun belakangan, maka sepanjang perjalanan juga tidak bisa memejamkan mata. Itulah sebabnya ada perasaan malas ketika harus bepergian ke luar negeri. 
Namun demikian kunjungan ke luar negeri tentu harus dilakukan, sebab sebagaimana sering saya nyatakan bahwa kunjungan ke luar negeri sesungguhnya memanggul makna penting yaitu untuk mengembangkan mimpi. Bukankah mimpi adalah sesuatu yang sangat penting bagi seorang pemimpin. Siapa yang memiliki mimpi, maka dialah yang akan bisa mengembangkan dunia ini. Hanya melalui mimpi yang bisa direalisasikan saja yang akan selalu leading di Depan, bisa menjadi one Step ahead. 
Kami sampai di bandara London kira-kira jam Satu siang waktu setempat. Akan tetapi pesawat yang akan mengangkut kami ke Amsterdam kira-kira jam 17 waktu setempat. Makanya kami juga harus menunggu di bandara kira-kira 4 jam. Alhamdullilah, bahwa bandara ini sangat baik untuk istirahat. Pertokoan yang baik di sini tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi para penumpang yang sedang menunggu ke perjalanan ke tempat lain. 
Di dalam bandara yang sangat luas, ternyata memang didesain dengan berbagai pertokoan besar maupun kecil, mulai dari toko yang menyediakan bahan makanan dan minuman sampai toko barang-barang branded. Tas dengan berbagai merk juga ada di sini. Mulai merek Dior sampai Prada atau lainnya. Konon katanya juga harganya lebih murah dibanding dengan harga di Indonesia. Tas perempuan Prada yang di Plaza Indonesia seharga 40 juga dihargai hanya 20 juta. Apakah batangnya genuin atau asli. Tentu pasti. Barang-barang yang dijual di sini tidak ada barang yang berstatus kualitas dua atau tiga. Semuanya adalah barang yang memang memiliki mutu yang standard.
Sayangnya badan yang tidak mendukung untuk sekadar jalan-jalan, maka saya hanya memanfaatkan waktu menunggu dengan duduk dan ngobrol saja. Untung di dalamnya ada Cafe Starbuck yang memang di Indonesia sering saya kunjungi. Cokelat panas Starbuck adalah yang sangat saya sukai. Saya menyukai cokelat semenjak kedatangan saa ke Canada sekian tahun yang lalu. Minuman cokelat panas menjadi minuman favorit saya.
Makanya ketika saya melihat ada Cafe Starbuck, maka sesegera mungkin saya mengunjunginya. di Cafe ini maka tidak menerima uang cash. Semuanya harus menggunakan credit card. Untunglah memang saya menyiapkan kartu kredit di dalam bepergian ini. Makanya, kartu kredit ada juga gunanya di dalam perjalanan ke luar negeri. Padahal, harga satu gelas ukuran grande atau medium size, kira-kira sama dengan di di Cafe Starbuck di Jakarta. Satu gelas tersebut seharga 3,5 dolar euro atau setara 50 ribu rupiah. Samalah  harganya dengan satu gelas yang sama di Jakarta atau Surabaya. 
Dunia ini memang sudah menjadi satu kesatuan atau dalam bahasa akademisnya disebut dunia global atau dunia tanpa batas. Dulu tentu tidak kita bayangkan bahwa kita akan bisa meminum cokelat di berbagai negara dengan rasa dan juga harga yang hampir sama. Tetapi kini di zaman moderen ini, maka orang bisa meminum teh, cokelat, kopi dengan tante yang sama dan harga yang relatif sama. 
Saya merasakan betapa mudahnya kita mengakses apa saja di tengah dunia global ini. Jadi kita tentu juga bisa untuk melihat belahan dunia lain yang disebabkan oleh mudahnya mengakses apa saja di dunia ini. 
Sungguh saya beruntung sebab bisa mengakses dunia lain tersebut dengan kekuasaannya yang diberikan oleh Allah kepada saya. Impian untuk menjejakkan kaki di negeri Belanda, negeri bunga tulip yang warna warni bisa saya lakukan. Hanya sayangnya bahwa kunjungan kali ini di musim dingin, sehingga keindahan bunga tulip itu belum saya rasakan.
Wallahualam a’lam bi al shawab.

PILLAR OF GOOD GOVERNANCE IN ISLAMIC EDUCATION

We have four categories for Islamic Higher Education. Under MORA, we have the first is State Islamic University (UIN), State Institute of Islamic Studies (IAIN), Islamic College (STAIN) and Private Islamic Higher Education (PTAIS).  91 percent is private Islamic higher educations and only 9 percent is state Islamic higher education. We have 35.000 lecturer in various area of study and we have 570.067 students  in various area of study. Majority was a student of Islamic education in faculty of tarbiyah or Islamic education.

We have the vision: to create the Islamic generation base on akhlak al karimah, smart and competitive. As base of behavior, al akhlak al karimah is character of human being base on Islamic ethics. Akhlak al karimah is not only for the relation between Allah and man, or between one man and another but also the relation between man and the social and physical environment. Not only the relation between muslim and muslim but also between muslim and the other non muslim. I would like to give the information that competition is not base by the materialistic perspective but by the togetherness. Like the smart is not only for intellectual quotient but for emotional and spiritual quotient.

To enhance the good governance, we need some supports. We have at minimum five pillar for that. The support of operational policy that can be implemented, supporting of effective management, supporting of system of accountability, and the implementing program.

The first, The system of management and governance principally depend on the empowering of organization. As the centralization of bureaucracy, MORA is different with  MONE. In this case, MONE has one function for education only but MORA has various functions and one of them was Islamic education. Gradually and technically, that governance of Islamic educations in Directorate General of Islamic education than implementation of Islamic education in  the level of province and the last is the implementation of Islamic education in local government and the unite of educations.

So the problem is very much. Not only because of the center and local, for example was about budgeting and the limitation of budget but about the distance between one and another base on the implementation of policy.

The second is regulation. Regulation is very importance for basic implementation of Islamic education. For educations we have the System of National education regulations or Undang-Undang Sisdiknas number 20 year 2003. And we have the teacher and lecture regulations. And also many of regulations as Peraturan Pemerintah number 55 year 2007 and the other. All of the regulation implemented for the development of educations at all.

The goals of certification program is to up the teacher and lecturer welfare. By this program, government want to improve the welfare of economic condition in order to Guru and dosen can concentrate to their works and duties. By this regulation, we all hope the improvement of education in various grade and level.

The third, human resource development. The position of HRD is very important. In the case of Indonesia, we have not good rank in the HRD progress. In the Islamic higher education the indicator for knowing the development of HRD is how many doctors of philosophy and professor they have.

The fourth, Monitoring and evaluation. A good program must be evaluated by the monitoring and evaluation. We don’t know the program bad or good in the implementation if it is no monitoring and evaluation.

The Fifth, data and information. For knowing about the development of Islamic higher education, so we have an EMIS or electronic management of Islamic School. This program is funded by budgeting of MORA. By this program we know about the data of Islamic education from Madrasah Ibtidaiyah or Elementary school until Islamic higher education.

 The sixth, quality assurance. All of our educations institution have the internal quality assurance by the name Kantor Jaminan Mutu or the Office of Quality Assurance. This office has program for ensure that their quality is good or bad. They have indicators for assure the quality of the study program not only about processing of learning by lecture and student, but the quality of institutions at all.

The seventh, accountability of program implementation. Now we live in the era of transparency. We have the regulation for ensuring that the process and product of our program can be evaluated by the other institution for example NGO or the other. Because of that, all of the institution must be avoid about the deviation for using budget and so on.

GOOD GOVERNANCE PADA PERGURUAN TINGGI

GOOD GOVERNANCE PADA PERGURUAN TINGGI:

Pengalaman Pendidikan Tinggi Islam.[1]

Ptof. Dr. Nur Syam, MSi

Director General of Islamic Education

A.    Pendahuluan

Di dalam kenyataannya, bahwa membangun pendidikan tidak akan pernah selesai dan tuntas. Jika  suatu bangsa selesai menangani satu   masalah pendidikan, akan tumbuh lagi masalah lain dan yang lebih mendasar lagi bahwa masalah pendidikan adalah masalah yang sistemik. Artinya penyelesaiannya tidak bisa bercorak parsial. Hal ini terjadi karena tuntutan perubahan social yang terus terjadi, khususnya di bidang pendidikan.

Sebagai suatu proses, maka proses pendidikan tidak hanya sekadar mempersiapkan anak didik untuk mampu hidup dalam masyarakat sekarang, tetapi mereka juga harus disiapkan untuk hidup di masyarakat yang akan datang. Sesuai dengan konsepsi UNESCO, bahwa pembelajaran  adalah to know, to do, to be dan to live together. Artinya bahwa pendidikan tidak hanya untuk kepentingan meningkatkan pengetahuan dan bahkan kerja, tetapi lebih jauh adalah untuk kepentingan membangun hidup bersama. Itulah akhirnya diputuskan bahwa yang menjadi sasaran pendidikan bukan hanya kecerdasan intelektual, tetapi juga kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritual. Pendidikan harus bisa mengarahkan anak didiknya untuk mencapai kecerdasan spiritual ini.

 

B.     Tantangan Pendidikan Indonesia

Ada beberapa tantangan yang terbentang di hadapan kita dalam melangkah ke depan, yakni tantangan internal dan eksternal. Pertama, pada era globalisasi, dunia mengalami perkembangan teknologi yang dahsyat, termasuk teknologi informasi, sehingga masyarakat akan mengalami mobilitas yang sangat cepat. Akibatnya masyarakat akan mengalami perubahan yang drastis, yang menyebabkan umat juga mengalami ketidakseimbangan. Selain itu, globalisasi juga akan memudahkan masuknya nilai-nilai baru. Begitu deras nilai-nilai baru itu membanjiri masyarakat sehingga amat sering tidak lagi dapat di kontrol secara memadai. Akhirnya anggota masyarakat menjadi mengalami kebingungan dan ketidak-seimbangan hidup.

Kedua, di tengah nuansa perubahan sosial yang cepat sebagai akibat globalisasi, maka lembaga pendidikan dan sistem pendidikan harus menjadi penopang yang kuat. Oleh karena itu, lembaga dan sistem pendidikan harus  dapat berfungsi secara optimal. Sistem ini akan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai, dan juga membina serta memelihara para tenaga pendidik agar  memiliki kompetensi yang relevan dan memiliki kesejahteraan ekonomi optimal.

Ketiga, lembaga dan sistem pendidikan harus dapat memelihara nilai-nilai budaya yang khas keindonesiaan. Nilai-nilai budaya dapat menjadi faktor utama di dalam proses transformasi pendidikan. Kebudayaan yang kuat meresap di dalam proses pendidikan tentu akan menjadi faktor penting di dalam proses menuju hasil pendidikan yang berkarakter keindonesiaan. Selain itu juga dapat menjadi elemen penting di dalam proses kompetisi antar bangsa di era global ini.

Secara umum, kualitas pendidikan Indonesia memang belum semaju pendidikan di Asia Tenggara lainnya. Laporan Kompas, 29/09/2011, tentang Education Development Index (EDI) tentu sangat menarik. Laporan ini mengungkapkan bahwa dari sebanyak 127 negara, maka EDI Indonesia menempati peringkat 69, sementara Malaysia berada di urutan 65 dan Brunei di urutan 34. Brunei memang maju pesat dalam indeks pendidikannya yang tentu saja disebabkan oleh kepedulian pemerintah terhadap dunia pendidikan. Malaysia juga berkembang pesat dalam pengelolaan pendidikannya, meskipun di tahun 1970-an pernah memperoleh bantuan asistensi dalam program pendidikan tinggi dari Indonesia.

Berdasarkan konsepsi Education for All (EFA), yang kemudian dijadikan sebagai tolok ukur oleh Global Monitoring Report setiap tahun, maka Indonesia menempati angka 0,934 pada tahun 2008. EDI dikatakan tinggi jika capaiannya adalah 0,95-1.  Kategori medium jika capaiannya adalah di atas 0,80 dan rendah adalah di bawah angka 0,80. Nilai EDI Indonesia sebesar 0,934 tersebut diperoleh dari rangkuman perolehan empat kategori, yaitu angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi menurut kesetaraan jender dan angka bertahan siswa hingga kelas V sekolah dasar (SD).

Pencapaian angka EDI Indonesia ini tentu saja bukan sesuatu yang menggembirakan mengingat bahwa sebenarnya pemerintah Indonesia memiliki peluang yang besar untuk peningkatan EDI ini. Memang jika dibandingkan dengan beberapa negara Asia kita harus menyatakan kalah, sebab pada tahun 1995 saja anggaran pendidikan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand bahkan Filipina sudah berada jauh di atas anggaran pendidikan Indonesia. Kala itu anggaran pendidikan Indonesia baru sebesar 10,2 persen dari APBN, sementara Singapura sudah mencapai angka 21 persen.

Tetapi besaran anggaran bukanlah pengungkit utama di dalam perubahan pendidikan. Bagi bangsa Indonesia yang besar dengan jumlah pulau, penduduk  dan juga varian-varian suku dan sebagainya juga menjadi persoalan khusus di dalam peningkatan EDI ini. Jika di Jawa kita bisa melihat perkembangan pendidikan yang sangat baik, akan tetapi ketika kita  melihat kondisi pendidikan di daerah terpencil, maka kita harus menyatakan bahwa pendidikan Indonesia memang belum maju.

Kita masih melihat gap antara kualitas pendidikan di Jawa dengan wilayah lain. Pembangunan yang lebih terkonsentrasi di wilayah barat dengan berbagai dukungan potensi dan sumber daya mengakibatkan adanya kesenjangan tersebut. Dan akibatnya tentu saja EDI kita belum bisa masuk ke jajaran grade tinggi, sebab perimbangan kualitas pendidikan yang tidak balance. Jadi meskipun di wilayah barat maju akan tetapi di wilayah timur terpuruk. Akibatnya peringkatnya juga masih berada pada kategori medium.

Pendidikan adalah modal bangsa untuk pembangunan berkelanjutan. Makanya, investasi pendidikan merupakan kemutlakan bagi bangsa ini jika ke depan ingin sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Itulah sebabnya pendidikan harus dilakukan dengan kreatif dan inovatif.

Di Indonesia terdapat  lembaga pendidikan tinggi yang dikelola di bawah kementerian pendidikan dan kebudayaan, kementerian agama dan jga kementerian atau lembaga pemerintahan lainnya.  Perguruan tinggi dibawah kementerian pndidikan dan kebudayaan meliputi universitas, institute, politeknik dan pendidikan lain yang setara universitas. Demikian pula lembaga pendidikan di bawah kementerian agama. Ada enam universitas, 13 institut dan 33 sekolah tinggi. Universitas yang berada di bawah kementerian agama adalah Universitas Islam Negeri  Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Islam Negeri Syarif Kasim, Riau, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, Universitas  Islam Neger I Alauddin Makasar, Universitas Islam Negeri  Sunan Gunung Jati Bandung.

Sebagaimana universitas di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, maka unversitas di bawah kemeterian agama juga mengelola program studi umum seperti  program teknologi, sains, ilmu social dan bahkan ilmu kesehatan dan kedokteran.  Selain itu juga ada beberapa Institut Agama Islam Negeri yang mengelola program studi wider mandate, seperti ilmu social, humaniora dan juga sains.

Selain mengelola  perguruan tinggi negeri (52 PTN), maka juga terdapat perguruan tinggi Islam swasta (PTAIS) yang kebanyakan berada di pesantren, dengan kekhusuan program studi keislaman.  Ada sebanyak  539 PTAIS yang tersebar di seluruh Indonesia.  Secara keseluruhan lembaga pendidikan tinggi di bawah kementerian agama menampung 570.067 mahasiswa.  

C.    Pilar Pengembangan Pendidikan Indonesia

1.      Peningkatan akses dan pemerataan

There are three pillars for development of higher education in Indonesia.  The pillars are to extent the access and pemerataan,  empowering the quality and relevance and  making good governance for all of the higher educations.

Untuk kepentingan peningkatan akses, maka PTAI banyak membuka program studi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.  Namun demikian, program studi yang banyak didirikan oleh masyarakat adalah program studi pendidikan agama Islam. Ada factor yang menentukannya, yaitu kedekatan program studi ini dengan  kebutuhan pendidikan yang terus berkembang di masyarakat.

Di dalam kerangka pemerataan pendidikan, maka  juga dilakukan pemberian beasiswa oleh pemerintah melalui anggaran masing-masing PTAIN, seperti program beasiswa miskin,  program Beasiswa pendidikan Miskin dan berprestasi (BIDIKMISI), dan bantuan pembebasan Sumbangan Pembiayaan Pendidikan (SPP) dan sebagainya. Selain itu juga ada sejumlah beasiswa yang diberikan oleh perusahaan nasioal dalam jumlah yang sudah ditetapkan.

Perluasan akses tanpa diikuti dengan pemerataan pendidikan tentu kurang bermakna. Oleh sebab itu, pembukaan prodi baru atau lembaga pendidikan baru tentu juga harus diikuti dengan  pemberian kesempatan bagi masyarakat untuk mengakses pendidikan dimaksud. Pemerintah mencanangkan sebanyak 30 persen calon mahasiswa miskin dan berprestasi akan diberikan bantuan dalam bentuk beasiswa.

2.       Peningkatan Mutu dan Relevansi

Untuk kepentingan peningkatan mutu dan relevansi, maka strategi yang diambil adalah dengan peningkatan kualitas dosen, peningkatan sarana dan prasarana dan juga penguatan kelembagaan. Di dalam hal ini, maka peningkatan kualitas dosen melalui program studi lanjut, pendidikan dan pelatihan dosen melalui short course, percepatan program sertifikasi dosen, dan sebagainya.

Selain itu juga peningkatan kualitas sarana dan prasarana melalui kerjasama dengan Islamic Development Bank (IDB), AUSAID, JICA dan sebagainya. Semuanaya dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan relevansi pendidikan dengan mutu pendidikan.

Kita telah melihat perkembangan yang sangat mengagumkan dari beberapa universitas Islam Negeri dengan perkembangannya yang cepat baik terkait dengan program studi, jumlah mahasiswa dan juga penguatan sarana dan prasarana pendidikan. 

3.      Penguatan Manajemen dan Tata Kelola PTAI

Di antara variabel yang menjadi persyaratan mendasar dalam tata kelola adalah pemihakan dalam bentuk kebijakan. Pemihakan pada kebijakan yang bersearah kepada penciptaan ekselensi menjadi variabel substansial. Variabel ini dianggap sebagai sangat penting sebab tanpa pemihakan yang sangat mendasar tentang apa dan bagaimana agar menjadi excellence, maka segala sesuatunya pastilah tidak akan menjadi yang terbaik. Salah satu contoh yang sangat mendasar adalah pemihakan tentang anggaran. Betapapun memiliki visi yang sangat baik, tentang apa dan bagaimana program ekselensi tersebut akan dilaksanakan, namun jika tidak didukung oleh penganggaran yang sangat memadai, maka hanya akan menjadi mimpi. Work without vision is day dream. Vision without work is nightmare. Jadi mimpi harus diubah menjadi kenyataan. Dan agar ide dapat menjadi kenyataan, maka haruslah didukung oleh seperangkat tindakan praksis yang berupa kebijakan yang selaras dengan implementasi visi dimaksud.

Ada  tiga indikasi untuk mengukur kesungguhan pimpinan perguruan tinggi di dalam mengelola pendidikan.  Pertama  adalah pengakuan internasional tentang pelayanan prima melalui pengakuan ISO. Kedua,  pengakuan internasional tentang peringkat lembaga pendidikan kelas dunia atau World Class University (WCU).  Ketiga,  pengakuan nasional tentang standart akademik melalui Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT).

Pertama, tentang pengakuan internasional dalam pelayanan prima.  Di era global seperti sekarang, maka sebuah institusi akan dianggap baik,  jika  di dalam pemberian pelayanannya dapat dikategorikan sebagai pelayanan prima. Yaitu pelayanan yang diberikan kepada pelanggan agar para pelanggan merasa puas dengan pelayanan tersebut.

Pelayanan prima adalah paradigm baru di dalam dunia manajemen bisnis yang kemudian juga diadaptasi oleh manajemen nir-laba, seperti dunia pendidikan. Inti dari pelayanan prima adalah memberikan yang terbaik bagi para pelanggan, yaitu kepuasan pelanggan. Manajemen pendidikan juga dituntut untuk mengedepankan pelayanan prima tersebut. Di dalam hal ini, maka perguruan tinggi juga harus mempertimbangkan jasa apa yang akan dijual kepada para pelanggannya dan jasa tersebut bisa memuaskan pelanggannya.

Sebagaimana diketahui,  bahwa ada lima jasa yang dijual oleh perguruan tinggi, yaitu jasa kurikuler, jasa penelitian, jasa pengabdian masyarakat, jasa administrasi dan jasa ko-kurikuler. Kelima jasa ini yang disebut sebagai jasa pendidikan. Di PT dikenal yaitu sistem akademik yang terkait dengan pelayanan jasa pendidikan (kurikuler)  dan administrasi pendidikan.  Makanya, melalui sistem akademik yang baik, maka akan didapatkan pelayanan administrasi pendidikan yang memuaskan.

Agar pelayanan akademik menjadi baik, maka syarat-syarat kualifikasi pendidikan yang baik juga harus dipenuhi. Misalnya, dosen dan  perkuliahannya berkualitas, karya akademis dosen dan mahasiswanya berkualitas, perpustakaannya sangat baik dengan koleksi yang lengkap dan sebagainya. Sebagai sebuah sistem, maka  keterpaduan antar sub sistemnya menjadi sangat penting.

Untuk mengukur apakah pelayanan akademik sebuah PT sudah standart internasional atau belum,  maka digunakanlah standart ISO 9001 tahun 2008, yaitu standart internasional untuk mengukur tentang mutu pelayanan yang sudah dilakukan oleh sebuah lembaga. Melalui standart ISO ini,  maka akan diketahui bahwa sebuah lembaga pendidikan sudah bermutu atau belum.

Kedua, pengakuan sebagai World Class University (WCU). Di tengah persaingan antar lembaga pendidikan tinggi, maka pengakuan internasional tentang kualitas lembaga menjadi sangat penting. Ada banyak standart untuk menilai tentang WCU ini, antara lain adalah Time Higher Education Supplement (THES), Shanghai Jiaotong dan juga Webometrics. Bagi perguruan tinggi di Indonesia, maka untuk masuk ke dalam WCU dalam standart Shanghai Jiaotong tentu sangat sulit, sebab ukurannya yang sangat tinggi, misalnya staf akademiknya ada yang pernah memperoleh Nobel Prize. Akan tetapi untuk memperoleh Webometrics tentu masih sangat mungkin. Dengan menggunakan ukuran kekuatan website PT, maka akan diketahui berapa ranking yang dimiliki oleh PT dimaksud.

Di Indonesia sudah banyak PT yang memasuki WCU melalui peringkat Webometrics ini. Di dalam pengumuman peringkat Webometrics bulan Januari 2012, maka ada beerapa PTAIN yang memasuki peringkat Webometrics, yaitu UIN Malang, IAIN Sunan Ampel, UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, UIN Bandung dan sebagainya. Untuk bisa memasuki WCU dalam peringkat Webometrics ini, maka harus ada upaya yang sangat konsisten yaitu dengan mengerahkan semua kemampuan untuk mengembangkan website. Dalam contoh IAIN Sunan Ampel, ternyata butuh waktu 4 tahun untuk mengembangkan website yang akhirnya bisa diakui memiliki rangking dunia. Saya teringat betul bahwa ICTnisasi IAIN Sunan Ampel diresmikan oleh Menteri Agama, Maftuh Basuni, pada tahun 2005 dan kemudian 2009 masuk ke dalam webometrics.

Ketiga, pengakuan standart akademis yang dilakukan oleh BAN PT. Sebagaimana diketahui bahwa pengakuan kualitas akademis yang melibatkan BAN-PT sudah menjadi kewajiban bagi PT. Bahkan sudah ditentukan bahwa tahun 2014, semua program studi harus berakreditasi, kecuali prodi yang baru saja didirikan.  Melalui pengakuan BAN-PT, maka kualitas  lembaga pendidikan yang bersangkutan sudah memperoleh pengabsahan.

Sebagai salah satu badan akreditasi, maka BAN-PT memiliki otoritas untuk menentukan mana prodi yang layak memperoleh pengakuan terakreditasi dan mana yang tidak. Melalui pengakuan ini, maka standart akademik PT tersebut tentu sudah dianggap layak sebagai lembaga penjual jasa pendidikan.  Melalui standart kualifikasi A, B dan C yang diterapkannya, maka BAN-PT akan memberi kualifikasi sesuai dengan kenyataan riil di lapangan.

 Di dalam hal ini, maka kualifikasi akademik PT tentu sangat penting. Semakin banyak prodi yang memperoleh skore A maka semakin baik kualifikasi lembaga pendidikan tersebut dan sebaliknya semakin banyak yang memperoleh C atau bahkan tidak terakreditasi, maka semakin rendah kualifikasi akademik lembaga pendidikan tersebut. IAIN Sunan Ampel ternyata memiliki kualifikasi yang cukup memadai, sebab ada yang berkualifikasi A, B dan C. dan sebagaimana diketahui,  maka kebanyakan memang masih berskor B. Hal ini berarti bahwa masih harus ada peningkatan kualitas di masa depan.

Melalui pengukuran tiga hal ini, maka akan diketahui bagaimana kualitas lembaga pendidikan tinggi itu. Jika ketiganya bisa diraih, maka berarti bahwa pimpinan lembaga pendidikan tinggi tersebut telah bekerja keras sesuai dengan wewenang dan kemampuan yang dimilikinya.  Jadi tidak perlu ada keraguan tentang  kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas dari para punggawa lembaga pendidikan tinggi ini.

 

 

 



[1] Paper presented in the Meeting of Sidney University in Jakarta, May, 14, 2012

.

TANGGUNG JAWAB PENDIDIK

Sebagaimana sering saya ungkapkan bahwa menjadi pendidik adalah menjadi orang yang mulya. Pekerjaan mendidik adalah pekerjaan yang sangat terpuji. Tidak ada pekerjaan yang lebih berarti di dunia ini dibandingkan dengan pekerjaan menjadi pendidik. Jika dia ikhlas di dalam pembelajarannya, maka sangat mungkin bahwa pintu kepada hidup yang bercahayakan kebahagiaan di akherat kelak akan digapainya.
Saya menjadi teringat kepada ungkapan yang sangat mendasar dari Sayyidina Ali yang menyatakan bahwa dia akan mengabdikan dirinya kepada orang yang mengajarnya meskipun hanya satu huruf. Ya satu huruf sudah cukup untuk menjadikan orang suci seperti Sayyidina Ali akan mengabdikan dirinya. Sebuah ungkapan yang saya rasa menggambarkan betapa mulianya seorang guru atau pendidik.
Pekerjaan sebagai pendidik memang tidak bergelimang dengan uang. Baru akhir-akhir ini saja seorang guru memperoleh penghasilan yang memadai karena kebijakan pemerintah untuk memberikan tunjangan profesi bagi para guru atau tenaga pendidik. Pada waktu sebelumnya banyak guru atau pendidik yang hanya memperoleh gaji yang kecil dan bahkan tidak cukup untuk mengebulkan dapur.
Melalui tunjangan profesi, maka para guru bisa menikmati kehidupan yang cukup. Makanya juga semakin banyak guru yang memiliki mobil atau sekurang-kurangnya sepeda motor atau rumah yang layak. Jadi secara ekonomi, para guru atau pendidik sudah memiliki kebanggaan sebagai guru profesional.
Namun demikian, tunjangan profesi bukan hanya sekedar pemberian tanpa makna. Bukan sekadar bagi-bagi uang kepada para guru. Ketika dilakukan kebijakan seperti ini, maka yang diinginkan oleh pemerintah adalah bahwa dengan memperbaiki struktur penggajian pada guru, maka kualitas pendidikan di Indonesia akan menjadi lebih baik. Sebab dengan gaji guru yang memadai, maka guru akan bisa berkonsentrasi dalam proses pembelajaran, sehingga aktivitas pembelajaran akan menjadi lebih baik.
Dunia ini adalah sebuah proses pertukaran. Maka ketika pemerintah melakukan perbaikan pada struktur penggajian pada guru, maka guru juga harus memberikan pengabdiannya lebih kongkrit. Jadi, harus ada perbaikan kinerja guru sebagai pertukaran atas perbaikan gaji yang diperolehnya. Jika tidak, maka pemberian pemerintah tersebut menjadi sia-sia adanya.
Sayangnya bahwa mental para guru belum berubah. Perbaikan gaji tersebut dianggap sebagai pemberian cuma-cuma. Sehingga mereka juga tetap bermental business as usual. Belum ada perubahan yang signifikan tentang mindset guru yang sudah disertifikasi. Sertifikasi hanya dianggap sebagai kewajiban pemerintah dan hak guru untuk mendapatkannya. Seharusnya para guru juga memahami bahwa ada kewajiban dan tanggungjawab yang besar bagi para guru untuk mensukseskan program pemerintah di dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana amanat di dalam Pembukaan UUD 1945.
Jika sekarang kualitas pendidikan Indonesia masih kalah dibandingkan dengan Malaysia, Singapura, Thailand dan negara-negara Asia lainnya, maka ke depan harus ada perubahan yang signifikan tentang kualitas pendidikan Indonesia.
Langkah yang dilakukan pemerintah dengan sertifikasi guru merupakan kebijakan yang tepat. Melalui program ini, maka kesejahteraan guru menjadi baik. Dan konsekuensinya adalah para guru juga harus semakin sadar untuk memperbaiki kinerjanya. Jika tidak, maka anggaran pendidikan sebanyak 20 persen dari APBN dan yang 70 persen untuk gaji dan tunjangan tenaga pendidik akan melayang sia-sia.
Jika ini yang terjadi, maka besaran anggaran pendidikan tidak seimbang dengan hasil yang dicapainya. Oleh karena itu, pekerjaan mulia para guru itu hanya akan menjadi cibiran orang, sebab antara kemulyaan dan hasil yang dicapai tidak seimbang.
Seharusnya ada keseimbangan antara kemulyaan pekerjaan dengan hasil yang dicapai. Semakin mulya pekerjaan, maka akan semakin baik produk yang dihasilkannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

REKONSTRUKSI PENDIDIKAN KEGURUAN (3)

Sebagaimana telah saya tulis sebelumnya Rekonstruksi Pendidikan Keguruan (2), maka sudah ada hal yang saya jelaskan, yaitu rekonstruksi kurikulum dan rekonstruksi sistem pembelajaran. Berikut ini akan saya tulis lanjutannya.
Ketiga, rekonstruksi tanggung jawab profesi. Sebagaimana dijelaskan di dalam UU Guru dan Dosen, bahwa ada empat kompetensi yang harus dimiliki oleh guru dan dosen, yaitu kompetensi profesional, kompetensi pedagogis, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. Saya kemudian menekankan satu lagi, yaitu kompetensi akademis, yaitu relevansi antara gelar kesarjanaan dan ilmu pengetahaun yang akan diajarkannya atau ditransformasikannya. Kompetensi akademis tersebut akan mendasari pada kompetensi profesionalnya.
Saya menganggap bahwa kompetensi profesional lebih berciri khas tanggungjawab kepada dunia profesionalitas yang ditekuninya. Orang profesional ditandai dengan keluwasan pengetahuan, sikap yang relevan dengan pengetahuan dan pekerjaannya dan juga memiliki keahlian yang relevan dengan bidang tugas yang dikerjakannya. Makanya secara akademis pekerjaannya dapat dipertanggungjawabkan, lalu secara profesional juga memadai tanggungjawabnya dan secara pedagogis juga menguasai metodologi dan pendekatan yang seharusnya digunakan di dalam mencapai tujuan bidang tugasnya.
Bagi saya rekonstruksi tanggungjawab ini menjadi penting, sebab ada perubahan yang sangat mendasar dari orang profesional dan bukan profesional. Seseorang yang profesional, maka harus memperhatikan secara mendasar tentang proses dan produk dari sebuah aktivitas yang dilakukannya. Tidak boleh hanya berorientasi produk, sebab tidak ada produk yang baik kecuali melalui proses yang baik. Itulah sebabnya, saya menolak keras terhadap lembaga-lembaga pendidikan yang instan di dalam melaksanakan program pendidikannya.
Kenyataannya, bahwa dewasa ini banyak lembaga pendidikan yang menyelenggarakan proses pendidikan ala kadarnya. Di mana-mana menyeruak mengenai pembelajaran melalui klas jauh bahkan jauh sekali. Dan anehnya, program seperti ini banyak diikuti oleh para guru yang nota bene adalah para pendidik yang seharusnya menjadi teladan di dalam proses pembelajaran.
Program pendidikan untuk menghasilkan para guru, seharusnya menjadi teladan di dalam proses pendidikan. Tidak boleh ada dusta di dalam proses pendidikannya. Artinya, bahwa program tersebut harus diselenggarakan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggungjawab. Jika kita kemudian memperoleh data bahwa yang lulus UKA dengan reratanya di bawah 50, maka hal ini merupakan konsekuensi logis dari program pembelajaran yang belum maksimal.
Tentu saja data tersebut harus dikomparasikan dengan asal pendidikan, usia guru, dan juga pengalaman mengajar sehingga kita akan memperoleh gambaran yang lebih riil tentang penyebab mengapa mereka memperoleh nilai yang reratanya masih belum memadai tersebut.
Di dalam bayangan kita bahwa seorang guru yang memperoleh pendidikan strata satu dalam bidangnya, kemudian memiliki pengalaman mengajar yang cukup lama, dan juga wawasan keilmuan yang memadai, seharusnya akan dapat memberikan gambaran tentang keilmuannya tersebut. Jika kemudian mereka tidak mampu menggambarkan dirinya dalam kapasitas seperti itu berarti ada sesuatu yang kurang tepat. Makanya yang mesti dilihat adalah tanggungjawab lembaga pendidikan yang memproduknya.
Rasanya pemerintah perlu untuk mengambil peran lebih besar di dalam memonitor dan mengevaluasi terhadap lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan dengan tanpa memperhatikan proses pembelajarannya. Bagi saya bahwa lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan dengan cara seperti ini sesungguhnya mencedarai terhadap sikap dan tanggungjawab profesionalisme yang diemban oleh guru.
Jadi memang diperlukan rekonstruksi mentalitas penyelenggara pendidikan terutama yang terkait dengan pendidikan guru, sebab jika program pendidikan guru mengalami kegagalan di dalam mengembangkan visi kependidikan bagi calon guru atau penyetaraan guru, maka tentu akibatnya akan menyesakkan.
Tanggung jawab pengembangan pendidikan sesungguhnya berada di pundak orang yang menyelenggarakan pendidikan dan juga orang yang secara nyata menjadi guru. Oleh karena itu, maka para penyelenggara pendidikan guru dan juga para guru yang dihasilkannya mestilah memiliki kesadaran baru tentang betapa urgensinya pendidikan bagi kemajuan bangsa.
Guru yang baik akan menghasilkan murid yang baik. Murid yang baik akan menghasilkan kompetisi bangsa yang baik pula.
Wallahu a’lam bi al shawab.