• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENJADI GURU

Sungguh ketika Kemendikbud melincurkan gagasan tentang Uji Kompetensi Awal (UKA) banyak orang yang merasakan bahwa kebijakan tersebut kurang memihak kepada para guru yang sudah lama mengajar. Kebijakan itu kurang pro guru, sehingga lembaga yang khusus memiliki otoritas di bidang guru, PGRI, juga menyatakan keberatannya. Alasannya adalah karena tidak ada di dalam aturan yang di atasnya, apakah UU Sisdiknas maupun UU Guru dan Dosen.
Karena berbagai keberatan dan pertimbangan itu pula, maka Kementerian Agama dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Islam membuat suatu kebijakan yang sesuangguhnya aecara semangat dan konten sama dengan UKA, hanya saja bedanya adalah jika UKA berfungsi untuk meluluskan atau tidak meluluskan, sementara itu Uji Kompetensi di Direktorat Jenderal Pendidikan Islam berfungsi sebagai placement test. Mereka yang nilainya baik maka akan masuk sertifikasi gelombang pertama, sementara yang nilainya kurang maka akan masuk gelombang akhir. Yang diharapkan adalah bahwa mereka yang nilainya kurang akan belajar selama menunggu proses sertifikasi berlangsung.
Akan tetapi ketika hasil UKA diumumkan oleh Kemendikbud, maka semua menjadi tercengang sebab nilai rata-rata kelulusannya hanyalah 42,22. Artinya, bahwa kualitas para guru yang akan disertifikasi memang rendah. Jika mengacu kepada indikator profesional yang menjadi ciri khas guru, maka menunjukkan bahwa pengetahuan para guru ternyata masih belum menggembirakan.
Melalui gambarab data ini maka bisa dinyatakan bahwa pengetahuan para guru tentang profesioalisme guru ternyata masih rendah. Bahkan dari sebanyak 100 soal yang diberikan oleh tim penguji, maka ada yang nilainya sanga memprihatinkan. Yaitu kurang dari sepuluh yang benar. Artinya bahwa pengetahuan dan pemahaman serta pengalaman mengajarnya memang masi dipertanyakan.
Kita sesungguhnya agak heran juga, sebab sekarang ini semakin banyak guru yang memiliki ijazah setara strata satu. Sebab untuk bisa mengikuti progran sertifikasi, maka secara formal seorang guru harus memiliki ijazah Strata satu. Yang bisa dipertanyakan adalah bagaimana seorang sarjana strata satu pendidikan kemudian memiliki pengetahuan yang kurang memadai tentang pendidikan. Dan pertanyaan lainnya adalah apakah pengalamannya selama mengajar tidak memberikan kontribusi bagi dunia pendidikan yang seharusnya diketahuinya.
Ada asumsi tentang rendahnya pengetahuan kompetensi para guru tersebut, yaitu program penyetaraan pendidikan yang dilakukan sekedarnya. Ada banyak guru yang memperoleh pendidikan setara strata satu secara asal-asalan. Ada banyak lembaga pendidikan, tentu tidak bisa disebut namanya, yang menyelenggarakan program penyetaraan tanpa diikuti oleh kualitas yang memadai. Mereka menawarkan paket-paket pendidikan yang memudahkan bagi peserta program strata satu untuk meyelesaikan pendidikan dengan paket kemudahan. Misalnya, kuliah sabtu dan minggu dalam bentuk klas jauh.
Saya kira sudah menjadi pengetahuan banyak orang tentang model pembelajaran yang berupa paket kemudahan untuk memperoleh ijazah tersebut. Dan sayangnya bahwa banyak guru yang kemudian tertarik untuk mengikuti model pendidikan seperti itu. Ada gambaran bahwa yang penting memiliki ijazah, dari mana dan bagaimana prosesnya serta kualitasnya bukan menjadi masalah. Akibatnya, banyak guru yang memiliki ijazah Strata satu, akan tetapi tingkat pengetahuan dan kapabilitasnya kurang memadai.
Oleh karena itu, UKA menjadi salah satu alat ukur untuk memahami tentang bagaimana pengetahuan para guru tentang profesionalisme dosen, sebelum mereka mengikuti program ini, sehingga treatmen yang akan diberikan kepada mereka tidak akan salah arah.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PENDIDIKAN BERBASIS KOMUNITAS

Kita sering membanggakan pendidikan luar negeri, seperti Australia, Singapura, Korea Selatan dan sebagainya karena kehebatannya di dalam merancang pendidikan berbasis vokasional. Artinya bahwa seseorang tidak diarahkan untuk memasuki pendidikan akademik jika yang diinginkan memang untuk kepentingan bekerja. Jadi pendidikan memang menjadi instrumen untuk bekerja.
Hal ini memang berbeda dengan Indonesia yang di dalam kenyataannya lebih mengedepankan pendidikan akademis. Banyak lembaga pendidikan yanh bersearah dengan kepentingan mencetak sarjana di dalam berbagaj keahliannya. Gelar kesarjanaan lalu menjadi impian bagi banyak anak muda.
Akan tetapi kenyataannya bahwa ijazah tidak cukup ampuh untuk menjadi instrumen bekerja. Ada banyak ijazah yang kemudian tidak laku di pasaran kerja. Ijazah yang diperoleh tidak match dengan kebutuhan lapangan pekerjaan. Akibatnya banyak pengangguran tenaga terdidik di Indonesia.
Itulah sebabnya bahwa ada banyak keinginan untuk merumuskan pendidikan yang disebut sebagai Community College yang nantinya diharapkan akan menjadi sarana bagi pendidikan masyarakat yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Konsorsium perusahaan bisa mendirikan Community College untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerjanya.
Perusahaan yang sejenis akan bisa secara bersama-sama untuk mendirikan lembaga pendidikan untuk pemenuhan tenaga kerja. Melalui cara seperti ini, maka pendidikan akan bisa sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja. Oleh karena itu maka bangunan kurikulum dan lingkungan pendidikan akan dapat diserasikan dengan kepentingan pekerjaan.
Di dalam hal ini, maka lembaga pendidikan benar-benar didesain untuk kepentingan mengisi lowongan dunia kerja. Yang diperlukan bukan gelar kesarjanaan akan tetapi adalah keahlian untuk bekerja sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.
Mungkin salah satu kelemahan yang diderita oleh dunia pendidikan kita adalah semakin banyaknya lembaga pendidikan yang mengusung konsep pendidikan ilmu sosial dan humaniora ketimbang pendidikan ilmu eksak yang di dalam banyak hal lebih relevan dengan dunia pekerjaan.
Memang harus diakui bahwa untuk mengembangkan pendidikan eksak jauh lebih rumit ketimbang mendirikan pendidikan berbasis ilmu sosial dan humaniora. Diperlukan infrastruktur yang jauh lebih rumit. Artinya, bahwa mendirikan program studi ilmu sosial dan juga humaniora akan jauh lebih terjangkau. Namun akibatnya adalah kurang relevannya lulusan dengan kebutuhan dunia pekerjaan.
Namun demikian bukan berarti bahwa pendidikan ilmu sosial dan humaniora tidak penting, akan tetapi kiranya memang diperlukan kearifan di dalam mengembangkan program studi yang lebih marketabel.
Kiranya memang dibutuhkan analisis kebutuhan di dalam kerangka untuk memetakan kebutuhan akan sebuah lembaga pendidikan.Hingga hari ini saya kira belum ada peta tentang relevansi lulusan pendidikan tinggi dengan kebutuhan tenaga kerja. Seharusnya ada sebuah studi berskala makro untuk memetakan seberapa perbandingan antara jumlah lulusan perguruan tinggi dalam berbagai variannya dengan keperluan tenaga kerja yang membutuhkan lulusan pendidikan tinggi. Seharusnya ada studi makro seperti ini dan kemudian dijadikan sebagai kerangka untuk merumuskan kebijakan makro pendidikan.
Jika hal ini tidak dilakukan, maka kita tidak akan memiliki kebijakan yang relevan dengan tuntutan tenaga kerja di satu sisi dengan pengembangan pendidikan di sisi yang lain. Jadi memang dibutuhkan kebijakan yang relevan dengan arah pembangunan pendidikan di Indonesia yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PENDIDIKAN BUKAN HANYA MENCETAK TUKANG

Sekarang ini memang lagi dibicarakan secara terus menerus mengenai pendidikan yang bersearah dengan dunia lapangan pekerjaan. Melalui program pendidikan yang dinamakan Community College, maka diharapkan bahwa kesenjangan antara dunia pendidikan dengan dunia pekerjaan akan dapat dikurangi sedikit demi sedikit.
Melalui program pendidikan ini, maka gap antara dunia pendidikan dengan dunia kerja akan dapat direduksi sedemikian rupa. Selama ini ada tudingan bahwa lembaga pendidikan tidak menyediakan tenaga yang siap bekerja. Pendidikan akademis yang banyak diselenggarakan di Indonesia tidak memberikan jaminan bahwa yang bersangkutan siap bekerja atau ready for use.
Kenyataannya bahwa di Indonesia memang lebih banyak pendidikan dengan jenjang akademis ini. Hampir semua universitas menyelenggarakan pendidikan akademis. Kecuali institut yang memang didesain untuk kepentingan menyelenggarakan pendidikan vokasional, seperti beberapa institut tekonologi yang memang diperuntukkan bagi pengembangan kapasitas berpekerjaan.
Pendidikan yang baik saya rasa adalah pendidikan yang bisa mengembangkan dua hal sekaligus, yaitu mengembangkan kapasitas kemampuan yang relevan dengan tuntutan dunia pekerjaan, dan kemudian juga mampu mengembangkan kapasitas kemanusiaan. Pengembangan kapasitas kerja tentu bisa dilaksanakan dengan menggenjot hadirnya lembaga-lembaga pendidikan vokasional yang akan menjadikan para mitra didik untuk menjadi ahli di bidangnya. Jika yang dibidik adalah ahli komputer, maka disediakan lembaga pendidikan yang akan menjadikan mereka sebagai ahli komputer, baik untuk pemrograman atau lainnya. Jika yang dibutuhkan adalah ahli teknik industri sandang, maka disiapkan lembaga pendidikan untuk kepentingan tersebut. Jika yang dibutuhkan ahli teknologi pangan, maka didirikan lembaga pendidikan yang cocok dengan kebutuhannya. Begitu seterusnya.
Jika pendidikan hanya didesian seperti ini, maka yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan hanyalah tukang-tukang. Misalnya tukang komputer, tukang sandang, tukang pangan, tukang industri dan sebagainya. Sesungguhnya yang dibutuhkan bukan sekedar tukang akan tetapi adalah orang yang memiliki hakikat kemanusiaan dengan visi dan misi pengembangan dunia keperjaan yang digelutinya.
Makanya dunia pendidikan, apapun jenjang dan bentuknya harus menghasilkan kapasitas kemanusiaan yang unggul. Yaitu manusia yang memiliki visi untuk membawa kepentingan pekerjaannya dalam kepentingan kemanusiaan yang jauh lebih luas. Jadi pendidikan harus diarahkan tidak hanya menjadi tukang, akan tetapi menjadi manusia yang utuh di dalam pekerjaannya.
Tukang hanya pekerja. Yang ingin diciptakan oleh dunia pendidikan adalah seorang tukang yang memiliki wawasan kebudayaan keindonesiaan yang memadai. Jadi bukan tukang yang tanpa visi kebudayaan, akan tetapi tukang yang memiliki visi kebangsaan yang jelas. Jadi pendidikan mestilah diarahkan untuk mengembangkan manusia Indonesia yang memiliki kemampuan vokasional yang baik, akan tetapi juga memiliki karakter dan kepribadian Indonesia yang luhur.
Pendidikan bangsa memang menjadi tugas pemerintah, masyarakat dan dunia usaha. Oleh karena itu, maka pendidikan di Indonesia harus didesain agar bisa merengkuh dua kapasitas sekaligus, yaitu sebagai manusia yang memiliki kemampuan profesional sesuai dengan bidangnya akan tetapi berbasis pada kebudayaan bangsa yang memang harus dikembangkannya.
Jika dunia pendidikan tidak mengarahkan dirinya seperti ini, maka dikhawatirkan bahwa pendidikan hanya menghasilkan tukang yang siap mengabdi kepada siapa saja tanpa memiliki identitas sebagai bangsa Indonesia yang besar dan adiluhung.
Makanya pendidikan karakter bangsa, pendidikan berbasis kebudayaan bangsa dan pendidikan berbasis religiositas yang moderat kiranya menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua untuk mendesainnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PENDIDIKAN UNTUK PEMBEBASAN

Jika kita cermati, sebenarnya tujuan kemerdekaan itu adalah untuk membebaskan masyarakat dari ketidakbebasan menuju kepada kebebasan. Lalu kebebasan macam apa yang sesungguhnya diinginkan? Tentu adalah kebebasan yang di dalamnya tidak ada penindasan, tidak ada kebodohan dan tidak ada ketidakadilan dan sebagainya.
Kali ini saya ingin menuangkan pemikiran saya tentang pendidikan yang membebaskan sebagai tujuan kemerdekaan. Di dalam pembukaan UUD 1945 secara cerdas dirumuskan bahwa kemerdekaan bertujuan dan terkait dengan mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadi memang sejak semula bahwa bangsa ini sudah didesain untuk menjadi bangsa yang cerdas.
Kecerdasan sebuah bangsa tentu tidak hanya diukur dari kecerdasan intelektual, akan tetapi adalah kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Kecerdasan intelektual saja tentu tidak cukup sebab harus dibarengi dengan kecerdasan emosional. Kecerdasan intelektual dan emosional saja juga tidak cukup sebab harus memiliki kecerdasan spiritual. Kecerdasan konprehensif inilah yang sebenarnya menjadi keinginan dan cita-cita bangsa Indonesia di dalam merengkuh kemerdekaan.
Kepintaran saja tidak cukup untuk membangun negeri ini. Banyak orang yang pintar, akan tetapi jika dasar filsafat kehidupannya berbasis pada materialisme dan kapitalisme, maka juga tidak akan mampu membangun negeri ini menjadi lebih baik. Makanya dibutuhkan orang yang memiliki basis kecerdasan yang konprehensif, yaitu cerdas tetapi memiliki basis religiositas yang memadai.
Saya kira apa yang diinginkan oleh WR Soepratman ketika menciptakan lagu Indonesia raya adalah gambaran yang jelas mengenai arah dan tujuan bangsa ini, yaitu membangun jiwa dan membangun badan atau raga. Pembangunan spiritualitas dan materialitas. Jadi membangun bangsa itu harus dalam dua sisi sekaligus, yaitu membangun jiwa dan membangun raga atau membangun rohani dan jasmani. Dua hal yang tidak bisa dipisahkan di dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Ketika menciptakan lagu kebangsaan ini, saya yakin bahwa penciptanya menghayati betul tentang kehidupan bangsa ini, yaitu bangsa yang religius. Bangsa yang begitu sadar akan arti pentingnya spiritualitas dan kerohanian. Makanya kemudian dirumuskan lagunya yang mengkover dua hal sekaligus, yaitu jiwa dan badan.
Pendidikan seharusnya juga menjadikan dua aspek ini sebagai pijakannya. Yang diajarkan tidak hanya pendidikan “kebadanan” akan tetapi juga “kejiwaan”. Pendidikan yang mengarahkan pada aspek ilmu pengetahuan sosial, dan ilmu alam yang akan menjadikan mitra didik untuk memahami tentang dunia kerja dan pekerjaan, akan tetapi juga mengasahnya dengan pendidikan tentang humaniora dan agama. Sebagai bangsa yang religius, kita tidak boleh salah di dalam mengajarkan tentang pendidikan “kejiwaan”. Jika salah, maka akan menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang sekuler. Dan jika kemudian yang diajarkan hanyalah pendidikan “kejiwaan” saja tanpa memberikan pendidikan “keragaan” maka akan menjadikan insan yang fundamentalis.
Sungguh suatu kecerdasan yang sangat konprehensif ketika bangsa ini memilih lagu kebangsaan, bentuk negara dan dasar negara sebegaimana yang kita lihat sekarang. Melalui tiga hal yang cocok dan berbasis pada kehidupan bangsa itulah maka bangsa Indonesia akan bisa eksis di tengah kehidupan yang modern, demokratis dan kompetitif. Melalui pendidikan yang seimbang antara jasmani dan rohani, maka bangsa ini akan dapat meraih kebebasan dalam artian yang sangat mendasar. Bangsa yang modern tetapi religius, bukan bangsa yang modern tetapi sekular.
Arah pendidikan Indonesia ke depan dengan demikian adalah untuk mencetak generasi Indonesia yang moderen berbasis religiositas, cerdas dan kompetitif yang berbasis pada bingkai humanitas dan nilai-nilai spiritual yang tinggi.
Wallahu a’lam bi al shawab.

PENDIDIKAN BERBASIS KEBUDAYAAN BANGSA

Ketika terjadi perubahan nomenklatur kementerian dari Kementerian Pendidikan Nasional menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, maka orang yang pertama senang adalah Prof. Daoed Yoesoef, sebab beberapa bulan sebelumnya beliau mengkritik dengan tegas, bagaimana pemerintah memisahkan pendidikan dan kebudayaan dan memasukkan kebudayaan ke dalam kementerian Pariwisata. Beliau mengkritik bahwa memisahkan pendidikan dan kebudayaan adalah sesuatu yang tidak mungkin. Kebudayaan jangan direduksi menjadi produk budaya yang berupa seni, dan sebagainya.
Kebudayaan itu lebih dari sekedar produk budaya, sebab ia merupakan seperangkat pengetahuan yang dijadikan sebagai referensi di dalam melakukan tindakan. Kebudayaan merupakan keseluruhan dari pengetahuan manusia yang dijadikan sebagai pedoman di dalam menginterpretasikan tindakan-tindakannya. Sebagai seperangkat pengetahuan, maka kebudayaan berfungsi sebagai referensi dan interpretasi tindakan. Tidak hanya baik dan buruk, akan tetapi juga tentang keindahan, keadilan, kebahagiaan dan sebagainya yang dapat dirasakan oleh manusia di dalam kehidupannya.
Dengan memasukkan kebudayaan kembali berdampingan dengan pendidikan, maka ajakan untuk membangun pendidikan berkebudayaan akan kembali terajut. Artinya bahwa pendidikan dan kebudayaan memang sesuatu yang tidak bisa dipisahkan, sebab pendidikan adalah proses transformasi kebudayaan yang paling tepat. Kebudayaan tidak akan dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang melalui pariwisata, akan tetapi hanya dapat diwariskan melalui pendidikan.
Pendidikan merupakan wahana yang paling tepat untuk mewariskan nilai nilai kebudayaan pada warga bangsa. Pendidikan yang berhasil adalah pendidikan yang tidak mencerabut akar kebudayaan yang selama ini menjadi pegangan dan pedoman untuk melakukan tindakan.
Sekarang ini banyak kita jumpai pendidikan yang tercerabut dari akar kebudayaan bangsa. Banyak pendidikan yang mengejar label internasional, sekolah unggulan dan perguruan tinggi unggulan yang kemudian mencerabutkan dirinya dari akar budaya bangsa dan nilai-nilai kebudayaan yang agung. Pendidikan apapun status dan labelnya harus menjadi wahana bagi pengembangan dan penumbuhan budaya bangsa yang adiluhung.
Di kota-kota besar menjamur lembaga pendidikan yang mengusung label internasional. Dan kemudian menjadi idola masyarakat yang juga sesungguhnya lagi demam dengan kosa kata internasional. Pokoknya kalau ada label internasionalnya, maka dianggapnya sebagai kebanggaan dan harga diri. Jadi, semua beranggapan bahwa kata internasional adalah jaminan bagi yang bersangkutan untuk beridentitas modern dan manusia global.
Kita sungguh merasakan bahwa kata global yang berarti menginternasional sudah menyihir semua masyarakat untuk terlibat di dalamnya. Globalisasi tentu tidak akan bisa dilawan. Kita hanya akan mengikuti dengan pasrah atau sedikit kritis. Sebagai bangsa dengan harga diri yang jelas, maka mestinya kita melakukan kekritisan terhadap semua yang berlabel internasional ini.
Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan menganalisis apakah pendidikan dengan label internasional ini bisa menjadi wahana bagi penumbuhan dan pengembangan nilai budaya bangsa. Jangan sampai sebuah lembaga pendidikan didirikan di Indonesia, akan tetapi kemudian menjadi agen bagi pengembangan budaya asing yang mencerabut masyarakat Indonesia dari budayanya sendiri.
Negara ini harus kuat untuk melakukan tindakan yang seharusnya diambil dalam kerangka menyelamatkan bangsa dan negara ini dari rongrongan dan penetrasi nilai budaya asing yang secara terstruktur dilakukan di negeri ini. Makanya harus ada ketegasan bahwa semua lembaga pendidikan di Indonesia harus menumbuhkan dan mengembangkan budaya Indonesia yang secara terstruktur dan kultur mengembangkan hal tersebut.
Kiranya memang diperlukan usaha secara terencana untuk menjadikan semua pendidikan di Indonesia untuk kembali menjadikan budaya Indonesia sebagai basis dan pigura di dalam pengembangan sumber daya manusia Indonesia yang memiliki jiwa keindonesiaan.
Wallahu a’lam bi al shawab.