KEPEMIMPINAN UNTUK KEMASLAHATAN (1)
KEPEMIMPINAN UNTUK KEMASLAHATAN (1)
Saya bersyukur di saat sulitnya mencari peluang waktu yang cukup, saya dapat memberikan orasi di Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Giri Bojonegoro, 19/10/2013, dalam acara wisuda sarjana strata satu.. Saya senang sebab saya bisa berbagi informasi dengan Kyai Haji Achwan Affandi, yang sekarang menjabat sebagai Ketua Yayasan Sunan Giri Bojonegoro. Kyai Achwan Affandi adalah pendiri perguruan tinggi Islam swasta ini. Bersama beberapa kyai lainnya, beliau juga mendirikan perguruan swasta setingkat pendidikan dasar dan menengah.
Kita seringkali beranggapan bahwa yang memiliki pemikiran ideal tentang banyak hal hanyalah orang kota yang akademis dan intelektual. Seringkali ada bias lokus terkait dengan gagasan-gagasan yang riil dan cerdas. Ada sementara pemikiran bahwa yang memiliki gagasan baik dan orisinal itu hanya orang kota dengan pendidikan yang baik, atau kalangan akademisi yang hidup di menara gading.
Di dalam perjalanan ke lokasi acara itulah kami bisa berbincang tentang banyak hal termasuk tentang kepemimpinan sekarang dan bedanya dengan kepemimpinan di masa lalu. Ada kerinduan yang sangat kuat dari kyai kita ini tentang kepemimpinan di masa lalu yang dinilainya lebih ikhlas dan religius. Di matanya, bahwa di zaman dahulu untuk menjadi pemimpin sebuah organisasi tidak didasarkan atas ambisi pribadi atau dorongan sekelompok orang, akan tetapi adalah dorongan keagamaan dan pengabdian kepada organisasi dan masyarakat.
Kyai yang jebolan pesantren ini ternyata memiliki pandangan yang sangat baik terkait dengan fenomena dewasa ini utamanya terkait dengan bagaimana proses dan produk kepemimpinan di semua lini. Ada motif yang berbeda dengan pemimpin di masa lalu dengan sekarang. Jika di masa lalu kepemimpinan diarahkan lebih kepada menjaga kepentingan umat dan agama, maka sekarang lebih cenderung kepada kepentingan diri yang dibalut dengan kepentingan umat. Makanya, banyak pemimpin yang kemudian terjebak pada persoalan yang tidak kunjung selesai. Misalnya, persoalan korupsi, penyalahgunaan kekuasaan dan sebagainya.
Beliau mengambil contoh dalam kepemimpinan NU di masa lalu. Di dalam perhelatan Munas NU di Surabaya tahun 1971. acara ini digunakan untuk memilih Rais Syuriah dan juga ketua Tandidziyah NU. Yang menarik adalah pada saat itu, Kyai Wahab Hasbullah sudah dalam keadaan uzur. Tetapi beliau tetap hadir di dalam perhelatan nasional untuk memilih kepemimpinan NU tersebut.
Pada waktu itu, maka para muktamirin secara aklamasi memilih Kyai Bisri Syansuri sebagai Rais am PB NU. Tetapi apa yang terjadi, bahwa Kyai Bisri ternyata menolak jabatan sebagai ketua Syuriah PBNU. Bagaimana bisa beliau menolak amanat yang diberikan oleh ratusan peserta muktamirin yang terdiri dari para ulama, kyai dan juga pengurus NU. Ternyata alasannya adalah karena Kyai Wahab masih hidup, sehingga beliau merasa tidak pantas menjadi Rais Syuriah. Di pandangannya, bahwa masih ada seorang kyai yang sangat layak untuk menjadi pemimpin.
Di dalam hal ini Kyai Bisri menyatakan, bahwa: “biarkan saya yang bekerja tetapi pemimpinnya tetap pada Kyai Wahab”. Beginilah cara para ulama NU di masa lalu untuk menapaki dunia kepemimpinan. Jika masih ada orang yang lebih berhak karena senioritas dan kewiraiannya serta keulamaannya, maka dialah yang lebih berhak. Maka, kyai Bisri memilih untuk bekerja membantu kyai Wahab di dalam jabatan sebagai pemimpin NU. “Biar saya yang bekerja”, demikian pernyataan Kyai Bisri.
Jadi mereka berebut untuk bekerja bukan dalam formalitas sebagai pemimpin di dalam organisasi. Mereka bukan melihat pemimpin sebagai aset kekuasaan. Akan tetapi adalah lahan pengabdian. Makanya, bukan menjadi ketua atau pemimpin puncak yang diinginkan akan tetapi adalah pekerjaan dan amal saleh yang menjadi tujuannya. Ulama di masa lalu lebih mementingkan kepentingan umat dibanding kepentingan komunitas atau bahkan individu.
Marilah kita lihat bagaimana cara memilih pemimpin di era sekarang. Di era demokrasi yang semi liberal di semua lini kehidupan organisasi ini, maka dalih yang sering digunakan adalah “kebebasan” dan pilihan “individu”. Makanya siapapun selama yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan maka akan bisa bersaing atau berkompetisi di dalam merebut kekuasaan. Makanya, juga tidak aneh jika di dalam organisasi terjadi pertarungan yang sengit disebabkan oleh pandangan tentang demokrasi yang seperti itu.
Memang ada perbedaan yang mendasar tentang cara pandang terhadap kepemimpinan. Jika dahulu kepemimpinan adalah pengabdian dan kewajiban ijtimaiyah atau kewajiban kemasyarakatan, maka sekarang kepemimpinan adalah sumber kekuasaan. Makanya, menjadi pemimpin identik dengan kepemilikan kekuasaan. Siapa yang memiliki sumber kekuasaan, maka akan dapat menggunakan sumber kekuasaan tersebut untuk kepentingan apa saja. Baik untuk akses kepentingan komunitas atau kepentingan individu.
Zaman memang sudah berubah. Dan aktor sejarah juga berubah. Oleh karena itu orientasi pemimpin juga berubah. Dan salah satu di antara perubahannya adalah bagaimana para aktor tersebut memandang tentang kepemimpinan dan kekuasaan. Memang semua perbuatan tergantung pada niatnya, dan kita semua tentu berharap bahwa setiap pemimpin memiliki niat untuk membawa kepada kemaslahatan dan kebaikan.
Wallahualam bisshawab.