MEMANEJ PERBEDAAN AGAMA
MEMANEJ PERBEDAAN AGAMA
Menurut Dr. Suryadharma Ali, Menteri Agama Republik Indonesia, di dalam orasinya di Rajaratnam School of Internasional Studies (RSIS) Nanyang Technological University, Singapore, bahwa di Indonesia itu kehidupan beragama di atur oleh Kementerian Agama. Ada contoh yang sangat menarik tentang kehidupan beragama di Indonesia, misalnya jika terdapat perayaan, misalnya ketika terjadi perayaan hari raya Idul fitri dan Idul Adha, maka Presiden dan Wakil Presiden dan juga Menteri Agama hadir pada upacara tersebut. Hal ini tentu biasa saja sebab mereka memang beragama Islam. Namun demikian, jika ada hari besar umat Kristen dan Katolik, seperti hari Natal, maka Presiden dan Wakil Presiden serta Menteri Agama juga hadir di dalam acara itu, meskipun mereka tidak beragama Kristen atau Katolik. Demikian pula di dalam acara Waisak yang merupakan hari raya agama Hindu, maka Presiden dan Wakil Presiden serta Menteri Agama juga merayakan Waisak tersebut. Demikian pula di dalam perayaan agama Konghucu, maka Presiden dan Wwakil Presiden serta Menteri Agama juga menghadirinya. padahal jumlah penganut agama Konghucu sangat minoritas. Pertanyaan besarnya adalah adakah negara yang begitu care terhadap kehidupan agama.
Masalahnya adalah tentang bagaimana mayoritas memberi kesempatan kepada yang minoritas, seperti kasus Lurah Lenteng Agung yang ditolak oleh umat Islam karena agamanya yang berbeda. Secara general bahwa menteri di Indonesia juga terdiri dari berbagai macam agama. Bahkan secara praktis bahwa kepemimpinan minoritas sangat dimungkinkan. Demikian pula tentang gubernur, wakil gubernur dan juga kepemimpinan daerah lainnya juga menyesuaikan dengan mayoritas agama yang ada di wilayah tersebut. Demikian pula bagi Kementerian Agama juga harus sesuai dengan mayoritas agama di wilayah tersebut. Misalnya di Bali maka Kakanwil Agama pastilah berasal dari agama mayoritas tersebut. Artinya, bahwa untuk lurah Lenteng Agung juga tidak masalah sebab akhirnya yang penting adalah profesionalismenya.
Selain itu juga masalah relasi antara Sunni dan Syiah. Masalahnya adalah bagaimana mengatur hal ini. Bukan hanya di Sampang tetapi juga yang lain. Memang di Indonesia sedang terjadi pergumulan pemikiran. Sebagai bagian dari negara yang tengah menjejak demokrasi, maka demokrasi juga terkait dengan kebebasan. Ada pemikiran tentang kebebasan absolut. Bagi umat beragama, bahwa tidak ada kebebasan mutlak, sebab kebebasan mutlak hanya ada bagi Tuhan. Bagi umat beragama, maka kebebasan itu adalah kebebasan yang terbatas. Manusia memiliki banyak keterbatasan. Kekuatan, kepintaran dan seterusnya yang sangat terbatas. Pemikiran kebebasan mutlak terkait dengan gagasan munculnya agama-agama. Bagi yang mengikuti kebebasan terbatas, maka kebebasan itu ada kaitannya dengan aturan-aturan. Akan tetapi bagi kaum kebebasan mutlak, maka ketika ada kebebasan yang terkungkung oleh sesuatu, maka yang salah adalah aturannya.
Di dalam beragama itu ada aturannya. Setiap agama memiliki aturannya sendiri. Misalnya, ketika ada sekelompok orang yang mengaku beragama tertentu, akan tetapi menyalahi aturan agama itu tentu tidak dapat dinyatakan sebagai penganut agama itu. Dalam perjalanan ke Thailand, maka saya hadir di Patung Budha Maetreya bersama biksu Dutavira Mahestravira, maka ketika saya tanyakan apakah jika saya memberikan kopiah di kepala patung Budha, apakah hal ini merupakan penghinaan agama, maka dijawab oleh Bhiksu bahwa hal itu adalah penghinaan. Jika patung tersebut diberi baju, apakah hal itu sebagai penghinaan, maka jawabannya adalah penghinaan. Jika patung tersebut diberi kumis, maka hal itu juga merupakan penghinaan. Pelajaran yang didapat adalah bahwa kita harus menghormati keyakinan beragama orang lain atau masyarakat lain.
Demikian pula ketika patung Kristus diberi baju. Maka yang demikian itu juga merupakan penghinaan agama dan yang melakukannya pasti bukan pemeluk Kristen. Sama halnya dengan umat Islam tetapi nabinya bukan Nabi Muhammad saw, lalu kitabnya bukan AL Quran, pastilah orang ktu bukan umat Islam. Maka ketika ada orang yang melakukan seperti itu, maka pasti bahwa yang bersangkutan bukanlah penganut agama yang dipeluk oleh lainnya. Dalam kasus relasi antara Syiah dan Sunni, maka sesungguhnya yang terjadi adalah bahwa ada keyakinan atau ajaran di dalam sunni yang dihinakan oleh kaum Syiah. Jika terjadi seperti itu, maka akan terjadi disharmoni intern umat beragama.
Masalah yang juga menyeruak ke depan adalah terkait dengan bagaimana penyamaan persepsi di kalangan kaum Syiah di dalam konteks Sunni. Yang dimaksud dengan penyamaan persepsi adalah terkait dengan prinsip dasar di dalam rekonstruksi relasi hubungan di antara mereka yang dapat dinyatakan sebagai sebuah upaya dialog. Maka, langkah yang penting untuk membangun hubungan baik tersebut adalah melalui dialog. Dan dialog itu yang terus dilakukan agar terjadi kesamaan pandangan. Prinsip yang dikembangkan adalah dengan membawa mereka ke dalam konteks relasi antar bertetangga. Jadi yang bisa dilakukan adalah bagaimana agar mereka bisa bertetangga dengan baik dalam konteks tidak saling menghina keyakinannya.
Di dalam hal ini, maka sesungguhnya kerukunan beragama bisa dilakukan. Dengan catatan bahwa mereka saling menenggang rasa di antara mereka. Sebagai contoh, di Kupang ada Universitas Muhammadiyah, sebagai lembaga pendidikan Islam akan tetapi mahasiswanya sebanyak 80 persen beragama Katolik, dan hanya sebanyak 20 persen saja yang beragama Islam. Demikian pula di Padang Panjang, penduduknya mayoritas beragama Islam, dan terdapat sekolah Kristen, yang muridnya 80 persen beragama Islam. Demikian pula contoh bagaimana kerukunan beragama itu telah terjadi dengan baik adalah ketika terjadi MTQ yang justru meminta dilaksanakan di Ambon adalah Gubernur Ambon yang beragama Kristen. Ketika terjadi pembukaan MTQ, maka yang menyanyikan paduan suara, adalah anak-anak Kristen, dan yang dinyanyikan adalah lagu sajadah panjang yang berisi ajaran Islam, seperti shalat. Bisa dibayangkan bagaimana anak muda Kristiani menyanyikan lagu-lagu Islami. Bahkan yang lebih menggembirakan adalah kantor Keuskupan di Ambon yang dijadikan sebagai markas peserta MTQ dan di kantor itu di setiap saat dilantunkan ayat-ayat Al Quran.
Demikian pula ketika terjadi acara Pesparawi atau kompetisi paduan suara gereja yang dilaksanakan di Kendari. Padahal mayoritas orang Kendari adalah muslim dan yang menjadi panitianya adalah orang-orang Islam. Oleh karena itu sesungguhnya bahwa kerukunan umat beragama di Indonesia sangat kondusif.
Tetapi ada hal yang juga perlu diperhatikan bahwa pasca Soeharto terjadi radikalisme yang menimbulkan banyak masalah. Di dalam hal ini, maka sesungguhnya bahwa kaum radikal tidak mewakili Islam Indonesia. Memang radikalisme ada di Indonesia, akan tetapi kenyataannya bahwa mereka bukankah arus utama Islam Indonesia. Jangan pernah melupakan bahwa berbicara tentang Islam Indonesia harus dihadapkan pada NU dan Muhammadiyah. Dua organisasi besar inilah yang menjadi representasi Indonesia. Dan mereka adalah umat Islam yang moderat. Jadi selama dua organisasi besar ini masih mengusung Islam moderat, maka Indonesia akan tetap menjadi umat Islam moderat.
Oleh karena itu, tidak bisa dikaitkan antara kekerasan yang dilakukan oleh segelintir orang dengan agama. Setiap gerakan radikal yang membahayakan Pemerintah, maka akhirnya akan berhadapan dengan hukum. Ada yang ditembak mati karena melakukan terorisme dan ada juga yang dihukum sesuai dengan aturan yang berlaku.
Dengan demikian, jika aturan ditegakkan dan dialog dikembangkan secara terus menerus, maka akan terjadi penurunan tindak kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang. Jadi, yang diperlukan adalah bagaimana menjaga kerukunan agar menjadi arus utama masyarakat Indonesia.
Wallahualam bisshawab.