MEMANEJ PERBEDAAN AGAMA
MEMANEJ PERBEDAAN AGAMA
Sore ini (20/11/2013) di Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapura, dilaksanakan satu kegiatan seminar internasional dengan tema “Managing Religious Diversity in Democratic Indonesia” dengan pembicara utama Dr. Suryadharma Ali, Menteri Agama Republik Indonesia.
Berdasarkan pengantar yang disampaikan oleh Dean of RSIS, Prof. Barry Desker, bahwa Indonesia memiliki kekhususan tentang bagaimana memeneg berbagai macam agama, etnis dan suku di dalam demokrasi yang berkembang pasca reformasi. Berdasarkan prinsip dasar di dalam Pancasila, maka relasi antara agama, etnisitas dan demokrasi berjalan dengan sangat baik. Pemerintah memiliki kemampuan untuk memeneg berbagai persoalan relasi antara agama, etnisitas, suku dan demokrasi yang ternyata menjadikan Indonesia sebagai negara yang mampu menjamin adanya pluralitas dan diversitas.
Di dalam hal ini maka peran Dr. Suryadharma Ali sangat nyata. Selain menjadi menteri agama, juga sebagai pimpinan partai politik. Partai Persatuan Pembangunan ke depan akan memiliki peluang untuk membangun relasi politik dan demokrasi, relasi agama dan demokrasi dan juga mempu untuk menjadi calon pemimpin Indonesia. Bahkan menurut harian Kompas dan Jakarta Post, bahwa Dr. Suryadharma Ali berpeluang menjadi Presiden Indonesia.
Menurut Dr. Suryadharma Ali, bahwa tema di dalam seminar ini sangat seksi sebab akan membicarakan tentang kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Kerukunan antar umat beragama tentu suatu hal yang sangat menarik untuk didiskusikan. Menurutnya, bahwa ada empat hal yang penting untuk dijelaskan yaitu: tentang kehidupan umat beragama di Indonesia, tentang kerukunan umat beragama di Indonesia, tentang bahasan mengenai hal tersebut dan juga tentang kebijakan dan praktik kehidupan beragama di Indonesia.
Pertama, tentang kehidupan beragama, maka penduduk Indonesia mayoritas adalah beragama Islam. Mereka adalah pemeluk agama Islam dan meskipun umat Islam itu mayoritas, namun demikian terdapat beberapa provinsi yang umat Islamnya minoritas. Misalnya di Bali, jumlah penduduknya adalah beragama Hindu, 83,45 persen dan hanya kecil saja yang beragama Islam atau 13, 37 persen. Kemudian juga NTT dengan jumlah penduduk terbesarnya adalah Katolik atau 54, 19 persen, sedangkan yang Islam sedikit hanya 9,06 persen. Sedangkan di Sulawesi Utara, maka mayoritasnya adalah Protestan atau sebanyak 63,37 persen, sedangkan yang Islam hanya sedikit saja atau 30,97. Di Papua, Islam hanya dipeluk oleh 15,37 persen.
Kedua, ada sebuah statemen yang menyatakan bahwa di Indonesia ada dugaan telah terjadi peningkatan intoleransi dan banyak yang menyatakan bahwa umat mayoritas atau umat Islam melakukan penindasan terhadap kaum minoritas. Selain itu juga terdapat pernyataan bahwa demokrasi tidak kompatibel dengan demokrasi. Pertanyaannya adalah apakah hal itu benar. Maka jawabannya, bahwa hal itu tidak benar. Saya nyatakan bahwa hal itu tidak benar. Demikian ungkap Menteri Agama.
Kenyataannya bahwa di era demokrasi otoriter, maka banyak tokoh Islam yang selalu meneriakkan tentang pentingnya demokrasi yang sesungguhnya, misalnya di Muhammadiyah ada nama Amin Rais dan di NU ada nama Abdurarhamn Wahid yang terus menerus meneriakkan tentang pentingnya demokrasi. Dan di saat terjadi resesi ekonomi dan juga krisis dunia internasional, maka teriakan akan perubahan kepemimpinan nasional sangat diperlukan, sehingga kemudian Presiden Soeharto lengser dan dimulailah terjadinya demokrasi yang berbasis pada kepentingan rakyat. Secara konseptual dan aplikatif, bahwa Islam dan demokrasi tidak saling bertentangan. Bahkan demokrasi sesungguhnya lahir dan tumbuh dari rahim umat Islam.
Suatu kenyataan memang bahwa demokrasi di Indonesia sekarang ini sedang berada di dalam sebuah pertanyaan besar. Apakah demokrasi seperti ini yang sesungguhnya diperlukan. Realitanya bahwa demokrasi itu identik dengan demonstrasi. Demonstrasi memang merupakan kebolehan akan tetapi bahwa menyamakan demokrasi dengan demonstrasi sebagai model penyaluran pendapat adalah akan menghilangkan makna demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu jika demokrasi dianggap hanya mengusung kepentingan individu dan bukan untuk kepentingan umum, maka demokrasi lalu kurang manfaatnya bagi bangsa Indonesia.
Ketiga, saya akan menjelaskan tentang terjadinya peningkatan intoleransi atau adanya dugaan bahwa umat mayoritas melakukan tirani terhadap umat minoritas. Saya ingin menyatakan bahwa kehidupan antar umat beragama sangat baik. Kenyataannya bahwa kehidupan umat beragama sangat membanggakan. Tidak ada tirani mayoritas kepada minoritas. Harus dipahami bahwa kehidupan umat yang harmoni itu sudah menjadi budaya bangsa Indonesia. Bisa kita bayangkan bahwa di Indonesia terdiri dari 17 ribu pulau dengan bahasa dan suku bangsa yang luar biasa banyaknya. Kalau kemudian tidak bisa dimenej dengan baik, maka akan dapat dilihat betapa rumitnya relasi antar komunitas dan masyarakat di Indonesia ini.
Secara historis, bahwa sebelum Islam datang di Indonesia, maka agama bagi masyarakat Nusantara adalah agama Hindu atau Budha atau animisme dan dinamisme. Akan tetapi ketika Islam datang ke Indonesia dan menjadi agama di Indonesia, maka banyak tradisi yang tidak dihapus dengan keras. Akan tetapi dilakukan berbagai upaya untuk mendialogkan ajaran agama lama dengan agama baru. Misalnya tradisi larung sesaji di laut atau upacara kematian yang ternyata merupakan akulturasi di antara agama-agama yang ada.
Di Indonesia, berbeda agama dalam suatu rumah tangga itu merupakan hal yang sangat biasa. Bisa saja bapaknya beragama Islam, sementara ibunya beragama Kristen dan anaknya bisa memilih agama yang disukai. Makanya mereka terbiasa untuk merayakan hari raya agama yang berbeda tanpa ada kesulitan yang krusial. Kalau kita lihat di Indonesia sesungguhnya terdapat tema-tema atau konsep-konsep persaudaraan antar agama. Misalnya di Sulawesi Utara ada konsep “Katong Basudara”. Di Maluku ada konsep “Pela Gandong”. Pela diartikan sebagai ikatan antar tetangga, sementara Gandong yang berarti ikatan kekerabatan. Di Sunda terdapat istilah sekasur, sedapur, sesumur, dan salembur, yang artinya Ikatan persudaraan mulai dari satu kasur sampai satu masyarakat. Sedangkan di Ambon terdapat konsep “Siwa Lima”, yaitu suatu kenyataan bahwa ketika umat Islam membangun masjid, maka orang Kristen membantu secara maksimal dan demikian pula sebaliknya.
Kemudian yang terakhir ingin saya sampaikan tentang regulasi yang dirumuskan tentang kehidupan beragama. Di dalam hal ini, maka semua peraturan perundangan harus berbasis pada UUD 1945. Di dalam hal ini maka ada jaminan untuk beragama dan beribadah sesuai dengan keyakinannya itu. Negara memberikan jaminan sesuai dengan lasal-pasal di dalam UUD 1945 tentang keyakinan dan implementasi keyakinannya itu. berkeyakinan dan beribadah sesuai dengan agamanya dijamin oleh negara.
Di dalam hal ini, maka yang juga penting untuk dibicarakan adalah tentang kebijakan dan implemetasinya bagi masyarakat Indonesia. Di Indonesia terdapat menteri agama, yang tupoksinya adalah mengatur kehidupan beragama. Oleh karena itu, ada direktur jenderal yang terkait dengan agama-agama di Indonesia. Ada Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Prtestan, Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Katolik, Direktur Jendeal Bimbingan Masyarakat Hindu, Direktur Jendral Masyarakat Budha dan Badan Khusus yang menangani Masyarakat Konghucu. makanya tidak benar kalau ada yang menyatakan bahwa kementerian agama hanya mengatur tentang agama Islam saja. Masyarakat beragama lain juga diurus dengan sangat baik. Selain itu, juga kementerian agama mengatur tentang pendidikan agama pada masing-masing agama.
Dengan demikian, sesungguhnya negara sangat peduli terhadap kehidupan beragama dan hal seperti ini belum tentu terdapat di negara lain.
Wallahualam bisshawab.