KE CHANGI LAGI
Rabu pagi, 20/11/2013, saya diajak Pak Menteri Agama, Dr. Suryadharma Ali untuk menemai beliau pada acara orasi ilmiah di Rajaratnam School of International Studies (RSIS) Nanyang Technological University, Singapore. Bersama saya Prof. Dr. Machasin, Dr. Atiq, Prof. Dr. Bachtiar Effendi, dan ajudan Pak Menteri. Jam 6.30 WIB Pak Menteri dan rombongan bertolak ke Singapore dengan pesawat Garuda Indonesia Airways (GIA).
Sebagaimana biasa, maka kedatangan kami disambut oleh staf Duta Besar RI di Singapore. Satu catatan saya yang rasanya tidak berubah adalah kebersihan bandara Changi dan keasrian bandara ini. Begitu tiba di sini, saya teringat sekian tahun yang lalu ketika saya harus begadang semalam suntuk untuk menunggu pesawat yang akan menerbangkan kami ke Amerika Serikat. Sebuah bandara yang besar, berkelas internasional dan kebersihannya luar biasa baik. Bandara ini sepi tidak sebagaimana bandara di Jakarta atau Surabaya, misalnya yang ramainya luar biasa bahkan seperti stasiun kereta Api. Begitu kami sampai di sini, maka kereta api listrik tanpa awak juga menjemput kami untuk sampai ke jalan menuju taksi atau kendaraan yang akan mengantar penumpang keluar bandara.
Singapore memang terkenal sebagai negara dengan kebersihannya yang luar biasa. Bagi orang yang melakukan pelanggaran kebersihan maka tidak akan ada ampunan baginya. Bisa didenda atau hukuman badan yang tegas. Tidak ada kata memberi ampun kepada siapa saja. Tidak kaum elit atau orang awam, maka semuanya akan dikenai hukuman sebagaimana di dalam peraturan perundangan-undangannya. Itulah sebabnya semua orang di sini patuh pada undang-undang negara.
Di Indonesia sebenarnya juga ada peraturan perundangan-undangan yang mengatur tentang kebersihan. Bahkan hukuman denda atau hukuman kurungan badan juga diatur dengan tegas. Akan tetapi masalahnya adalah pada penegakan hukum yang kurang kuat. Tidak ada sangsi yang tegas kepada para pelaku pembuang sampah di sembarang tempat. Di ruang publik banyak sampah berceceran di mana-mana. Orang membuang sampah sembarangan. Di bandara, di rumah sakit, di terminal, di stasiun, di lembaga pendidikan bahkan di Mall orang juga terbiasa membuang sampah sembarangan.
Tentunya bukan tidak disediakan tempat sampah, akan tetapi yang jelas bahwa tradisi membuang sampah sembarangan seakan sudah menjadi bagian dari kehidupan kita. Makanya di ruang publik seperti itu terasa sampah ada di mana-mana. Rasanya kita tidak bisa memulai dari mana untuk mentradisikan kebersihan pada masyarakat kita. Rasanya hal ini sebagai sebuah pesimisme yang menghinggapi nurani kita. Namun demikian, suatu ketika pasti akan ada gerakan sadar kebersihan yang masif, sehingga problem kebersihan akan terselesaikan.
Pak Menteri beserta rombongan diantarkan ke Hotel Marina Mandarin yang jaraknya tentu tidak jauh dari Bandara Changi. Hotel yang terletak di Rafles Boulevard, Marina Square ini berada di pusat perkotaan. Sebagai negara kota, maka di kiri kanan jalan tentunya adalah bangunan-bangunan jangkung yang rata-rata berlantai 20an. Bangunan tersebut terawat dengan sangat baik, sebagai pencitraan bahwa kota ini memang mengusung tema kehidupan berbasis pada kebersihan dan keindahan. Kota modern yang didesain dengan sangat baik tergambar dari tata ruangnya yang bagus.
Yang bagi saya sangat menyenangkan adalah penataan pepohonan dan taman kota yang indah. Di kiri kanan jalan maka banyak pepohonan yang menghijau dan juga taman-taman dengan keasrian yang menyejukkan.
Andaikan Kota Surabaya itu tertata dan didesain yang baik, misalnya jalannya yang lempang, rumah penduduk yang tertata dan iklan-iklan yang tertata dengan apik, maka kota Surabaya tentu punya peluang untuk indah seperti Singapore ini. Sayangnya bahwa pertumbuhan kota di Surabaya ini tidak sebagaimana di Singapore yang memang telah mendesain perkembangan kota sesuai dengan kota modern.
Kami tentu sempat beristirahat sejenak setelah sampai di hotel sambil menunggu waktu makan siang. Sesuai rencana bahwa siang ini, kami dijamu makan siang oleh Dekan RSIS, Prof. Barry Desker dan tamu undangan VIP lainnya. Kami dijamu makan siang di Rang Maha Restaurant dengan pakaian sipil lengkap. Artinya memakai jas dan dasi. Cukup lama waktu makan siang tersebut sebab banyak pembicaraan yang diusung, misalnya tentang peluang kerjasama antar lembaga pendidikan tinggi dan sebagainya.
Setelah makan siang, kami sempat untuk kembali ke hotel. Maklum kami belum bisa masuk kamar semenjak kami datang di hotel ini. Untungnya Pak Atiq sudah mendapatkan kamar yang disediakan oleh RSIS. Jadilah kami menumpang sementara di kamarnya. Jam 14 waktu Singapore memang baru bisa masuk kamar hotel. Kami dan Pak Machasin berada di lantai 17 sementara Pak Menteri di lantai 18.
Ketika jam 15.40 waktu Singapore, maka acara inti orasi ilmiah Pak Menteri dilaksanakan. Ada sebanyak kira-kira 100 orang yang hadir di acara ini, terutama adalah mahasiswa Pascasarjana. Acara ini tentu sangat menarik sebab terdapat penjelasan yang sangat memadai tentang bagaimana memanej kerukunan antar umat beragama di Indonesia.
Mengamati banyak pertanyaan kritis dari audien maka bisa digambarkan bahwa materi orasi ilmiah Pak Menteri merupakan materi orasi ilmiah yang sangat menarik. Banyak pertanyaan yang menggelitik tentang beberapa masalah, utamanya masalah kerukunan beragama yang terjadi di Indonesia. Saya berkeyakinan bahwa apa yang diberikan oleh Pak Menag adalah kenyataan riil yang dihadapi Indonesia saat ini.
Wallahualam bisshawab.
INDONESIA ITU SURGA DUNIA
Membaca harian Media Indonesia, 27/10/2013, terasa sangat menarik. Hal ini disebabkan adanya laporan tentang semakin banyaknya bintang iklan, model dan pekerja fashion yang berasal dari luar negeri dan menjadi ikon model di Jakarta Fashion Week (JFW) yang diselenggarakan di Senayan City Jakarta. Mereka tidak hanya lenggok lenggok dengan balutan busana perancang atau desainer muda Indonesia, akan tetapi juga menjadi bintang iklan dan sebagainya.
Ternyata, bahwa menjadi model dalam fashion di Indonesia bisa menjadi jembatan untuk meraih prestasi lebih besar dalam perhelatan dunia fashion di pelataran internasional. Baginya, bahwa dengan menjadi model dalam ajang fashion di Indonesia, maka mereka akan bisa memasuki dunia model di Singapura yang memang menjadi ikon dunia model di Asia tenggara.
Bagi kita yang tidak mengenal dunia fashion atau model, maka kita bisa saja merasa bahwa ternyata Indonesia ini luar biasa. Bisa dibayangkan bahwa dunia fashion di Indonesia sudah sedemikian maju. Dalam setahun bisa ada lima sampai enam ajang festival model di Indonesia. Bahkan mereka bisa saja mendapatkan pekerjaan hampir setiap hari, baik untuk pemotretan, fashion maupun job lainnya. Bahkan mereka juga memperoleh bayaran yang lumayan lebih baik. Bisa satu setengah juta sampai lima juta dalam sekali tampil di event fashion.
Sebentar lagi, kita akan memasuki dunia perdagangan bebas. Melalui AFTA yang tahun depan sudah akan terjadi, maka sungguh kita tidak lagi akan bisa mengerem datangnya para pekerja, terutama kaum profesional, di negeri ini. Mereka akan datang dan mengais rezeki di negeri tercinta ini dengan tanpa ada proteksi terhadap para pekerja kita sendiri. Dunia pekerjaan akan menjadi mengglobal tanpa ada kata untuk menghentikannya
Beberapa saat yang lalu kita juga dibuat terkejut dengan sudah dimulainya para dokter luar negeri untuk praktik di negeri ini. Di beberapa rumah sakit ternyata sudah menggunakan tenaga asing di bidang kedokteran ini. Ada dalih yang dikemukakan adalah untuk memberikan asistensi dan pendidikan bagi para dokter kita. Sebuah alasan yang bisa saja merupakan logika yang dibuat-buat. Sebab jika yang diinginkan adalah asistensi dan pendidikan maka seharusnya bukan di rumah sakit umum akan tetapi di rumah sakit pendidikan.
Indonesia memang surga bagi siapa saja. Dengan jumlah penduduk yang besar, 210 juga lebih , dengan jumlah pulau dan suku bangsa yang sangat besar, maka indonesia bisa menjadi tujuan bagi para pencari kerja. Terlepas dari keinginan sejumlah orang yang selalu menganggap bahwa yang datang dari luar adalah yang terbaik, akan tetapi kehadiran para model dari luar negeri menggambarkan bahwa persaingan pada sektor bisnis ini juga akan menjadi semakin ketat. Indonesia memang sangat potensial sebagai pasar kerja internasional.
Persaingan global tentu tidak akan bisa dihentikan. Roda perdagangan bebas juga sudah menggelinding tanpa ada kekuatan yang akan menghentikannya. Persaingan ketenagakerjaan sudah ditabuh dan perlawanan juga sudah memulai membuncah. Di dalam konteks ini, maka yang bisa dilakukan adalah bagaimana bersiap diri untuk menjemput kompetisi yang mengglobal ini.
Indonesia memang surga bagi dunia perdagangan dengan negara lain. Termasuk juga surga bagi tenaga kerja asing. Dengan luas wilayahnya dan jumlah penduduknya yang banyak maka memungkinkan Indonesia menjadi tujuan bekerja tenaga luar negeri. Itulah sebabnya, banyak orang luar negeri yang belajar Bahasa Indonesia sebab ke depan Indonesia akan menjadi tujuan bagi para pencari kerja. Fenomena semakin banyaknya dokter yang bekerja di Indonesia dan juga para model untuk tampil dalam panggung mode Indonesia memberikan kesan bahwa ke depan akan semakin banyak mereka yang datang ke Indonesia.
Di dalam menghadapi globalisasi ini mental kita juga belum siap.Jika kita tidak menyiapkan mental dan kultur yang siap menghadapi kontes taksi di era global, maka bisa jadi ke depan kita akan menjadi penonton di negeri sendiri.
Tentu bukannya kita menolak terhadap siapapun yang datang ke Indonesia dengan tujuan tertentu, akan tetapi yang lebih penting adalah bagaimana kita menyiapkan diri untuk kontestasi di era itu. Jangan sampai ke depan tenaga kerja terhormat di ambil oleh orang lain, sementara kita memasuki tenaga kerja rendahan di negara lain.
Oleh karena itu, kesiapan masyarakat dan lembaga pendidikan tinggi untuk menjemput masa depan melalui penyiapan tenaga terampil akan menjadi sangat penting. Semoga kita bisa menyiapkan diri.
Wallahualam bisshawab.
KEPATUHAN PADA VISI DAN INSTITUSI
Di dalam sebuah pertemuan yang dilakukan di UIN Sunan Ampel Surabaya, yang juga dihadiri oleh Pak Adi Kresno, salah satu asisten deputi kementerian PAN & RB, di hotel Utami Surabaya, ada sebuah pertanyaan menarik dari Sdr. Ali Wafa, tentang bagaimana mengatasi konflik internal di dalam organisasi yang seringkali menjadi faktor penghambat bagi pengembangan organisasi tersebut.
Pertanyaan ini tentu sangat menarik untuk disadari dan sekaligus juga direnungkan bahwa konflik internal di dalam tubuh organisasi atau institusi bisa menjadi variabel penting di dalam kelambatan untuk mengembangkan institusi dimaksud. Apakah ada pengalaman yang bisa dijadikan sebagai referensi untuk mengembangkan institusi yang di dalam banyak hal terdapat konflik berkepanjangan?
Meskipun singkat, tulisan ini secara sengaja dijadikan sebagai medium untuk memberikan solusi terhadap kenyataan empiris terjadinya berbagai konflik yang menjadi penghambat bagi pengembangan institusi. Tentu semua berharap bahwa memang diperlukan solusi untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh institusi dan kemudian menjadi jalan keluarga bagi pengembangan institusi dimaksud.
Sesungguhnya setiap institusi atau organisasi pastilah mengalami konflik internal. Tidak ada sebuah organisasi bagaimanapun baiknya sistem yang dikembangkan lalu tidak memiliki sejumlah konflik. Namun demikian, pastilah ada sejumlah institusi atau organisasi yang bisa mengatasi konfliknya dan kemudian maju pesat seirama dengan tujuan dan keinginan bersama untuk maju dan berkembang.
Untuk mengatasi persoalan ini, maka yang sesungguhnya diperlukan adalah menilai ulang terhadap kepatuhan sumber daya manusia (SDM) yang ada di dalam institusi tersebut. Di dalam hal ini yang perlu dinilai ulang adalah kepada siapa sesungguhnya kepatuhan SDM tersebut diberlakukan? Apakah kepada pemimpinnya atau kepada visi dan institusinya. Untuk melihat kenyataan ini, maka ada tiga tipologi kepatuhan SDM bagi organisasi atau institusi. Pertama, kepatuhan kepada pemimpin. Kepatuhan kepada pemimpin tentunya bukan sesuatu yang salah di dalam organisasi atau institusi. Bahkan kiranya sangat diperlukan adanya kepatuhan tersebut. Tanpa kepatuhan kepada pemimpin maka organisasi bisa tidak berwibawa. Akan tetapi problem yang paling banyak terkait dengan institusi atau organisasi juga berada di tipologi pertama ini. Berbagai konflik di institusi sosial, termasuk institusi pendidikan dalam banyak hal difasilitasi oleh konflik kepemimpinan. Ada sejumlah orang yang terlibat di dalam konflik yang bahkan bisa berkepanjangan. Oleh karena itu yang sering bermasalah juga terkait dengan konflik yang disebabkan oleh dimensi kepemimpinan ini. Apalagi di dalam sebuah institusi yang mengandalkan sistem pemilihan untuk menentukan pemimpinnya.
Tipologi kedua, kepatuhan kepada visi dan institusi. Sesungguhnya yang diperlukan adalah kepatuhan pada tipe ini. Melalui kepatuhan kepada tipe ini, maka SDM akan secara bersama-sama untuk mencapai visi dimaksud. Jika semua komponen di dalam institusi mengusung bersama tentang visi dan institusi, maka akan dapat dipastikan bahwa institusi tersebut akan maju dengan pesat. Oleh karena itu, kepatuhan kepada visi organisasi akan menentukan terhadap kemajuan institusi. Semua program, aktivitas dan SDM akan mendukung dan secara bersama mengembangkan organisasi.
Ketiga, kepatuhan pada visi organisasi dan pemimpin. Tipe ketiga adalah tipe ideal. Namun demikian juga yang paling sulit. Artinya bahwa di dalam organisasi yang menggunakan sistem pemilihan untuk menentukan pemimpinnya, maka tentu akan ditemukan tingkat kesulitan yang tinggi. Di dalam organisasi ini dapat dipastikan akan terdapat rivalitas dan bahkan konflik kepentingan yang tidak sedikit. Akibatnya, maka benturan kepentingan dan penguasaan terhadap institusi juga sangat dominan. Makanya jika terdapat peralihan kepemimpinan, maka juga sering terjadi konflik antar mereka. Sehingga kubu atau kelompok yang saling bertentangan juga saling mengeliminasi keberadaan masing-masing. Yang memimpin sering diganggu dengan berbagai aktivitas untuk mendeskreditkan oleh rivalnya dan juga sebaliknya.
Tipe kedua, sesungguhnya sangat baik sebab setiap orang yang terlibat di dalam organisasi seharusnya memiliki kepatuhan kepada visi dan institusinya. Komitmennya harus jelas bahwa mereka tidak akan merusak terhadap institusinya. Tidak ada keinginan yang kuat untuk merusak terhadap eksistensi organisasinya. Oleh karena itu, melalui kepatuhan terhadap visi dan institusinya akan dapat mereduksi terhadap kuatnya kepentingan pada masing-masing individu. Semakin patuh SDM di dalam institusi pada visi dan institusinya, maka akan semakin kecil peluang untuk terjadinya konflik berkepanjangan.
Saya menjadi teringat kepada statemen Agung yang diberikan oleh Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy, kala beliau menyatakan bahwa “right or wrong is my country”. Statemen ini sepertinya mengandung makna negatif, sebab seharusnya adalah yang benar adalah negara saya dan yang salah bukan negara saya. Jadi jika ada orang yang menyatakan seperti itu pastilah memiliki kesalahan ideologis.
Akan tetapi, statemen ini tentu saja berangkat dari konsepsi bahwa kesetiaan terhadap negara atau organisasi adalah sesuatu yang utama. Jadi, seseorang harus menempatkan dirinya kepada ikatan primordial yang harus dipatuhinya.
Dengan demikian, kepatuhan sudah selayaknya diberikan kepada visi dan institusi dan bukan semata-mata kepada pemimpin. Pemimpin boleh berganti tetapi visi dan institusi akan terus ada. Jika kepatuhan diberikan kepada visi dan institusi maka kesetiaan itu juga akan berlangsung lama selama institusi tersebut masih ada. Jadi, sebaliknya ketika muncul konflik di antara elemen di dalam institusi, maka sebaliknya kembalilah kepada visi dan institusi, sebab pengabdian itu memang selayaknya diberikan kepadanya.
Wallahualam bisshawab.
KEPEMIMPINAN UNTUK KEMASLAHATAN (2)
Di masa lalu, kepemimpinan menjadi medium bagi Kemaslahatan dan kebaikan umat. Tentu pernyataan ini sangat tendensius. Sebab kapan masa lalu itu dan kapan juga waktunya terjadi dan yang lebih penting lagi bahwa tidak semuanya menjadikan kepemimpinan sebagai kemaslahatan umat tetapi kemaslahatan bagi diri dan keluarganya. Tentu juga ada banyak contoh untuk menggambarkan bagaimana kepemimpinan ternyata tidak semuanya untuk masyarakat.
Kata kunci kepemimpinan memang terletak pada para pemimpinnya. Artinya bahwa seorang pemimpin yang baik di dalam sistem yang jelek juga akan menghasilkan kebaikan, akan tetapi pemimpin yang jelek di dalam sistem yang baik juga bisa saja menghasilkan produk kepemimpinan yang jelek. Apalagi pemimpin yang jelek di tengah sistem yang jelek. Tetap saja man behind the gun.
Jika kita timbang, mungkin juga ada baiknya menggunakan konsep kepemimpinan yang berorientasi pada politik kebangsaan dan kepemimpinan yang berorientasi pada politik non kebangsaan. Yang saya maksud dengan politik kebangsaan adalah politik yang diarahkan pada bagaimana mencapai tujuan kebangsaan, yaitu untuk melindungi segenap bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa, keterlibatan dalam perdamaian abadi dan mencapai kesejahteraan. Politik kebangsaan dapat diukur berdasar atas ketercapaian pada empat pokok pikiran di dalam Pembukaan UUD 1945.
Sedangkan politik nonkebangsaan adalah politik yang didasari oleh penguasaan suatu sumber atau sumber lainnya, baik politik, ekonomi bukan untuk pembangunan bangsa akan tetapi untuk kepentingan sendiri atau untuk sekelompok orang. Dewasa ini kepemimpinan diartikan sebagai sumber kekuasaan. Makanya, setiap pemimpin juga akan mengukur dimensi kepemimpinannya itu di dalam ukuran seberapa kepemimpinan itu menjadi sumber atau aset untuk menghasilkan keuntungan yang lebih banyak pada aspek materi. Sebagaimana kita lihat ada banyak pemimpin yang terkena masalah disebabkan oleh penggunaan kepemimpinan sebagai aset untuk keuntungan diri.
Kita sungguh merasakan bahwa banyak pemimpin yang terpaksa harus mendekam di penjara yang disebabkan oleh penggunaan kepemimpinan sebagai aset ini. Semaraknya korupsi dan kolusi serta abuse of Power menjadi bagian dari pemanfaatan kepemimpinan sebagai aset ini. Sesungguhnya, Islam menggambarkan bahwa setiap pemimpin akan ditanyakan tentang bagaimana kepemimpinannya dan akuntabilitas kepemimpinannya. Makanya, ketika pemimpin tidak menggunakannya di dalam jalur yang benar, maka juga akan berakibat pada situasi sosial umatnya.
Sebagai agen, seorang pemimpin akan menentukan terhadap kehidupan umatnya. Di dalam sejarah Islam dijelaskan tentang bagaimana seorang Umar bin Abdul Azis menjadi pemimpin yang bijak dan berorientasi pada kemaslahatan umatnya. Bukankah banyak pemimpin di era Bani Muawiyah, yang juga menjadikan negara tersebut maju dan berkembang. Akan tetapi Umar bin Abdul Azis menjadi istimewa karena kebijakan dan kemaslahatan umat yang dikedepankannya. Sebagai raja, dia tidak tergoda untuk menggunakan kekuasaannya untuk kepentingannya sendiri.
Hal ini yang sungguh berbeda. Dewasa ini banyak pemimpin yang memanfaatkan kepemimpinan untuk kepentingan dirinya tetapi dibalut dengan kepentingan umat. Ada sebuah contoh bagaimana penggunaan kekuasaan untuk kepentingan diri dan keluarganya. Bagaimana anggota sebuah keluarga dapat memimpin di sejumlah tempat dan menguasai berbagai macam program Pemerintah. Proyek-proyek pembangunan di berbagai wilayah dapat dikuasainya. Tentu saja penguasaan itu disebabkan oleh adanya kolusi yang menjadi sebuah realita. Proyek-proyek pembangunan yang nilainya ratusan Milyar dapat dikerjakannya. Semua bersumber dari penggunaan kekuasaan yang berbasis pada pemaknaan sebagai aset.
Kepemimpinan yang benar saya kira adalah kepemimpinan yang orientasinya untuk kemaslahatan umat itu. Kepemimpinan yang tidak dimaksudkan untuk memperkaya diri atau keluarganya. Kepemimpinan tersebut hanya ditujukan untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Tidak terlintas di dalam pikiran pemimpin itu untuk menjadikan rakyat hidup di dalam ketidakkesejahteraan dan ketidakbahagiaan.
Jika dewasa ini masih banyak penduduk Indonesia yang belum layak di dalam kehidupannya, maka salah satunya adalah disebabkan oleh visi pemimpinnya yang belum memihak kepada kepentingan rakyat. Ada banyak pemimpin yang masih berorientasi pada kepentingan diri dan keluarganya. Masih ada sikap aji mumpung. Mumpung berkuasa, maka dimanfaatkanlah kekuasaannya itu untuk memenuhi ambisi pribadinya.
Oleh karena itu, mestinya semua pemimpin seharusnya memiliki visi kemaslahatan ini jika pemimpin tersebut ingin dikenang sebagai pemimpin yang bisa berbuat kebajikan dan kemaslahatan untuk umatnya.
Wallahualam bisshawab.
KEPEMIMPINAN UNTUK KEMASLAHATAN (1)
Saya bersyukur di saat sulitnya mencari peluang waktu yang cukup, saya dapat memberikan orasi di Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Giri Bojonegoro, 19/10/2013, dalam acara wisuda sarjana strata satu.. Saya senang sebab saya bisa berbagi informasi dengan Kyai Haji Achwan Affandi, yang sekarang menjabat sebagai Ketua Yayasan Sunan Giri Bojonegoro. Kyai Achwan Affandi adalah pendiri perguruan tinggi Islam swasta ini. Bersama beberapa kyai lainnya, beliau juga mendirikan perguruan swasta setingkat pendidikan dasar dan menengah.
Kita seringkali beranggapan bahwa yang memiliki pemikiran ideal tentang banyak hal hanyalah orang kota yang akademis dan intelektual. Seringkali ada bias lokus terkait dengan gagasan-gagasan yang riil dan cerdas. Ada sementara pemikiran bahwa yang memiliki gagasan baik dan orisinal itu hanya orang kota dengan pendidikan yang baik, atau kalangan akademisi yang hidup di menara gading.
Di dalam perjalanan ke lokasi acara itulah kami bisa berbincang tentang banyak hal termasuk tentang kepemimpinan sekarang dan bedanya dengan kepemimpinan di masa lalu. Ada kerinduan yang sangat kuat dari kyai kita ini tentang kepemimpinan di masa lalu yang dinilainya lebih ikhlas dan religius. Di matanya, bahwa di zaman dahulu untuk menjadi pemimpin sebuah organisasi tidak didasarkan atas ambisi pribadi atau dorongan sekelompok orang, akan tetapi adalah dorongan keagamaan dan pengabdian kepada organisasi dan masyarakat.
Kyai yang jebolan pesantren ini ternyata memiliki pandangan yang sangat baik terkait dengan fenomena dewasa ini utamanya terkait dengan bagaimana proses dan produk kepemimpinan di semua lini. Ada motif yang berbeda dengan pemimpin di masa lalu dengan sekarang. Jika di masa lalu kepemimpinan diarahkan lebih kepada menjaga kepentingan umat dan agama, maka sekarang lebih cenderung kepada kepentingan diri yang dibalut dengan kepentingan umat. Makanya, banyak pemimpin yang kemudian terjebak pada persoalan yang tidak kunjung selesai. Misalnya, persoalan korupsi, penyalahgunaan kekuasaan dan sebagainya.
Beliau mengambil contoh dalam kepemimpinan NU di masa lalu. Di dalam perhelatan Munas NU di Surabaya tahun 1971. acara ini digunakan untuk memilih Rais Syuriah dan juga ketua Tandidziyah NU. Yang menarik adalah pada saat itu, Kyai Wahab Hasbullah sudah dalam keadaan uzur. Tetapi beliau tetap hadir di dalam perhelatan nasional untuk memilih kepemimpinan NU tersebut.
Pada waktu itu, maka para muktamirin secara aklamasi memilih Kyai Bisri Syansuri sebagai Rais am PB NU. Tetapi apa yang terjadi, bahwa Kyai Bisri ternyata menolak jabatan sebagai ketua Syuriah PBNU. Bagaimana bisa beliau menolak amanat yang diberikan oleh ratusan peserta muktamirin yang terdiri dari para ulama, kyai dan juga pengurus NU. Ternyata alasannya adalah karena Kyai Wahab masih hidup, sehingga beliau merasa tidak pantas menjadi Rais Syuriah. Di pandangannya, bahwa masih ada seorang kyai yang sangat layak untuk menjadi pemimpin.
Di dalam hal ini Kyai Bisri menyatakan, bahwa: “biarkan saya yang bekerja tetapi pemimpinnya tetap pada Kyai Wahab”. Beginilah cara para ulama NU di masa lalu untuk menapaki dunia kepemimpinan. Jika masih ada orang yang lebih berhak karena senioritas dan kewiraiannya serta keulamaannya, maka dialah yang lebih berhak. Maka, kyai Bisri memilih untuk bekerja membantu kyai Wahab di dalam jabatan sebagai pemimpin NU. “Biar saya yang bekerja”, demikian pernyataan Kyai Bisri.
Jadi mereka berebut untuk bekerja bukan dalam formalitas sebagai pemimpin di dalam organisasi. Mereka bukan melihat pemimpin sebagai aset kekuasaan. Akan tetapi adalah lahan pengabdian. Makanya, bukan menjadi ketua atau pemimpin puncak yang diinginkan akan tetapi adalah pekerjaan dan amal saleh yang menjadi tujuannya. Ulama di masa lalu lebih mementingkan kepentingan umat dibanding kepentingan komunitas atau bahkan individu.
Marilah kita lihat bagaimana cara memilih pemimpin di era sekarang. Di era demokrasi yang semi liberal di semua lini kehidupan organisasi ini, maka dalih yang sering digunakan adalah “kebebasan” dan pilihan “individu”. Makanya siapapun selama yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan maka akan bisa bersaing atau berkompetisi di dalam merebut kekuasaan. Makanya, juga tidak aneh jika di dalam organisasi terjadi pertarungan yang sengit disebabkan oleh pandangan tentang demokrasi yang seperti itu.
Memang ada perbedaan yang mendasar tentang cara pandang terhadap kepemimpinan. Jika dahulu kepemimpinan adalah pengabdian dan kewajiban ijtimaiyah atau kewajiban kemasyarakatan, maka sekarang kepemimpinan adalah sumber kekuasaan. Makanya, menjadi pemimpin identik dengan kepemilikan kekuasaan. Siapa yang memiliki sumber kekuasaan, maka akan dapat menggunakan sumber kekuasaan tersebut untuk kepentingan apa saja. Baik untuk akses kepentingan komunitas atau kepentingan individu.
Zaman memang sudah berubah. Dan aktor sejarah juga berubah. Oleh karena itu orientasi pemimpin juga berubah. Dan salah satu di antara perubahannya adalah bagaimana para aktor tersebut memandang tentang kepemimpinan dan kekuasaan. Memang semua perbuatan tergantung pada niatnya, dan kita semua tentu berharap bahwa setiap pemimpin memiliki niat untuk membawa kepada kemaslahatan dan kebaikan.
Wallahualam bisshawab.