• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

GOOD GOVERNANCE PADA PERGURUAN TINGGI

GOOD GOVERNANCE PADA PERGURUAN TINGGI:

Pengalaman Pendidikan Tinggi Islam.[1]

Ptof. Dr. Nur Syam, MSi

Director General of Islamic Education

A.    Pendahuluan

Di dalam kenyataannya, bahwa membangun pendidikan tidak akan pernah selesai dan tuntas. Jika  suatu bangsa selesai menangani satu   masalah pendidikan, akan tumbuh lagi masalah lain dan yang lebih mendasar lagi bahwa masalah pendidikan adalah masalah yang sistemik. Artinya penyelesaiannya tidak bisa bercorak parsial. Hal ini terjadi karena tuntutan perubahan social yang terus terjadi, khususnya di bidang pendidikan.

Sebagai suatu proses, maka proses pendidikan tidak hanya sekadar mempersiapkan anak didik untuk mampu hidup dalam masyarakat sekarang, tetapi mereka juga harus disiapkan untuk hidup di masyarakat yang akan datang. Sesuai dengan konsepsi UNESCO, bahwa pembelajaran  adalah to know, to do, to be dan to live together. Artinya bahwa pendidikan tidak hanya untuk kepentingan meningkatkan pengetahuan dan bahkan kerja, tetapi lebih jauh adalah untuk kepentingan membangun hidup bersama. Itulah akhirnya diputuskan bahwa yang menjadi sasaran pendidikan bukan hanya kecerdasan intelektual, tetapi juga kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritual. Pendidikan harus bisa mengarahkan anak didiknya untuk mencapai kecerdasan spiritual ini.

 

B.     Tantangan Pendidikan Indonesia

Ada beberapa tantangan yang terbentang di hadapan kita dalam melangkah ke depan, yakni tantangan internal dan eksternal. Pertama, pada era globalisasi, dunia mengalami perkembangan teknologi yang dahsyat, termasuk teknologi informasi, sehingga masyarakat akan mengalami mobilitas yang sangat cepat. Akibatnya masyarakat akan mengalami perubahan yang drastis, yang menyebabkan umat juga mengalami ketidakseimbangan. Selain itu, globalisasi juga akan memudahkan masuknya nilai-nilai baru. Begitu deras nilai-nilai baru itu membanjiri masyarakat sehingga amat sering tidak lagi dapat di kontrol secara memadai. Akhirnya anggota masyarakat menjadi mengalami kebingungan dan ketidak-seimbangan hidup.

Kedua, di tengah nuansa perubahan sosial yang cepat sebagai akibat globalisasi, maka lembaga pendidikan dan sistem pendidikan harus menjadi penopang yang kuat. Oleh karena itu, lembaga dan sistem pendidikan harus  dapat berfungsi secara optimal. Sistem ini akan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai, dan juga membina serta memelihara para tenaga pendidik agar  memiliki kompetensi yang relevan dan memiliki kesejahteraan ekonomi optimal.

Ketiga, lembaga dan sistem pendidikan harus dapat memelihara nilai-nilai budaya yang khas keindonesiaan. Nilai-nilai budaya dapat menjadi faktor utama di dalam proses transformasi pendidikan. Kebudayaan yang kuat meresap di dalam proses pendidikan tentu akan menjadi faktor penting di dalam proses menuju hasil pendidikan yang berkarakter keindonesiaan. Selain itu juga dapat menjadi elemen penting di dalam proses kompetisi antar bangsa di era global ini.

Secara umum, kualitas pendidikan Indonesia memang belum semaju pendidikan di Asia Tenggara lainnya. Laporan Kompas, 29/09/2011, tentang Education Development Index (EDI) tentu sangat menarik. Laporan ini mengungkapkan bahwa dari sebanyak 127 negara, maka EDI Indonesia menempati peringkat 69, sementara Malaysia berada di urutan 65 dan Brunei di urutan 34. Brunei memang maju pesat dalam indeks pendidikannya yang tentu saja disebabkan oleh kepedulian pemerintah terhadap dunia pendidikan. Malaysia juga berkembang pesat dalam pengelolaan pendidikannya, meskipun di tahun 1970-an pernah memperoleh bantuan asistensi dalam program pendidikan tinggi dari Indonesia.

Berdasarkan konsepsi Education for All (EFA), yang kemudian dijadikan sebagai tolok ukur oleh Global Monitoring Report setiap tahun, maka Indonesia menempati angka 0,934 pada tahun 2008. EDI dikatakan tinggi jika capaiannya adalah 0,95-1.  Kategori medium jika capaiannya adalah di atas 0,80 dan rendah adalah di bawah angka 0,80. Nilai EDI Indonesia sebesar 0,934 tersebut diperoleh dari rangkuman perolehan empat kategori, yaitu angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi menurut kesetaraan jender dan angka bertahan siswa hingga kelas V sekolah dasar (SD).

Pencapaian angka EDI Indonesia ini tentu saja bukan sesuatu yang menggembirakan mengingat bahwa sebenarnya pemerintah Indonesia memiliki peluang yang besar untuk peningkatan EDI ini. Memang jika dibandingkan dengan beberapa negara Asia kita harus menyatakan kalah, sebab pada tahun 1995 saja anggaran pendidikan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand bahkan Filipina sudah berada jauh di atas anggaran pendidikan Indonesia. Kala itu anggaran pendidikan Indonesia baru sebesar 10,2 persen dari APBN, sementara Singapura sudah mencapai angka 21 persen.

Tetapi besaran anggaran bukanlah pengungkit utama di dalam perubahan pendidikan. Bagi bangsa Indonesia yang besar dengan jumlah pulau, penduduk  dan juga varian-varian suku dan sebagainya juga menjadi persoalan khusus di dalam peningkatan EDI ini. Jika di Jawa kita bisa melihat perkembangan pendidikan yang sangat baik, akan tetapi ketika kita  melihat kondisi pendidikan di daerah terpencil, maka kita harus menyatakan bahwa pendidikan Indonesia memang belum maju.

Kita masih melihat gap antara kualitas pendidikan di Jawa dengan wilayah lain. Pembangunan yang lebih terkonsentrasi di wilayah barat dengan berbagai dukungan potensi dan sumber daya mengakibatkan adanya kesenjangan tersebut. Dan akibatnya tentu saja EDI kita belum bisa masuk ke jajaran grade tinggi, sebab perimbangan kualitas pendidikan yang tidak balance. Jadi meskipun di wilayah barat maju akan tetapi di wilayah timur terpuruk. Akibatnya peringkatnya juga masih berada pada kategori medium.

Pendidikan adalah modal bangsa untuk pembangunan berkelanjutan. Makanya, investasi pendidikan merupakan kemutlakan bagi bangsa ini jika ke depan ingin sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Itulah sebabnya pendidikan harus dilakukan dengan kreatif dan inovatif.

Di Indonesia terdapat  lembaga pendidikan tinggi yang dikelola di bawah kementerian pendidikan dan kebudayaan, kementerian agama dan jga kementerian atau lembaga pemerintahan lainnya.  Perguruan tinggi dibawah kementerian pndidikan dan kebudayaan meliputi universitas, institute, politeknik dan pendidikan lain yang setara universitas. Demikian pula lembaga pendidikan di bawah kementerian agama. Ada enam universitas, 13 institut dan 33 sekolah tinggi. Universitas yang berada di bawah kementerian agama adalah Universitas Islam Negeri  Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Islam Negeri Syarif Kasim, Riau, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, Universitas  Islam Neger I Alauddin Makasar, Universitas Islam Negeri  Sunan Gunung Jati Bandung.

Sebagaimana universitas di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, maka unversitas di bawah kemeterian agama juga mengelola program studi umum seperti  program teknologi, sains, ilmu social dan bahkan ilmu kesehatan dan kedokteran.  Selain itu juga ada beberapa Institut Agama Islam Negeri yang mengelola program studi wider mandate, seperti ilmu social, humaniora dan juga sains.

Selain mengelola  perguruan tinggi negeri (52 PTN), maka juga terdapat perguruan tinggi Islam swasta (PTAIS) yang kebanyakan berada di pesantren, dengan kekhusuan program studi keislaman.  Ada sebanyak  539 PTAIS yang tersebar di seluruh Indonesia.  Secara keseluruhan lembaga pendidikan tinggi di bawah kementerian agama menampung 570.067 mahasiswa.  

C.    Pilar Pengembangan Pendidikan Indonesia

1.      Peningkatan akses dan pemerataan

There are three pillars for development of higher education in Indonesia.  The pillars are to extent the access and pemerataan,  empowering the quality and relevance and  making good governance for all of the higher educations.

Untuk kepentingan peningkatan akses, maka PTAI banyak membuka program studi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.  Namun demikian, program studi yang banyak didirikan oleh masyarakat adalah program studi pendidikan agama Islam. Ada factor yang menentukannya, yaitu kedekatan program studi ini dengan  kebutuhan pendidikan yang terus berkembang di masyarakat.

Di dalam kerangka pemerataan pendidikan, maka  juga dilakukan pemberian beasiswa oleh pemerintah melalui anggaran masing-masing PTAIN, seperti program beasiswa miskin,  program Beasiswa pendidikan Miskin dan berprestasi (BIDIKMISI), dan bantuan pembebasan Sumbangan Pembiayaan Pendidikan (SPP) dan sebagainya. Selain itu juga ada sejumlah beasiswa yang diberikan oleh perusahaan nasioal dalam jumlah yang sudah ditetapkan.

Perluasan akses tanpa diikuti dengan pemerataan pendidikan tentu kurang bermakna. Oleh sebab itu, pembukaan prodi baru atau lembaga pendidikan baru tentu juga harus diikuti dengan  pemberian kesempatan bagi masyarakat untuk mengakses pendidikan dimaksud. Pemerintah mencanangkan sebanyak 30 persen calon mahasiswa miskin dan berprestasi akan diberikan bantuan dalam bentuk beasiswa.

2.       Peningkatan Mutu dan Relevansi

Untuk kepentingan peningkatan mutu dan relevansi, maka strategi yang diambil adalah dengan peningkatan kualitas dosen, peningkatan sarana dan prasarana dan juga penguatan kelembagaan. Di dalam hal ini, maka peningkatan kualitas dosen melalui program studi lanjut, pendidikan dan pelatihan dosen melalui short course, percepatan program sertifikasi dosen, dan sebagainya.

Selain itu juga peningkatan kualitas sarana dan prasarana melalui kerjasama dengan Islamic Development Bank (IDB), AUSAID, JICA dan sebagainya. Semuanaya dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan relevansi pendidikan dengan mutu pendidikan.

Kita telah melihat perkembangan yang sangat mengagumkan dari beberapa universitas Islam Negeri dengan perkembangannya yang cepat baik terkait dengan program studi, jumlah mahasiswa dan juga penguatan sarana dan prasarana pendidikan. 

3.      Penguatan Manajemen dan Tata Kelola PTAI

Di antara variabel yang menjadi persyaratan mendasar dalam tata kelola adalah pemihakan dalam bentuk kebijakan. Pemihakan pada kebijakan yang bersearah kepada penciptaan ekselensi menjadi variabel substansial. Variabel ini dianggap sebagai sangat penting sebab tanpa pemihakan yang sangat mendasar tentang apa dan bagaimana agar menjadi excellence, maka segala sesuatunya pastilah tidak akan menjadi yang terbaik. Salah satu contoh yang sangat mendasar adalah pemihakan tentang anggaran. Betapapun memiliki visi yang sangat baik, tentang apa dan bagaimana program ekselensi tersebut akan dilaksanakan, namun jika tidak didukung oleh penganggaran yang sangat memadai, maka hanya akan menjadi mimpi. Work without vision is day dream. Vision without work is nightmare. Jadi mimpi harus diubah menjadi kenyataan. Dan agar ide dapat menjadi kenyataan, maka haruslah didukung oleh seperangkat tindakan praksis yang berupa kebijakan yang selaras dengan implementasi visi dimaksud.

Ada  tiga indikasi untuk mengukur kesungguhan pimpinan perguruan tinggi di dalam mengelola pendidikan.  Pertama  adalah pengakuan internasional tentang pelayanan prima melalui pengakuan ISO. Kedua,  pengakuan internasional tentang peringkat lembaga pendidikan kelas dunia atau World Class University (WCU).  Ketiga,  pengakuan nasional tentang standart akademik melalui Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT).

Pertama, tentang pengakuan internasional dalam pelayanan prima.  Di era global seperti sekarang, maka sebuah institusi akan dianggap baik,  jika  di dalam pemberian pelayanannya dapat dikategorikan sebagai pelayanan prima. Yaitu pelayanan yang diberikan kepada pelanggan agar para pelanggan merasa puas dengan pelayanan tersebut.

Pelayanan prima adalah paradigm baru di dalam dunia manajemen bisnis yang kemudian juga diadaptasi oleh manajemen nir-laba, seperti dunia pendidikan. Inti dari pelayanan prima adalah memberikan yang terbaik bagi para pelanggan, yaitu kepuasan pelanggan. Manajemen pendidikan juga dituntut untuk mengedepankan pelayanan prima tersebut. Di dalam hal ini, maka perguruan tinggi juga harus mempertimbangkan jasa apa yang akan dijual kepada para pelanggannya dan jasa tersebut bisa memuaskan pelanggannya.

Sebagaimana diketahui,  bahwa ada lima jasa yang dijual oleh perguruan tinggi, yaitu jasa kurikuler, jasa penelitian, jasa pengabdian masyarakat, jasa administrasi dan jasa ko-kurikuler. Kelima jasa ini yang disebut sebagai jasa pendidikan. Di PT dikenal yaitu sistem akademik yang terkait dengan pelayanan jasa pendidikan (kurikuler)  dan administrasi pendidikan.  Makanya, melalui sistem akademik yang baik, maka akan didapatkan pelayanan administrasi pendidikan yang memuaskan.

Agar pelayanan akademik menjadi baik, maka syarat-syarat kualifikasi pendidikan yang baik juga harus dipenuhi. Misalnya, dosen dan  perkuliahannya berkualitas, karya akademis dosen dan mahasiswanya berkualitas, perpustakaannya sangat baik dengan koleksi yang lengkap dan sebagainya. Sebagai sebuah sistem, maka  keterpaduan antar sub sistemnya menjadi sangat penting.

Untuk mengukur apakah pelayanan akademik sebuah PT sudah standart internasional atau belum,  maka digunakanlah standart ISO 9001 tahun 2008, yaitu standart internasional untuk mengukur tentang mutu pelayanan yang sudah dilakukan oleh sebuah lembaga. Melalui standart ISO ini,  maka akan diketahui bahwa sebuah lembaga pendidikan sudah bermutu atau belum.

Kedua, pengakuan sebagai World Class University (WCU). Di tengah persaingan antar lembaga pendidikan tinggi, maka pengakuan internasional tentang kualitas lembaga menjadi sangat penting. Ada banyak standart untuk menilai tentang WCU ini, antara lain adalah Time Higher Education Supplement (THES), Shanghai Jiaotong dan juga Webometrics. Bagi perguruan tinggi di Indonesia, maka untuk masuk ke dalam WCU dalam standart Shanghai Jiaotong tentu sangat sulit, sebab ukurannya yang sangat tinggi, misalnya staf akademiknya ada yang pernah memperoleh Nobel Prize. Akan tetapi untuk memperoleh Webometrics tentu masih sangat mungkin. Dengan menggunakan ukuran kekuatan website PT, maka akan diketahui berapa ranking yang dimiliki oleh PT dimaksud.

Di Indonesia sudah banyak PT yang memasuki WCU melalui peringkat Webometrics ini. Di dalam pengumuman peringkat Webometrics bulan Januari 2012, maka ada beerapa PTAIN yang memasuki peringkat Webometrics, yaitu UIN Malang, IAIN Sunan Ampel, UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, UIN Bandung dan sebagainya. Untuk bisa memasuki WCU dalam peringkat Webometrics ini, maka harus ada upaya yang sangat konsisten yaitu dengan mengerahkan semua kemampuan untuk mengembangkan website. Dalam contoh IAIN Sunan Ampel, ternyata butuh waktu 4 tahun untuk mengembangkan website yang akhirnya bisa diakui memiliki rangking dunia. Saya teringat betul bahwa ICTnisasi IAIN Sunan Ampel diresmikan oleh Menteri Agama, Maftuh Basuni, pada tahun 2005 dan kemudian 2009 masuk ke dalam webometrics.

Ketiga, pengakuan standart akademis yang dilakukan oleh BAN PT. Sebagaimana diketahui bahwa pengakuan kualitas akademis yang melibatkan BAN-PT sudah menjadi kewajiban bagi PT. Bahkan sudah ditentukan bahwa tahun 2014, semua program studi harus berakreditasi, kecuali prodi yang baru saja didirikan.  Melalui pengakuan BAN-PT, maka kualitas  lembaga pendidikan yang bersangkutan sudah memperoleh pengabsahan.

Sebagai salah satu badan akreditasi, maka BAN-PT memiliki otoritas untuk menentukan mana prodi yang layak memperoleh pengakuan terakreditasi dan mana yang tidak. Melalui pengakuan ini, maka standart akademik PT tersebut tentu sudah dianggap layak sebagai lembaga penjual jasa pendidikan.  Melalui standart kualifikasi A, B dan C yang diterapkannya, maka BAN-PT akan memberi kualifikasi sesuai dengan kenyataan riil di lapangan.

 Di dalam hal ini, maka kualifikasi akademik PT tentu sangat penting. Semakin banyak prodi yang memperoleh skore A maka semakin baik kualifikasi lembaga pendidikan tersebut dan sebaliknya semakin banyak yang memperoleh C atau bahkan tidak terakreditasi, maka semakin rendah kualifikasi akademik lembaga pendidikan tersebut. IAIN Sunan Ampel ternyata memiliki kualifikasi yang cukup memadai, sebab ada yang berkualifikasi A, B dan C. dan sebagaimana diketahui,  maka kebanyakan memang masih berskor B. Hal ini berarti bahwa masih harus ada peningkatan kualitas di masa depan.

Melalui pengukuran tiga hal ini, maka akan diketahui bagaimana kualitas lembaga pendidikan tinggi itu. Jika ketiganya bisa diraih, maka berarti bahwa pimpinan lembaga pendidikan tinggi tersebut telah bekerja keras sesuai dengan wewenang dan kemampuan yang dimilikinya.  Jadi tidak perlu ada keraguan tentang  kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas dari para punggawa lembaga pendidikan tinggi ini.

 

 

 



[1] Paper presented in the Meeting of Sidney University in Jakarta, May, 14, 2012

.

Categories: Opini