• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PENINGKATAN KINERJA APARAT PENDIDIKAN ISLAM

PENINGKATAN KINERJA APARAT PENDIDIKAN ISLAM

Setelah magrib dan berbuka dengan Gus Sholah, saya bergegas menuju Hotel Golden Boutique, sebab saya diminta untuk memberikan materi pembinaan bagi para aparat Direktorat Pendidikan Islam dalam satu tajuk acara “Peningkatan Kinerja Pegawai Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI” (18/07/2014). Mestinya jam tersebut untuk shalat tarawih dan witir, akan tetapi kali ini tarawihnya harus diundur untuk kepentingan memberikan taushiyah kepegawaian. Saya yakin yang seperti ini juga memperoleh pahala.

Saya sampaikan dua hal yang masih menjadi keraguan banyak orang di era reformasi birokrasi sekarang ini. Pertama, adalah apakah kita sudah siap memasuki era reformasi birokrasi yang menekankan pada peningkatan kinerja secara menyeluruh dan kedua, apakah kita sudah bisa menjadi aparat Negara yang berkualitas. Dua pertanyaan inilah yang rasanya memang perlu kita renungkan, tidak hanya aparat fungsional akan tetapi juga aparat structural dalam segala lapisannya.

Keraguan tentang kesiapan kita memasuki kawasan baru, reformasi birokrasi, rasanya bukanlah sesuatu yang tidak beralasan. Coba kita bayangkan tingkat kedisiplinan kita memasuki jam kantor. Kedisiplinan ini kelihatannya bukan hal yang sulit, sebab  secara konseptual tentu dengan mudah bisa diatasi. Tinggal mengubah kebiasaan jam berangkat kantor. Sederhana bukan.

Namun demikian, secara empiris bukanlah hal yang mudah. Ini Jakarta Bung. Begitulah kira-kira. Semua tentu tahu bahwa traffic jam di Jakarta bukanlah barang yang mudah diatasi. Coba bayangkan, jarak antara Jalan Indramayu di Menteng dan Kantor Kemenag di Jl. Lapangan Banteng biasanya hanya ditempuh dalam waktu 15 menit saja. Tidaklah jauh. Akan tetapi dalam traffic jam yang rumit, jarak tempuh tersebut menjadi berlipat-lipat, 2,5 jam.

Padahal kita tahu kebanyakan karyawan Kementerian Agama bertempat tinggal di Bogor, Ciputat, Bekasi, Duren Sawit dan sebagainya, yang jarak tempuhnya bisa 1 jam sampai 1,5  jam dalam keadaan normal. Makanya jika dalam kondisi traffic jam, maka perjalanan ke kantor bisa ditempuh dalam 3 sampai 4 jam. Memang tidak selalu seperti itu, akan tetapi dalam musim penghujan, janganlah bertanya tentang kemacetan di Jakarta.

Dengan demikian, tantangan eksternal kedisiplinan bukanlah sesuatu yang bisa dengan mudah untuk diselesaikan. Saya berkeyakinan bahwa semua staf ingin segera sampai kantor dan bekerja, akan tetapi kendala lapangan seperti inilah yang terkadang juga harus menjadi bahan perhatian. Oleh karena itu, seluruh jajaran aparat Kementerian Agama juga harus melakukan perubahan perilaku terkait dengan jam masuk kantor agar anggapan tentang ketidakmungkinan masuk kantor sesuai dengan jam tersebut akan tereliminir. Jika selama ini pola yang digunakan adalah penambahan jam keluar kantor, maka hal ini ke depan tidak lagi bisa dilakukan.

Di dalam kerangka peningkatan performance kinerja, maka ada beberapa hal yang patut diperhatikan. Pertama, yang harus dilakukan adalah pemetaan jabatan, analisis jabatan dan analisis beban kerja. Hal ini dilakukan dalam kerangka memperoleh proporsi, distribusi dan kekuatan kinerja aparat.

Kedua, jika pemetaan kerja sudah bisa dilakukan, maka hendaknya melakukan atau memperbaiki komposisi dan distribusi pegawai. Dewasa ini masih terdapat relasi komposisi dan distribusi pegawai yang kurang cocok. Misalnya ada jumlah staf di KUA DKI dengan jumlah aparat sebanyak 30 orang, sementara di tempat lain hanya 5 orang saja. Kemudian, merumuskan kesesuaian antara jumlah dan kompisisi pegawai. Banyak terjadi jumlah pegawai tidak relevan dengan komposisinya. Jumlah pegawai banyak akan tetapi dengan komposisi yang tidak berimbang sesuai dengan keahlian dan kemampuannya. Lalu, harus merumuskan kesesuaian antara kompetensi dan jabatannya. Untuk melihat kompetensi jabatan maka secara sederhana dapat dilihat dari pendidikannya, apakah pendidikan formal ataukah pendidikan nonformal. Jadi pemetaan awal yang bisa dilakukan adalah dengan melihat relevansi pendidikan dengan kompetensinya ini. Tidak kalah pentingnya adalah system penggajian yang cocok, yang di dalam hal ini adalah remunerasi. Melalui remunerasi dengan segala tingkatannya diharapkan akan dapat menjadi ukuran yang pas untuk system penggajian.

Reformasi birokrasi bukanlah hanya perubahan struktur luarnya saja, akan tetapi juga struktur dalamnya. Bukan hanya perubahan wadahnya, akan tetapi juga perubahan  mindsetnya. Makanya, kala sebuah institusi pemerintah sudah menentukan dirinya berubah ke arah ini, maka juga harus terjadi perubahan secara komprehensif.

Untuk hal ini, maka penetapan indicator kinerja utama (IKU) yang meliputi pencapain target sasaran dan tujuan instansi pemerintah menjadi penting. Sasarannya harus jelas dan terukur. Oleh karena itu, semua unit kerja haruslah merumuskan sasaran dan tujuan pada unitnya masing-masing. Dengan IKU tersebut maka seluruh konsentrasi kerja harus diarahkan untuk pencapaiannya. Itulah sebabnya setiap aparat harus membuat laporan kinerjanya, agar kinerjanya bisa dianalisis seberapa tingkat pencapaian target sasarannya.

Untuk memperoleh aparat pemerintah yang kredibel dan kompeten, maka juga harus dilakukan training atau apapun kegiatan untuk kepentingan peningkatan kompetensi tersebut. Pembinaan karir jabatan tersebut dilakukan agar terus terjadi konsistensi dan keberlanjutan profesionalisme aparat. Langkah awal yang akan dilakukan oleh pemerintah adalah dengan melakukan assessment atau tes atau uji kompetensi aparat. Melalui assessment ini akan diketahui bagaimana kemampuan dasar kompetensi, kemampuan umum, integritas dan kepribadiannya.

Itulah sebabnya ortala sebagai leading sector pembina karir jabatan harus bekerja keras agar aparat kita akan makin professional di masa depan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

WARTAWAN SEBAGAI HUMAS KEMENAG RI

WARTAWAN SEBAGAI HUMAS KEMENAG RI

Pada bulan Ramadlan ini, ada kegiatan yang sangat baik yang diselenggarakan sebagai acara  kehumasan Kementerian Agama adalah kegiatan Pelantikan Koordinator Wartawan Unit Kementerian Agama. Acara ini diselengarakan di Operation Room Kementerian Agama Jalan Lapangan Banteng 3-4 Jakarta (18/07/2014). Hadir di dalam acara ini adalah Kapinmas, Zubaidi, Karo Umum, Burhanuddin, Sesdirjen Bimas Islam, Prof. Muhammadiyah Amin, Sekretaris Litbang, Dr. Hamdar Arraiyah, dan sejumlah pejabat lainnya.

Acara ini sangat unik sebab pelantikan tersebut dilakukan dengan cara yang sangat sederhana, tanpa ritual yang sulit dan berwibawa. Acaranya juga hanya sambutan dan berbuka bersama. Meskipun demikian, acara ini juga cukup hikmat dan penuh tanggung jawab.

Tidak sebagaimana acara pelantikan jabatan yang rumit dan berwibawa, maka acara pelantikan ini diselenggarakan dengan simple dan mudah. Ketua PWI Provinsi DKI (Kamsul Hasan)  yang melantik pejabat Koordinator Wartawan Unit Kementerian Agama baru (Muhammad Iskandar) dan disaksikan oleh pejabat lama yang sudah mengakhir jabatannya (Hartono Harimurti). Lafadz pelantikan pun dirumuskan dengan sederhana dan mudah.

Saya tentu merasa sangat senang dengan pelantikan ini sebab bagaimanapun juga para wartawan adalah humas Kementerian Agama yang sudah memberikan kerja terbaiknya untuk menyebarkan informasi kepada khalayak ramai. Para wartawan inilah yang sehari-hari mangkal di Kementerian Agama untuk mengakses berita, menulis berita dan menginformasikannya kepada masyarakat.

Saya sampaikan bahwa ada dua jenis humas di sebuah lembaga pemerintah. Pertama, adalah humas structural, yaitu Humas yang dipimpin oleh pejabat kehumasan dengan sejumlah staf dengan tupoksinya masing-masing. Para pelaksana humas ini secara structural bertanggungjawab kepada pimpinan yang lebih tinggi di dalam profesi kerjanya.

Kedua, ada humas kultural yaitu para pelaku humas yang tidak terikat dengan struktur jabatan dan sekat-sekat ruang struktur, akan tetapi mereka secara riil melaksanakan tugas kehumasan yang tidak kalah pentingnya dengan para pelaku humas structural. Mereka adalah para wartawan dan juga aparat lainnya, baik pejabat structural atau pejabat fungsional yang dengan kesadaran dirinya sendiri merasa dan menjadi pelaku humas kementerian. Keduanya tentu saling bahu membahu untuk menjadi pelaku humas yang bermanfaat bagi penyebaran informasi kepada public dalam berbagai varian media yang digunakannya.

Kitas sekarang sedang hidup di tengah kebebasan pers yang luar biasa. Tidak ada era yang melebihi kebebasan pers sebagaimana sekarang. Kita sudah nyaris sama dengan pers di Negara-negara liberal, seperti Amerika Serikat, Inggris dan lainnya. Apapun bisa diberitakan dan apapun fit to print atau fit to inform. Semuanya menjadi well informed. Semuanya dianggap sebagai informasi yang baik. Itulah sebabnya, saya membagi ada dua jenis pers dewasa ini, yaitu: pers  konstruktif dan pers dekonstruktif.

Pers konstruktif adalah pers yang menjunjung tinggi etika pers dengan mengdepankan etika pemberitaan yang bernilai positif berbasis pada kebenaran. Pers yang semacam ini akan menghasilkan citra positif terhadap apapun yang diberitakannya. Di dalam beritanya ada nilai kepatutan dan kepantasan. Mereka tidak melakukan pembunuhan karakter dan juga menjunjung tinggi nilai kebebasan yang bertanggungjawab. Filsafat dasarnya adalah pers berbasis pada sistem pertanggungjawaban social.

Di sisi lain ada pers yang saya sebut sebagai dekonstruktif.  Di beberapa negara lain disebut sebagai pers kuning. Pers yang memberitakan hal-hal yang tidak memiliki nilai manfaat yang memadai bagi pemberdayaan dan pengembangan institusi atau masyarakat. Pers seperti ini lebih banyak memberitakan sisi negative pemberitaannya. Di dalam konteks ini, maka pers lebih banyak memberikan informasi tentang isu atau sensasi yang tentu saja belum memperoleh justifikasi kebenaran dari sumber beritanya. Karya jurnalistiknya lebih menggambarkan tentang sisi negative ketimbang sisi positif. Di tengah kebebasan pers yang luar biasa, seringkali pemberitaan lebih mengarah kepada hal-hal yang memojokkan, menuduh dan bahkan memfitnah. Falsafah dasarnya adalah freedom of speech atau libertarian mutlak.

Sebagai masyarakat dengan takaran religious yang tinggi, saya kira peran pemberitaan adalah to educate meskipun juga ada to entertain. Setiap yang mendidik pasti basisnya adalah etika dan moralitas. Jadi pers yang diharapkan oleh lembaga atau organisasi adalah pers yang mendidik agar menjadi lebih baik.

Disinilah arti pentingnya agen-agen informasi yang bisa berperan di dalam kerangka untuk menjadi mitra para wartawan di dalam memberitakan aktivitas atau apapun di sebuah kementerian. Menurut Pak Zubaidi, bahwa di Kementerian Agama sudah ada penghubung atau mediator yang berperan untuk manjadi penghubung kegiatan atau aktivitas di kementerian dengan wartawan.

Hanya saja yang perlu kita kembangkan lebih jauh adalah bagaimana para agen tersebut dapat lebih berperan maksimal sehingga aktivitas yang outstanding dapat diinformasikan ke luar. Saya kira memang perlu ada pelatihan-pelatihan untuk membangun kepekaan jurnalistik, sehingga mereka lebih care terhadap pemberitaan aktivitas kita.

Jadi ke depan harus ada budaya berita atau news culture di setiap lini birokrasi, sehingga akan lebih banyak aktivitas kita yang terekspose melalui media, apapun medianya tersebut.

Wallahu a’lam bi al shawab.

MENGAWAL RUU JAMINAN PRODUK HALAL (1)

MENGAWAL RUU JAMINAN PRODUK HALAL (1)

Dalam waktu tiga tahun terakhir ini, saya merasakan bagaimana harus mengawal RUU yang sangat penting. Yang pertama adalah ketika pembahasan RUU Pendidikan Tinggi di Komisi X bersama dengan Kemendikbud, dan sekarang ketika harus mengawal RUU Jaminan Produk Halal (JPH).

Jika pada waktu mengawal RUU Pendidikan Tinggi posisi saya adalah sebagai anggota tim Kementerian atau pemerintah, maka dalam waktu sekarang posisi saya adalah sebagai Ketua Panja Pemerintah, sebab saya adalah Sekretaris Jenderal Kementerian Agama RI.

Namun demikian, kala membahas RUU Pendidikan Tinggi ternyata jauh lebih rumit, sebab kala itu harus mempertahankan posisi lembaga pendidikan tinggi agama agar tetap berada di Kementerian Agama, sedangkan posisi sekarang tentu jauh lebih netral sebab tidak terkait langsung dengan posisi harus bertahan atau tidak bertahan. Meskipun demikian, tugas ini juga sangat penting, sebab menjaga produk halal merupakan tugas yang tidak ringan. Dan Kementerian Agama adalah leading sector untuk hal ini.

Saya teringat kala membahas RUU pendidikan Tinggi, maka saya harus berargumentasi secara memadai dan bahkan juga lobi-lobi politik yang sangat intensif. Saya teringat harus selalu melakukan negosiasi dengan anggota dewan yang masih memiliki “kepedulian” terhadap peran Kementerian Agama. Saya tentu tidak ingin menyebut nama-nama mereka, akan tetapi sumbangan mereka tentang pendidikan tinggi keagamaan tentu sangat signifikan.

Dalam posisi seperti itulah, maka saya memiliki memori yang sangat terpateri tentang rumusan demi rumusan di dalam UU No 12 Tahun 2012. Saya juga ingat bagaimana harus merumuskan pengertian Ilmu Agama sebagaimana yang tercantum di dalam penjelasan UU No12 Tahun 2012. Jika saya membaca UU No 12 Tahun 2012, maka memori ketika saya merumuskan pengertian Ilmu Agama kembali menjadi terungkap.

Sekarang saya harus  mengawal RUU JPH. Saya semula tidak tahu bahwa untuk merumuskan RUU JPH ini sudah berjalan selama delapan tahun. Jadi sudah cukup lama pembahasan RUU ini. Saya semula juga tidak paham bahwa akhirnya saya harus menjadi Ketua Panja Pemerintah untuk merumuskan pasal demi pasal di dalam RUU JPH.

Jika saya amati, maka sesungguhnya yang menjadi problem utama di dalam pembahasan ini adalah dimanakah menempatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di dalam RUU. Ada sebagian anggota Panja DPR yang menghendaki agar MUI memiliki pengaruh yang tetap sebagaimana peran MUI sekarang, dan ada sebagian yang menghendaki agar peran tersebut tidak sedominan sekarang.

Memang harus diketahui bahwa MUI memang memperoleh kewenangan dari Kementerian Agama untuk menjadi lembaga yang melakukan sertifikasi produk halal. Peran ini sudah dilakukannya semenjak tahun 2008 yang lalu. Makanya, MUI telah menjadi lembaga persertifikatan halal yang sangat powerfull baik untuk produk dalam maupun luar negeri. Sampai akhirnya kemudian muncullah beberapa permasalahan yang menghinggapi program sertifikasi halal yang dilakukan oleh MUI. Makanya, upaya untuk mengurangi peran MUI kembali memperoleh momentumnya.

Saya teringat di dalam suatu kesempatan Menteri Agama, Dr. Suryadharma Ali mengajak kami untuk bersilaturrahim ke MUI. Di dalam kesempatan tersebut MUI tetap pada pendiriannya bahwa pelaksanaan sertifikasi halal haruslah tetap dilakukan oleh MUI semuanya, mulai dari pendaftaran sampai keluarnya sertifikasi produk halal. Bahkan berdasarkan pertemuan berikutnya antara Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, mereka juga masih menyatakan bahwa untuk urusan sertifikasi, maka prinsipnya adalah “khudz kullahu atau utruk kullahu”, atau ambil semua atau tinggalkan semua.

Prinsip inilah yang sesungguhnya membuat rumit di dalam persidangan di Panja DPR. Prinsip yang akan mengambil hulu hilir untuk program sertifikasi ini ditentang oleh banyak pihak. Hampir seluruhnya kurang sependapat dengan prinsip ini. Demikian pula panja pemerintah juga beranggapan sama. Persoalan inilah yang membuat perbincangan di dalam panja menjadi berkepanjangan.

Sesungguhnya semua bersepaham bahwa melibatkan MUI dalam proses sertifikasi halal adalah sebuah keharusan sejarah dan pengalaman. Artinya, MUI memang harus terlibat di dalam proses sertifikasi. Akan tetapi ada perbedaan pendapat apakah seluruhnya atau sebagian saja. Jika seluruhnya tentu akan menemui kendala sebab Badan Nasional Pemeriksa Produk Halal (BNP2H) adalah Lembaga Negara yang akan memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan produk halal. Jadi, artinya adalah lembaga inilah yang nantinya akan menjadi kepanjangan tangan pemerintah untuk melakukan pemeriksaan produk halal.

Posisi MUI di dalam penjaminan produk halal adalah yang disertakan oleh BNP2H yang tentu saja memiliki otoritas yang dianggap relevan dengan tugas dan fungsi keulamaannya. Jadi ada kewenangan yang nantinya akan melekat kepada MUI sebagai kewenangan yang diberikan oleh BNP2H dalam proses pemeriksaan halal.

Saya merasa bersyukur bahwa kompromi politik ini bisa dilalui dalam proses persidangan antara Panja Pemerintah dan DPR. Maka, dirumuskan bahwa BNP2H memiliki kewenangan yang utuh, akan tetapi kewenangan tersebut bisa didelegasikan kepada berbagai lembaga untuk proses pemeriksaan halal. Di antara otonomi yang dimiliki oleh MUI (bisa sendiri atau bersama yang lain) adalah pada fatwa halal, pemeriksaan produk halal, sertifikasi auditor halal, sertifikasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), persidangan produk halal dan penandatangan fatwa tertulis atau SK tentang kehalalan produk.

Dengan keputusan rumusan seperti ini, maka kiranya MUI telah memiliki peran yang sangat signifikan di dalam proses pemeriksaan produk halal. Jika dibandingkan dengan BNP2H, maka di sini hanyalah urusan administratif dan penganggaran. Untuk kepentingan administrasi, misalnya  untuk pendaftaran pelaku usaha, penandatanganan sertifikat halal dan label halal serta hal-hal lain terkait dengan administrasi.

Menilik terhadap rumusan kesepahaman ini, maka kiranya semua harus arif di dalam memahami betapa tarikan-tarikan kepentingan terhadap pemeriksaan produk halal tidaklah sesederhana yang kita bayangkan. Oleh karena itu, kita tentu ingin agar RUU ini segera bisa disahkan menjadi UU dan itu berarti kita telah memberikan kepastian hukum terhadap produk-produk untuk kepentingan umat Islam.

Wallahu a’lam bi al shawab.

DIALOG BERAGAMA KAUM MINORITAS

DIALOG BERAGAMA KAUM MINORITAS

Langkah yang dilakukan oleh Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin untuk berbuka bersama dan dialog dengan tokoh lintas agama dan kepercayaan kaum minoritas sungguh perlu diapresiasi. Hal tersebut dilakukan di Perumahan Dinas Menteri Agama, Widya Candra, 14 Juli 2014.

Di dalam kata sambutannya, Menteri Agama menekankan bahwa acara ini digelar di dalam kerangka silaturrahim dan sekaligus juga ingin mendengarkan suara dan keinginan kaum agama dan keyakinan minoritas terutama dalam kaitannya dengan hak-hak apa yang sesungguhnya harus diperhatikan oleh Negara. Melalui dialog semacam ini, maka akan diketahui dan dipahami apa yang selama ini menjadi ganjalan atau hambatan relasi antara pemerintah dan kaum beragama dan berkeyakinan minoritas.

Hampir seluruh undangan hadir di forum ini. Kedatangan mereka saja sudah merupakan berkah tersendiri, sebab selama ini memang pemerintah, Kementerian Agama,  jarang memperhatikan terhadap kehadiran mereka. Itulah sebabnya mereka sering kali harus melakukan unjuk rasa agar keberadaan dan keinginan mereka diperhatikan oleh masyarakat lainnya atau bahkan pemerintah.

Mereka sesungguhnya juga mengapresiasi terhadap undangan ini. Hampir seluruh peserta dialog mengungkapkan rasa apresiasinya terhadap forum ini. Melalui forum ini, maka sesungguhnya mereka dapat menyatakan suara  mereka dalam keadaan setara dengan yang lain. Bahkan di antara penggiat HAM dan kebebasan beragama juga menyatakan hal yang sama.

Hampir seluruh utusan organisasi keagamaan dan kepercayaan dapat menyatakan pendapatnya. Misalnya komunitas Ahlul Bait Indonesia. Dia menyatakan bahwa sebagai bagian dari umat Islam, Syiah sudah menjadi madzab tersendiri semenjak sejarah Islam masa lalu. Tidak ada yang berbeda dengan keyakinan umat Islam lainnya. Al Qurannya sama, prinsip-prinsip dasar keislamannya sama. Dan pengakuan terhadap Syiah di dunia internasional juga sama. Akan  tetapi akhir-akhir ini terdapat gerakan untuk menghancurkan umat Syiah. Iran yang menyatakan Syiah sebagai madzab resmi Negara juga menjadi anggota Organisasi Konferensi Islam   (OKI). Tetapi keadaan kaum Syiah di tanah air sungguh mengenaskan. Mereka diusir dari tanahnya sendiri. Mereka dianggap bukan sebagai umat Islam. Rumah mereka dibakar, kehidupan mereka dalam ancaman. Sekarang juga terbit buku yang merusak umat Syiah. Buku yang menyesatkan Syiah sudah dicetak dalam jutaan eksemplar dan dibagikan secara gratis di mana-mana. Itulah sebabnya Kaum Syiah lalu menerbitkan buku Putih tentang Syiah sebagai pembelaan dan pelurusan tentang Syiah. Di Sampang nasib kaum Syiah juga belum jelas. Padahal yang menolak juga hanya beberapa kyai. Di sinilah sebenarnya pemerintah dengan kekuasaannya tidak boleh mengabaikan kehidupan kaum minoritas tersebut. Negara harus tampil sebagai pembela kaum minoritas.

Dari Permalim juga menyatakan bahwa sebagai agama lokal, mereka menginginkan agar kehidupan warga Parmalim diperhatikan. Misalnya dalam kependudukan, maka Parmalim menginginkan agar agama mereka dicantumkan di akta nikah, akta lahir, dan juga mendapatkan perlindungan akan kepercayaannya tersebut. Parmalin tidak menuntut agar tempat ibadahnya dapat didirikan di mana saja, sebab agama yang lebih besar saja juga sulit mendirikan tempat ibadah. Akan tetapi hendaknya Parmalim dikenal dan diakui dengan perilakunya yang baik, akhlaknya yang baik dan juga hubungan dengan sesama manusia yang baik. Mereka membutuhkan pelayanan pemerintah terhadapnya.

Kalangan aktivis seperti Interfidei juga menyatakan bahwa mereka menginginkan agar pemenuhan hak atas kaum minoritas dalam agama dan kepercayaan memperoleh  tempat di negeri ini. Sebagai penggiat atas dialog antar iman, Interfidei tidak hanya melakukan aktivitas pendampingan saja, akan tetapi juga melakukan berbagai penelitian tentang kaum minoritas. Juga menggalang jaringan antar iman dan dialog antar iman. Oleh karena itu, maka Interfidei sangat konsern dengan kasus-kasus pelanggaran HAM dan kekerasan agama. Interfeidei selalu memfasilitasi terhadap tema-tema “perbedaan, kesetaraan dan kedamaian” dalam dialog-dialog yang bermanfaat. Negara harus mendukung dan memberi perlindungan terhadap upaya-upaya semacam ini.

Kaum Baha’i yang secara konsisten menginginkan adanya pengakuan bahwa mereka adalah kaum beragama juga menyatakan bahwa ada hak-hak kaum Baha’i yang tidak dipenuhi oleh Negara. Meskipun sudah berdiri semenjak tahun 1885 dan memiliki umat di 28 provinsi, akan tetapi pengakuan terhadap baha’i sebagai agama tidak didapatkan. Makanya mereka menuntuk agar hak-hak sipil kaum Baha’i dapat dipenuhi oleh Negara

Dari Sunda Wiwitan, menyatakan bahwa masih terus ada diskriminasi dari umat mayoritas kepada  umat minoritas. Contoh yang paling anyar adalah pemaksaan anak-anak Sunda Wiwitan untuk berbusana Muslim di bulan Puasa. Bagi kaum Sunda Wiwitan bahwa mereka adalah penerus tradisi leluhur bangsa. Itulah sebabnya bahwa mereka harus diakui dan dilindungi. Jangan didiskriminasikan. Pemerintah jangan hanya mengakui terhadap enam agama saja, sebab meskipun lokal, akan tetapi Sunda Wiwitan memenuhi syarat sebagai agama. Jika ingin membangun kerukunan umat beragama, maka toleransi harus dibangun di atas tradisi dan kearifan lokal.

Bagi Jamaah Ahmadiyah di Indonesia (JAI), mereka menyatakan diri sebagai umat Islam. Sebab baginya tidak ada perbedaan dengan umat Islam lainnya. Jika ada perbedaan sesungguhnya hanyalah pada aspek furuiyahnya saja. Sayangnya bahwa kaum Ahmadiyah selalu menjadi bidikan kekerasan. Kehidupan mereka dirusak dan keamanan mereka selalu diganggu. Jika ingin ada kesatuan dan persatuan bangsa, maka seharusnya pemerintah juga memberikan perlindungan kepada Jamaah Ahmadiyah ini.

Dari Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI), menyatakan bahwa di antara JAI dan GAI ada yang menyamakan dan ada yang membedakan. Baginya bukan persoalan perbedaan atau kesamaan, sebab yang penting adalah bagaimana GAI bermanfaat bagi masyarakat Indonesia. Mereka prihatin terhadap banyaknya kekerasan agama di Indonesia, padahal kalau menggunakan Pancasila sebagai koridor bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka seharusnya tidak saling merusak dan menghancurkan. Inilah sebabnya, GAI lebih menekankan programnya pada pengembangan pendidikan dan kegiatan sosial lainnya.

Wakil dari Kontras, juga menyatakan bahwa Negara semestinya tidak mengabaikan terhadap kepentingan dan kebutuhan kaum minoritas. Negara harus memberi pelayanan terhadap semua warga Negara. Jangan sampai hak-hak dasar warga Negara direduksi sedemikian rupa. Eksistensi mereka harus diakui. Melalui pengakuan akan eksistensi tersebut maka mereka tentu akan memperoleh perlindungan dan pemenuhan hak-hak mereka.

Dari Setara Institut juga memyampaikan bahwa memang ada peningkatan kekerasan atas nama agama. Di dalam survey tentang hal ini, maka ketika ditanya tentang apakah Ahmadiyah saudara seiman? Maka jawabannya ternyata mayoritas menyatakan tidak seiman, tetapi ketika ditanya apakah Ahmadiyah saudara sebangsa, mereka menyatakan masih sebagai sebangsa. Artinya, bahwa memang ada masalah dengan relasi antar mereka. Makanya, kiranya ada masalah yang terkait dengan tata kelola keberagamaan dan bukan masalah agama saja. Oleh karena itu, kiranya diperlukan tata kelola yang benar dalam relasi antar umat beragama. Di dalam hal inilah Kementerian Agama seharusnya memperoleh tempat yang strategis sebagai jembatan antar umat beragama.

Bagi ANBTI, bahwa terjadinya kekerasan umat beragama masalahnya dipicu antara lain oleh pendirian tempat ibadah dan SKB tentang kerukunan umat beragama. ANBTI tentu menginginkan agar kekerasan agama dapat direduksi melalui kewenangan Kementerian Agama. Di dalam kiprahnya, ANBTI lebih bersearah dengan pemberdayaan perempuan sebab kebanyakan di dalam berbagai kekerasan tersebut yang sering menderita lebih banyak adalah kaum perempuan. Oleh karena itu, program ANBTI yang dominan adalah pendampingan terhadap kaum perempuan yang dianggap sebagai korban dari kekerasan atas nama agama atau lainnya.

Di dalam kesempatan memberikan respon terhadap semua yang disampaikan oleh peserta dialog, Prof. Machasin memberikan jawaban bahwa sesungguhnya Negara tidak memiliki hak untuk memberikan pengakuan terhadap agama. Negara memang berwenang untuk memberikan pelayanan dan memberikan perlindungan terhadap umat beragama. Oleh karena itu, sesuai dengan Undang-undang, bahwa Negara seharusnya memberikan pelayanan hak-hak dasar umat beragama atas kenyataan bahwa memang sebuah keyakinan bisa dinyatakan sebagai agama.

Senada dengan hal ini, Pak Lukman Hakim Saifuddin juga menyatakan bahwa ke depan memang perlu dirancang untuk memetakan masalah-masalah yang dihadapi oleh komunitas agama minoritas ini, dan kemudian dianalisis dari mana mengurai benang kusutnya. Pemerintah memang harus memberikan perlindungan dan pelayanan terhadap hak-hak dasar sebagai warga Negara, misalnya kependudukan, pernikahan dan sebagainya. Akan tetapi tentu harus dilalui dengan upaya bersama untuk menentukan mana prioritasnya, sehingga akan diketahui mana yang didahulukan.

Ke depan memang harus ada upaya untuk memperbanyak dialog dan juga aksi untuk kepentingan kerukunan umat beragama agar kehidupan berbangsa dan bernegara akan menjadi semakin baik.

Wallahu a’lam bi al shawab

MANAJEMEN PENYELENGGARAAN HAJI

MANAJEMEN PENYELENGGARAAN HAJI

Sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, maka saya diminta untuk memberikan pengarahan dalam rangka pembekalan kepada petugas haji dari seluruh Indonesia, yang jumlahnya 800 orang lebih. Acara ini diselenggarakan di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, 12/07/2014. Acara yang semestinya malam tersebut dengan sengaja harus saya cancel ke sore hari karena malamnya harus bersama Menteri Agama untuk menghadiri upacara Pembukaan Utsawa Dharma Gita atau Perlombaan Baca Kitab Suci Weda ke 12, yang diselenggarakan di Hotel Mercure Ancol Jakarta.

Saya sampaikan kepada para peserta bahwa dewasa ini, Kementerian Agama, khususnya Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Direktorat Jendral  PHU), memiliki tantangan yang tidak sedikit. Sekurang-kurangnya ada lima tantangan ke depan terkait dengan penyelenggaraan haji.

Pertama, tantangan tentang dugaan korupsi dan penyelewengan penyelenggaraan haji. Pada pertengahan tahun 2014, Kementerian Agama memperoleh ujian yang luar biasa. Yaitu tentang dugaan korupsi dan penyelewengan penyelenggaraan haji. Ada dugaan bahwa ada korupsi terkait dengan pemondokan, catering dan transportasi. Sementara juga ada dugaan penyelewengan tentang kuota haji dan petugas haji. Dugaan-dugaan ini memantik reaksi yang sangat keras dari berbagai media, seperti media televisi,  cetak dan radio. Masalah tersebut menjadi bahan berita  sampai berhari-hari dan bahkan berminggu-minggu.

Memang ada dari sebagian masyarakatyang  berkeinginan untuk memisahkan penyelenggaraan haji dari Kementerian Agama. Memang  sudah lama terdengar adanya keinginan untuk memisahkan antara regulator dan operator. Kementerian Agama diharapkan hanya menjadi regulator atau penentu norma saja, sedangkan penyelenggaraan haji ada di Badan lain. Makanya, beberapa koran juga menyatakan bahwa Kementerian Agama sudah tidak lagi layak untuk menjadi penyelenggara haji. Akan lebih  baik kalau haji dikelola badan khusus, seperti BUMN.

Tidak bisa dipungkiri bahwa uang haji yang disebut sebagai Dana Abadi Umat (DAU) memang jumlahnya mencapai kira-kira 70 trilyun rupiah. Angka yang cukup fantastis. Uang ini sementara disimpan di Bank Penerima Setoran Haji atau disimpan di SBSN.  Dana ini juga belum bisa didayagunakan untuk kepentingan yang lebih luas,  sebab belum ada Undang-Undang yang secara khusus mengelola keuangan haji.

Kedua, tantangan SDM pengelola haji yang dianggap masih belum professional. Meskipun penyelenggaraan haji sudah dilakukan bertahun-tahun, akan tetapi tetap saja masih ada anggapan bahwa pengelolaan haji tidak professional. Salah satu yang ditudingkan adalah pola rekruitmen petugas dan penyelenggaraan haji yang sarat dengan KKN dan tidak transparan. Akibatnya, pelayanan terhadap jamaah haji menjadi tidak maksimal dan kurang bertanggungjawab.

Ketiga, tantangan penyelenggaraan haji yang tidak transparan dan akuntabel. Misalnya dalam hal pemenuhan kuota yang tidak terisi. Dianggapnya bahwa pemenuhan kuota tersebut penuh dengan kolusi. Memang harus diakui bahwa selalu ada kekurangan kuota yang disebabkan oleh ketidakmampuan jamaah yang sudah masuk dalam daftar berangkat yang wajib setor biaya pelunasan haji. Dan  jumlahnya bisa banyak. Mereka tidak bisa melunasinya. Hal inilah yang menjadi problem hampir setiap tahun. Ada dua paradoks, yaitu kuota tersebut harus diisi atau tidak diisi. Jika tidak diisi tentu mubazir sebab seluruh komponen pembiayaan haji sudah dibayarkan tunai, sehingga harus dipenuhi. Di sisi lain, jika harus dipenuhi maka harus ada diskresi atau kebijakan yang dilakukan oleh menteri. Kuota tersebut kemudian diisi oleh mereka yang bisa membayarnya.

Keempat, tantangan pelaporan keuangan haji. Memang harus diakui bahwa dalam pelaporan keuangan haji memang belumlah memperoleh hasil opini yang baik. Dalam beberapa tahun terakhir pelaporan keuangan haji masih disclaimer dan baru setahun terakhir ini laporan keuangan haji bisa mencapai wajar dengan pengecualian. Di antara yang membuat laporan keuangan haji dalam opini seperti itu adalah asset haji yang belum seluruhnya tertata dengan baik. Masih ada banyak asset haji yang belum masuk ke dalam BMN Kementerian Agama. Akibatnya, maka catatan BPK masih memberikan gambaran bahwa asset haji harus dibenahi.

Kelima, tantangan pelayanan haji pada jamaah haji. Di antara aspek yang sangat fundamental tentang pelayanan haji adalah bagaimana para jamaah haji akan dapat merasakan kepuasan. Sebagai pelayan jamaah,  maka seluruh komponen penyelenggara haji harus dapat memberikan rasa puas kepada para pelanggan. Demikian pula pada dimensi jenis pelayanannya. Di dalam hal ini, pelayanan petugas kloter, petugas non kloter, pelayanan catering, transportasi, akomodasi, pelayanan visa, pelayanan pendaftaran dan sebagainya haruslah sangat memadai.

Sebagai manajemen operasional, maka penyelenggaraan haji mestilah dibangun di atas konsepsi bagaimana memberikan pelayanan haji sebaik-baiknya. Oleh karena itu semua jenis pelayanan harus diusahakan secara memadai. Harus ada peningkatan kualitas layanan jamaah dari tahun ke tahun.

Untuk pelayanan haji tahun 2014, saya kira kita sudah belajar banyak. Beberapa catatan tentang penyelenggaraan haji sebelumnya sudah bisa diantisipasi. Di antara variabel-variabel penting tersebut adalah rekruitmen jamaah. Di dalam hal ini,  maka konsepsi yang harus tetap dijaga adalah first come first serve. Makanya, tahun ini harus diupayakan agar sistem tersebut dapat diimplemantasikan secara memadai. Harus diantisipasi secara kuat agar kekosongan kuota dapat diisi dengan sebaik-baiknya. Harus ada upaya untuk meminimalisasi pengisian kuota berdasarkan kemampuan membayar sebagaimana tahun sebelumnya. Itulah sebabnya, penjadwalan pelunasan pembayaran diatur sedemikian rupa sehingga dapat meminimalisir terhadap kekosongan kursi pemberangkatan.

Lalu, rekruitmen petugas juga dilakukan secara transparan dan akuntabel. Tahun ini, petugas non kloter diuji secara memadai dari aspek-aspek pemahaman haji dan juga kapasitas sebagai petugas. Oleh karena itu, diharapkan bahwa dengan proses rekruitmen yang lebih baik tentu juga akan menghasilkan luaran yang lebih baik. Saya percaya bahwa dengan perbaikan sistem rekruitmen dan hasil rekruitmen SDM yang bagus akan dapat mendongkrak kebaikan pelayanan jamaah haji.

Yang tidak kalah pentingnya adalah perbaikan pemondokan. Menurut informasi dari Irjen, bahwa pemondokan haji tahun ini jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Di Makkah khususnya, maka pondokan jamaah haji sudah sangat baik. Rata-rata sekelas hotel bintang tiga. Artinya, sudah ada perbaikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hanya aspek transportasi dan catering yang mesti haruslah dibenahi lebih baik, sebagaimana tuntutan jamaah dan juga tuntutan evaluasi dan monitoring. Akan tetapi saya juga yakin bahwa untuk transportasi dan catering juga sudah belajar banyak dari sistem tahun kemarin.

Secara keseluruhan tentu ada yang juga membanggakan dari pelaksanaan haji tahun sebelumnya, yaitu tingkat kepuasan pelanggan. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), maka pelayanan terhadap jamaah haji ada peningkatan kepuasan. Dari keseluruhan jenis pelayanan, ternyata mengalami peningkatan. Yang sudah sangat baik adalah pelayanan jamaah dari petugas kloter dan non kloter, pelayanan administrasi dan pelayanan penerbangan. Sedangkan yang masih harus ditingkatkan kualitasnya adalah pelayanan akomodasi, transportasi di Armina, dan Makah, pelayanan catering dan akomodasi di Madinah dan Jeddah.

Dengan melihat hasil survey ini, setidak-tidaknya masih ada yang membanggakan dari pelaksanaan haji tahun 2013. Kita tentu semua berharap bahwa tahun 2014 akan dapat menjadi tonggak apakah Kementerian Agama masih layak atau tidak layak untuk mengelola pelaksanaan ibadah haji. Jika pelaksanaan ibadah haji makin baik dan makin memuaskan pelanggan tentu hal ini akan manjadikan imaje Kementerian Agama yang terpuruk akan bangkit kembali.

Wallahu a’lam bi al shawab.