KEPATUHAN PADA VISI DAN INSTITUSI
KEPATUHAN PADA VISI DAN INSTITUSI
Di dalam sebuah pertemuan yang dilakukan di UIN Sunan Ampel Surabaya, yang juga dihadiri oleh Pak Adi Kresno, salah satu asisten deputi kementerian PAN & RB, di hotel Utami Surabaya, ada sebuah pertanyaan menarik dari Sdr. Ali Wafa, tentang bagaimana mengatasi konflik internal di dalam organisasi yang seringkali menjadi faktor penghambat bagi pengembangan organisasi tersebut.
Pertanyaan ini tentu sangat menarik untuk disadari dan sekaligus juga direnungkan bahwa konflik internal di dalam tubuh organisasi atau institusi bisa menjadi variabel penting di dalam kelambatan untuk mengembangkan institusi dimaksud. Apakah ada pengalaman yang bisa dijadikan sebagai referensi untuk mengembangkan institusi yang di dalam banyak hal terdapat konflik berkepanjangan?
Meskipun singkat, tulisan ini secara sengaja dijadikan sebagai medium untuk memberikan solusi terhadap kenyataan empiris terjadinya berbagai konflik yang menjadi penghambat bagi pengembangan institusi. Tentu semua berharap bahwa memang diperlukan solusi untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh institusi dan kemudian menjadi jalan keluarga bagi pengembangan institusi dimaksud.
Sesungguhnya setiap institusi atau organisasi pastilah mengalami konflik internal. Tidak ada sebuah organisasi bagaimanapun baiknya sistem yang dikembangkan lalu tidak memiliki sejumlah konflik. Namun demikian, pastilah ada sejumlah institusi atau organisasi yang bisa mengatasi konfliknya dan kemudian maju pesat seirama dengan tujuan dan keinginan bersama untuk maju dan berkembang.
Untuk mengatasi persoalan ini, maka yang sesungguhnya diperlukan adalah menilai ulang terhadap kepatuhan sumber daya manusia (SDM) yang ada di dalam institusi tersebut. Di dalam hal ini yang perlu dinilai ulang adalah kepada siapa sesungguhnya kepatuhan SDM tersebut diberlakukan? Apakah kepada pemimpinnya atau kepada visi dan institusinya. Untuk melihat kenyataan ini, maka ada tiga tipologi kepatuhan SDM bagi organisasi atau institusi. Pertama, kepatuhan kepada pemimpin. Kepatuhan kepada pemimpin tentunya bukan sesuatu yang salah di dalam organisasi atau institusi. Bahkan kiranya sangat diperlukan adanya kepatuhan tersebut. Tanpa kepatuhan kepada pemimpin maka organisasi bisa tidak berwibawa. Akan tetapi problem yang paling banyak terkait dengan institusi atau organisasi juga berada di tipologi pertama ini. Berbagai konflik di institusi sosial, termasuk institusi pendidikan dalam banyak hal difasilitasi oleh konflik kepemimpinan. Ada sejumlah orang yang terlibat di dalam konflik yang bahkan bisa berkepanjangan. Oleh karena itu yang sering bermasalah juga terkait dengan konflik yang disebabkan oleh dimensi kepemimpinan ini. Apalagi di dalam sebuah institusi yang mengandalkan sistem pemilihan untuk menentukan pemimpinnya.
Tipologi kedua, kepatuhan kepada visi dan institusi. Sesungguhnya yang diperlukan adalah kepatuhan pada tipe ini. Melalui kepatuhan kepada tipe ini, maka SDM akan secara bersama-sama untuk mencapai visi dimaksud. Jika semua komponen di dalam institusi mengusung bersama tentang visi dan institusi, maka akan dapat dipastikan bahwa institusi tersebut akan maju dengan pesat. Oleh karena itu, kepatuhan kepada visi organisasi akan menentukan terhadap kemajuan institusi. Semua program, aktivitas dan SDM akan mendukung dan secara bersama mengembangkan organisasi.
Ketiga, kepatuhan pada visi organisasi dan pemimpin. Tipe ketiga adalah tipe ideal. Namun demikian juga yang paling sulit. Artinya bahwa di dalam organisasi yang menggunakan sistem pemilihan untuk menentukan pemimpinnya, maka tentu akan ditemukan tingkat kesulitan yang tinggi. Di dalam organisasi ini dapat dipastikan akan terdapat rivalitas dan bahkan konflik kepentingan yang tidak sedikit. Akibatnya, maka benturan kepentingan dan penguasaan terhadap institusi juga sangat dominan. Makanya jika terdapat peralihan kepemimpinan, maka juga sering terjadi konflik antar mereka. Sehingga kubu atau kelompok yang saling bertentangan juga saling mengeliminasi keberadaan masing-masing. Yang memimpin sering diganggu dengan berbagai aktivitas untuk mendeskreditkan oleh rivalnya dan juga sebaliknya.
Tipe kedua, sesungguhnya sangat baik sebab setiap orang yang terlibat di dalam organisasi seharusnya memiliki kepatuhan kepada visi dan institusinya. Komitmennya harus jelas bahwa mereka tidak akan merusak terhadap institusinya. Tidak ada keinginan yang kuat untuk merusak terhadap eksistensi organisasinya. Oleh karena itu, melalui kepatuhan terhadap visi dan institusinya akan dapat mereduksi terhadap kuatnya kepentingan pada masing-masing individu. Semakin patuh SDM di dalam institusi pada visi dan institusinya, maka akan semakin kecil peluang untuk terjadinya konflik berkepanjangan.
Saya menjadi teringat kepada statemen Agung yang diberikan oleh Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy, kala beliau menyatakan bahwa “right or wrong is my country”. Statemen ini sepertinya mengandung makna negatif, sebab seharusnya adalah yang benar adalah negara saya dan yang salah bukan negara saya. Jadi jika ada orang yang menyatakan seperti itu pastilah memiliki kesalahan ideologis.
Akan tetapi, statemen ini tentu saja berangkat dari konsepsi bahwa kesetiaan terhadap negara atau organisasi adalah sesuatu yang utama. Jadi, seseorang harus menempatkan dirinya kepada ikatan primordial yang harus dipatuhinya.
Dengan demikian, kepatuhan sudah selayaknya diberikan kepada visi dan institusi dan bukan semata-mata kepada pemimpin. Pemimpin boleh berganti tetapi visi dan institusi akan terus ada. Jika kepatuhan diberikan kepada visi dan institusi maka kesetiaan itu juga akan berlangsung lama selama institusi tersebut masih ada. Jadi, sebaliknya ketika muncul konflik di antara elemen di dalam institusi, maka sebaliknya kembalilah kepada visi dan institusi, sebab pengabdian itu memang selayaknya diberikan kepadanya.
Wallahualam bisshawab.