• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

IAIN SUNAN AMPEL JADI UIN SUNAN AMPEL

IAIN SUNAN AMPEL JADI UIN SUNAN AMPEL
Hari ini, Rabo, 04 Desember 2013, adalah hari yang sangat istimewa bagi segenap sivitas akademika IAIN Sunan Ampel Surabaya, sebab pada hari ini, telah terjadi perubahan status IAIN Sunan Ampel menjadi UIN Sunan Ampel. Sungguh merupakan hari yang sangat bersejarah bagi perkembangan IAIN Sunan Ampel yang tentu sudah sangat lama menginginkan untuk beralih status tersebut.
Pagi ini saya ke Surabaya dengan sejumlah menteri Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II untuk acara ke Surabaya. Mereka mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam kunjungan ke Madura. Di antara mereka adalah Dr. Suryadharma Ali, Prof. Dr. Muhammad Nuh, Dr. Dahlan Iskan, dan Djan Farid. Tentu semua dengan ajudannya yang biasanya memang secara protokoler harus seperti itu.
Pak Presiden memang tidak bersama dengan mereka sebab sedang ada acara di Bali untuk membahas tentang perdagangan internasional dengan sejumlah utusan dari luar negeri. Makanya, mereka akan menjemput Presiden di ruang VIP Room Bandara Juanda dan kemudian bersama-sama ke Sampang untuk membahas masalah agama, sosial dan budaya serta kemudian dilanjutkan dengan berbagai kunjungan lainnya.
Pak menteri agama sendiri sesuai dengan rencana akan meresmikan perubahan status IAIN Sunan Ampel, menjadi UIN Sunan Ampel pada jam 15 WIB selepas acara temu tokoh agama, tokoh masyarakat dan para pejabat di Kabupaten Sampang. Pak menteri agama juga rencananya akan terus melanjutkan perjalanan ke Jakarta sebab ada acara yang sangat penting terkait dengan International Conference of Islamic Media. Acara ini sesungguhnya telah dibuka kemarin, akan tetap karena ada sebanyak 48 delegasi yang mewakili negara masing-masing, maka Pak Menteri Agama harus berada di Jakarta.
Sungguh suatu perjuangan yang agak rumit sebab peresmian ini bersamaan waktunya dengan kunjungan Presiden SBY ke Jawa Timur. Sebab biasanya memang para menteri harus bersama beliau. Untunglah bahwa masih ada peluang untuk mengajak Pak Menteri Agama di dalam peresmian acara alih status di IAIN Sunan Ampel tersebut. Butuh waktu untuk mencocokkan waktu Pak Menteri Agama di dalam hal ini. Saya tidak membayangkan audience yang jumlahnya ribuan orang dan berharap agar Pak Menteri Agama datang kemudian tidak jadi datang karena acara dengan Pak Presiden.
Perubahan status ke UIN tentu merupakan dambaan banyak orang. Mengaca dari perkembangan perubahan status dari enam IAIN di seluruh Indonesia, maka bisa menjadi gambaran betapa ada percepatan yang luar biasa terkait dengan alih status tersebut. UIN Jakarta merupakan UIN dengan percepatan yang sangat baik. Perkembangan program studi yang dimilikinya juga menjadi menarik untuk dicermati. Fakultas kesehatan dan fakultas ilmu sosial yang selama ini menjadi otoritasnya perguruan tinggi umum, kini sudah memasuki babak baru. UIN dengan fakultas baru telah berkembang dengan sangat memadai.
Dengan menjadi UIN, maka tidak hanya ilmu keislaman murni saja yang bisa dikajinya. Akan tetapi juga ilmu sosial dan humaniora serta sains dan teknologi. Makanya perubahan ini akan memicu perkembangan demi perkembangan yang sangat cepat. Melalui alih status ke UIN, maka para santri yang tidak memiliki akses pendidikan ke PTU akan bisa masuk ke UIN, tentu dengan persyaratan yang teruji. Yang jelas ada pilihan untuk membangun akses pendidikan secara lebih luas. Dengan demikian marginalisasi santri pesantren yang dirasakan selama ini akan menjadi terbuka tabirnya dan sekaligus juga akan membawa arah baru bagi pendidikan kaum santri
Memang kita telah memiliki sejumlah program untuk mengantarkan agar siswa madrasah dan santri untuk bisa mengakses pendidikan ke PTU, misalnya, saat Program Beasiswa Santri berprestasi (PBSB) yang saya kira sangat baik dan juga bisa menjadi ajang bagi para santri untuk berkompetisi. Namun demikian dengan dibukanya keran untuk secara langsung mengakses pendidikan. Ke UIN tentu akan berakibat lain. Di dalam konteks ini maka pilihan menjadi UIN adalah pilihan yang tepat.
UIN Sunan Ampel sudah menjadi bagian dari keinginan sivitas akademika dan juga masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, kehadiran UIN Sunan Ampel adalah bagaikan turunnya hujan di musim kemarau yang dapat menghidupkan kembali kuncup-kuncup bunga dan dedaunan yang warna warni. Jika selama ini hanyalah ilmu agama dan ilmu sosial humaniora dalam sebagian kecil, maka akan terdapat Full mandat untuk mengembangkan rumpun dan disiplin ilmu lainnya. Jadi akan terjadi percepatan pengembangan ilmu pengetahuan dan juga akses pendidikan bagi kaum marginal.
Berubah menjadi UIN bukanlah karya akhir akan tetapi adalah karya pendahuluan. Dengan berubah menjadi UIN maka kita sedang membuka pintu ilmu yang sebenarnya. Makanya, dengan kunci ilmu yang sudah kita genggam itu, maka kita tentunya harus terus berusaha agar kedalaman rumah ilmu itu juga akan tetua KTA gali dan kita kaji. Tidak ada kata berhenti untuk mengembangkan ilmu pengetahuan tersebut,. Di masa lalu, terutama di abad 10 sampai abad ke 13para sarjana dan intelektual Islam telah menghasilkan berbagai macam ilmu pengetahuan dan masih terus menjadi bahan kajian hingga sekarang. Makanya warisan Islam tersebut tentu harus menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini.
Saya tentu bersyukur bahwa ada perkembangan menarik dari kajian ilmu di PTAIN, terutama UIN dan beberapa IAIN. Perkembangan yang menarik tersebut adalah yang disebut sebagai program integrasi ilmu atau PRO ILMU. Melalui program ini, maka keterpilahan ilmu pengetahuan dengan dikotomi ilmu agama dan ilmu umum akan bisa direduksi dan bahkan diakhiri. Ke depan akan lahir ahli-ahli fisika, kimia, biologi, teknologi dan sains lainnya yang ahli juga di dalam ilmu keislaman. Program ini saya kira akan menjadi awal yang baik untuk kembali ke khittah tentang integrasi ilmu
Dr. Suryadharma Ali, Menteri Agama RI di dalam banyak kesempatan selalu menyatakan bahwa tidak ada dikotomi ilmu, sebab sumber ilmu adalah satu, Allah SWT. Jika sumber ilmu itu satu, maka dipastikan tidak akan ada pembagian ilmu yang satu ilmu agama dan lainnya ilmu umum. Ilmu tentunya adalah sesuatu yang integratif.
Terkait dengan hal ini, maka ke depan kita tentu berharap agar ada semakin banyak UIN yang mengembangkan ilmu integratif ini sehingga keinginan untuk menjadikan PTAIN sebagai Center of excellence bagi program integrasi ilmu tersebut. PTAIN sesungguhnya yang memiliki otoritas di dalam mengembangkan ilmu dengan corak seperti ini.
Wallahualam bisshawab.

PENINGKATAN KUALITAS GURU

PENINGKATAN KUALITAS GURU
Hari Selasa, 27 Nopember 2013, saya diundang oleh STAIN Salatiga untuk memberikan ceramah dengan tema “Peningkatan kualitas Guru Madrasah dan PAI pada Sekolah” dalam rangka kuliah perdana pada program Strata dua di lembaga pendidikan Islam tersebut. Hadir di forum itu adalah sejumlah dosen STAIN Salaiga, Ketua STAIN, wakil Ketua STAIN dan juga Direktur Program Pascasarjana dan seluruh mahasiswa PPs STAIN Salatiga.
Saya tentu saja sangat bergembira karena bisa mengajar di program PPS ini. Lama juga rasanya tidak mengajar di kelas. Meskipun saya sering berbicara tetapi forumnya tidaklah forum khusus mengajar dengan mahasiswa yang terfokus. Biasanya selalu saja stadium general yang pesertanya sangat variatif, mulai mahasiswa strata satu sampai strata tiga dan juga dosen-dosennya.
Saya tentu saja memberikan gambaran tentang tantangan pendidikan Indonesia yang mesti harus direspons oleh kita semua dan tentunya oleh para guru. Tantangan tersebut dapat dipetakan ke dalam dua hal, yaitu tantangan internal dan tantangan external.
Pertama, tantangan internal kita adalah tentang kualitas guru yang masih diragukan banyak kalangan. Masih banyak yang menyatakan bahwa kualitas para guru berada di bawah standart. Jika kita menggunakan ukuran ketika dilakukan Uji Kompetensi Awal (UKA), maka suatu kenyataan bahwa secara Renata nasional bahwa nilai yang diperoleh para guru berada di bawah standart, yaitu 44,22. Angka ini tentu saja berada di bawah Renata lulusan yang seharusnya adalah 60,00. Kemudian juga kenyataan bahwa tidak ada bedanya antara guru yang sudah disertifikasi dengan guru yang belum disertifikasi dalam hal kualitas pembelajaran dan kualitas hasil pembelajaran. Guru yang sudah disertifikasi belum menunjukkan performance yang memadai tentang status profesionalitasnya. Artinya bahwa mindset para guru belum menggambarkan besarnya tanggungjawab profesi yang seharusnya disandangnya. Citra kurang baik inilah yang kiranya harus menjadi tantangan para guru kita di dalam kerangka peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Kualitas guru hakikatnya adalah persoalan kesadaran akan tanggungjawab yang sesungguhnya dibebankan pada diri para guru. Sebagai orang profesional, maka di dalam dirinya harus tumbuh dan berkembang tentang kompetensi profesional, kompetensi pedagogis, kompetensi sosial dan kepribadian. Kompetensi pedagogis dan profesional tentu terkait dengan program pendidikan di lembaga-lembaga yang mengelola pendidikan keguruan, sedangkan kompetensi sosial dan kepribadian adalah tergantung kepada aspek sikap dan tindakan para guru dalam berkomunikasi dan berkelakuan di tengah kehidupan masyarakat, baik ketika berada di lembaga pendidikan maupun di masyarakat yang lebih luas.
Kompetensi ini bukan sesuatu yang given. Akan tetapi dapat dipelajari dan dibiasakan. Kompetensi pedagogis jelas merupakan kompetensi yang ada kaitannya dengan lembaga pendidikan seperti fakultas tarbiyah atau fakultas keguruan. Pada lembaga semacam ini maka merah hitamnya para guru akan dihasilkan. Sedangkan kompetensi profesional tentu masih harus ditentukan oleh faktor pengalaman. Semakin lama menjadi guru maka idealnya tentu akan semakin profesional.
Kedua, faktor eksternal yaitu tantangan globalisasi yang tentu tidak bisa dilawan. Di era globalisasi ini, maka tantangan para guru adalah semakin terbukanya berbagai informasi yang didapat dari media teknologi informasi. Berbagai perilaku menyimpang dari para siswa belakangan ini tentu merupakan dampak negatif dari teknologi informasi. Berbagai bentuk kenakalan remaja atau siswa seperti perkelahian atau tawuran antar siswa, pembuatan video porno atau narkoba yang masuk ke sekolah-sekolah adalah efek negatif dari pergaulan yang makin bebas dan difasilitasi oleh teknologi informasi.
Di tengah kehidupan yang makin permisiveness dan terbuka ini maka para guru memiliki tantangan yang sangat besar. Guru harus bisa memberikan jawaban bahwa lembaga pendidikan adalah tempat yang menyediakan layanan yang beraksentuasi pada pengembangan dan juga perbaikan mentalitas dan karakter siswa. Guru harus menjadi penangkal akan hadirnya perilaku menyimpang dan mengembalikannya pada dimensi perilaku yang benar dan sesuai dengan tata nilai sosial yang bersumber dari agama-agama.
Untuk menjaga profesionalitasnya dan kemampuan akademik para guru, maka lembaga pendidikan tinggi, seperti Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Pendidikan tentu memiliki peluang dan tanggungjawab yang besar. Oleh karena itu, maka ada dua peran yang bisa dimainkan oleh lembaga pendidikan ini, yaitu:
Pertama, lembaga pendidikan tinggi harus menjadi Center of Academic Recharging (CAR). Di dalam konteks ini, maka seharusnya PTAIN, khususnya Fakultas Tarbiyah atau jurusan Tarbiyah mestinya dapat menjadi lembaga yang berfungsi untuk mengembangkan secara terus menerus terhadap kemampuan akademik para guru. Para guru tidak bisa dibiarkan berkembang apa adanya akan tetapi harus secara terus menerus atau berkala dibina agar kekuatan kompetensi akademiknya tidak berkurang. Para guru dituntut untuk mengikuti perkembangan zaman, makanya satu hak yang tidak bisa diabaikan adalah merawat dan mengembangkan kompetensi akademisnya tersebut.
Kedua, lembaga pendidikan tinggi sebagai Center of Profesional Recharging (CPR). Guru harus terus menerus menjaga kualitas profesionalnya. Guru tidak boleh hanya mendasarkan kemampuannya pada apa yang sudah didapatnya. Sebagai guru profesional, maka kemampuan atau kompetensi profesional dan lainnya harus terus dijaga. Sebagai kunci keberhasilan pendidikan, maka guru harus terus menjaga kompetensinya agar perbaikan kualitas pendidikan dapat diraih di masa depan. Oleh karena itu, harus ada sebuah institusi yang bertugas untuk membangun dan mengembangkan kompetensinya tersebut di masa sekarangd an akan datang. Di dalam konteks ini, maka fakultas Tarbiyah atau jurusan Tarbiyah harus mengembangkan dan memanggul tugas mulia ini.
Melalui program yang relevan dengan kebutuhan para guru dalam peningkatan kualitas pendidikan, maka kita optimis bahwa pendidikan Indonesia ke depan akan lebih baik. Pendidikan Indonesia harus one step ahead. Dan itu sangat tergantung kepada bagaimana kita mengelola para guru sebagai kunci keberhasilan pendidikan.
Wallahualam bisshawab.

GERAKAN MAHASISWA CINTA AL QUR’AN

GERAKAN MAHASISWA CINTA AL QUR’AN
Pada waktu pembukaan acara Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) di IAIN Sunan Ampel Mataram, tanggal 18 November 2013, dilakukan suatu kegiatan yang sangat prospektif bagi pengembangan dan pendalaman AL Quran, yaitu pemberian bantuan pendidikan kepada para mahasiswa yang menghafal AL Quran. Tema kegiatan ini adalah Gerakan Mahasiswa Cinta al Quran atau disingkat GEMA CINTAQU.
Pemberian bantuan pendidikan kepada para penghafal AL Quran ini adalah gagasan Menteri agama RI, Dr. Suryadharma Ali di dalam acara orasi ilmiah di hadapan civitas akademika UIN Malang sekian bulan yang lalu. Pak Menteri Agama memberikan gambaran pada waktu itu bahwa para mahasiswa yang menghafal AL Quran harus diberikan bantuan pendidikan.
Sebagaimana yang diketahui bahwa dewasa ini, seirama dengan perkembangan munculnya Ma’had AL Jami’ah di berbagai lembaga pendidikan tinggi Islam, atau PTAI, maka banyak mahasiswa yang tertarik menjadi penghafal AL Quran. Bahkan konon katanya di UIN Malang ada sebanyak kurang lebih 20 persen mahasiswanya yang menjadi penghafal AL Quran. Di UIN Sunan Ampel Surabaya juga ada ratusan mahasiswa yang menjadi penghafal al Quran. Demikian pula di sejumlah PTAN di Indonesia.
Fenomena ini tentu sangat menarik. Artinya bahwa di tengah kehidupan yang semakin mengglobal, dengan indikasi materialisme, konsumerisme, hedonisme, fragmagisme yang semakin menggejala, serta banyaknya pemakai narkoba, kenakalan remaja dan pemuda, ternyata juga semakin banyak yang menjadi penghafal AL Quran. Bahkan banyak juga wisudawan dari program studi sains dan teknologi yang mereka adalah para penghafal AL Quran.
Dewasa ini lembaga pendidikan tinggi juga menjadi sasaran dari berbagai pemikiran dan praksis keagamaan yang beraneka ragam. Ada radikalisme yang diusung oleh pemikiran keagamaan dengan pemahaman yang fundamental, ada pemikiran liberal yang diusung oleh pemikiran keagamaan yang mengedepankan kebebasan dan Hak Asasi Manusia (HAM) dan juga pemikiran sosial lain yang menjadi arus utama pemikiran yang terjadi dewasa ini. Pemikiran seperti Marxisme, atau pemikiran kiri lainnya, seperti Che Guevara, dan sebagainya banyak dikaji dan dijadikan sebagai dasar praksis tindakan. Oleh karena itu dengan semakin banyaknya mahasiswa yang mencintai AL Quran tentulah merupakan fenomena yang menarik untuk dicermati dan dilakukan tindakan untuk melakukan pemihakan.
Hal ini tentunya sangat menggembirakan. Berbagai kenyataan tentang betapa banyaknya mahasiswa PTAI yang menjadi penghafal AL Quran tentu juga menjadi indikasi betapa telah terjadi reformasi di dalam diri mahasiswa. Jika selama ini ada banyak tudingan bahwa mahasiswa PTAI semakin condong ke kajian ilmu sosial kiri, maka sesungguhnya juga terjadi bandul berayun bahwa juga semakin banyak yang mencintai AL Quran. Jadi dengan semakin banyaknya mahasiswa yang menjadi penghafal AL Quran, maka tentu memberikan gambaran tentang keberhasilan pendidikan di bawah kementerian agama.
Berdasar atas realita empiris ini, maka Menteri Agama RI, Dr. Suryadharma Ali, lalu memberikan bantuan pendidikan yang cukup memadai. Bagi mereka yang hafal 20 sampai 30 jus AL Quran, maka diberikan bantuan sebanyak lima juta rupiah. Sedangkan bagi mereka yang hafal 10 sampai 20 jus AL Quran diberikan bantuan sebanyak empat juta rupiah dan bagi mereka yang hafal lima sampai 10 jus diberi bantuan tiga juta rupiah. Sebagai tahun permulaan pemberian bantuan pendidikan ini, maka dikucurkan anggaran sebesar empat Milyar lebih untuk mahasiswa sebanyak 1400 mahasiswa PTAIN seluruh Indonesia.
Saya menjadi teringat ketika pemberian bantuan pendidikan kepada mahasiswa IAIN Mataram oleh Menteri Agama RI, maka matanya berkaca-kaca karena pemberian bantuan tersebut. Ada rasa keharuan yang dirasakannya sebab selama ini belum ada yang memperhatikan terhadap para penghafal AL Quran.
Memang banyak bantuan pendidikan kepada para mahasiswa. Misalnya, beasiswa Pendidikan bagi Mahasiswa Miskin Berprestasi (BIDIKMISI), Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB), Beasiswa Alumni, Beasiswa Prestasi dan juga Bantuan Operasional Pendidikan Tinggi Agama Islam Negeri (BOPTAIN) dan sebagainya. Selain program bantuan pendidikan yang dianggarkan oleh kementerian agama maka masing-masing PTAIN juga memiliki bantuan pendidikan yang khusus diberikan bagi mahasiswa yang memiliki prestasi khusus.
Melalui program GEMA CINTAQU ini maka ke depan akan semakin banyak mahasiswa yang menjadi penghafal AL Quran dan tentunya akan memiliki dampak positif bagi pengembangan studi AL Quran. Kita semua tentu berharap agar program ini terus menjadi bagian dari pemihakan kementerian agama, sehingga cita-cita untuk memasyarakatkan AL Quran dan meng-AL Quran-kan masyarakat ke depan akan menjadi kenyataan.
Wallahualam bisshawab.

MEMANEJ PERBEDAAN AGAMA

MEMANEJ PERBEDAAN AGAMA
Menurut Dr. Suryadharma Ali, Menteri Agama Republik Indonesia, di dalam orasinya di Rajaratnam School of Internasional Studies (RSIS) Nanyang Technological University, Singapore, bahwa di Indonesia itu kehidupan beragama di atur oleh Kementerian Agama. Ada contoh yang sangat menarik tentang kehidupan beragama di Indonesia, misalnya jika terdapat perayaan, misalnya ketika terjadi perayaan hari raya Idul fitri dan Idul Adha, maka Presiden dan Wakil Presiden dan juga Menteri Agama hadir pada upacara tersebut. Hal ini tentu biasa saja sebab mereka memang beragama Islam. Namun demikian, jika ada hari besar umat Kristen dan Katolik, seperti hari Natal, maka Presiden dan Wakil Presiden serta Menteri Agama juga hadir di dalam acara itu, meskipun mereka tidak beragama Kristen atau Katolik. Demikian pula di dalam acara Waisak yang merupakan hari raya agama Hindu, maka Presiden dan Wakil Presiden serta Menteri Agama juga merayakan Waisak tersebut. Demikian pula di dalam perayaan agama Konghucu, maka Presiden dan Wwakil Presiden serta Menteri Agama juga menghadirinya. padahal jumlah penganut agama Konghucu sangat minoritas. Pertanyaan besarnya adalah adakah negara yang begitu care terhadap kehidupan agama.
Masalahnya adalah tentang bagaimana mayoritas memberi kesempatan kepada yang minoritas, seperti kasus Lurah Lenteng Agung yang ditolak oleh umat Islam karena agamanya yang berbeda. Secara general bahwa menteri di Indonesia juga terdiri dari berbagai macam agama. Bahkan secara praktis bahwa kepemimpinan minoritas sangat dimungkinkan. Demikian pula tentang gubernur, wakil gubernur dan juga kepemimpinan daerah lainnya juga menyesuaikan dengan mayoritas agama yang ada di wilayah tersebut. Demikian pula bagi Kementerian Agama juga harus sesuai dengan mayoritas agama di wilayah tersebut. Misalnya di Bali maka Kakanwil Agama pastilah berasal dari agama mayoritas tersebut. Artinya, bahwa untuk lurah Lenteng Agung juga tidak masalah sebab akhirnya yang penting adalah profesionalismenya.
Selain itu juga masalah relasi antara Sunni dan Syiah. Masalahnya adalah bagaimana mengatur hal ini. Bukan hanya di Sampang tetapi juga yang lain. Memang di Indonesia sedang terjadi pergumulan pemikiran. Sebagai bagian dari negara yang tengah menjejak demokrasi, maka demokrasi juga terkait dengan kebebasan. Ada pemikiran tentang kebebasan absolut. Bagi umat beragama, bahwa tidak ada kebebasan mutlak, sebab kebebasan mutlak hanya ada bagi Tuhan. Bagi umat beragama, maka kebebasan itu adalah kebebasan yang terbatas. Manusia memiliki banyak keterbatasan. Kekuatan, kepintaran dan seterusnya yang sangat terbatas. Pemikiran kebebasan mutlak terkait dengan gagasan munculnya agama-agama. Bagi yang mengikuti kebebasan terbatas, maka kebebasan itu ada kaitannya dengan aturan-aturan. Akan tetapi bagi kaum kebebasan mutlak, maka ketika ada kebebasan yang terkungkung oleh sesuatu, maka yang salah adalah aturannya.
Di dalam beragama itu ada aturannya. Setiap agama memiliki aturannya sendiri. Misalnya, ketika ada sekelompok orang yang mengaku beragama tertentu, akan tetapi menyalahi aturan agama itu tentu tidak dapat dinyatakan sebagai penganut agama itu. Dalam perjalanan ke Thailand, maka saya hadir di Patung Budha Maetreya bersama biksu Dutavira Mahestravira, maka ketika saya tanyakan apakah jika saya memberikan kopiah di kepala patung Budha, apakah hal ini merupakan penghinaan agama, maka dijawab oleh Bhiksu bahwa hal itu adalah penghinaan. Jika patung tersebut diberi baju, apakah hal itu sebagai penghinaan, maka jawabannya adalah penghinaan. Jika patung tersebut diberi kumis, maka hal itu juga merupakan penghinaan. Pelajaran yang didapat adalah bahwa kita harus menghormati keyakinan beragama orang lain atau masyarakat lain.
Demikian pula ketika patung Kristus diberi baju. Maka yang demikian itu juga merupakan penghinaan agama dan yang melakukannya pasti bukan pemeluk Kristen. Sama halnya dengan umat Islam tetapi nabinya bukan Nabi Muhammad saw, lalu kitabnya bukan AL Quran, pastilah orang ktu bukan umat Islam. Maka ketika ada orang yang melakukan seperti itu, maka pasti bahwa yang bersangkutan bukanlah penganut agama yang dipeluk oleh lainnya. Dalam kasus relasi antara Syiah dan Sunni, maka sesungguhnya yang terjadi adalah bahwa ada keyakinan atau ajaran di dalam sunni yang dihinakan oleh kaum Syiah. Jika terjadi seperti itu, maka akan terjadi disharmoni intern umat beragama.
Masalah yang juga menyeruak ke depan adalah terkait dengan bagaimana penyamaan persepsi di kalangan kaum Syiah di dalam konteks Sunni. Yang dimaksud dengan penyamaan persepsi adalah terkait dengan prinsip dasar di dalam rekonstruksi relasi hubungan di antara mereka yang dapat dinyatakan sebagai sebuah upaya dialog. Maka, langkah yang penting untuk membangun hubungan baik tersebut adalah melalui dialog. Dan dialog itu yang terus dilakukan agar terjadi kesamaan pandangan. Prinsip yang dikembangkan adalah dengan membawa mereka ke dalam konteks relasi antar bertetangga. Jadi yang bisa dilakukan adalah bagaimana agar mereka bisa bertetangga dengan baik dalam konteks tidak saling menghina keyakinannya.
Di dalam hal ini, maka sesungguhnya kerukunan beragama bisa dilakukan. Dengan catatan bahwa mereka saling menenggang rasa di antara mereka. Sebagai contoh, di Kupang ada Universitas Muhammadiyah, sebagai lembaga pendidikan Islam akan tetapi mahasiswanya sebanyak 80 persen beragama Katolik, dan hanya sebanyak 20 persen saja yang beragama Islam. Demikian pula di Padang Panjang, penduduknya mayoritas beragama Islam, dan terdapat sekolah Kristen, yang muridnya 80 persen beragama Islam. Demikian pula contoh bagaimana kerukunan beragama itu telah terjadi dengan baik adalah ketika terjadi MTQ yang justru meminta dilaksanakan di Ambon adalah Gubernur Ambon yang beragama Kristen. Ketika terjadi pembukaan MTQ, maka yang menyanyikan paduan suara, adalah anak-anak Kristen, dan yang dinyanyikan adalah lagu sajadah panjang yang berisi ajaran Islam, seperti shalat. Bisa dibayangkan bagaimana anak muda Kristiani menyanyikan lagu-lagu Islami. Bahkan yang lebih menggembirakan adalah kantor Keuskupan di Ambon yang dijadikan sebagai markas peserta MTQ dan di kantor itu di setiap saat dilantunkan ayat-ayat Al Quran.
Demikian pula ketika terjadi acara Pesparawi atau kompetisi paduan suara gereja yang dilaksanakan di Kendari. Padahal mayoritas orang Kendari adalah muslim dan yang menjadi panitianya adalah orang-orang Islam. Oleh karena itu sesungguhnya bahwa kerukunan umat beragama di Indonesia sangat kondusif.
Tetapi ada hal yang juga perlu diperhatikan bahwa pasca Soeharto terjadi radikalisme yang menimbulkan banyak masalah. Di dalam hal ini, maka sesungguhnya bahwa kaum radikal tidak mewakili Islam Indonesia. Memang radikalisme ada di Indonesia, akan tetapi kenyataannya bahwa mereka bukankah arus utama Islam Indonesia. Jangan pernah melupakan bahwa berbicara tentang Islam Indonesia harus dihadapkan pada NU dan Muhammadiyah. Dua organisasi besar inilah yang menjadi representasi Indonesia. Dan mereka adalah umat Islam yang moderat. Jadi selama dua organisasi besar ini masih mengusung Islam moderat, maka Indonesia akan tetap menjadi umat Islam moderat.
Oleh karena itu, tidak bisa dikaitkan antara kekerasan yang dilakukan oleh segelintir orang dengan agama. Setiap gerakan radikal yang membahayakan Pemerintah, maka akhirnya akan berhadapan dengan hukum. Ada yang ditembak mati karena melakukan terorisme dan ada juga yang dihukum sesuai dengan aturan yang berlaku.
Dengan demikian, jika aturan ditegakkan dan dialog dikembangkan secara terus menerus, maka akan terjadi penurunan tindak kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang. Jadi, yang diperlukan adalah bagaimana menjaga kerukunan agar menjadi arus utama masyarakat Indonesia.
Wallahualam bisshawab.

MEMANEJ PERBEDAAN AGAMA

MEMANEJ PERBEDAAN AGAMA
Sore ini (20/11/2013) di Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapura, dilaksanakan satu kegiatan seminar internasional dengan tema “Managing Religious Diversity in Democratic Indonesia” dengan pembicara utama Dr. Suryadharma Ali, Menteri Agama Republik Indonesia.
Berdasarkan pengantar yang disampaikan oleh Dean of RSIS, Prof. Barry Desker, bahwa Indonesia memiliki kekhususan tentang bagaimana memeneg berbagai macam agama, etnis dan suku di dalam demokrasi yang berkembang pasca reformasi. Berdasarkan prinsip dasar di dalam Pancasila, maka relasi antara agama, etnisitas dan demokrasi berjalan dengan sangat baik. Pemerintah memiliki kemampuan untuk memeneg berbagai persoalan relasi antara agama, etnisitas, suku dan demokrasi yang ternyata menjadikan Indonesia sebagai negara yang mampu menjamin adanya pluralitas dan diversitas.
Di dalam hal ini maka peran Dr. Suryadharma Ali sangat nyata. Selain menjadi menteri agama, juga sebagai pimpinan partai politik. Partai Persatuan Pembangunan ke depan akan memiliki peluang untuk membangun relasi politik dan demokrasi, relasi agama dan demokrasi dan juga mempu untuk menjadi calon pemimpin Indonesia. Bahkan menurut harian Kompas dan Jakarta Post, bahwa Dr. Suryadharma Ali berpeluang menjadi Presiden Indonesia.
Menurut Dr. Suryadharma Ali, bahwa tema di dalam seminar ini sangat seksi sebab akan membicarakan tentang kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Kerukunan antar umat beragama tentu suatu hal yang sangat menarik untuk didiskusikan. Menurutnya, bahwa ada empat hal yang penting untuk dijelaskan yaitu: tentang kehidupan umat beragama di Indonesia, tentang kerukunan umat beragama di Indonesia, tentang bahasan mengenai hal tersebut dan juga tentang kebijakan dan praktik kehidupan beragama di Indonesia.
Pertama, tentang kehidupan beragama, maka penduduk Indonesia mayoritas adalah beragama Islam. Mereka adalah pemeluk agama Islam dan meskipun umat Islam itu mayoritas, namun demikian terdapat beberapa provinsi yang umat Islamnya minoritas. Misalnya di Bali, jumlah penduduknya adalah beragama Hindu, 83,45 persen dan hanya kecil saja yang beragama Islam atau 13, 37 persen. Kemudian juga NTT dengan jumlah penduduk terbesarnya adalah Katolik atau 54, 19 persen, sedangkan yang Islam sedikit hanya 9,06 persen. Sedangkan di Sulawesi Utara, maka mayoritasnya adalah Protestan atau sebanyak 63,37 persen, sedangkan yang Islam hanya sedikit saja atau 30,97. Di Papua, Islam hanya dipeluk oleh 15,37 persen.
Kedua, ada sebuah statemen yang menyatakan bahwa di Indonesia ada dugaan telah terjadi peningkatan intoleransi dan banyak yang menyatakan bahwa umat mayoritas atau umat Islam melakukan penindasan terhadap kaum minoritas. Selain itu juga terdapat pernyataan bahwa demokrasi tidak kompatibel dengan demokrasi. Pertanyaannya adalah apakah hal itu benar. Maka jawabannya, bahwa hal itu tidak benar. Saya nyatakan bahwa hal itu tidak benar. Demikian ungkap Menteri Agama.
Kenyataannya bahwa di era demokrasi otoriter, maka banyak tokoh Islam yang selalu meneriakkan tentang pentingnya demokrasi yang sesungguhnya, misalnya di Muhammadiyah ada nama Amin Rais dan di NU ada nama Abdurarhamn Wahid yang terus menerus meneriakkan tentang pentingnya demokrasi. Dan di saat terjadi resesi ekonomi dan juga krisis dunia internasional, maka teriakan akan perubahan kepemimpinan nasional sangat diperlukan, sehingga kemudian Presiden Soeharto lengser dan dimulailah terjadinya demokrasi yang berbasis pada kepentingan rakyat. Secara konseptual dan aplikatif, bahwa Islam dan demokrasi tidak saling bertentangan. Bahkan demokrasi sesungguhnya lahir dan tumbuh dari rahim umat Islam.
Suatu kenyataan memang bahwa demokrasi di Indonesia sekarang ini sedang berada di dalam sebuah pertanyaan besar. Apakah demokrasi seperti ini yang sesungguhnya diperlukan. Realitanya bahwa demokrasi itu identik dengan demonstrasi. Demonstrasi memang merupakan kebolehan akan tetapi bahwa menyamakan demokrasi dengan demonstrasi sebagai model penyaluran pendapat adalah akan menghilangkan makna demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu jika demokrasi dianggap hanya mengusung kepentingan individu dan bukan untuk kepentingan umum, maka demokrasi lalu kurang manfaatnya bagi bangsa Indonesia.
Ketiga, saya akan menjelaskan tentang terjadinya peningkatan intoleransi atau adanya dugaan bahwa umat mayoritas melakukan tirani terhadap umat minoritas. Saya ingin menyatakan bahwa kehidupan antar umat beragama sangat baik. Kenyataannya bahwa kehidupan umat beragama sangat membanggakan. Tidak ada tirani mayoritas kepada minoritas. Harus dipahami bahwa kehidupan umat yang harmoni itu sudah menjadi budaya bangsa Indonesia. Bisa kita bayangkan bahwa di Indonesia terdiri dari 17 ribu pulau dengan bahasa dan suku bangsa yang luar biasa banyaknya. Kalau kemudian tidak bisa dimenej dengan baik, maka akan dapat dilihat betapa rumitnya relasi antar komunitas dan masyarakat di Indonesia ini.
Secara historis, bahwa sebelum Islam datang di Indonesia, maka agama bagi masyarakat Nusantara adalah agama Hindu atau Budha atau animisme dan dinamisme. Akan tetapi ketika Islam datang ke Indonesia dan menjadi agama di Indonesia, maka banyak tradisi yang tidak dihapus dengan keras. Akan tetapi dilakukan berbagai upaya untuk mendialogkan ajaran agama lama dengan agama baru. Misalnya tradisi larung sesaji di laut atau upacara kematian yang ternyata merupakan akulturasi di antara agama-agama yang ada.
Di Indonesia, berbeda agama dalam suatu rumah tangga itu merupakan hal yang sangat biasa. Bisa saja bapaknya beragama Islam, sementara ibunya beragama Kristen dan anaknya bisa memilih agama yang disukai. Makanya mereka terbiasa untuk merayakan hari raya agama yang berbeda tanpa ada kesulitan yang krusial. Kalau kita lihat di Indonesia sesungguhnya terdapat tema-tema atau konsep-konsep persaudaraan antar agama. Misalnya di Sulawesi Utara ada konsep “Katong Basudara”. Di Maluku ada konsep “Pela Gandong”. Pela diartikan sebagai ikatan antar tetangga, sementara Gandong yang berarti ikatan kekerabatan. Di Sunda terdapat istilah sekasur, sedapur, sesumur, dan salembur, yang artinya Ikatan persudaraan mulai dari satu kasur sampai satu masyarakat. Sedangkan di Ambon terdapat konsep “Siwa Lima”, yaitu suatu kenyataan bahwa ketika umat Islam membangun masjid, maka orang Kristen membantu secara maksimal dan demikian pula sebaliknya.
Kemudian yang terakhir ingin saya sampaikan tentang regulasi yang dirumuskan tentang kehidupan beragama. Di dalam hal ini, maka semua peraturan perundangan harus berbasis pada UUD 1945. Di dalam hal ini maka ada jaminan untuk beragama dan beribadah sesuai dengan keyakinannya itu. Negara memberikan jaminan sesuai dengan lasal-pasal di dalam UUD 1945 tentang keyakinan dan implementasi keyakinannya itu. berkeyakinan dan beribadah sesuai dengan agamanya dijamin oleh negara.
Di dalam hal ini, maka yang juga penting untuk dibicarakan adalah tentang kebijakan dan implemetasinya bagi masyarakat Indonesia. Di Indonesia terdapat menteri agama, yang tupoksinya adalah mengatur kehidupan beragama. Oleh karena itu, ada direktur jenderal yang terkait dengan agama-agama di Indonesia. Ada Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Prtestan, Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Katolik, Direktur Jendeal Bimbingan Masyarakat Hindu, Direktur Jendral Masyarakat Budha dan Badan Khusus yang menangani Masyarakat Konghucu. makanya tidak benar kalau ada yang menyatakan bahwa kementerian agama hanya mengatur tentang agama Islam saja. Masyarakat beragama lain juga diurus dengan sangat baik. Selain itu, juga kementerian agama mengatur tentang pendidikan agama pada masing-masing agama.
Dengan demikian, sesungguhnya negara sangat peduli terhadap kehidupan beragama dan hal seperti ini belum tentu terdapat di negara lain.
Wallahualam bisshawab.