• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

SEPAKBOLA DAN RELIGIOSITAS ANAK-ANAK MUDA

SEPAKBOLA DAN RELIGIOSITAS ANAK-ANAK MUDA
Saya tentu saja menikmati sajian atau tayangan sepakbola di RCTI (8/10/2013) dalam moment pertandingan Pra Piala Asia U-19 tahun antara Garuda Muda Indonesia dengan Laos. Meskipun saya tidak bisa bermain bola, akan tetapi tidak mengurangi kecenderungan saya untuk nonton bola apalagi jika yang berlaga adalah tim nasional dan utamanya dalam moment pertandingan final.
Saya menjadi teringat ketika tim usia 23 tahun berlaga dalam final melawan Maroko dalam even Islamic Solidarity Games di lapangan Jakabaring Sumatera Selatan yang saat itu, saya bertepatan ada acara, maka begitu sampai di rumah, yang saya pertanyakan adalah siapa yang menang. Meskipun akhirnya Indonesia kalah melawan Maroko, akan tetapi tentu kita harus realistis bahwa kesebelasan yang beruntung dan bagus yang akan memenangkan pertandingan.
Ketika kesebelasan Indonesia usia 19 tahun berlaga melawan Laos, di Gelora Senayan, maka saya tentu menyempatkan nonton pertandingan tersebut meskipun hanya lewat televisi. Meskipun hanya nonton bola lewat televisi tidak berarti saya tidak menikmatinya. Bahkan mungkin lebih menikmatinya. Biasanya saya ditemani oleh anak-anak saya meskipun perempuan, yang juga suka nonton bola kalau yang berlaga tim Indonesia.
Di dalam laga sepakbola antara tim Indonesia melawan tim Laos tersebut, ada sebuah peristiwa yang sangat menarik bagi saya sebagai seorang pengkaji sosiologi agama. Yaitu peristiwa melakukan sujud bersama kala salah seorang pemain Indonesia memasukkan bola ke gawang lawan. Kala pemain Indonesia, Muchlis Hadi Ning Saifullah mencetak gol melalui sundulan kepala pada menit ke 10 dan tentu berkat umpan matang tendangan bebas Kapten tim, Evan Dimas, maka secara serentak mereka berlari ke pinggir lapangan dan melakukan sujud di lapangan sebagai pertanda rasa syukur mereka atas terjadinya gol di saat itu. Indonesia akhirnya menang 4 – 0 dan hal ini menjadi modal yang bagus untuk laga berikutnya melawan Filipina yang dikalahkan juga oleh tim Korea Selatan yang juga dengan sore 4 – 0.
Laju tim Garuda muda juga terus membaik. Dalam pertandingan berikutnya, Tim Garuda Muda juga menang dengan angka 2-0 lawan Filipina. Andaikan pasukan Filipina tidak menerapkan cara bermain bola negatif, mungkin saja tim Indonesia akan menang dengan jumlah gol yang lebih banyak. Apapun hasilnya tentu saja merupakan modal penting untuk pertandingan selanjutnya. Tetapi satu hal yang konsisten dilakukan oleh mereka ini adalah sujud syukur setiap mereka bisa memasukkan bola ke gawang lawan. Jadi bukan hanya dilakukan saat melawan tim Laos akan tetapi juga pada saat melawan tim Filipina.
Yang sangat menggembirakan adalah ketika tim Garuda Muda berhasil mengalahkan Pasukan Kesatria Taeguk, Korea Selatan dengan score 3-2. Sebuah pertandingan sepakbola yang sangat heroik. Siapapun tidak akan menduga bahwa kesebelasan Garuda Muda akan dapat mengalahkan kesebelasan Korea Selatan yang sudah menjadi juara AFF U 19 tahun sebanyak 12 kali. Sebuah prestasi yang belum bisa disamai oleh negara lainnya. Makanya ketika pasukan Garuda Muda Indonesia memenangkan pertandingan dramatis ini, maka ucapan syukur dari seluruh masyarakat Indonesia menggema di mana-mana. Suka cita pemain, ofisial dan juga pelatih Indonesia serta masyarakat Indonesia mewarnai pesan-pesan penting di negeri ini. Tetapi ada suatu yang sangat penting untuk digambarkan di sini adalah sikap dan tindakan para pemain saat bisa menjebol gawang lawan. Mereka bersujud syukur di lapangan secara bersama-sama. Sungguh sangat indah melihat cara mereka meluapkan kegembiraan dengan sujud syukur ini. Rasanya kita melihat anak muda yang memiliki religiositas yang tinggi.
Di luaran ada banyak anak muda yang tingkat keberagamaannya rendah. Bahkan ada yang tidak memiliki religiositas tersebut. Anak muda sering dianggap kurang memiliki rasa religiositas yang tinggi. Masih ada anggapan bahwa mereka adalah kelompok usia yang mengabaikan kehidupan beragama. Dianggap sebagai kelompok yang lebih suka hura-hura ketimbang menjalankan ibadahnya. Akan tetapi tentu ada kenyataan lain yang membantahnya. Beberapa hari yang lalu saya menulis tentang anak-anak muda yang menghafal AL Quran dalam waktu kurang dari satu tahun. Bahkan ada yang menghafal AL Quran dalam waktu hanya 5,5 bulan. Tentu suatu prestasi yang layak untuk diapresiasi.
Lalu, kita juga melihat anak-anak muda yang bersujud di tengah lapangan lapangan bola kala mereka memperoleh kebahagiaan. Peristiwa ini tentu saja membuat hati kita merasa senang, bahwa anak-anak muda yang punya prestasi tersebut ternyata memiliki kepedulian yang sangat tinggi terhadap ajaran agamanya. Mereka mensyukuri nikmat Tuhan tidak dengan cara yang tidak berlebihan akan tetapi dengan cara bersujud.
Oleh karena itu, kita tidak hanya mengapresiasi atas kemenangan mereka dalam melawan pasukan kesebelasan lainnya, akan tetapi juga mengapresiasi terhadap religiositas mereka yang tinggi. Saya berharap agar mereka akan terus begitu, sehingga ke depan akan terdapat keseimbangan antara kemenangan, rasa syukur dan kejuaraan.
Wallahualam bisshawab.

MEMPERKUAT TIM PENILAI KARYA AKADEMIS

MEMPERKUAT TIM PENILAI KARYA AKADEMIS
Dalam salah satu pertemuan di Hotel Mirah Bogor, yaitu acara Pelatihan Tim Teknis Penilai Karya Ilmiah atau Tim Penilai Angka Kredit untuk kenaikan jabatan bagi para guru RA/MI/MTs/MA, saya menyampaikan beberapa hal yang terkait dengan peningkatan kualitas pendidikan Islam. Sebagaimana yang sering saya nyatakan bahwa era ke depan adalah era kualitas pendidikan. Maka, semua program tentu harus diarahkan pada penguatan kualitas pendidikan Islam.
Ada tiga hal yang harus ditingkatkan terkait dengan pendidikan Islam. Yaitu, pertama: peningkatan akademis. Mengapa peningkatan kualitas akademis menjadi prioritas program? Jawabannya sederhana bahwa ke depan akan terjadi persaingan yang sangat tinggi terkait dengan lembaga pendidikan itu. Semakin maju sebuah lembaga pendidikan maka akan semakin besar penghargaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan dimaksud. Oleh karena itu, peningkatan kualitas pendidikan menjadi kata kunci untuk peningkatan akses. Dewasa ini semakin banyak orang yang memiliki kesadaran untuk memilih pendidikan yang berkualitas meskipun harus membayar lebih mahal. Mereka telah membeli kualitas dan tidak hanya membeli sekolah atau madrasah.
Di dalam hal ini, maka yang harus dipikirkan adalah bagaimana meningkatkan kualitas lembaga pendidikan. Sebenarnya ukuran kualitas lembaga itu adalah mengenai akreditasinya. Semakin tinggi akreditasinya maka semakin berkualitas lembaga pendidikan tersebut. Jika madrasah ingin berkompetisi dengan lembaga pendidikan lainnya, maka satu syaratnya adakah meningkatkan kualitas akreditasinya. Yang berakreditasi C menjadi B dan yang B menjadi A atau A plus. Semuanya harus dipersiapkan atau BU desain dan buk sekedar berjalan atau esay going.
Yang juga mendasar adalah peningkatan kualitas tenaga pendidik dan tenaga kependidikan. Lembaga pendidikan yang baik pasti di belakangnya terdapat guru-guru yang baik. Tidak mungkin ada lembaga yang berkualitas tetapi gurunya dan pimpinannya tidak berkualitas. Saya selalu menyatakan bahwa ada kaitan sistemik antara kualitas guru dengan kualitas lembaga pendidikan dan kualitas out put pendidikannya. Di dalam kenyataannya bahwa masih banyak lembaga pendidikan yang belum memiliki kualitas sebagaimana yang diinginkan. Kalau kita mengaca pada kualitas akreditasi, maka juga masih menyisakan angka 30 persen lembaga pendidikan, seperti madrasah, yang belum terakreditasi.
Kualitas tenaga pendidik tentu ukurannya adalah apakah tenaga pendidik itu sudah profesional ataukah belum. Jika semakin banyak tenaga pendidiknya yang bersertifikasi pendidik, maka semestinya bisa dipastikan bahwa lembaga pendidikan tersebut berkualitas. Hanya saja bahwa akhir-akhir ini terdapat semacam kegalauan tentang kualitas tenaga pendidik kita terutama yang sudah bersertifikat.
Ada anggapan bahwa meskipun para guru kita sudah bersertifikat akan tetapi mandatnya belumlah sebagai orang profesional. Makanya muncul pemikiran bahwa peningkatan jumlah guru yang bersertifikat tidak memiliki korelasi dengan peningkatan kualitas pendidikan. Bahkan yang lebih mengherankan bahwa tidak ada perbedaan antara guru yang sudah bersertifikat dan yang belum bersertifikat di dalam proses belajar mengajar dan juga hasil proses pembelajarannya.
Semua di antara kita tentu harus memiliki kepekaan agar program sertifikasi yang telah menghabiskan anggaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama akan dapat menjadi jembatan untuk memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia. Kita tidak ingin ada teriakan nyaring bahwa program sertifikasi adalah program yang tidak jelas ukuran keberhasilannya. Makanya, program ini harus diikuti dengan perubahan mind set para guru bahwa kenaikan kesejahteraan guru harus berkorelasi dengan peningkatan kualitas pendidikan Indonesia.
Kedua, peningkatan karya tulis. Agar bisa naik jabatan yang lebih tinggi, maka dosen dan guru harus memiliki karya ilmiah. Karya ilmiah tersebut adalah laporan penelitian, karya tulis ilmiah, pembuatan Alat peraga, penulisan modul, penerbitan buku, dan karya teknologi pendidikan. Semua ini dikategorikan sebagai karya inovatif di bidang pendidikan. Guru yang berkeinginan untuk naik jabatan fungsional dan profesionalnya maka harus melengkapi karya inovatif pendidikan ini. Jika tidak maka tidak akan ada kesempatan untuk naik jabatan tersebut.
Guru dituntut untuk membuat karya inovatif ini dengan catatan bahwa karya-karya ini adalah karya mandiri atau tema yang orisinal dan bukan plagiasi atau duplikasi. Ada banyak keluhan bahwa untuk kenaikan jabatan para guru ini ternyata banyak dijumpai karya plagiasi atau duplikasi. Benar tidaknya satu harus ada kajian yang mendalam. Akan tetapi bahwa penilaian secara ketat dan seksama tentang karya ilmiah para guru tentu perlu dilakukan. Bahkan sebaliknya ke depan harus dipikirkan tentang bagaimana agar ada semacam instrumen yang berupa Teknologi Informasi yang bisa menjadi andalan untuk mendeteksi apakah karya ilmiah itu orisinal ataukah plagiasi.
Di dalam hal ini perlu diprogramkan pada tahun depan agar ada sebuah piranti yang sangat canggih untuk melakukan pendeteksian secara memadai tentang orisinalitas karya ilmiah ini. Kiranya juga diperlukan dokumentasi secara akurat tentang karya-karya akademis guru atau dosen sehingga akan mudah diketahui bahwa ada plagiasi atau tidak di dalam karya ilmiah guru. Dengan cara seperti ini, maka ke depan akan dihasilkan karya-karya orisinal yang akan menjadi kekuatan sebuah lembaga pendidikan.
Ketiga, administrasi pendidikan. Salah satu kelemahan kita adalah persoalan pengadministrasian karya tulis atau karya pengabdian dan juga program pembelajaran di lembaga pendidikan kita. Salah satu di antara tugas tim penilai karya ilmiah ini adalah mencermati terhadap bukti-bukti yang diberikan oleh para guru di dalam kenaikan jabatannya. Oleh karena itu harus ada kecermatan dan keakuratan penilaian terhadap administrasi kenaikan jabatan ini.
Selama ini ada kegalauan tentang bukti keterlibatan para guru di dalam berbagai kegiatan akademis, misalnya sertifikat. Oleh karena itu mencermati dengan kesungguhan terhadap hal ini semua akan menjadi bagian dari proses pengembangan SDM guru dalam kaitannya dengan kualitas pendidikan.
Jadi memang harus ada kerja keras dari semua yang terlibat di dalam peningkatan kualitas pendidikan kita dan tentu saja termasuk peningkatan kualitas para guru kita.
Wallahualam bisshawab.

JIKA PARA GURU DEMO (2)

JIKA PARA GURU DEMO (2)
Saya ingin melanjutkan untuk menulis tentang tindakan para guru yang melakukan demonstrasi. Sebagaimana saya tulis sebelumnya, bahwa tindakan para guru untuk memperjuangkan nasibnya tentu bukan tindakan yang sepenuhnya salah. Bahkan juga bagi sebagian orang dianggap sebagai keharusan di kala saluran komunikasi sudah macet. Namun saya memiliki pandangan berbeda, bahwa saluran komunikasi yang macet itulah yang seharusnya dibuka dulu agar masalah yang dihadapi akan bisa dipahami.
Sertifikasi guru adalah mandat undang-undang. Artinya bahwa program sertifikasi guru yang dilakukan sekarang merupakan implementasi dari amanah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan juga Undang-Undang Guru dan Dosen. Oleh karena itu, melaksanakan program sertifikasi guru dan dosen adalah kewajiban Pemerintah untuk melakukannya. Pemerintah tidak boleh mangkir dari tugas ini, sebab peningkatan kesejahteraan guru dan dosen merupakan kewajiban Pemerintah untuk memenuhinya.
Akan tetapi bahwa program ini memang mengalami kendala operasional yang cukup berat. Kendala ini tentu terkait dengan masalah administrasi dan ketersediaan anggaran yang memadai untuk kepentingan pembayaran sertifikasi guru dan dosen. Makanya ketika kemudian timbul berbagai gejolak yang terkait dengan guru maka tentunya dapat dipahami.
Bisa dibayangkan bahwa Pemerintah memiliki hutang kepada para guru. Sesuatu yang kiranya tidak terbayangkan. Bagaimana mungkin Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memiliki hutang tunjangan sertifikasi guru sebesar delapan setengah triliun dan bagaimana Kemenetrian Agama memiliki juga hutang ini sebanyak tiga koma satu triliun rupiah. Sungguh sesuatu yang tidak terbayangkan, dan hutang ini terhitung mulai tahun 2009 sampai 2012. Tetapi inilah kenyataannya.
Masalah hutang ini bukanlah disebabkan karena perencanaan yang buruk atau karena tidak mau membayarkan. Akan tetapi disebabkan oleh ketidakmampuan untuk membayarkannya kepada para guru. Maksud saya bahwa anggaran yang sudah disiapkan tidak terserap karena harus kembali ke kas negara. Uang yang seharusnya dibayarkan pada tahun anggaran ternyata tidak terserap sebab ada kendala pembayaran, misalnya quota tidak terpenuhi, NRG dan NUPTK yang tidak selesai atau kendala lain administrasi yang pelik. Kendala semacam ini yang kemudian dicari jalan pemecahannya dan kiranya sudah ditemukan untuk menyelesaikan kasus NRG, NUPTK dan lainnya.
Akan tetapi yang kemudian menjadi kendala berat adalah bagaimana cara membayar hutang tersebut. Di dalam berbagai Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VIII DPR RI, maka pembayaran hutang kepada para guru ini sudah menjadi agenda yang mendasar. Bahkan juga sudah menjadi agenda Kementeian Koordinator Kesejahteraan Sosial untuk menemukan solusi yang memadai. Namun demikian, problem utamanya adalah anggaran yang cekak sehingga pembayarannya juga mengalami kesulitan.
Jika kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memiliki anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK), sehingga peluang untuk membayar hutang TPG masih sangat dimungkinkan, maka Kementerian Agama mengalami kesulitan yang besar untuk membayar hutang tersebut. Berdasarkan eksersais yang kita lakukan, maka pada tahun 2014 hanya tersedia anggaran sebesar 410 Milyar rupiah yang merupakan pemangkasan terhadap program yang sudah direncanakan sebelumnya. Anggaran yang terkait dengan RKP dan Prioritas Lembaga /kementerian juga kita pangkas agar bisa menghasilkan angka tersebut. Dari pemangkasan dan penyisiran ini ternyata juga tidak menghasilkan angka yang memadai untuk kepentingan pembayaran hutang bagi guru PNS maupun NonPNS.
Saya sungguh berkeinginan agar tahun 2014 sekurang-kurangnya bisa melakukan pembayaran terhadap TPG bagi guru NonPNS. Mereka sungguh-sungguh membutuhkan terhadap pembayaran tunjangan ini. Makanya, kita semua tetap akan melakukan penyisiran terhadap anggaran 2014 tersebut agar angka 750 Milyar rupiah bisa dibayarkan.
Jika kita bisa membayarkan TPG bagi guru nonPNS, maka ke depan kita hanya tinggal memikirkan kekurangannya dan kita semua tentu berharap agar Pemerintah atau Kementeian keuangan melakukan pembayaran melalui skema lain setelah tim evaluasi BPKP melakukan verifikasi terhadap keakuratan data yang dimiliki oleh dua kementerian ini.
Kita semua berharap bahwa hutang ini dapat dibayarkan karena ini adalah mandatory yang wajib ditunaikan. Ke depan kita tidak ingin ada lagi demonstrasi para guru tentang hal ini, sebab apapun yang dilakukan oleh guru adalah contoh yang bisa ditiru oleh anak didiknya,
Wallahualam bisshawab.

JIKA PARA GURU DEMO (1)

JIKA PARA GURU DEMO (1)
Kemarin, 5 September 2013 para guru yang tergabung di dalam Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) melakukan demonstrasi di seluruh Indonesia terkait dengan tunjangan guru non PNS. Mereka beranggapan bahwa Pemerintah tidak serius mengurus nasib para guru yang sudah lulus atau belum lulus program nasional sertifikasi guru.
Memang harus diakui bahwa ada problem yang luar biasa terkait dengan pembayaran tunjangan profesional guru ini. Semenjak digulirkan program nasional tunjangan guru, maka program ini sepertinya selalu dalam masalah. Tidak hanya pembayarannya akan tetapi juga prosesnya yang selalu menuai kritik. Dan salah satu yang terberat adalah mengenai pembayaran tunjangan prosesi guru ini.
Saya tentu merasakan bagaimana tingkat kesulitan di dalam pelaksanaan sertifikasi guru. Sebagai pejabat publik yang memiliki tanggung jawab dalam pelaksanaan sertifikasi guru tentu saya menjadi berat juga merasakan bagaimana sulitnya menyelesaikan persoalan rumit ini.
Ketika di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan Ujian Kompetensi Awal (UKA) maka saya tidak tergesa-gesa menerapkan sistem ini, meskipun saya tahu benar bahwa program ini sangat baik. Bahkan saya diajak bicara langsung oleh Mohammad Nuh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, agar Kementerian Agama juga menyelenggarakan program yang sama. Akhirnya saya menerapkan program UKA juga akan tetapi dengan sedikit modifikasi. Jika di Dikbud dijadikan sebagai sarana untuk memangkas peserta sertifikasi, maka saya hanya menggunakan sebagai medium untuk mengukur kemampuan guru berdasar atas empat uji kompetensi.
Melalui program ini maka dapat diketahui secara pasti tentang kemampuan para guru yang akan memasuki jenjang profesional. Dari sini diketahui bahwa kompetensi guru untuk uji profesi memang rendah. Bagi mereka yang nilainya baik, maka mereka akan memperoleh kesempatan terdahulu untuk uji kompetensi sedangkan yang nilainya jelek akan memperoleh waktu belakangan. Ada filosofi yang mendasarinya bahwa yang belum kualifait agar belajar terlebih dahulu.
Selain problem ini tentu juga problem administrasi. Betapa sulitnya mengurus administrasi para guru ini. Selain jumlahnya yang terus meningkat karena pengangkatan baru, juga administrasinya yang sulit. Mereka diangkat oleh berbagai instansi. Ada yang diangkat oleh Dinas Pendidikan daerah, ada yang diangkat oleh kepala sekolah dan ada yang diangkat oleh yayasan dan sebagainya. Tentu secara administrasi sangat menyulitkan. Makanya, problem ini juga belumlah tuntas. Dibutuhkan regulasi yang benar mengenai hal ini.
Jika mereka sudah lulus program sertifikasi, maka hambatan administrasinya juga masih ada, misalnya tentang Nomor Registrasi Guru (NRG) dan Nomor Unik Tenaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUTPK) yang sulit diselesaikan. Selain itu juga kelulusan program sertifikasi yang juga terjadi pada buan Desember. Sedangkan mereka harus dibayar pada tahun berikutnya. Artinya pada bukan Januari harus dibayar. Akan tetapi kenyataannya sulit terbayar karena proses NRG dan NUPTK yang tidak kuunjung selesai. Makanya juga dipastikan akan terjadi tunggakan pembayaran sertifikasi. Masalah lainnya adalah terkait dengan pembayaran tunjangan profesi guru. Misalnya terkait dengan rekening yang tidak relevan hingga nomor rekening yang salah, sehingga menghambat pencairan tunjangan tersebut.
Problem ini tentu saja juga tidak mudah diselesaikan. Bukan karena tidak ada kemauan untuk menyelesaikan akan tetapi administrasi yang rumit tersebut bisa menghambat terhadap penyelesaian pembayaran tunjangan profesi guru ini. Pemerintah sudah berupaya agar penyelesaian persoalan guru ini bisa segera diselesaikan, sehingga akan terdapat penyelesaian. Keterlambatan pembayaran juga berpengaruh terhadap pembayaran pada tahun berlangsung. Jika NRP, NU
TK, Kesalahan rekening tersebut terjadi, maka akan mempengaruhi terhadap pembayaran ada tahun berjalan dan akan berakibat terjadi hutang tunjangan profesi guru pada tahun itu.
Inilah beberapa penyebab mengapa tunjangan guru ini menjadi masalah yang hingga kini belum teratasi. Oleh karena itu menurut saya demonstrasi guru juga tidak bisa menyelesaikan masalah kecuali hanya menjadi isu politik yang terkadang justru tidak produktif.
Yang saya khawatirkan justru pengaruh ikutan yang dihasilkannya. Kala para guru melakukan demonstrasi meskipun dengan cara damai, maka murid juga akan meniru untuk melakukannya. Jika ini yang terjadi, maka tujuan untuk menyelesaikan masalah justru tidak berhasil. Maka yang penting bagi saya adalah membangun sinergi untuk menuelesaikannya. Sebab terkadang masalah muncul karena kita tidak sama-sama memahami apa yang sesungguhnya terjadi.
Wallahualam bisshawab.

RELIGION, CLIMATE CHANGE, AND THE ROLE OF HUMANS

RELIGION, CLIMATE CHANGE, AND THE ROLE OF HUMANS

Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si

Director General of Islamic Education, Ministry of Religious Affairs

(Paper Presented in the International Conference on Climate Change and Local Wisdom: Living in Harmony within our Built Environment, Architecture Department of UIN Alauddin Makassar, February 13, 2013)

 

 

Introduction

 

Human and environment have reciprocal relationships and symbiotic mutualism. The reason why I mention “reciprocal relationships and symbiotic mutualism” is precisely because people live in the environment and the nature as the environment also needs human for its preservation. Therefore, human needs environment for their life and the environment also needs human for its preservation.

 

Human beings are created ​​by Allah SWT as a caliph or successor. Allah explains in the Q.S. al-Baqarah (30): “wa idz qala rabbuka lil malaikati inni ja’ilun fi al ardhi khalifah”, meaning that: “And when your Lord said to the angels, behold I will create a chaliph in the earth”. Once, Angels diagreed with such an idea. And then they asked God whether such creatures –human beings– would not commit destruction and shed blood on earth, while we, the angels, always do compliment. But God said that He knows more what they don’t know “.

 

The Role of Humans in the Environment

 

In the Islamic perspective, humans have two main roles in their life. First is humans as “abdun” (Servants of Allah), and the second is human as a caliph or a representative of Allah on the earth. In the first role –human as “abdun”–, the main role of humans is to serve. Meanwhile, in the second role of humans, humans have mandates, responsibilities, authorities, and freedom to make a decision and to have a critical thinking. While in the first role of humans as “abdun”, humans tend to have greater benefits for themselves, the second role of humans as a caliph, they are likely to have greater advantages for others, including other humans and the universe.

 

It is commonly believed that humans have the role as “abdun” in their life. In this sense, humans interact with their God (Allah) as “Rabb”, not God as “ilah”. The word “ilah” which is then attributed with “al ma’rifat” so that becomes “Allah” is likely to have a meaning that God who is in His untouched sacred-transcendental palace. With this, God as “Ilah” should be downgraded into God who cares, gives rizqi, regulates the life of nature as well as human beings using His attributes of Grace and Mercy –Rahman and Rahim. This is what Hassan Hanafi mean by God who is there on the earth, not God who is there in His far-sacred-transcendental palace in the sky.

 

In the humans’ role as “abdun”, humans and the nature (environment) have the same posistion as the Creature –Makhluq– of Allah. With this, it is not humans who have authority to exploit the environment. However, they should live together with the nature or environment and utilize it appropriately by considering its sustainability. All creation of God is His servant or slave. Human and the nature as well as other creatures are the servants who always sanctify His name, who praised Him.  Thus, the function of human in relation to their God as “Rabb” is as a servant or Abdun.

 

Man was undoubtedly created by God as a blueprint for the Best of creation. As his words: “Behold, I created man as the best of both creation” or “laqad khalaqna al insan fi ahsani taqwim. However, if the man cannot become the best servant, their degree can be downgraded to worst creatures. It is as stated in the Holy Qur’an: “tsumma radadnahu asfala safilin”.

 

Then, the second role of human is as a man who has a relationship with each other and the natural environment. In this respect, the best concept is the concept of prayer. God commanded men to do the service of God and other “slavery” activities toward their God. One of them is through prayer (Shalat). Prayer (Shalat) describes the very good model of human-environment or nature relationship. Prayer (Shalat) begins with the name of the Supreme God, and then ends with a greeting (salam). It’s not enough just by words but also by actions, turned to the left and to the right. This means that a human being should spread Islam which is rahmatan lil alamin. Not only is the service of God the Almighty but also the service for safety and peace. This is what is called in the acedemic as well as practical world as “ritual piety” and “social piety”.

 

Islam is a very comprehensive doctrine. It focuses not only Human-God relations through ritual piety, but also human-to-human relations as well as human-environment relations. This is what Qur’an says “hablun minallah” and “hablun minan nas”. One should always keep a good relationship not only with God as “Rabb” and God as “Ilah”, but also with other humans. The values of the way God nurtures and gives love should become a model and inpire human in the way they interact with other human beings and the natural environments.

 

It is clearly understood that it is no longer sufficient by saying “hablun minallah and hablun minannas”, but also  “hablun minal alam”, meaning to maintain good relationship with nature or environment. Humans must keep good relation with the nature. In order the nature gives its affection to humans, humans have to care and maintain the nature from destruction. Humans should not be arbitrary to explore the nature based on their own interests. Humans must maintain natural ecosystems for the sustainable life.

 

 

Climate Change and Environment Preservation

 

There are seven strategic issues that I will raise in this forum. First is the issue of the significance of improving the religious communities’s understanding on environmental issues. Second is cultural issues in which religious communities are likely to be increasingly permissive toward environment.  Third is the need to increase awareness of the religious community to pay attention to environmental issues. Fourth is the importance of improving the quality of the hablun minal alam”, besides “hablun minallah” and “hablun minannas”. Fifth is the need for strengthening the faith-based education in the modern era. The sixth is the issue to make religion as ideology used to manage environmental and natural resources. The seventh is the issue of the implementation of religious ethics in the utilization of natural resources and the environment.

 

Such seven issues about the relation between religion, society and the environment is perceived as something that is very needed in the midst of climate change and environmental sustainability. Why is this important? Among the very basic answer is the need for anticipatory action on climate change and environmental sustainability to be perceived by the world community, especially the people of Indonesia.

 

As we know that the issue of climate change is a global phenomenon, meaning that there are no people in the world who will not be separated from the problem of climate change. It is conceivable that when climate change happens, it will lead to changes in global temperatures or heating, and then systemically also will affect the melting of the polar north and south and then also will affect sea level rise and will lead also to the coastal areas and also communities in the coastal areas.

 

In Indonesia, climate change is expected to be able to submerge the 7000 tiny island in Indonesia, and it certainly will affect the number of islands in Indonesia, which were originally approximately 17,000 islands. The worst is that if the outer islands sink, it will also cause the narrowing the geographic area of the State of Indonesia.

 

That is why the Japanese government has always marked the outer islands adequately, so that if the outer islands sink, such an island can still be used as the outermost regions country. It must be remembered that through the Exclusive Economic Zone (EEZ) and the international law of the sea, the island located in the outermost regions of a country will determine the breadth of the territory.

 

Indonesian society would have to understand that climate change is something that had to happen. Hence, it is necessary to understand such an empirical reality, and then we need to respond that appropriately. For example, how religious people can anticipate climate change by not destroying the nature. With still suspected lack of understanding of religious communities about environmental issues, it is certain that they certainly have not thought about what to do to respond to climate change.

 

The obligation of Maintaining Environment

 

Suppose that a survey conducted in the community about permissiveness measures related to the environment, I believe that the result will say that our society will have a very high levels of its permissiveness toward environment destruction. It is certainly evident from the growing number of forest destruction in almost througout Indonesia. If we used to walking in the area formerly known as the forests, such an area will become barren because of the illegal logging committed by the society.

 

In the midst of this kind of reality, then the involvement of all components of the nation’s foremost leaders in the community are very important. Therefore, the presence of thought as expressed by Prof. Maman Abdurahman on “Eco-Terrorism” is very important (Reuters, 5/15/2011). In his opinion, the act of destroying the environment is an act of terror on people’s lives in particular. Damaging the environment will not only cause damage to the environment, but a far greater disadvantages (madharat) is associated with the intentional murder of all species of life.

 

we can imagine if only because the forest is broken, then there is no water, there will be a tremendous disaster. As we know that water is the lifeblood of nature, so when there is no source of life, it will certainly also will damage the nature itself.

 

Therefore, what is needed now is the action to plant (Gerakan Menanam) or tree planting movement (Gerakan menanam tumbuh-tumbuhan). If we plant a fruit tree which then such fruits can be eaten by humans, birds and other animals, then surely we have performed sadaqah to others. If the bird is then thankful to God because they can eat fruits, it can be ascertained that the planting of the fruit will be rewarded. Similarly, when people are grateful about it, then it will surely also be a charity of jariyah. With this, it is clear that Tree Planting Movement not only has the profane meaning, but also has the sacred meaning.

 

Movement to plant trees can certainly be encouraged by the preachers, religious leaders, community leaders and others. Because Indonesian society are still likely to follow paternal filiation, it will require the movement coming from their leaders and elites. Thus, the behaviour of the figures or leaders should reflect the environmental awareness.

 

The figures or leaders are an agent of environment. It could be expressed as a green agent. Movement to plant trees should be as important themes in the various actions and activities. The preacher, the preacher, the politicians, the bureaucrats and so on should make the green agent as a central theme in the activities.

 

That is why eco-terrorism or green agent will only be successful if all stakeholders give supports. It is necessary to have collective awareness in terms of preserving environment. That is why protecting the environment is an obligation and destroying environment will be seriously not allowed to do (haram).

 

If the argument of religion have been agreed and then it is used as a guide, there is no longer any reason to take action of damaging the environment, because environmental damage is an act of guilt that will be accounted for in the face of Allah or God.

 

Wallahu A’lam Bi al Sahawab.
.